Wawancara Ulil Abshar Abdalah dengan
Jalaludin Rachmat berjudul “Kafir itu Label Moral, bukan Aqidah”, mengatakan,
istilah "kafir" sudah tidak relevan. Baca Catatan Akhir Pekan
DR.Adian Husaini,MA ke-24 Kamis (25 September 2003) banyak berita menarik yang muncul
berbagai website media massa. Hampir semua media menampilkan berita tentang
kerusuhan di Sumbawa Besar yang menewaskan satu orang dan mencederai 11
lainnya. Koran Berbahasa Inggris The Jakarta Post masih memuat poling
calon presiden oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan Denny JA, yang
mengunggulkan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon presiden RI
2004-2009. Dari Israel muncul berita menarik: 9 orang pilot Israel terancam
dipecat karena menolak menembaki penduduk sipil Palestina.
Berita pembangkangan pilot Israel ini juga
dimuat oleh situs Harian Republika dan juga Islamonline.net.
Berita tentang pilot Israel ini cukup menarik. Koran Haaretz, melaporkan peristiwa ini cukup detail. Pekan lalu, 27 mantan pilot Israel membuat pernyataan menolak melakukan aksi di wilayah Palestina. Dari 27 orang itu, 9 pilot masih aktif di AU Israel. Ke-9 orang itulah yang kini diskors dan terancam dipecat, jika mereka menolak mencabut pernyataan yang telah mereka sebarluaskan ke media massa. Para pilot Israel itu menyatakan, serangan udara di wilayah Palestina merupakan tindakan illegal dan amoral. Di antara pilot pembangkang itu adalah Brigadir Jenderal (Purn) Yiftah Spector, komandan squadron dalam Perang tahun 1973.
Mereka menyatakan, mereka akan menolak terlibat dalam serangan udara terhadap penduduk Palestina di wilayah itu. "We, both veteran and active pilots, who have served and who still serve the state of Israel, are opposed to carrying out illegal and immoral orders to attack, of the type Israel carries out in the territories," begitu pernyataan mereka. Berita-berita seperti ini segera menarik media internasional, karena merupakan perlawanan dari dalam tubuh zionis Israel sendiri.
Berita-berita itu dari sudut jurnalistik memang menarik – dalam arti, mudah menarik minat pembaca untuk mengikutinya. Namun, disamping berita-berita seputar perkembangan sosial, politik dalam negeri, dan politik internasional, ada berita-berita dan tulisan-tulisan yang sebenarnya sangat perlu mendapatkan perhatian serius dan terus-menerus oleh kaum Muslimin di Indonesia adalah berita-berita dan artikel-artikel yang muncul si website Jaringan Islam Liberal (JIL). Mengapa?
Sebab:
Berita tentang pilot Israel ini cukup menarik. Koran Haaretz, melaporkan peristiwa ini cukup detail. Pekan lalu, 27 mantan pilot Israel membuat pernyataan menolak melakukan aksi di wilayah Palestina. Dari 27 orang itu, 9 pilot masih aktif di AU Israel. Ke-9 orang itulah yang kini diskors dan terancam dipecat, jika mereka menolak mencabut pernyataan yang telah mereka sebarluaskan ke media massa. Para pilot Israel itu menyatakan, serangan udara di wilayah Palestina merupakan tindakan illegal dan amoral. Di antara pilot pembangkang itu adalah Brigadir Jenderal (Purn) Yiftah Spector, komandan squadron dalam Perang tahun 1973.
Mereka menyatakan, mereka akan menolak terlibat dalam serangan udara terhadap penduduk Palestina di wilayah itu. "We, both veteran and active pilots, who have served and who still serve the state of Israel, are opposed to carrying out illegal and immoral orders to attack, of the type Israel carries out in the territories," begitu pernyataan mereka. Berita-berita seperti ini segera menarik media internasional, karena merupakan perlawanan dari dalam tubuh zionis Israel sendiri.
Berita-berita itu dari sudut jurnalistik memang menarik – dalam arti, mudah menarik minat pembaca untuk mengikutinya. Namun, disamping berita-berita seputar perkembangan sosial, politik dalam negeri, dan politik internasional, ada berita-berita dan tulisan-tulisan yang sebenarnya sangat perlu mendapatkan perhatian serius dan terus-menerus oleh kaum Muslimin di Indonesia adalah berita-berita dan artikel-artikel yang muncul si website Jaringan Islam Liberal (JIL). Mengapa?
