Artikel
ini bertujuan melengkapi dan melanjutkan pemahaman tulisan Materialisme
Dialektik-Historis dalam The German Ideology. Konsepsi-konsepsi yang
dinyatakan Marx-Engels sebenarnya tak bisa dipisahkan dari kondisi-kondisi
masyarakat Eropa khususnya dan dunia secara umum pada zamannya. Demikian pula,
teks atau frase dalam karya Marx-Engels tidak tepat untuk dibaca hanya sebagai
teks, karena sekalipun Marx-Engels menulis dengan metode filosofis
(logika-dialektika), namun teks-teks mereka tidak sepenuhnya bisa disebut karya
filsafat abstrak (terutama The German Ideology) atau ungkapan linguistik dan
simbolik semata seperti dipahami dalam semiotika modern atau sebagai game of
language.
Karya-karya
lain Marx, yakni Das Kapital, juga tidak bisa diperlakukan demikian,
karena karya ini sebenarnya adalah kritik atas ekonomi politik borjuasi Eropa
yang berkembang pesat di zamannya terutama di Inggris. Kalau teks-teks kritik
ini hanya dianggap sebagai teks, maka tak berguna dan sia-sialah semua tradisi
tulis yang dinyatakan dalam teks sebagai penyajian realitas. Apalagi penyajian
Marx-Engels bukan sekedar konsepsi-konsepsi abstrak yang bercorak skolastik dan
komtemplatif, namun didasarkan pengamatan realistik-empiris seperti
premis-premis sejarah yang nyata dalam The German Ideology dan data-data
statistik-historis-ekonomi-politik yang dianalisa dari sudut pandang
determinan-relatif dalam The Capital. Metode-metode berpikir Marx-Engels
tentu saja tidak menghindari cara berpikir manusia sudah ada, yakni logika,
namun mereka menekankan arti penting dialektika yang tenggelam dalam dominasi
metode berpikir logika terutama dalam perkembangan masyarakat Eropa modern dan
diungkap kembali secara mendasar dalam filsafat (atau sejarah ide) Hegel. Marx
sendiri mengatakan tentang penggunaan metode dialektika ini:
"…
Oleh karena itu, saya secara terbuka mengumumkan diri saya sendiri sebagai
murid dari ahli fikir besar itu… Pemistikan yang diderita dialektika di tangan
Hegel, sama sekali tak menghalanginya untuk pertama kali menyajikan
bentuk-bentuk umum dari fungsinya secara menyeluruh dan ringkas. Dengan Hegel,
dialektika berdiri di atas kepalanya. Kita harus membalikkannya, agar kembali
ke atas kakinya, agar dapat menemukan inti rasional yang berbalut kulitnya yang
mistikal." (Kapital Buku I, Pengantar, Hasta Mitra, 2004, hal. xl,
dikutip dengan beberapa edit redaksi bahasa oleh pengutip).
Apa
yang dimaksud Marx dengan “membalikkanya” dan “menemukan inti rasional” itu?
Marx menyatakan sebagai berikut:
"Metode
dialektika saya pada dasarnya tidak hanya berbeda dari metode Hegelian,
melainkan secara langsung berlawanan dengan metode Hegel. Bagi Hegel, proses
berpikir yang bahkan ditransormasikan menjadi subyek independent dengan nama
ide, adalah pencipta dunia nyata, dan dunia nyata hanyalah penampilan eksternal
dari ide itu. Bagi saya sebaliknya, ide itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah
dunia material yang dicerminkan oleh pikiran manusia dan diterjemahkan ke dalam
bentuk-bentuk pikiran." (Kapital, Ibid
.
hal. xxxix.)
Kalau
demikian, karya-karya Marx dan Engels adalah penyajian atau presentasi dari
pengamatan empiris atas realitas yang bergerak secara dialektik.
Presentasi
semacam ini adalah kritik atau titik balik dari presentasi realitas dalam
konsep-konsep skolastik yang abstrak, statis, kontemplatif dan tidak dialektik.
Namun Marx mengakui munculnya problema aktualitas dalam presentasi. Dia
mencatat:
"Bentuk penyajian
tentu saja mesti berbeda dari bentuk penelitian. Penelitian mesti menguasai
bahan secara terperinci, menganalisa bentuk-bentuk perkembangannya yang
berbeda-beda, menelusuri keterkaitan internalnya. Hanya setelah pekerjaan ini
diselesaikan, gerak sesungguhnya bisa digambarkan secara memadai. Jika ini
berhasil dilakukan, maka gerak bisa tampil seakan-akan kita mendapatkan suatu
bangunan a priori semata-mata di hadapan kita." (Kapital, Ibid.)Jadi
gerak aktual hanya bisa disajikan setelah pengamatan empiris yang cermat dan
terperinci. Penyajian ini adalah bentuk pengetahuan yang seolah-olah tampil a
priori, sebab hanya demikianlah aktualitas bisa disajikan dan diketahui, jadi signifikansinya
bukan sekedar kelangsungan suatu gerak, tapi pemahaman atas gerak. Namun,
penyajian ini tentu saja harus dibedakan dengan abstraksi filosofis, skolastik,
statis dan tak dialektik sebagaimana telah disinggung di atas, karena penyajian
yang dimaksud Marx adalah deskripsi realitas gerak material yang dicerminkan
oleh pikiran manusia dan diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk pikiran atau
konsepsi-konsepsi.
Lalu
bagaimana memahami dan tentu saja mengajukan kritik secara tepat terhadap cara
berpikir dan penyajian realitas dalam karya-karya Marx-Engels? Hasil pemikiran
siapapun tidak terkecuali Marx-Engels tentu saja bisa dan harus dipahami serta
dikritik secara terbuka dan jernih, namun harus ada cara-cara yang memadai agar
tidak menjadi langkah semena-mena (arbitrer) atau skolastik, bahkan
serangan politis, sadar atau tidak.
Pertama
kali, saya perlu menjelaskan bahwa memahami dan mengritik karya-karya
Marx-Engels sebagai teks atau frase semata-mata (seperti dilakukan Jacques
Derrida) dengan melepaskannya dari konteks sejarah Eropa di zamannya, tidak
hanya menjadi skolastik dan kontemplatif, namun ilusif dan absurd. Meskipun
kita tak bisa mengingkari bahwa sebuah teks tidak sepenuhnya menyajikan semua
nuansa pemikiran dari subyek (penulis, pengarang, pemikir) karena alasan
material, historis dan aktulitas tentunya, namun karya-karya Marx-Engels cukup
komprehensif menyajikan kondisi historis Eropa dan pemahaman mereka atas
perkembangan masyarakat manusia secara umum. Pemilahan-pemilahan pemikiran Marx
dalam kronologi muda-tua sebagaimana secara cermat dipahami Louis Althusser
tentu saja harus tetap dipertimbangkan dalam konteks perkembangan pemahaman
historis, pemikiran dan aksi sosial Marx dalam perkembangan masyarakat Eropa di
zamannya, jadi bukan dibaca dan dipahami sekedar teks-teks belaka. Di dalam
konteks ini pula, pemilahan-pemilahan corak pemahaman atas pemikiran Marx dalam
Marxisme Klasik/ortodoks, revisionis, Neo-Marxisme, Post-Marxisme cenderung
menutup pintu pemahaman terbuka terhadap karya-karya Marx-Engels sendiri, jadi
ada indikasi kultus dan membuat rumit jalan pemahaman atas pemikiran mereka
sendiri. Disini saya ingin menghindari kultus terhadap teks, pengarang dan
pembaca, sebab bentuk pemahaman ini sebenarnya a-historis.
Oleh
karena itu, saya mencoba menentukan bidang atau arah pemahaman dan kritik
(kalau pun mesti distatiskan) yang memadai dan jernih terhadap Marx-Engels dan
pemikirannya sebagai berikut:
1. fakta-fakta yang
dihimpun dalam lingkup pemahaman Marx-Engels, yang harus dipahami sebagai
fakta-fakta historis yang signifikan bagi mereka;
2. konsepsi atau ide
yang dinyatakan untuk memahami fakta-fakta historis ini;
3. praktek dan aksi dari
pemahaman konseptual ini;
4. fakta-fakta historis
setelah zaman Marx-Engels hingga zaman ini sebagai perbandingan dan sebagai
pemahaman atau kritik atas konsepsi-konsepsi mereka.
Cara
memahami Marx-Engels dan pemikirannya ini bertujuan mencegah sikap
dogmatis-apologetik dan prasangka atau tuduhan skolastik yang sangat ditentang
Marx karena ilusif, bahkan kultus yang tersirat dari kedua sikap ini, yakni
kultus atas pengarang, teks dan pembaca karena a-historis dan kontemplatif.
Saya hanya akan mencoba memahami dua bidang pertama untuk kepentingan memahami
konsepsi tentang sejarah.
Pertama,
saya akan melihat sekilas (untuk mengulangi kembali dan memperjelas dari
tulisan saya sebelumnya) sejarah masyarakat Eropa sebelum Marx-Engels, tidak
hanya menurut Marx, tapi saya menjelaskan beberapa signifikansi yang mungkin
tak dibahas oleh Marx-Engels karena situasi mereka yang berbeda atau
signifikansi yang mereka pikirkan berkaitan dengan tuntutan zamannya. Fredrich
Engels sebenarnya sudah mengungkapkan latar belakang historis, jadi
kondisi-kondisi historis, dari pemikiran sosialisme materialis dialektis dalam
karyanya Sosialisme Utopis dan Ilmiah. Saya juga menyisihkan terlebih dahulu
sejarah masyarakat lain yang tentu saja mempunyai relasi penting dengan
masyarakat Eropa (misalnya sejarah masyarakat Muslim yang sebenarnya sudah
disinggung sekilas dalam karya Engels tersebut. Kalau kita ingin melihat
sejarah masyarakat secara komprehensif dan tidak ingin terjebak dalam
Euro-Sentris atau Oksidentalistik seperti di zaman kuno, ada bias Roman-Sentris
dalam karya-karya tulis sejarahwan kuno seperti Herodotus atau Strabo,
sebenarnya signifikansi relatif ini harus diungkap dan dipahami, namun studi
ini diluar bidang pemahaman tulisan ini).
Saya
tidak akan menjelaskan secara kronologis sejarah masyarakat Eropa, sebab
tipologi ini juga problematis dan sudah usang. Saya hanya akan melihat
signifikansi perubahan-perubahan revolusioner dari tatanan masyarakat
feudal-klasik menjadi tatanan masyarakat kapitalis-modern. Sebenarnya ada
perubahan-perubahan gradual dalam tatanan masyarakat feudal sebagai pra kondisi
perubahan revolusioner menuju masyarakat borjuis-kapitalis. Perubahan gradual
di dalam tatanan masyarakat feudal (sebenarnya beberapa wilayah Eropa tetap
berada dalam tatanan masyarakat feudal, terutama di Eropa timur) berbentuk
resistensi dan adaptasi terhadap perubahan masyarakat menuju tatanan masyarakat
borjuis-kapitalis yang mengukuhkan kekuasaannya setelah Revolusi Industri 1640
dan 1688 di Inggris dan Revolusi Prancis tahun 1789.
Perubahan-perubahan
revolusioner yang dipahami Marx-Engels ini secara mendasar terjadi dalam corak
produksi (mode of production, mode of life) sehingga menandai dan
menentukan perubahan konsepsi atau ide tentang Negara, kekuasaan, otoritas, dan
dari segi filsafat dan pemikiran, perubahan konseptual tentang Kebenaran
Sejati, Hakiki, Mutlak (inilah signifikansi yang saya garisbawahi dan
sebenarnya telah dikritik dalam The German Ideology). Ide tentang
Kebenaran ini meliputi: sumber pokok, dasar, sifat dan otoritas. Ide Kebenaran
di dalam masyarakat feudal: sumbernya adalah wujud supra-manusia, yakni Tuhan;
dasarnya adalah iman, percaya; sifatnya universal; otoritas legislasinya adalah
hukum Tuhan yang tercantum dalam Kitab Suci menurut tafsir otoritatif para
agamawan. Sekalipun demikian, dalam perubahan-perubahan gradual itu terjadi
perubahan-perubahan konseptual, namun kita dapat menyimpulkan bahwa konsepsi
Kebenaran di dalam masyarakat feudal adalah theo-centris. Sementara itu,
ide Kebenaran di dalam masyarakat borjuis-kapitalis: sumbernya adalah manusia;
dasarnya adalah akal, rasio, eksistensi individu; sifatnya universal; otoritas
legislasinya hukum alam (sebagai contoh dalam karya Thomas Hobbes, Leviathan)
dan demokrasi (dalam makna masyarakat sipil, misalnya dalam karya-karya Baron
de Montesquieu, yang berkembang pesat terutama setelah zaman Marx-Engels).
Sekalipun banyak varian dalam ide tentang kebenaran, namun kita bisa
menyimpulkan bahwa konsepsi Kebenaran dalam tatanan masyarakat
borjuis-kapitalis ini pada dasarnya adalah antropo-centris. Secara
eksplisit dasar konseptual ini memang tidak dinyatakan, namun kedua bentuk
konseptual ini pada dasarnya sama.
Ide
atau konsepsi telah menjadi kenyataan dalam kedua tatanan masyarakat ini,
sekalipun Hegel telah melihat prinsip gerak dialektik dalam sejarah Manusia.
Marx sendiri memandang bahwa tidak ada perbedaan khusus antara idealisme Jerman
dan ideologi bangsa-bangsa lain. Yang dimaksud idealisme atau ideologi disini
adalah cara pandang manusia tentang dunia yang dikuasai ide-ide. Ide-ide atau
konsep-konsep ini menjadi prinsip yang menentukan (determinan) serta
pengertian-pengertian tertentu tentang misteri dunia material yang tak bisa
dipahami para filosof. Oleh karena itu, Marx memandang idealisme ini sebagai
berikut:
"Hitherto
men have always formed wrong ideas about themselves, about what they are and
what they ought to be. They have arranged their relation according to their
ideas of God, of normal man, etc. The products of their brain have got out of
their hands. They, the creators, have bowed down before their creations. Let us
liberate them from the chimeras, ideas, dogmas, imagery beings… Let us revolt
against this rule of concepts…" (Karl Marx-Frederich Engels, The
German Ideology, Progress Publisher, Moscow, 1976, hlm. 29)
“Manusia-manusia
sampai saat ini selalu membentuk ide-ide yang salah tentang diri mereka
sendiri, tentang apa mereka dan apa seharusnya mereka. Mereka merancang
hubungan-hubungan mereka menurut ide-ide mereka tentang Tuhan, manusia biasa
dan lain-lain. Hasil otak mereka telah terlepas dari tangan mereka. Mereka,
para pencipta ini, membungkukkan diri di bawah ciptaan mereka. Marilah kita
membebaskan mereka dari takhayul-takhayul, ide-ide, dogma-dogma, wujud-wujud
tamsil… Marilah kita melawan kekuasaan (kaidah) konsep-konsep ini…”
Alih-alih
membahas Kebenaran an sich, Marx-Engels menunjukkan bahwa kebenaran itu
hanyalah konsepsi atau ide yang diciptakan manusia sendiri. Ketika ide ini
sudah terlepas dari mereka, lalu disembah, dipuja atau dikultuskan. Namun
Marx-Engels pada dasarnya memandang bahwa manusia-manusia (pemikir) telah
keliru dalam membangun ide-ide atau konsepsi-konsepsi tentang diri mereka
sendiri lalu mereka merancang hubungan-hubungan mereka menurut ide-ide yang
keliru ini. Kekeliruan ini pada dasarnya adalah sikap mereka terhadap hasil
ciptaan otak mereka sendiri. Ide atau konsepsi menjadi satu-satunya dan dasar
realitas dunia yang menentukan pola-pola hubungan mereka dengan sesama dan alam
semesta. Namun Marx-Engels memandang kemajuan yang berarti dalam pemikiran
Hegel yang melihat realitas ide mempunyai prinsip gerak, jadi melihat
kesejarahan ide. Bagaimana filsafat sejarah Hegel yang progresif ini kemudian
menjadi kultus? Hegel tetap terobsesi mencari prinsip Kebenaran dalam sejarah
ide yang berubah-ubah, semena-mena, chaos namun dialektik itu dan mendapatkan
ide transendental (melampaui) dalam ruh absolut.
Sekalipun
Marx-Engels menolak kekuasaan ide-ide, namun mereka melihat unsur penting dalam
pemahaman konseptual yang hingga zamannya mengkultuskan ide, yakni prinsip
gerak dialektik atau sejarah. Selanjutnya, Marx-Engels melihat kemajuan penting
lainnya dari sejarah masyarakat Eropa dalam sosialisme Prancis dan
konsepsi-konsepsi ekonomi politik di Inggris. Oleh karena itu, Marx-Engels
sebenarnya tidak menolak konsepsi atau ide sebagai cara manusia memahami
realitas, namun yang ditentang mereka adalah kultus ide, yakni melihat ide
sebagai dasar dan prinsip pokok dalam melihat realitas. Kultus ide adalah
kealpaan manusia pemikir atas dirinya dan lingkungannya yang lebih nyata dari
ide atau konsepsi mereka. Marx-Engels sendiri tidak memisahkan antara ide dan
materi dan tidak menegasikan salah satunya, namun memandang materi sebagai
realitas empiris yang awal. Sejarah pemikiran Eropa di luar Jerman menunjukkan
arah yang progresif tentang realitas empiris material ini sebagaimana
dipaparkan Engels dalam karyanya Sosialisme Utopis dan Ilmiah. Secara
ringkas, kalau saya mengambil langkah abstraksi, maka realitas itu adalah
cerapan inderawi terhadap benda atau materi. Materi ini ternyata tidak statis,
namum bergerak secara dialektik karena ada sisi positif dan negatif. Di dalam
ilmu alam, gerak itu disebut daya atau energi yang ternyata memang mengandung
kutub positif dan negatif.
Marx-Engels
tentu saja selanjutnya menghadapi persoalan manusia individu atau individu an
sich, sebagaimana telah dibahas pula dalam sejarah pemikiran Eropa, awalnya
dalam pemikiran Thomas Hobbes atau dalam pengaruh Rene Descartes yang
melontarkan proposisi “Aku berpikir, karena itu aku ada”. Mereka menolak kultus
terhadap konsepsi individu atau individualisme sebagaimana berkembang dalam
tatanan masyarakat borjuis-modern. Konsepsi individu yang otonom atau Manusia
dengan M huruf besar hanya bisa dipahami di dalam masyarakat. Di dalam Theses
on Feurbach, Marx menyatakan:
“The
standpoint of the old materialism is “civil” society; the standpoint of the new
is human society, or associated humanity” (Karl Marx-Frederich Engels, The
German Ideology, hal. 620).
“Titik
pijak materialisme lama adalah masyarakat “sipil” (beradab), sementara titik
pijak materialisme baru adalah masyarakat manusia, atau kemanusiaan yang
berhimpun.”
Dalam
konsepsi inilah mereka mengemukakan konsepsi materialis tentang sejarah dengan
premis-premis sebagai berikut:
“…
the real individuals, their activity and the material conditions of their life,
both those which they find already existing and those produced by their
activity…” (Karl Marx-Frederich Engels, The German Ideology, hal.
36-37).
“…
individu-individu riil, aktivitas mereka dan kondisi material kehidupan mereka,
mereka menemukan kedua hal ini sudah maujud dan diproduksi oleh aktivitas
mereka…”
Kalau
kita mengingat sejenak konsepsi ini sama dengan konsepsi tabula rasa John
Locke, namun bedanya adalah determinasi lingkungan material dari kehidupan
individu-individu, bukan moral seperti dalam konsepsi John Locke. Dengan
demikian, premis awal dari semua sejarah masyarakat manusia adalah eksistensi
(wujud) dari individu-individu manusia yang hidup. Individu-individu atau
masyarakat manusia harus memenuhi kebutuhan hidup terlebih dahulu sebelum
“membuat sejarah”. Hidup disini mencakup kebutuhan dasar yakni makan, minum,
tempat berlindung, pakaian sebelum segala hal lainnya. Lalu apa bedanya manusia
dengan makhluk hidup lainnya seperti telah menjadi pertanyaan sejarah
perkembangan filsafat Yunani? Masyarakat manusia bisa dibedakan dari binatang
karena kesadarannya, agama atau apa saja sesuka kita. Namun masyarakat manusia
mulai membedakan diri mereka sendiri dari binatang setelah mereka mulai membuat
alat-alat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Premis awal ini kemudian menjadi
dasar konsepsi materialis tentang sejarah yang dipaparkan secara panjang lebar
dalam The German Ideology
.
Sekarang
saya sudah mencoba menelusuri jalan pemikiran Marx-Engels dalam dua bidang
pemahaman yang telah saya sebutkan diatas. Mereka berdua atau pemikir-pemikir
Eropa lainnya sebenarnya bukan individu-individu pemikir yang berdiri sendiri,
namun berhubungan dengan perubahan-perubahan revolusioner tatanan
masyarakatnya. Marx-Engels telah berupaya memahami dan mengajukan kritik dalam
kondisi-kondisi masyarakat yang nyata, jadi bukan kritik-kritik kontemplatif
dan skolastik sebagaimana menguasai pemikiran di zamannya. Kritik-kritik ini
bertolak dari pemahaman dialektik dan pengamatan serta pengalaman yang nyata
dalam masyarakat Eropa dan dunia pada umumnya. Kritik ini pula yang membawa
mereka berdua pada kegiatan-kegiatan revolusioner, tidak hanya dalam bidang pemikiran
dan filsafat, namun dalam aksi-aksi politik. Karya-karya Marx-Engels juga
memuat polemik-polemik ekonomi politik terutama dalam The Capital. Kita
bisa mendalami lebih lanjut polemik-polemik ini untuk membaca tafsir-tafsir
yang memuja dan membela atau menyerang dan menuduh secara semena-mena atas
pemikiran Marx-Engels setelah mereka hingga saat ini. Kita juga bisa memahami
dan mengajukan kritik dari kondisi historis saat ini atas pemikiran Marx-Engels
setelah kita bisa meletakkan kontribrusi pemikiran mereka secara adil dan
jernih. Menurut hemat saya, sosialisme ilmiah dan penemuan-penemuan
konseptualnya yang nyata, yakni: materialisme historis dan konsepsi nilai lebih
(surplus value), tidak harus menutup diri pada dialektika dalam
konsepsi-konsepsinya sendiri, apalagi berubah menjadi kultus terhadap individu,
zaman dan partikularitas masyarakat tertentu untuk memahami dialektika
perkembangan masyarakat yang terus berlanjut, penemuan-penemuan ilmiah baru,
kritik-kritik dan tentu saja aksi-aksi yang nyata demi suatu kemanusian yang
membebaskan. Humanisme yang membebaskan inilah tujuan sosialisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar