Teori revolusi permanen tidak hanya sekadar teori. Ini
merupakan pondasi bagi perspektif Marxis untuk revolusi di negara-negara
terbelakang seperti Rusia pada jamannya Lenin dan Trotsky, dan masih relevan
hingga hari ini. Sebuah teori akan berarti jika teori tersebut membantu untuk
menaksir arah perkembangan dan mempengaruhinya secara berguna. Teori revolusi
permanen terbukti telah dikonfirmasi dalam Revolusi 1917 di Rusia.
Teori revolusi permanen juga bukan suatu spekulasi
metafisik, tetapi sebagai usaha untuk menanggapi persoalan yang paling dramatik
di jaman ini: bagaimana negara ketiga bisa memecahkan masalah-masalah sosial
yang mengerikan akibat dominasi ekonomi dan politik dari negara-negara
kapitalis, dan bagaimana caranya bisa lepas dari kemiskinan, kediktatoran,
rezim oligarkis, dan dominasi asing?
Gagasan revolusi permanen muncul untuk pertama kali dalam
tulisan-tulisan Trotsky mengenai gelombang revolusioner dari 1905 -1906 di
Rusia. Tesis-tesis Trotsky mengenai sifat dari revolusi ini mengangkat perpecahan
radikal dengan ide-ide dominan dalam Internasional Kedua mengenai pelaku utama
yang akan membentuk masa depan Rusia. Dalam pandangan politik kaum Marxis
"ortodoks" di Rusia dan Eropa, masa depan untuk revolusi Rusia,
secara tak terelakkan akan mengambil karakter demokratik borjuis: menghancurkan
Tsarisme, mendirikan sebuah republik yang demokratis, melenyapkan sisa-sisa
feodal di daerah pedesaan, dan distribusi tanah untuk kaum tani. Semua faksi
dari Sosial Demokrasi Rusia menggunakan presuposisi sebagai pijakan yang tak
dapat dibantah. Tetapi, kemudian pertanyaannya, kelas manakah yang akan
memimpin penyelesaian tugas-tugas demokratik ini?
Trotsky adalah yang pertama dan satu-satunya seorang Marxis
yang selama bertahun-tahun mempertanyakan dogma suci Marxis ini. Trotsky,
sebelum tahun 1917, sendirian dalam melihat jauh ke depan tidak hanya peran
kepemimpinan dari gerakan buruh dalam revolusi Rusia, tetapi juga kemungkinan
prospek perkembangan dari revolusi demokratik ke revolusi sosialis.
Sepanjang tahun 1905, Trotsky di sejumlah artikelnya,
merumuskan teori revolusi permanen ini. Kemudian teori ini disistematisasi
dalam sebuah pamflet Hasil dan Prospek (1906). Dalam artikel itu, Trotsky
menjelaskan bahwa kaum buruh elemen paling progresif yang mampu memimpin
revolusi di Rusia dan hanya kaum buruh lah yang mampu memainkan peran
kepemimpinan di dalam revolusi.
Berkenaan dengan tugas-tugasnya yang segera, Revolusi Rusia
adalah sebuah revolusi borjuis. Tetapi kaum borjuis Rusia merupakan kelompok
yang kontra-revolusioner. Oleh karena itu, menurut Trotsky, kemenangan revolusi
hanya mungkin bila dipimpin oleh kelas buruh dengan dukungan kaum tani. Kaum
proletar yang telah naik ke tampuk kekuasaan sebagai pemimpin revolusi
demokratik secara tak terelakkan dan dengan segera dihadapkan pada tugas-tugas,
yang pemenuhannya terikat sangat dalam dengan hak kepemilikan pribadi borjuis.
Revolusi demokratik berkembang menjadi revolusi sosialis dan oleh karena itu
menjadi sebuah revolusi yang permanen. Inilah gagasan inti dari teori revolusi
permanen yang diformulasikan oleh Trotsky pada tahun 1905. Dan sejak itu
diekspos di bawah nama "Trotskyisme" dan menjadi perdebatan panjang
di kalangan kaum Marxis.
Di dalam perjuangan kaum revolusioner di negera-negara
terbelakang, seperti Indonesia, dalam melawan globalisasi neo-liberal, melawan
institusi-institusi finansial dunia (Bank Dunia, IMF, ADB), teori revolusi
permanen menjadi sangat relevan. Lambaian ilusi-ilusi dari kaum nasionalis
mengenai kemungkinan membangun industri nasional yang kuat, membangun aliansi
strategis dengan kaum militer nasionalis, membangun koalisi yang luas dengan
semua kelas yang mendukung pembangunan ekonomi madiri, membangun pasar
internal, harus segera ditinggalkan. Teori revolusi permanen memberikan
pemahaman kualitatif bagi kita untuk keluar dari ilusi-ilusi tersebut dan
menyelesaikan persoalan-persoalan nasional dengan jalan revolusi.
Revolusi bisa diartikan sebagai pergantian tatanan sosial.
Revolusi memindahkan kekuasaan dari tangan kelas yang kalah karena kehabisan
tenaga kepada kelas yang menang yang berada di atas kekuasaan. Pemberontakan
merupakan saat yang paling tajam dan kritis dalam sebuah pertarungan untuk
merebut kekuasaan. Pemberontakan dapat mencapai kemenangan yang sesungguhnya
hanya ketika pemberontakan tersebut berbasis pada sebuah kelas yang progresif
yang mampu menggerakkan kekuatan seluruh rakyat untuk berkumpul, dan di era
sekarang ini hanya kelas buruh lah yang mampu melakukan ini karena posisi
sosial dan ekonominya. Kelas borjuis nasional, karena terikat dengan kapitalis
asing dan feodalisme, bahkan tidak bisa menyelesaikan revolusi demokratik yang
notabene seharusnya menjadi tugas historis mereka.
Menurut Trotsky, revolusi bisa terjadi dengan dua cara: oleh
sebuah bangsa yang bersatu seperti seekor singa yang siap menerkam, atau oleh
perjuangan kelas yang kuat yang berusaha untuk membebaskan dirinya. Bangkitnya
massa adalah hal yang utama dalam sebuah revolusi. Tetapi kebangkitan massa
bukanlah tindakan yang serta merta, yang bisa diciptakan hanya dalam waktu
sehari atau sebulan, tapi butuh waktu yang cukup untuk
mengungkitnya.Kebangkitan massa juga mempresentasikan sebuah elemen yang
terkondisi secara objektif dalam perkembangan sebuah revolusi, sebagaimana
sebuah revolusi mempresentasikan sebuah proses terkondisi secara objektif dalam
perkembangan masyarakat. Tetapi jika kondisi-kondisi untuk kebangkitan
diperlukan, massa tidak begitu saja menunggu secara pasif, tetapi cepat
bertindak dan bergerak di kancah pertarungan revolusioner, seperti yang tengah
terjadi di Venezuela.
Terkait dengan teori revolusi permanen, pernyatan-pernyataan
sinis mengenai kebangkitan kaum proletar dalam sebuah negara yang secara
historis terbelakang akan segera bisa ditanggalkan. Sebagaimana yang ditulis
Trotsky pada tahun 1905, bahwa di dalam sebuah negara yang ekonominya
terbelakang, kaum proletar dapat mencapai kekuasaan lebih awal dari pada negara
kapitalis yang maju. Dan untuk sampai pada sosialisme, kekuatan-kekuatan progresif
yang ada harus melampaui batas-batas nasionalnya. Sebuah masyarakat sosialis
tidak mudah dikerjakan dalam ruang lingkup perbatasan-perbatasan nasional.
Karena “sosialisme di dalam satu negara" adalah utopia dari kaum borjuis
kecil.
Teori revolusi permanen seringkali dipahami dengan sangat
dangkal – suatu kondisi yang kacau, penuh dengan pergolakan, dan tidak berujung
– dan sering dianggap sebagai utopia dari kaum Trotskyis. Padahal, teori ini
merupakan upaya untuk melengkapi tulisan-tulisan dari Marx dan Engels, dan
suatu teori yang akan memberi petunjuk kaum revolusioner guna mewujudkan
cita-cita sosialisme yang sejati.
Kaum revolusioner di berbagai negara, termasuk Indonesia,
seringkali terjebak pada perjuangan dengan tuntutan-tuntutan yang artifisial,
parsial dan pragmatis. Seperti terjebak pada program-program klise nasionalisme
kelas borjuis: berjuang untuk demokrasi dan penegakan hukum; berjuang untuk
kemandirian bangsa; berjuang untuk hak-hak atas tanah, dan lain-lain.
Dengung perjuangan dari kaum “kiri” Indonesia untuk
pembebasan nasional, pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan, revolusi agraria,
dan semacamnya, tidak akan membawa ke arah sosialisme kalau tidak dilengkapi
dengan perspektif pengambilalihan kekuasaan oleh rakyat pekerja dengan dukungan
kaum tani. Kemenangan sejati bagi rakyat Indonesia akan tercapai dengan
mengambil alih kepemilikan imperialis beserta kroni-kroninya melalui jalan
revolusi.
Gerakan-gerakan revolusioner untuk sosialisme sering
dirintangi oleh gerakan-gerakan reformis. Fakta obyektif hari ini, kaum
sosialis revolusioner tengah dibayang-bayangi oleh cara-cara berpikir reformis:
membangun aliansi bersama untuk perjuangan anti-imperialis tanpa harus
membangkitkan tuntutan sosialis; berjuang hanya di wilayah mereka masing-masing;
mendengungkan jargon-jargon “demokrasi” (baca demokrasi borjuis); berjuang
dengan menyelinap di dalam gedung parlemen atau istana.
Perbedaan orientasi politik antara kaum reformis dan kaum
revolusioner akan terlihat di sini. Perbedaan ini juga akan membawa kepada
perbedaan format perjuangannya. Kaum reformis akan menyerukan demonstrasi massa
besar-besaran, dan kalau perlu menciptakan kekacauan dalam aksi besar tersebut.
Tetapi mereka akan berpikir seribu kali untuk meneriakkan pemogokan, pendudukan
pabrik oleh buruh, perampasan tanah oleh petani, dan revolusi sosialis. Dan
mereka akan, jika revolusi terjadi, dengan cepat menghadang kekuatan dari
organisasi-organisasi buruh atau petani.Akhirnya, masalah pembebasan dan
tugas-tugas revolusi tidak bisa dibebankan di atas pundak kaum borjuis ataupun
kaum reformis. Kapitalisme tetap menjadi sistem dunia. Kapitalisme telah
berhenti memenuhi fungsi esensialnya; meningkatkan level kekuatan dan
kesejahteraan manusia. Kemanusiaan tidak dapat bartahan dalam keadaan stagnan
pada level yang telah dicapai. Hanya dengan organisasi produksi dan distribusi
sosialis yang bisa memberi jaminan kemanusiaan sepenuhnya dan segera
membebaskan diri dari kekuatan-kekuatan buta hukum-hukum pasar.
Dari penjabaran fakta-fakta di atas, teori revolusi permanen
Totsky benar-benar mendapati ruangnya. Pertanyaan mengenai “kelas mana yang
akan mendominasi pemerintahan sementara” dan “seberapa cepat kaum proletar
mampu menyelesaikan tugas-tugas demokratik menuju langkah-langkah sosialis”,
Trotsky menjawabnya dengan tegas: “Kaum proletar yang berkuasa akan berdiri di
depan kaum tani sebagai sebuah kelas yang telah membebaskan mereka.... Kaum
proletar akan memulai reformasi-reformasi ini yang terkandung di dalam apa yang
disebut program minimum; dan langsung dari sini, logika posisinya akan
mendorongnya ke kebijakan-kebijakan kolektivisme.” (Revolusi Permanen, hal 60,
91)
Trotsky, lewat teorinya telah menampilkan cara pandang yang
maju dalam memahami arah dan proses perjuangan untuk cita-cita revolusi, di
mana penyelesaikan tugas-tugas revolusi borjuis haruslah secara simultan
memberi tempat bagi mulainya revolusi sosialis. Tidak ada kata “interupsi”
dalam penyelesaian tugas-tugas demokratik dan tugas-tugas sosialis.
Dalam postulat-postulat dasar dari teori revolusi permanen
yang ditulis Trotsky di bagian akhir karyanya (Revolusi Permanen), akan
memberikan petunjuk penting dan merupakan teori yang masih relevan sangat bagi
perjuangan kaum revolusioner masa depan dalam meraih kemenangan sosialis yang
sejati. Postulat-postulat dasar tersebut secara ringkas bisa disimpulkan
sebagai berikut:
1.
Revolusi sosialis memiliki karakter
internasional. Revolusi sosialis dimulai di dalam arena nasional, kemudian menyebar
dalam arena internasional, dan diselesaikan dalam arena dunia.
2.
Menghapus kategori negeri-negeri
“belum matang” untuk sosialisme, tiap-tiap negeri yang berbeda akan melalui
proses tersebut dalam tempo yang berbeda,
3.
Solusi utuh dan sejati dari tugas-tugas
mereka untuk mencapai demokrasi dan emansipasi nasional hanya dapat dicapai
melalui kepemimpinan proletariat sebagai pemimpin bangsa yang tertindas.
4.
Masalah distribusi tanah dan masalah
kebangsaan memberikan kepada kaum tani sebuah posisi yang luar biasa dalam
revolusi demokratik dalam aliansinya dengan kaum proletar.
5.
Aliansi revolusioner antara kaum
proletar dan kaum tani hanya dapat terjadi di bawah kepemimpinan politik dari
kaum pelopor proletariat yang terorganisir di dalam Partai Komunis.
6.
Revolusi demokratik akan berkembang
secara langsung menjadi revolusi sosialis dan oleh karena itu menjadi sebuah
revolusi permanen.
7.
Penaklukan kekuasaan oleh
proletariat belum menyelesaikan revolusi, namun hanya membukanya.
Indonesia bukan Rusia
Sejak diterbitkannya buku Revolusi Permanen di
Indonesia beberapa waktu lalu, beberapa tanggapan telah dilontarkan yang isinya
adalah kurang lebih: Revolusi Permanen tidaklah cocok untuk Indonesia dan bahwa
rumus baku Revolusi Permanen tidak memperhatikan kondisi objektif dan konteks
politik Indonesia yang unik. Kawan Rudi Hartono dari Partai Rakyat Demokratik
(PRD/PAPERNAS ) dan kawan Danial Indrakusuma dari Komite Rakyat Miskin-PRD,
keduanya boleh dibilang ahli teori dari kedua organisasi tersebut, mengambil
posisi yang serupa seperti tertera di atas tetapi dari sudut pandang yang agak
berbeda. Artikel ini akan lebih mengfokuskan pada pendekatan kawan Rudi,
terutama balasannya untuk “Pengantar Untuk Revolusi Permanen Edisi Bahasa
Indonesia” tertanggal 5 Januari 2009 di milis sastra-pembebasan.
Masalah prospek revolusi Indonesia dan arah yang harus
diambil adalah masalah yang serius dan artikel ini bukan dimaksudkan sebagai
debat kusir saja, akan tetapi sebagai upaya untuk mengorientasikan arah gerakan
Indonesia. Meminjam istilah yang digunakan oleh PRD/PAPERNAS, kita perlu
banting stir. Tetapi sebelum banting stir, kita perlu menginjak rem, sejenak
turun dari mobil supaya kita bisa melihat lebih jelas di mana kita berada,
keluarkan peta kita dan rencanakan kembali bagaimana kita bisa mencapai tujuan
kita: sosialisme.
Untuk mereka aktivis-aktivis yang sudah tidak percaya lagi
bahwa sosialisme adalah jalan keluar satu-satunya dari kesengsaraan
kapitalisme, apalagi di hadapan krisis kapitalisme sekarang ini, mungkin ada
baiknya kita tinggalkan mereka untuk sementara di pinggir jalan supaya tidak
menjadi halangan bagi kita yang sekarang ingin maju dan memilih jalan
perjuangan.
Indonesia bukanlah Rusia. Ini adalah titik tolak yang juga
harus kita ambil. Akan tetapi, tidak seperti mereka yang lalu
mengagung-agungkan keunikan Indonesia sebagai alasan untuk mengajukan proposal
“strategi revolusi ala Indonesia” atau “sosialisme ala Indonesia”, kita justru
harus melihat keunikan ini sebagai bagian dari perkembangan kapitalisme di
dunia. Dari spesifik ke umum dan kembali lagi ke spesifik.
Rudi benar dalam eksposisinya bahwa kapitalisme di Indonesia
tidaklah lahir dari perjuangan kelas borjuis nasional dalam menumbangkan
feodalisme. Kelas borjuis Indonesia tiba terlambat di dalam sejarah (karena
kolonialisme Belanda di Indonesia), dan oleh karena itu tidak pernah memainkan
peran historisnya yang progresif. Corak feodalisme masih mendominasi budaya
Indonesia walaupun corak produksi dominan di Indonesia adalah kapitalisme.
Tetapi analisa Rudi berhenti di sini. Ini Rudi gunakan hanya
untuk menunjukkan keunikan Indonesia (yang sebenarnya secara umum juga terjadi
di banyak negara-negara ketiga dalam takaran dan tahapan yang berbeda, ini
termasuk Rusia pada jamannya Lenin dan Trotsky). Rudi dengan telaten mengatakan
bahwa “hal ini, terutama sekali sedikit banyak mempengaruhi kesadaran kelas
pekerjanya” tetapi tidak menyebutkan bagaimana ini mempengaruhi karakter kelas
borjuis nasional Indonesia.
Karena sejarah Indonesia yang “unik” ini, kelas borjuis
nasional Indonesia lahir di dalam periode imperialisme, dan oleh karena itu
secara ekonomi tergantung pada kapital asing. Selain itu, kaum borjuis nasional
lebih terikat pada feodalisme dibandingkan dengan “seorang pekerja di pabrik
[yang] punya sawah di kampung” karena kepentingan ekonominya. Kaum borjuis di
Indonesia biasanya juga adalah pemilik tanah di desa-desa dan berhubungan dekat
dengan para tuan tanah. Keterikatannya pada kapital asing dan feodalisme
membuatnya tidak mampu memainkan peran historisnya: menghancurkan feodalisme
dan melakukan pembebasan nasional.
Kita mulai saja dengan sejarah “unik” kaum borjuis nasional
Indonesia. Dari permulaan saja, sejak masih bayi mereka sudah mencoba menjual
Indonesia ke Belanda lewat perjanjian Linggar Jati, Renville, dan akhirnya
Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949 di mana seluruh perusahaan Belanda
dikembalikan dan Indonesia harus membayar 4.9 Milyar Guilders ke Belanda. Lalu
pada tahun 1950an di bawah pemerintahan Soekarno terjadi nasionalisasi terhadap
perusahaan milik Belanda dan Amerika Serikat, tetapi ini adalah karena tekanan
dari massa rakyat pekerja dan tani dan bukan karena inisiatif kaum borjuis
nasional Indonesia. Mereka terlalu lemah. Pada saat kudeta Soeharto, apa yang
dilakukan oleh kaum borjuis nasional? Mereka berbaris di belakang Soeharto
dengan rapi dan menjadi office-boy kaum imperialis. Selama 32 tahun,
kekuatan yang secara konsisten melawan Soeharto bukanlah kaum borjuis nasional.
Mereka sibuk mengeruk keuntungan yang besar di atas darah jutaan rakyat
Indonesia.
Rudi mengatakan bahwa kaum borjuis nasional adalah korban
dari imperialisme neo-liberal dan oleh karena itu harus dirangkul. Ini adalah
pragmatisme yang utopis. Dalam merangkul seorang kawan dan sekutu, kita harus
melihat latar belakang mereka. Kaum borjuis nasional secara keseluruhan
wataknya lemah dan secara historis sudah tidak progresif. Mereka hanya
menggerutu terhadap tuan imperialisnya karena mereka tidak kebagian kue yang
lebih besar, dan lalu menggunakan sentimen-sentimen pembebasan nasional hanya
untuk menegosiasikan pendapatan penjarahan yang lebih besar.
Rudi mengajukan beberapa proposal:
1.Pabrik-pabrik, maskapai penerbangan, perkebunan,
pengangkutan, dan lain lain harus diambil alih/nasionalisasi
Diambil oleh siapa? oleh negara di bawah kendali siapa?
Kalau oleh negara di bawah kendali kaum borjuis nasional, maka nasionalisasi
ini tidak akan menguntungkan rakyat sama sekali. Kita hanya menggantikan
majikan yang hidungnya mancung dengan majikan yang hidungnya pesek. Tetapi
mungkin kapitalis hidung pesek adalah “unik” dan akan memperhatikan
kesejahteraan buruhnya lebih baik, bahwa kapitalis Indonesia yang progresif
tidak ingin membuat laba yang terlalu besar. Sungguh suatu khayalan.
2.Pekerja harus dilepaskan dari sistem kontrak
Kaum borjuis nasional yang progresif dalam skema Rudi adalah
majikan yang baik karena mereka akan memperkerjakan buruhnya dengan tetap.
3.Upah yang lebih tinggi
Karena kaum borjuis Indonesia yang progresif itu murah hati
dan mengerti ekonomi, maka mereka akan membayar buruhnya gaji yang lebih tinggi
Dari ketiga hal di atas saja sudah terlihat bahwa adalah utopis untuk bisa
bekerja sama dengan kaum borjuis nasional. Satu-satunya cara untuk bisa
bekerjasama dengan mereka adalah dengan mengubur dalam-dalam tuntutan-tuntutan
buruh dan tani atau membuatnya sedemikian impoten sehingga tuntutan-tuntutan
tersebut tidak ada lagi nilainya sama sekali di dalam realitas.
Kelas borjuis nasional terikat dengan kapital asing dan
tuan-tuan tanah. Kepentingan mereka bukan hanya berseberangan dengan buruh,
tetapi juga dengan tani dan borjuis kecil Indonesia yang merupakan sekutu
terbesar dari buruh. Kerangka program anti-neoliberalisme yang ingin ditawarkan
Rudi ke kaum borjuis nasional adalah program yang sudah diompongkan, yang
ketika dikonkritkan akan hancur berkeping-keping karena kepentingan buruh dan
tani berseberangan secara fundamental dengan kepentingan kaum borjuis, asing
maupun domestik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar