Pemikiran
Marx-Engels sering kali disalahpahami karena orang banyak membacanya dari
tafsir orang lain entah dari kaum marxis sendiri atau yang anti marxis. Dalam
semiotika modern, tafsir ini tentu saja dibenarkan, namun kalau semua tafsir
yang dipisahkan dari teks itu sendiri adalah ”benar”, maka kita sekarang
berganti dari kultus pengarang ke kultus pembaca yang jamak itu. Menurut hemat
saya, karya tulis Marx-Engels yang berjudul ”The German Ideology”, tidak hanya
sekedar teks filsafat, frase-frase tentang filsafat, sejarah, politik dan
ekonomi, tapi kritik terhadap frase-frase yang selama zamannya hadir begitu
ilusif dari realitas empiris dan memerlukan bukti-bukti empiris yang lebih
lanjut.
Bagaimana sebenarnya konsepsi yang tidak hanya sekedar frase dan permainan kata dalam teks-teks ini dipahami?
Saya akan memulai dengan konsepsi materialis tentang sejarah dalam karya Marx-Engels itu. Premis awal dari semua sejarah manusia adalah eksistensi dari kehidupan manusiawi individu-individu. Jadi fakta awal yang harus diungkap adalah organisasi fisik dari individu-individu ini dan hubungan mereka (intercourse-relasi) dengan lingkungan sosial dan alam. Oleh karena itu, sejarahwan tak bisa beranjak lebih jauh dari kondisi-kondisi alamiah tempat manusia menemukan dirinya sendiri.
Dalam hal ini, Marx-Engels menyatakan bahwa hanya ada satu ilmu pengetahuan, yakni ilmu sejarah. Kita bisa melihat ilmu sejarah ini dari dua segi dan membaginya dalam (i) sejarah alam, disebut juga ilmu alam; (ii) sejarah manusia. The German Ideologi memusatkan perhatian pada sejarah manusia dan memaparkan berdasarkan konsepsi materialis tentang sejarah yang dialektis (atau dikenal dan dinyatakan Engels dalam Sosialisme Ilmiah dan Utopis dengan istilah materialisme historis).
Kita bisa membaca atau menganalisa ilmu sejarah yang dimaksud Marx dalam The German Ideology melalui kutipan ringkas ini.
Pandangan Marx-Engels tentang ilmu sejarah ini tampak sederhana, namun mencakup fakta-fakta yang rumit dan kompleks. Pandangan sederhana ini bisa dibaca sebagai deterministik sebagaimana kemudian menjelma dalam kritik Althusser terhadap Marxisme, ketika basis dibaca sangat menentukan suprastruktur. Saya tak meragukan pembacaan Althusser yang demikian luas itu terhadap karya-karya Marx-Engels, namun menurut saya, premis Marx-Engels tentang determinisme basis itu bertolak dari premis awal bahwa manusia harus memenuhi kebutuhan hidupnya terlebih dahulu untuk berpikir atau membangun peradaban, dan manusia berbeda dengan binatang ketika mereka mulai mencipta alat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kalau Althusser mengkritik determinisme basis itu, dia tentu saja sebenarnya membalik premis dasar sejarah manusia ini, jadi manusia berpikir atau membangun peradaban dulu baru kemudian memenuhi kebutuhan hidup, atau manusia berbeda dengan binatang ketika dia mulai berpikir. Dengan demikian, kritik Althusser sebenarnya secara historis bertolak dari filsafat Yunani terutama Aristoteles. Lalu apa sebenarnya maksud Marx tentang determinisme itu?
Pandangan deterministik Marx-Engels secara umum bertolak dari premis bahwa fakta sejarah awal manusia adalah mencipta alat produksi dan melihat semua fakta sejarah manusia dan ilmu alam sebagai satu kesatuan yang rumit dan kompleks dan berkembang dalam gerak materialis dialektis. Pandangan ini memungkinkan manusia (terutama individu pemikir) untuk memahami eksistensinya dalam masyarakat dan alam semesta. Dengan demikian, determinisme itu berada dalam gerak materialisme dialektik.
Kini saya memahami bahwa pandangan Marx-Engels tentang ilmu sejarah itu adalah materialis-dialektis dan uraian tentang dasar pandangan ini sudah cukup untuk menjelaskan kekeliruan Althusser. Bagaimana dengan kekeliruan tafsir lain yang pokok?
Dalam hal ini, saya memahami bahwa padangan materialis-historis-dialektis tidak bertolak dari pandangan filosofis tentang sumber-pusat kebenaran yang teo-centris ataupun antropo-centris. Jika kita melihat sekilas sejarah masyarakat Eropa, teo-centris adalah pandangan dan sikap manusia zaman ”pertengahan” yang menentukan bahwa pusat kebenaran adalah tuhan atau wujud transenden, sementara antropo-centris adalah pandangan dan sikap manusia zaman ”pencerahan” yang menentukan bahwa pusat kebenaran adalah akal manusia, eksistensi individual manusia. Pandangan ini tentu saja harus diletakkan dalam situasi sejarah nyata di Eropa dari sudut pandang materialis-historis-dialektis, kalau tidak ingin terkungkung dalam ilusi pemikiran dari kedua corak pemikiran itu.
Menurut saya, Marx-Engels sendiri tidak masuk dalam perdebatan pusat atau sumber pengetahuan tanpa meletakkannya dalam sejarah masyarakat yang materialis dan dialektis. Oleh karena itu, Marx-Engels tidak dan tak perlu terusik untuk ikut mencari kebenaran sejati-tunggal yang menghantui para pemikir/filosof sampai zaman modern yang menurut mereka berdua direpresentasikan dan mencapai puncaknya dalam filsafat Jerman, dalam pemikiran Hegel serta para pengikutnya yang dikategorikan Hegelian Tua dan Hegelian Muda.
”Kebenaran” sebagaimana dicari dan dipikirkan para filosof bukan terdapat dalam ide seperti selama ini dijadikan dasar pengetahuan yang nyata bagi manusia-pemikir, namun ”kebenaran” itu ada dalam determinisme sejarah masyarakat manusia dan relativitasnya, artinya berhubungan dengan tingkat perkembangan dan relasi-relasi internal-eksternal masyarakat manusia.
Sifat deterministik dalam pandangan Marx-Engels yang sering kali menuai kritik para pemikir ini tak bisa dilepaskan dari sifat relativistik yang mendapat argumentasi paling tajam setelah teori relativitas Einstein dalam ilmu alam. Oleh karena itu, tak ada yang sepenuhnya deterministik dan tak ada yang sepenuhnya relatif dalam sejarah. Dua sifat ini saling terkait dalam memahami sejarah manusia dan ilmu alam agar tidak terjebak pada ilusi tentang sumber-pusat kebenaran yang menghantui manusia pemikir dan terjebak pada ilusi ide sebagai faktor penentu dalam sejarah dan eksistensi manusia.
Oleh karena itu, pandangan Marx-Engels tentang materialisme historis dan dialektis mengingatkan kita untuk tak perlu lagi terusik mencari kebenaran tunggal dan sejati dalam dunia yang deterministik sekaligus relatif, sebab sikap ini adalah bentuk kesadaran yang terpisah dari dunia nyata. Tak ada kebenaran tunggal kecuali realitas deterministik-relatif yang harus dipahami dalam sejarah. Menurut saya, individualisme Thomas Hobbes dan John Stuart Mill, bahkan individualisme Nietzche yang paling ekstrim pun, tak bisa melampaui realitas determinan-relatif ini.
Bagaimana sebenarnya konsepsi yang tidak hanya sekedar frase dan permainan kata dalam teks-teks ini dipahami?
Saya akan memulai dengan konsepsi materialis tentang sejarah dalam karya Marx-Engels itu. Premis awal dari semua sejarah manusia adalah eksistensi dari kehidupan manusiawi individu-individu. Jadi fakta awal yang harus diungkap adalah organisasi fisik dari individu-individu ini dan hubungan mereka (intercourse-relasi) dengan lingkungan sosial dan alam. Oleh karena itu, sejarahwan tak bisa beranjak lebih jauh dari kondisi-kondisi alamiah tempat manusia menemukan dirinya sendiri.
Dalam hal ini, Marx-Engels menyatakan bahwa hanya ada satu ilmu pengetahuan, yakni ilmu sejarah. Kita bisa melihat ilmu sejarah ini dari dua segi dan membaginya dalam (i) sejarah alam, disebut juga ilmu alam; (ii) sejarah manusia. The German Ideologi memusatkan perhatian pada sejarah manusia dan memaparkan berdasarkan konsepsi materialis tentang sejarah yang dialektis (atau dikenal dan dinyatakan Engels dalam Sosialisme Ilmiah dan Utopis dengan istilah materialisme historis).
Kita bisa membaca atau menganalisa ilmu sejarah yang dimaksud Marx dalam The German Ideology melalui kutipan ringkas ini.
Pandangan Marx-Engels tentang ilmu sejarah ini tampak sederhana, namun mencakup fakta-fakta yang rumit dan kompleks. Pandangan sederhana ini bisa dibaca sebagai deterministik sebagaimana kemudian menjelma dalam kritik Althusser terhadap Marxisme, ketika basis dibaca sangat menentukan suprastruktur. Saya tak meragukan pembacaan Althusser yang demikian luas itu terhadap karya-karya Marx-Engels, namun menurut saya, premis Marx-Engels tentang determinisme basis itu bertolak dari premis awal bahwa manusia harus memenuhi kebutuhan hidupnya terlebih dahulu untuk berpikir atau membangun peradaban, dan manusia berbeda dengan binatang ketika mereka mulai mencipta alat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kalau Althusser mengkritik determinisme basis itu, dia tentu saja sebenarnya membalik premis dasar sejarah manusia ini, jadi manusia berpikir atau membangun peradaban dulu baru kemudian memenuhi kebutuhan hidup, atau manusia berbeda dengan binatang ketika dia mulai berpikir. Dengan demikian, kritik Althusser sebenarnya secara historis bertolak dari filsafat Yunani terutama Aristoteles. Lalu apa sebenarnya maksud Marx tentang determinisme itu?
Pandangan deterministik Marx-Engels secara umum bertolak dari premis bahwa fakta sejarah awal manusia adalah mencipta alat produksi dan melihat semua fakta sejarah manusia dan ilmu alam sebagai satu kesatuan yang rumit dan kompleks dan berkembang dalam gerak materialis dialektis. Pandangan ini memungkinkan manusia (terutama individu pemikir) untuk memahami eksistensinya dalam masyarakat dan alam semesta. Dengan demikian, determinisme itu berada dalam gerak materialisme dialektik.
Kini saya memahami bahwa pandangan Marx-Engels tentang ilmu sejarah itu adalah materialis-dialektis dan uraian tentang dasar pandangan ini sudah cukup untuk menjelaskan kekeliruan Althusser. Bagaimana dengan kekeliruan tafsir lain yang pokok?
Dalam hal ini, saya memahami bahwa padangan materialis-historis-dialektis tidak bertolak dari pandangan filosofis tentang sumber-pusat kebenaran yang teo-centris ataupun antropo-centris. Jika kita melihat sekilas sejarah masyarakat Eropa, teo-centris adalah pandangan dan sikap manusia zaman ”pertengahan” yang menentukan bahwa pusat kebenaran adalah tuhan atau wujud transenden, sementara antropo-centris adalah pandangan dan sikap manusia zaman ”pencerahan” yang menentukan bahwa pusat kebenaran adalah akal manusia, eksistensi individual manusia. Pandangan ini tentu saja harus diletakkan dalam situasi sejarah nyata di Eropa dari sudut pandang materialis-historis-dialektis, kalau tidak ingin terkungkung dalam ilusi pemikiran dari kedua corak pemikiran itu.
Menurut saya, Marx-Engels sendiri tidak masuk dalam perdebatan pusat atau sumber pengetahuan tanpa meletakkannya dalam sejarah masyarakat yang materialis dan dialektis. Oleh karena itu, Marx-Engels tidak dan tak perlu terusik untuk ikut mencari kebenaran sejati-tunggal yang menghantui para pemikir/filosof sampai zaman modern yang menurut mereka berdua direpresentasikan dan mencapai puncaknya dalam filsafat Jerman, dalam pemikiran Hegel serta para pengikutnya yang dikategorikan Hegelian Tua dan Hegelian Muda.
”Kebenaran” sebagaimana dicari dan dipikirkan para filosof bukan terdapat dalam ide seperti selama ini dijadikan dasar pengetahuan yang nyata bagi manusia-pemikir, namun ”kebenaran” itu ada dalam determinisme sejarah masyarakat manusia dan relativitasnya, artinya berhubungan dengan tingkat perkembangan dan relasi-relasi internal-eksternal masyarakat manusia.
Sifat deterministik dalam pandangan Marx-Engels yang sering kali menuai kritik para pemikir ini tak bisa dilepaskan dari sifat relativistik yang mendapat argumentasi paling tajam setelah teori relativitas Einstein dalam ilmu alam. Oleh karena itu, tak ada yang sepenuhnya deterministik dan tak ada yang sepenuhnya relatif dalam sejarah. Dua sifat ini saling terkait dalam memahami sejarah manusia dan ilmu alam agar tidak terjebak pada ilusi tentang sumber-pusat kebenaran yang menghantui manusia pemikir dan terjebak pada ilusi ide sebagai faktor penentu dalam sejarah dan eksistensi manusia.
Oleh karena itu, pandangan Marx-Engels tentang materialisme historis dan dialektis mengingatkan kita untuk tak perlu lagi terusik mencari kebenaran tunggal dan sejati dalam dunia yang deterministik sekaligus relatif, sebab sikap ini adalah bentuk kesadaran yang terpisah dari dunia nyata. Tak ada kebenaran tunggal kecuali realitas deterministik-relatif yang harus dipahami dalam sejarah. Menurut saya, individualisme Thomas Hobbes dan John Stuart Mill, bahkan individualisme Nietzche yang paling ekstrim pun, tak bisa melampaui realitas determinan-relatif ini.
Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=457997229582
Tidak ada komentar:
Posting Komentar