Sebab:
Pertama,
berita-berita dan artikel-artikel itu disiarkan secara luas oleh berbagai media
massa. Selain melalui jaringan Koran Jawa Pos di berbagai daerah, berita-berita
di website ini juga disiarkan melalui jaringan radio satelit Kantor Berita
Radio 68H, yang kini dipancarteruskan oleh radio Emsa 91,45 FM Bandung; Anisa
Tritama 92, 15 FM Garut; FM Merak 93,55 FM Banten; Unisi 104,75 Jogyakarta; TOP
89,7 FM Semarang; PAS 101,2 Pati; Elviktor 94,6 FM Surabaya; Sonya 106,5 FM
Medan; Suara Andalas 103 FM Lampung; Gema Hikmah Ternate, 103 FM Maluku Utara;
Suara Selebes 100,2 FM Gorontalo; SPFM 103,7 FM Makassar, Ujung Pandang;
Nusantara Antik 105,8 FM Banjarmasin; Mandalika 684 AM Lombok; DMS 100,9 FM
Ambon, Maluku; Volare 103 FM Pontianak; Bulava 100,2 FM Poso; Elbayu 954 AM
Gresik, Jawa Timur; Suara Padang 102,3 FM Sumatera Barat. Daftar radio ini
terus diusahakan untuk bertembah lagi.
Kedua,
berita dan artikel itu ditulis dan diucapkan oleh orang-orang yang memiliki
otoritas, baik secara kelembagaan Islam maupun kepakaran atau latar belakang
pendidikan. Dalam situasi pertarungan opini secara bebas, maka kedua factor
tersebut memegang perenan penting untuk “memenangkan” pertarungan opini di
Indonesia. Opini akan membentuk image, dan jika image itu ditanamkan secara
terus menerus, maka akan membentuk satu persepsi di tengah masyarakat.
Kamis (25-9-2003) itu ada sejumlah artikel yang muncul di website islamlib.com, diantaranya: “Depolitisasi Syariat Islam”, “Hermeneutika Ayat-ayat Perang”, “Teori Konspirasi selalu Meneror Kebenaran”, “Kafir itu Label Moral, bukan Aqidah”, dan sebagainya. Yang perlu kita cermati kali ini adalah tulisan yang berjudul “Kafir itu Label Moral, bukan Aqidah”, yang merupakan wawancara Ulil Abshar Abdalla dengan Dr. Djalaludin Rachmat dari Bandung. Djalaludin Rahmat ditanya: “Lantas bagaimana dengan konsepsi tentang orang kafir yang sering diteriakkan juga oleh mereka yang merasa berjuang di jalan Allah itu; apakah konsep ini sudah tepat penggunaannya?
Jawabnya: “Konsep tentang kafir masih tetap relevan, karena sebagai istilah, dia ada di dalam Alqur’an dan Sunnah. Hanya saja, mungkin kita harus merekonstruksi maknanya lagi --bukan mendekonstruksi. Saya berpendapat, kata kafir dan derivasinya di dalam Alqur’an selalu didefinisikan berdasarkan kriteria akhlak yang buruk. Dalam Alqur’an, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim. Definisi kafir sebagai orang nonmuslim hanya terjadi di Indonesia saja.
Saya ingin mencontohkan makna kafir dalam redaksi Alqur’an. Misalnya disebutkan bahwa orang yang kafir adalah lawan dari orang yang berterima kasih. Dalam Alqur’an disebutkan, “immâ syâkûran waimmâ kafûrâ (bersukur ataupun tidak bersukur); lain syakartum la’azîdannakum walain kafartum inna ‘adzâbî lasyadîd (kalau engkau bersukur, Aku akan tambahkan nikmatku, kalau engkau ingkar (nikmat) sesungguhnya azabku amat pedih). Di sini kata kafir selalu dikaitkan dengan persoalan etika, sikap seseorang terhadap Tuhan atau terhadap manusia lainnya. Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah atau keyakinan, seperti yang kita ketahui.
Tanya Ulil Abshar lagi: Jadi, orang yang perangai sosialnya buruk meskipun seorang muslim bisa juga disebut orang kafir?
Djalaludin Rahmat: Betul. Saya sudah mengumpulkan ayat-ayat Alqur’an tentang konsep kafir. Dari situ ditemukan, kata kafir juga dihubungkan dengan kata pengkhianat, dihubungkan dengan tindak kemaksiatan yang berulang-ulang, atsîman aw kafûrâ. Kafir juga bermakna orang yang kerjanya hanya berbuat dosa, maksiat.
Selain itu, orang Islam pun bisa disebut kafir, kalau dia tidak bersyukur pada anugerah Tuhan. Dalam surat Al-Baqarah misalnya disebutkan, “Innalladzîna kafarû sawâ’un ‘alaihim aandzartahum am lam tundzirhum lâ yu’minûn.” Artinya, bagi orang kafir, kamu ajari atau tidak kamu ajari, sama saja. Dia tidak akan percaya. Walaupun agamanya Islam, kalau ndableg nggak bisa diingetin menurut Alqur’an disebut kafir. Nabi sendiri mendefinisikan kafir (sebagai lawan kata beriman) dengan orang yang berakhlak buruk. Misalnya, dalam hadis disebutkan, “Tidak beriman orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya lelap dalam kelaparan.”)
Itulah wawancara antara Ulil dengan Djalaluddin Rahmat. Kita bisa melihat, bagaimana aneh dan ganjilnya penjelasan Djalaluddin Rahmat tentang konsep kafir dalam Islam itu. Memang, secara etimologis, orang yang tidak bersyukur bisa disebut kafir. Allah berfirman, jika jika seorang bersyukur, maka Allah akan menambah nikmat-Nya, dan jika dia kufur, maka sesuangguhnya azab Allah sangat pedih. Tetapi, dalam ayat-ayat lainnya, al-Quran juga menggunakan kata kufur untuk orang-orang non Muslim dan orang-orang yang menyimpang aqidahnya. Misalnya, surat al-Bayyinah menjelaskan, bahwa sesungguhnya orang-orang kafir, dari kalangan ahlul kitab dan musyrikin, mereka akan masuk ke dalam neraka jahannam. Surat al-Maidah ayat 72-75 juga menjelaskan, sungguh telah kafirlah orang-orang yang menyatakan, bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga; atau yang menyatakan, bahwa Allah SWT itu sama dengan Isa Ibnu Maryam.
Bahkan, al-Quran juga memuat satu surat khusus, yaitu surat Al-Kafirun, yang dengan tegas menyatakan, “Hai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah.” Jadi, ayat ini jelas berkaitan dengan aqidah, yaitu aspek peribadahan. Oleh sebab itu, sangatlah aneh, jika seorang pakar yang terkenal, seperti Djalaluddin Rahmat menyatakan: “Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah atau keyakinan, seperti yang kita ketahui.” Apalagai, dia katakana: “Dalam Alqur’an, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim. Definisi kafir sebagai orang nonmuslim hanya terjadi di Indonesia saja.”
Al-Quran yang manakah yang dikaji oleh Djalaluddin Rahmat? Ribuan ulama Islam telah menulis tafsir dan mereka tidak pernah berbeda pendapat tentang istilah “kafir” untuk sebutan bagi orang non-muslim. Di dalam al-Quran surat Mumtahanah ayat 10, disebutkan tentang dalil larangan perkawinan antara wanita muslimah dengan orang-orang kafir. Dalam ayat ini ada redaksi “Falaa tarji’uuhunna ilal kuffaar”. Janganlah kamu kembalikan wanita-wanita muslimah yang berhijrah itu kepada kuffar. Karena, wanita-wanita muslimah itu tidak halal bagi kaum kuffar itu dan kaum kuffar itu pun tidak halal bagi mereka (laa hunna hillun lahum, wa laa hum yahilluuna lahunn). Kata kuffaar dalam ayat itu jelas menunjuk kepada identitas idelogis, yaitu orang non-muslim. Bukan orang muslim yang perangainya buruk.
Pendapat Djalaluddin Rahmat tentang “kafir” itu lebih jauh dari pendapat Nurcholish Madjid. Dalam bukunya, “Islam Agama Peradaban” (2000) Nurcholish Madjid menyatakan, bahwa Ahlul Kitab tidak tergolong Muslim, karena mereka tidak mengakui, atau bahkan menentang kenabian dan Kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. dan ajaran yang beliau sampaikan. Oleh karena itu dalam terminologi al-Quran mereka disebut "kafir", yakni, "yang menentang", atau "yang menolak", dalam hal ini menentang atau menolak Nabi Muhammad s.a.w. dan ajaran beliau, yaitu ajaran agama Islam.
Jika dicermati, tampaknya, kaum Muslim saat ini memang didesak hebat untuk meninggalkan istilah “kafir” sebagai sebutan bagi orang-orang non-muslim. Di Indonesia masalah itu sudah sering mulai dilontarkan. Tokoh-tokoh dari kalangan NU seperti Ulil Abshar Abdalla, menyatakan, bahwa: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar. (GATRA, edisi 21 Desember 2002), “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. (Kompas, 18 November 2002).” Dari kalangan pimpinan Muhammadiyah, Dr. Abdul Munir Mulkhan, menyatakan: “Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya.”
Di Malaysia, pernah ramai ungkapan seorang menteri beragama Hindubernama Sammy Vellu, yang menyatakan keberatan disebut sebagai kafir. Dalam sebuah kuliah umum yang dihadiri kalangan akademisi dan eksekutif di Gedung Asia Pacific Develompent Center, Kuala Lumpur, tanggal 16 Agustus 2003, Prof. Dr. Syed Muhammad Nuquib al-Attas, ditanya: apakah masih boleh digunakan sebutan kafir kepada kaum non-Muslim, karena hal itu dianggap mengganggu keharmonisan hubungan antar pemeluk agama? Ketika itu, Prof. Al-Attas menjawab, bahwa istilah itu adalah istilah dalam al-Quran, dan ia tidak berani mengubah istilah itu. Namun, dengan catatan, sebutan itu bukan berarti digunakan untuk menunjuk-nunjuk dan memanggil kaum non-Muslim, “Hai kafir!” Kaum Muslim cukup memahami, bahwa mereka kafir, mereka bukan muslim.
Sosok pemikir Muslim seperti Al-Attas kini mulai banyak diperbincangkan di dunia internasional. Ia dikenal sangat gigih dalam memperjuangkan proses Islamisasi dan menolak sekularisasi Barat. Meskipun lulusan Islamic Studies di McGill University kanada dan University of London, al-Attas sejak tahun 1970-an sudah mengingatkan kaum Muslimin, bahwa tantangan terbesar umat Islam saat ini adalah Barat. Dalam bukunya “Risalah untuk Kaum Muslimin” yang terbit pertama tahun 1973, ia sudah menyatakan, bahwa antara Islam dan Barat terjadi konfrontasi yang abadi, yang ia sebut sebagai “permanent confrontation”. Sosok dan kiprah al-Attas bisa disimak dalam Dialog Jumat Republika, Jumat, 27 September 2003.
Apa yang dilakukan kelompok Islam Liberal dengan melakukan dekonstruksi terhadap istilah “kafir” akan memiliki dampak yang serius terhadap aqidah Islam. Dan ini adalah proyek puluhan tahun dari para orientalis Barat. Sejumlah orientalis sudah lama menggulirkan gagasan istilah “Islam” dengan I besar dan “islam” dengan i kecil. Nurcholish Madjid, dalam pidatonya di TIM tahun 1992, juga menggulirkan gagasan islam sebagai ‘unorganized religion”. Bahwa, Islam lebih tepat dimaknai sebagai agama dalam pengertian “berserah diri” kepada Tuhan. Dengan makna seperti itu, siapa pun, asal berserah diri kepada Tuhan dapat dikatakan sebagai “muslim”.
Kini, istilah “kafir” bagi kaum non-Muslim, juga mulai digempur. Mengapa? hal ini tidak lain merupakan refleksi dari sejarah dan pengalaman kaum Kristen terhadap agama mereka sendiri. Berbeda dengan Islam, Kristen dan Yahudi adalah agama sejarah. Nama agama ini pun muncul dalam sejarah. Jesus tidak pernah memberi nama agama yang dibawanya. Istilah Kristen, berasal dari nama Kristus (Yunani: Kristos), yang artinya Juru Selamat (dalam bahasa Ibarni disebut sebagai Messiah). “Nasrani” menunjuk pada nama tempat, Nazareth. Yahudi (Judaisme) bahkan baru abad ke-19 muncul sebagai istilah untuk menyebut satu agama. Dalam bukunya berjudul, Judaism, Pilkington, menceritakan, bahwa pada tahun 1937, rabbi-rabbi di Amerika sepakat untuk mendefinisikan: “Judaism is the historical religious experience of the Jewish people.” Jadi, agama Yahudi, adalah agama sejarah. Penamaan, tata cara ritualnya, dibentuk oleh sejarah. Agama Kristen juga begitu, karena Yesus memang tidak meninggalkan tata cara ritual atau teologi seperti yang dikenal sekarang.
Ini sangat berbeda dengan Islam. Nama agama ini diberikan oleh Allah. Kata “Islam”, selain memiliki makna berserah diri, adalah nama agama. Surat Ali Imran ayat 19 dan 85 jelas-jelas menunjuk pada makna Islam sebagai nama agama, sebagai “proper name”. Jadi, bukan nabi Muhammad saw yang memberi nama agama ini. Maka, pada abad-abad ke-18 dan 19, para orientalis berusaha keras untuk menyebut Islam dengan “Mohammedanism”. Tetapi, upaya mereka gagal. Selain itu, sejak awal, Islam sudah merupakan agama yang sempurna. Islam sudah selesai. Allah menegaskan: “Al-yauma akmaltu lakum diinakum”. Berbeda dengan agama lain, tata cara ritual Islam sudah selesai sejak masa nabi Muhammad saw. Teologi dan ritualitas islam tidak dibentuk oleh sejarah. Dari contoh sederhana ini saja, jelas menunjukkan, Islam memang berbeda dengan agama lain. Sebagai insitusi agama, islam adalah institusi yang sah di mata Allah. Kaum Muslim yakin kan hal ini.
Karena itulah, Islam memang mengenal perbedaan antara Muslim dan non-Muslim; antara Muslim dan kafir. Dengan itu bukan berarti orang yang lahir sebagai Muslim otomatis selamat, karena orang yang secara formal menyatakan sebagai Muslim, belum tentu akan selamat di Hari Kiamat, jika ia bodoh, ingkar terhadap ajaran Allah, atau munafik. Soal sorga dan neraka akan dibuktikan nanti di Akhirat. Tetapi, bagi seorang Muslim, keyakinan, bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar di mata Allah, adalah bagian prinsip dari keimanan Islam. Jika orang lain ragu dengan agamanya sendiri, mengapa keraguan ini diikuti oleh sebagian kaum Muslim?
Selama beratus-ratus tahun menjajah Indonesia secara fisik, Belanda tidak berhasil mengubah atau meruntuhkan “bangunan” atau “epistemology” Islam. Struktur ajaran Islam yang prinsipal, seperti bangunan “Islam-kafir” tidak berhasil diusik. Di kawasan Melayu, siapa yang keluar dari Islam, dan memeluk agama lain, tidak diakui lagi sebagai bagian dari Melalyu. Begitu yang terjadi di Minang, Aceh, Madura, Betawi, Sunda, dan sebagainya. Kini, di era hegemoni Barat, justru dari kalangan Muslim sendiri yang bergiat meruntuhkan bangunan pokok Islam.
Hal-hal seperti ini perlu mendapat perhatian yang sangat serius dari kalangan Muslim. Sebab, dampaknya akan dapat dilihat pada sekitar 10-20 tahun mendatang. Kita akan melihat, bagaimana akhir pertarungan pemikiran ini pada masa-masa itu. Apa yang akan terjadi, dan apakah upaya dekonstruksi bangunan Islam ini akan berhasil? Semoga Allah SWT melindungi kaum Muslim. Amin.
Kamis (25-9-2003) itu ada sejumlah artikel yang muncul di website islamlib.com, diantaranya: “Depolitisasi Syariat Islam”, “Hermeneutika Ayat-ayat Perang”, “Teori Konspirasi selalu Meneror Kebenaran”, “Kafir itu Label Moral, bukan Aqidah”, dan sebagainya. Yang perlu kita cermati kali ini adalah tulisan yang berjudul “Kafir itu Label Moral, bukan Aqidah”, yang merupakan wawancara Ulil Abshar Abdalla dengan Dr. Djalaludin Rachmat dari Bandung. Djalaludin Rahmat ditanya: “Lantas bagaimana dengan konsepsi tentang orang kafir yang sering diteriakkan juga oleh mereka yang merasa berjuang di jalan Allah itu; apakah konsep ini sudah tepat penggunaannya?
Jawabnya: “Konsep tentang kafir masih tetap relevan, karena sebagai istilah, dia ada di dalam Alqur’an dan Sunnah. Hanya saja, mungkin kita harus merekonstruksi maknanya lagi --bukan mendekonstruksi. Saya berpendapat, kata kafir dan derivasinya di dalam Alqur’an selalu didefinisikan berdasarkan kriteria akhlak yang buruk. Dalam Alqur’an, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim. Definisi kafir sebagai orang nonmuslim hanya terjadi di Indonesia saja.
Saya ingin mencontohkan makna kafir dalam redaksi Alqur’an. Misalnya disebutkan bahwa orang yang kafir adalah lawan dari orang yang berterima kasih. Dalam Alqur’an disebutkan, “immâ syâkûran waimmâ kafûrâ (bersukur ataupun tidak bersukur); lain syakartum la’azîdannakum walain kafartum inna ‘adzâbî lasyadîd (kalau engkau bersukur, Aku akan tambahkan nikmatku, kalau engkau ingkar (nikmat) sesungguhnya azabku amat pedih). Di sini kata kafir selalu dikaitkan dengan persoalan etika, sikap seseorang terhadap Tuhan atau terhadap manusia lainnya. Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah atau keyakinan, seperti yang kita ketahui.
Tanya Ulil Abshar lagi: Jadi, orang yang perangai sosialnya buruk meskipun seorang muslim bisa juga disebut orang kafir?
Djalaludin Rahmat: Betul. Saya sudah mengumpulkan ayat-ayat Alqur’an tentang konsep kafir. Dari situ ditemukan, kata kafir juga dihubungkan dengan kata pengkhianat, dihubungkan dengan tindak kemaksiatan yang berulang-ulang, atsîman aw kafûrâ. Kafir juga bermakna orang yang kerjanya hanya berbuat dosa, maksiat.
Selain itu, orang Islam pun bisa disebut kafir, kalau dia tidak bersyukur pada anugerah Tuhan. Dalam surat Al-Baqarah misalnya disebutkan, “Innalladzîna kafarû sawâ’un ‘alaihim aandzartahum am lam tundzirhum lâ yu’minûn.” Artinya, bagi orang kafir, kamu ajari atau tidak kamu ajari, sama saja. Dia tidak akan percaya. Walaupun agamanya Islam, kalau ndableg nggak bisa diingetin menurut Alqur’an disebut kafir. Nabi sendiri mendefinisikan kafir (sebagai lawan kata beriman) dengan orang yang berakhlak buruk. Misalnya, dalam hadis disebutkan, “Tidak beriman orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya lelap dalam kelaparan.”)
Itulah wawancara antara Ulil dengan Djalaluddin Rahmat. Kita bisa melihat, bagaimana aneh dan ganjilnya penjelasan Djalaluddin Rahmat tentang konsep kafir dalam Islam itu. Memang, secara etimologis, orang yang tidak bersyukur bisa disebut kafir. Allah berfirman, jika jika seorang bersyukur, maka Allah akan menambah nikmat-Nya, dan jika dia kufur, maka sesuangguhnya azab Allah sangat pedih. Tetapi, dalam ayat-ayat lainnya, al-Quran juga menggunakan kata kufur untuk orang-orang non Muslim dan orang-orang yang menyimpang aqidahnya. Misalnya, surat al-Bayyinah menjelaskan, bahwa sesungguhnya orang-orang kafir, dari kalangan ahlul kitab dan musyrikin, mereka akan masuk ke dalam neraka jahannam. Surat al-Maidah ayat 72-75 juga menjelaskan, sungguh telah kafirlah orang-orang yang menyatakan, bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga; atau yang menyatakan, bahwa Allah SWT itu sama dengan Isa Ibnu Maryam.
Bahkan, al-Quran juga memuat satu surat khusus, yaitu surat Al-Kafirun, yang dengan tegas menyatakan, “Hai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah.” Jadi, ayat ini jelas berkaitan dengan aqidah, yaitu aspek peribadahan. Oleh sebab itu, sangatlah aneh, jika seorang pakar yang terkenal, seperti Djalaluddin Rahmat menyatakan: “Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah atau keyakinan, seperti yang kita ketahui.” Apalagai, dia katakana: “Dalam Alqur’an, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim. Definisi kafir sebagai orang nonmuslim hanya terjadi di Indonesia saja.”
Al-Quran yang manakah yang dikaji oleh Djalaluddin Rahmat? Ribuan ulama Islam telah menulis tafsir dan mereka tidak pernah berbeda pendapat tentang istilah “kafir” untuk sebutan bagi orang non-muslim. Di dalam al-Quran surat Mumtahanah ayat 10, disebutkan tentang dalil larangan perkawinan antara wanita muslimah dengan orang-orang kafir. Dalam ayat ini ada redaksi “Falaa tarji’uuhunna ilal kuffaar”. Janganlah kamu kembalikan wanita-wanita muslimah yang berhijrah itu kepada kuffar. Karena, wanita-wanita muslimah itu tidak halal bagi kaum kuffar itu dan kaum kuffar itu pun tidak halal bagi mereka (laa hunna hillun lahum, wa laa hum yahilluuna lahunn). Kata kuffaar dalam ayat itu jelas menunjuk kepada identitas idelogis, yaitu orang non-muslim. Bukan orang muslim yang perangainya buruk.
Pendapat Djalaluddin Rahmat tentang “kafir” itu lebih jauh dari pendapat Nurcholish Madjid. Dalam bukunya, “Islam Agama Peradaban” (2000) Nurcholish Madjid menyatakan, bahwa Ahlul Kitab tidak tergolong Muslim, karena mereka tidak mengakui, atau bahkan menentang kenabian dan Kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. dan ajaran yang beliau sampaikan. Oleh karena itu dalam terminologi al-Quran mereka disebut "kafir", yakni, "yang menentang", atau "yang menolak", dalam hal ini menentang atau menolak Nabi Muhammad s.a.w. dan ajaran beliau, yaitu ajaran agama Islam.
Jika dicermati, tampaknya, kaum Muslim saat ini memang didesak hebat untuk meninggalkan istilah “kafir” sebagai sebutan bagi orang-orang non-muslim. Di Indonesia masalah itu sudah sering mulai dilontarkan. Tokoh-tokoh dari kalangan NU seperti Ulil Abshar Abdalla, menyatakan, bahwa: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar. (GATRA, edisi 21 Desember 2002), “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. (Kompas, 18 November 2002).” Dari kalangan pimpinan Muhammadiyah, Dr. Abdul Munir Mulkhan, menyatakan: “Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya.”
Di Malaysia, pernah ramai ungkapan seorang menteri beragama Hindubernama Sammy Vellu, yang menyatakan keberatan disebut sebagai kafir. Dalam sebuah kuliah umum yang dihadiri kalangan akademisi dan eksekutif di Gedung Asia Pacific Develompent Center, Kuala Lumpur, tanggal 16 Agustus 2003, Prof. Dr. Syed Muhammad Nuquib al-Attas, ditanya: apakah masih boleh digunakan sebutan kafir kepada kaum non-Muslim, karena hal itu dianggap mengganggu keharmonisan hubungan antar pemeluk agama? Ketika itu, Prof. Al-Attas menjawab, bahwa istilah itu adalah istilah dalam al-Quran, dan ia tidak berani mengubah istilah itu. Namun, dengan catatan, sebutan itu bukan berarti digunakan untuk menunjuk-nunjuk dan memanggil kaum non-Muslim, “Hai kafir!” Kaum Muslim cukup memahami, bahwa mereka kafir, mereka bukan muslim.
Sosok pemikir Muslim seperti Al-Attas kini mulai banyak diperbincangkan di dunia internasional. Ia dikenal sangat gigih dalam memperjuangkan proses Islamisasi dan menolak sekularisasi Barat. Meskipun lulusan Islamic Studies di McGill University kanada dan University of London, al-Attas sejak tahun 1970-an sudah mengingatkan kaum Muslimin, bahwa tantangan terbesar umat Islam saat ini adalah Barat. Dalam bukunya “Risalah untuk Kaum Muslimin” yang terbit pertama tahun 1973, ia sudah menyatakan, bahwa antara Islam dan Barat terjadi konfrontasi yang abadi, yang ia sebut sebagai “permanent confrontation”. Sosok dan kiprah al-Attas bisa disimak dalam Dialog Jumat Republika, Jumat, 27 September 2003.
Apa yang dilakukan kelompok Islam Liberal dengan melakukan dekonstruksi terhadap istilah “kafir” akan memiliki dampak yang serius terhadap aqidah Islam. Dan ini adalah proyek puluhan tahun dari para orientalis Barat. Sejumlah orientalis sudah lama menggulirkan gagasan istilah “Islam” dengan I besar dan “islam” dengan i kecil. Nurcholish Madjid, dalam pidatonya di TIM tahun 1992, juga menggulirkan gagasan islam sebagai ‘unorganized religion”. Bahwa, Islam lebih tepat dimaknai sebagai agama dalam pengertian “berserah diri” kepada Tuhan. Dengan makna seperti itu, siapa pun, asal berserah diri kepada Tuhan dapat dikatakan sebagai “muslim”.
Kini, istilah “kafir” bagi kaum non-Muslim, juga mulai digempur. Mengapa? hal ini tidak lain merupakan refleksi dari sejarah dan pengalaman kaum Kristen terhadap agama mereka sendiri. Berbeda dengan Islam, Kristen dan Yahudi adalah agama sejarah. Nama agama ini pun muncul dalam sejarah. Jesus tidak pernah memberi nama agama yang dibawanya. Istilah Kristen, berasal dari nama Kristus (Yunani: Kristos), yang artinya Juru Selamat (dalam bahasa Ibarni disebut sebagai Messiah). “Nasrani” menunjuk pada nama tempat, Nazareth. Yahudi (Judaisme) bahkan baru abad ke-19 muncul sebagai istilah untuk menyebut satu agama. Dalam bukunya berjudul, Judaism, Pilkington, menceritakan, bahwa pada tahun 1937, rabbi-rabbi di Amerika sepakat untuk mendefinisikan: “Judaism is the historical religious experience of the Jewish people.” Jadi, agama Yahudi, adalah agama sejarah. Penamaan, tata cara ritualnya, dibentuk oleh sejarah. Agama Kristen juga begitu, karena Yesus memang tidak meninggalkan tata cara ritual atau teologi seperti yang dikenal sekarang.
Ini sangat berbeda dengan Islam. Nama agama ini diberikan oleh Allah. Kata “Islam”, selain memiliki makna berserah diri, adalah nama agama. Surat Ali Imran ayat 19 dan 85 jelas-jelas menunjuk pada makna Islam sebagai nama agama, sebagai “proper name”. Jadi, bukan nabi Muhammad saw yang memberi nama agama ini. Maka, pada abad-abad ke-18 dan 19, para orientalis berusaha keras untuk menyebut Islam dengan “Mohammedanism”. Tetapi, upaya mereka gagal. Selain itu, sejak awal, Islam sudah merupakan agama yang sempurna. Islam sudah selesai. Allah menegaskan: “Al-yauma akmaltu lakum diinakum”. Berbeda dengan agama lain, tata cara ritual Islam sudah selesai sejak masa nabi Muhammad saw. Teologi dan ritualitas islam tidak dibentuk oleh sejarah. Dari contoh sederhana ini saja, jelas menunjukkan, Islam memang berbeda dengan agama lain. Sebagai insitusi agama, islam adalah institusi yang sah di mata Allah. Kaum Muslim yakin kan hal ini.
Karena itulah, Islam memang mengenal perbedaan antara Muslim dan non-Muslim; antara Muslim dan kafir. Dengan itu bukan berarti orang yang lahir sebagai Muslim otomatis selamat, karena orang yang secara formal menyatakan sebagai Muslim, belum tentu akan selamat di Hari Kiamat, jika ia bodoh, ingkar terhadap ajaran Allah, atau munafik. Soal sorga dan neraka akan dibuktikan nanti di Akhirat. Tetapi, bagi seorang Muslim, keyakinan, bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar di mata Allah, adalah bagian prinsip dari keimanan Islam. Jika orang lain ragu dengan agamanya sendiri, mengapa keraguan ini diikuti oleh sebagian kaum Muslim?
Selama beratus-ratus tahun menjajah Indonesia secara fisik, Belanda tidak berhasil mengubah atau meruntuhkan “bangunan” atau “epistemology” Islam. Struktur ajaran Islam yang prinsipal, seperti bangunan “Islam-kafir” tidak berhasil diusik. Di kawasan Melayu, siapa yang keluar dari Islam, dan memeluk agama lain, tidak diakui lagi sebagai bagian dari Melalyu. Begitu yang terjadi di Minang, Aceh, Madura, Betawi, Sunda, dan sebagainya. Kini, di era hegemoni Barat, justru dari kalangan Muslim sendiri yang bergiat meruntuhkan bangunan pokok Islam.
Hal-hal seperti ini perlu mendapat perhatian yang sangat serius dari kalangan Muslim. Sebab, dampaknya akan dapat dilihat pada sekitar 10-20 tahun mendatang. Kita akan melihat, bagaimana akhir pertarungan pemikiran ini pada masa-masa itu. Apa yang akan terjadi, dan apakah upaya dekonstruksi bangunan Islam ini akan berhasil? Semoga Allah SWT melindungi kaum Muslim. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar