Ernest Mandels
Gerakan
Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Praktek
Pengantar
Pada tahun 1968,
seorang Marxist dari Belgia, Ernest Mandel berbicara di depan 33 perguruan
tinggi di Amerika Serikat dan Kanada, dari Harvard ke Berkeley dan dari
Montreal ke Vancouver. Lebih dari 600 orang memadati Education Auditorium di
New York University pada tanggal 21 September 1968 untuk menghadiri
"Majelis Internasional Gerakan Mahasiswa Revolusioner". Presentasi
Mandel di tempat itu dipandang sebagai kejadian yang sangat menonjol oleh
majelis dan salah satu saat penting dari seluruh perjalanannya. Pidato dan
beberapa kutipan dari diskusi yang mengikutinya menjadi dua bagian pertama dari
pamflet ini. Pidato Mandel adalah polemik yang sangat hebat terhadap
kecenderungan "aktivisme" dan "spontanisme", yang
belakangan ini muncul di kalangan kaum radikal di dunia Barat. Ia kemudian
berbicara mengenai konsepsi Marxis tentang integrasi yang tidak terpisahkan
antara teori dan praktek. Selama diskusi, Mandel menjawab sejumlah pertanyaan
yang kontroversial di kalangan kaum radikal dengan argumen panjang lebar.
Beberapa di antaranya berbicara tentang azas sosial ekonomi dari Uni Sovyet,
"Revolusi Kebudayaan" di Cina, perlunya dibentuk sebuah partai
Leninis, dorongan moral lawan dorongan material, dan banyak hal lainnya.
Bagian ketiga
pamflet ini adalah pidato yang diberikan Mandel pada Seminar Ilmu dan
Kesejahteraan yang diadakan di Universitas Leiden, Negeri Belanda pada tahun
1970, ketika sedang dilakukan perayaan 70 tahun universitas tersebut. Mandel
berpendapat bahwa kebutuhan kapitalisme saat ini akan tenaga kerja yang
terlatih dalam jumlah besar merangsang ekspansi universitas yang cepat dan
menghasilkan "proletarianisasi" tenaga intelektual, yang tunduk
kepada tuntutan-tuntutan kapitalis dan tidak berhubungan dengan bakat
perorangan atau kebutuhan manusia.
Makin terasingnya
tenaga kerja intelektual ini sedikit banyak menggerakkan perlawanan mahasiswa
yang, walaupun tidak menduduki posisi sebagai pelopor kelas buruh, dapat
menjadi picu peledak di dalam masyarakat luas. Menurutnya mahasiswa memiliki
kewajiban menerjemahkan pengetahuan teoritis, yang mereka peroleh di
universitas, ke dalam kritik-kritik yang radikal terhadap keadaan masyarakat
sekarang dan tentunya relevan dengan mayoritas penduduk.
Mahasiswa harus
berjuang di dalam universitas dan di balik itu untuk masyarakat yang
menempatkan pendidikan untuk rakyat di depan penumpukan barang.
Gerakan
Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Praktek
Rudi Dutshcke,
pemimpin mahasiswa Berlin dan sejumlah tokoh mahasiswa lainnya di Eropa, telah
menjadikan konsep menyatunya teori dan praktek (teori dan praktek yang
revolusioner tentunya) sebagai gagasan sentral aktivitas mereka. Ini bukan
pilihan yang sewenang-wenang. Persatuan teori dan praktek ini dapat dibilang
pelajaran yang paling berharga dari rekaman sejarah yang diukir oleh
revolusi-revolusi yang telah berlalu di Eropa, Amerika dan bagian dunia lainnya
Tradisi historis yang mengandung gagasan ini dimulai dari Babeuf melalui Hegel
dan sampai ke Marx. Penaklukan ideologis ini berarti bahwa pembebasan manusia
harus diarahkan pada usaha yang sadar untuk merombak tatanan masyarakat, untuk
mengatasi sebuah keadaan di mana manusia didominasi oleh kekuatan ekonomi pasar
yang buta dan mulai menggurat nasib dengan tangannya sendiri. Aksi pembebasan
yang sadar ini tidak dapat dijalankan secara efektif, dan tentunya tidak dapat
berhasil, jika orang belum menyadari dan mengenal lingkungan sosial tempatnya
hidup, mengenal kekuatan sosial yang harus dihadapinya, dan kondisi sosial
ekonomi yang umum dari gerakan pembebasan itu. Sama seperti persatuan antara
teori dan praktek merupakan penuntun yang mendasar bagi setiap gerakan
pembebasan saat ini, begitu pula Marxisme mengajarkan bahwa revolusi, revolusi
yang sadar, hanya dapat berhasil jika orang mengerti azas masyarakat tempatnya
hidup, dan mengerti kekuatan pendorong yang menggerakkan perkembangan sosial
ekonomi masyarakat tersebut. Dengan kata lain, jika ia tidak mengerti kekuatan
yang menggerakkan evolusi sosial, ia tidak akan sanggup mengubah evolusi itu
menjadi sebuah revolusi. Ini adalah konsepsi utama yang diberikan Marxisme
kepada gerakan mahasiswa revolusioner di Eropa.
Kita akan coba
melihat bahwa kedua konsep itu, menyatunya teori dan praktek, serta sebuah
pemahaman Marxis terhadap kondisi obyektif masyarakat, yang telah ada jauh
sebelum gerakan mahasiswa di Eropa lahir, ditemukan dan disatukan kembali
dalam aksi-aksi perjuangan mahasiswa Eropa, sebagai hasil dari pengalamannya
sendiri.
Gerakan mahasiswa
mulai bermunculan di mana-mana dan di Amerika Serikat pun tidak berbedasebagai
perlawanan terhadap kondisi langsung yang dialami mahasiswa di dalam lembaga
akademis mereka, di universitas dan sekolah tinggi. Aspek ini sangat jelas di
dunia Barat tempat kita hidup, walaupun keadaannya sangat berbeda di
negara-negara berkembang. Di sana, banyak kekuatan dan keadaan lain yang
mendorong anak muda di universitas atau non-universitas untuk bangkit. Tapi
selama dua dekade terakhir, anak muda yang masuk ke universitas di dunia Barat
tidak menemukan di lingkungan rumah, kondisi keluarga atau masyarakat lokalnya
alasan-alasan yang mendesak untuk melakukan perlawanan sosial.
Tentunya ada
beberapa perkecualian. Komunitas kulit hitam di Amerika Serikat termasuk di
dalam perkecualian itu; para buruh imigran yang dibayar rendah di Eropa Barat
juga termasuk di dalamnya. Bagaimanapun, di kebanyakan negara-negara Barat,
mahasiswa yang berasal dari lingkungan proletariat yang miskin masih menjadi
minoritas yang sangat kecil. Mayoritas mahasiswa saat ini berasal dari
lingkungan borjuis kecil atau menengah atau golongan penerima gaji atau upah
yang mendapat bayaran lumayan. Ketika memasuki universitas mereka secara umum
tidak disiapkan oleh hidup yang mereka jalani untuk sampai pada titik pemahaman
yang jelas dan lengkap tentang alasan-alasan perlunya perlawanan sosial. Mereka
baru akan memahaminya ketika berada di dalam kerangka universitas.
Di sini aku tidak mengacu
kepada sejumlah perkecualian atau golongan kecil elemen-elemen yang memiliki
pengetahuan politik yang memadai, tapi kepada massa mahasiswa secara
keseluruhan yang berhadapan dengan sejumlah kondisi, yang membimbing mereka
pada jalan perlawanan. Singkatnya, ini sudah mencakup organisasi, struktur dan
kurikulum universitas yang amat tidak memadai dan serangkaian fakta material,
sosial dan politik yang dialami dalam kerangka universitas borjuis, yang
semakin tidak dapat ditahan oleh kebanyakan mahasiswa.
Menarik untuk
dicatat bahwa para teoretisi dan pendidik borjuis yang berusaha memahami
perlawanan mahasiswa, harus memasukkan sejumlah pernyataan di dalam analisis
mereka terhadap lingkungan mahasiswa, yang telah lama mereka enyahkan dari
analisis umum terhadap masyarakat.
Beberapa hari yang
lalu, ketika berada di Toronto, salah satu pendidik Kanada yang terkenal
memberikan kuliah umum tentang sebab-sebab terjadinya perlawanan mahasiswa.
Menurutnya, alasan-alasan perlawanan itu "secara mendasar bersifat
material. Bukan berarti bahwa kondisi hidup mereka tidak memuaskan; bukan
karena mereka diperlakukan buruh seperti buruh abad XIX. Tapi karena secara
sosial kita menciptakan sejenis proletariat di universitas yang tidak berhak
berpartisipasi dalam menentukan kurikulum, tidak berhak, setidaknya untuk ikut
menentukan kehidupan mereka sendiri selama empat, lima atau enam tahun yang
mereka habiskan di universitas."
Sekalipun aku
tidak dapat menerima definisi yang non-Marxis tentang proletariat di atas, aku
berpikir bahwa pengajar borjuis ini sebagian telah menelusuri salah satu akar
dari perlawanan mahasiswa. Struktur universitas borjuis hanyalah cerminan dari
struktur hirarki yang umum dalam masyarakat borjuis; keduanya tidak dapat
diterima oleh mahasiswa, bahkan oleh tingkat kesadaran sosial yang sementara
ini masih rendah. Kiranya terlalu berlebihan kalau saat ini juga kita coba
membahas akar-akar psikologis dan moral dari gejala itu.
Di beberapa negara
di Eropa Barat, dan mungkin juga di Amerika Serikat, masyarakat borjuis seperti
yang berkembang selama generasi terakhir ini, selama 25 tahun terakhir telah
menghantam banyak elemen di dalam keluarga borjuis. Sebagai anak muda, para
mahasiswa pembangkang diajarkan pertama-tama oleh pengalaman langsung untuk
mempertanyakan semua bentuk wewenang, dimulai dengan wewenang orang tuanya. Hal
ini paling terasa di negara seperti Jerman sekarang ini.
Jika kalian tahu
sesuatu tentang kehidupan di Jerman, atau mempelajari cerminannya di dalam
kesusastraan Jerman, maka kalian akan tahu bahwa sampai Perang Dunia II,
wewenang paternal paling sedikit dipertanyakan di negara itu. Kepatuhan anak
terhadap orang tua telah mendarah daging dalam proses penciptaan masyarakat
(fabric of society). Anak-anak muda Jerman kemudian mengalami rangkaian
pengalaman pahit yang dimulai dengan adanya generasi orang tua di Jerman yang
menerima Nazisme, mendukung Perang Dingin, dan hidup nyaman dengan asumsi bahwa
"kapitalisme rakyat" (disebut juga ekonomi pasar yang sosial), tidak
akan menghadapi resesi, krisis dan masalah sosial. Kegagalan yang beruntun dari
dua atau tiga generasi orang tua seperti itu kini menghasilkan rasa jijik di
kalangan anak muda terhadap wewenang orang tua mereka.
Perasaan ini
membuat anak-anak tersebut, saat memasuki universitas, tidak menerima setiap
bentuk wewenang begitu saja, tanpa perlawanan. Mereka pertama-tama berhadapan
dengan wewenang para dosen dan lembaga-lembaga universitas yang paling tidak
dalam bidang ilmu sosialnyata tidak berhubungan dengan realitas. Pelajaran yang
mereka peroleh tidak memberikan analisis ilmiah yang obyektif tentang apa yang
sedang terjadi di dunia atau negara-negara Barat lainnya. Tantangan terhadap
wewenang akademis dari lembaga inilah yang kemudian cepat bergeser menjadi
tantangan terhadap isi pendidikannya.
Sebagai tambahan,
di Eropa kondisi material untuk universitas masih sangat kurang. Terlalu
penuh. Ribuan mahasiswa harus mendengar dosen-dosen berbicara melalui sound
system. Mereka tidak dapat berbicara dengan dosen-dosen itu atau sedikitnya
berhubungan, bertukar pikiran yang normal atau dialog. Perumahan dan makanan
juga buruk. Faktor-faktor pendukung lainnya makin menajamkan kekuatan
pemberontakan mahasiswa. Tapi, perlu aku tekanan bahwa dorongan utama untuk
melakukan pemberontakan akan tetap ada, sekalipun persoalan-persoalan di atas
telah dibenahi. Struktur otoriter dari universitas dan substansi yang sangat
lemah dari pendidikan, paling tidak dalam bidang ilmu sosial, lebih menjadi
penyebab ketimbang kondisi material di atas.
Inilah alasan
mengapa usaha-usaha mengadakan reformasi di universitas, yang disorongkan oleh
sayap liberal dalam keadaan-keadaan yang berbeda dalam masyarakat neo-kapitalis
barat mungkin menemui kegagalan. Reformasi ini tidak akan mencapai tujuannya
karena tidak menyentuh persoalan dasar dari pemberontakan mahasiswa. Mereka
tidak berusaha menekan sebab-sebab keterasingan mahasiswa, dan sekalipun
melakukannya, mereka hanya akan membuat mahasiswa makin terasing.
Lalu apa tujuan
reformasi di universitas seperti yang diajukan oleh kaum reformis liberal di
dunia barat? Dalam kenyataan, rancangan reformasi itu tidak lain untuk
meluruskan organisasi universitas agar sesuai dengan kepentingan ekonomi
neo-kapitalis dan masyarakat neo-kapitalis.
Tuan-tuan itu
mengatakan: tentu sangat disayangkan adanya proletariat akademis; sayang sekali
begitu banyak orang yang meninggalkan universitas dan tidak berhasil mendapat
pekerjaan. Ini akan menimbulkan ketegangan sosial dan ledakan sosial.
Bagaimana caranya
mengatasi persoalan ini? Kita akan membenahinya dengan reorganisasi
universitas dan membagi-bagi tempat belajar yang ada sesuatu dengan kebutuhan
ekonomi neo-kapitalis. Di tempat yang memerlukan 100.000 insinyur akan lebih
baik jika dikirim 100.000 insinyur daripada 50.000 orang sosiolog atau 20.000
filsuf yang tidak akan mendapat pekerjaan yang layak. Hal seperti inilah yang
akan menghentikan pemberontakan mahasiswa.
Di bawah ini
adalah suatu usaha menempatkan fungsi universitas pada posisi subordinat
terhadap kebutuhan langsung dari ekonomi neo-kapitalis dan masyarakat. Hal ini
akan menggerakkan keterasingan mahasiswa yang makin besar. Jika
reformasi-reformasi itu dilakukan maka mahasiswa tidak akan menemukan struktur
universitas dan pendidikan yang sesuai dengan keinginan mereka. Mereka bahkan
tidak diizinkan memilih karir, bidang studi, dan disiplin ilmu yang mereka
kehendaki dan berhubungan dengan keahlian dan kebutuhan mereka. Mereka akan
dipaksa menerima pekerjaan, disiplin ilmu dan bidang studi yang berhubungan
dengan kepentingan penguasa masyarakat kapitalis, dan tidak berhubungan dengan
kebutuhan mereka sebagai manusia.
Jadi dengan
reformasi di universitas, tingkat alienasi yang lebih tinggi pun akan terjadi.
Aku tidak mengatakan bahwa kita harus mengabaikan semua reformasi di dalam
universitas. Penting dicari beberapa slogan transisional untuk masalah-masalah
universitas, sama seperti kaum Marxis coba mencari slogan-slogan transisional
dalam gerakan sosial lain dalam sektor apapun. Misalnya, aku tidak mengerti
kenapa slogan "student power" tidak dapat diangkat di dalam lingkup
universitas. Dalam masyarakat luas slogan ini memang dihindari karena artinya
bahwa sebuah minoritas kecil menempatkan dirinya sebagai pemimpin mayoritas
masyarakat. Tapi di dalam universitas slogan "student power" ini,
atau slogan lain yang sejurus dengan ide "self-management" oleh massa
mahasiswa, jelas punya arti dan valid.
Tapi di sinipun
aku akan hati-hati karena banyak persoalan yang membuat universitas berbeda
dari pabrik atau komunitas produktif lainnya. Tidak benar, seperti dikatakan
sebagian teoretisi SDS Amerika, bahwa mahasiswa itu sama dengan buruh. Kebanyakan
mahasiswa memang akan menjadi buruh atau sudah setengah buruh. Mereka dapat dibandingkan
dengan orang yang magang di pabrik karena kedudukan mereka sama --dari sudut
kerja intelektual dengan orang magang di pabrik-- dari sudut kerja manual.
Mereka memiliki peranan sosal dan tempat transisional yang khas dalam
masyarakat. Karena itu kita harus hati-hati merumuskan slogan tentang transisi
ini.
Bagaimanapun, kita
tidak perlu memperpanjang perdebatan ini sekarang. Mari kita terima saja
gagasan "student power" atau "student control" sebagai
slogan transisional di dalam kerangka universitas borjuis. Tapi sudah jelas
bahwa realisasi slogan ini yang tidak akan mungkin bertahan untuk jangka waktu
yang lama, tidak akan mengubah akar-akar alienasi mahasiswa karena mereka tidak
terletak di dalam universitas itu sendiri, melainkan dalam masyarakat secara
keseluruhan. Dan kita tidak akan sanggup mengubah sebuah sektor kecil dalam
masyarakat borjuis, dalam hal ini universitas borjuis, dan berpikir bahwa
masalah sosial dapat diatasi di segmen tertentu tanpa mengubah masalah sosial
dalam masyarakat sebagai keseluruhan.Selama kapitalisme masih ada, maka terus
akan ada kerja yang terasing, baik itu kerja manual maupun kerja intelektual.
Dan karena itu tetap akan ada mahasiswa yang terasing, seperti apapun aksi-aksi
kita menghantam kemapanan dalam lingkup universitas.
Sekali lagi, ini
bukan observasi teoretis yang jatuh dari langit. Ini adalah pelajaran dari
pengalaman praktek. Gerakan mahasiswa Eropa, paling tidak sayap
revolusionernya, telah melalui pengalaman ini di seluruh negara-negara Eropa. Dalam
garis besar, gerakan mahasiswa dimulai dengan isyu-isyu kampus dan dengan cepat
mulai bergerak keluar batas-batas universitas. Gerakan itu mulai menanggapi
masalah-masalah sosial dan politik yang tidak langsung berhubungan dengan apa
yang terjadi di dalam universitas. Apa yang terjadi di Kolumbia di mana masalah
penindasan komunitas kulit hitam diangkat oleh sejumlah mahasiswa pemberontak
mirip dengan apa yang terjadi dalam gerakan mahasiswa Eropa Barat, paling tidak
di kalangan elemen yang maju, yang paling peka terhadap masalah-masalah yang
dihadapi orang-orang paling tertindas dalam sistem kapitalis dunia.
Mereka terlibat
dalam berbagai aksi solidaritas dengan perjuangan pembebasan revolusioner di
negara-negara berkembang seperti Kuba, Vietnam dan bagian-bagian tertindas
lainnya Dunia Ketiga. Identifikasi bagian-bagian yang paling sadar dalam
gerakan mahasiswa di Prancis dengan revolusi Aljazair, dan perjuangan
pembebasan Aljazair dari imperialisme Prancis memainkan peranan besar. Ini mungkin
kerangka pertama di mana diferensiasi politik yang nyata terjadi di kalangan
gerakan mahasiswa kiri. Kalangan mahasiswa yang sama kemudian akan mengambil
tempat di depan dalam perjuangan mempertahankan revolusi Vietnamm melawan
perang agresi imperialisme Amerika. Di Jerman, simpati kepada orang-orang
terjajah dimulai dari titik yang unik. Gerakan protes mahasiswa yang besar
dipicu oleh aksi solidaritas dengan buruh, petani dan mahasiswa dari sebuah
negara Dunia Ketiga lainnya, yaitu Iran, saat Shah Iran berkunjung ke Berlin.
Para mahasiswa
pelopor tidak sekadar mengidentifikasikan diri mereka dengan perjuangan di
Aljazair, Kuba dan Vietnam: mereka memperlihatkan simpati kepada perjuangan
pembebabasan dari apa yang disebut Dunia Ketiga secara keseluruhan.
Perkembangannya dimulai dari sini. Di Prancis, Jerman, Italia --dan proses yang
sama sedang berlangsung di Inggris-- tidak akan mungkin memulai aksi yang
revolusioner tanpa analisis teori tentang asas dari imperialisme, kolonialisme,
dan kekuatan-kekuatan yang mendorong eksploitasi Dunia Ketiga dengan
imperialisme, dan di sisi lain, kekuatan yang mendorong perjuangan pembebasan
massa yang revolusioner menentang imperialisme.
Melalui analisis
tentang kolonialisme dan imperialisme kekuatan gerakan mahasiswa Eropa yang
paling maju dan terorganisir kembali kepada titik di mana Marxisme dimulai,
yakni analisis tentang masyarakat kapitalis dan sistem kapitalis internasional
di mana kita hidup. Jika kita tidak memahami sistem ini, kita tidak akan dapat
memahami alasan dilakukannya perang kolonial dan gerakan pembebasan di negeri
jajahan. Kita juga tidak akan dapat mengerti kenapa kita harus mengikatkan diri
kepada kekuatan-kekuatan ini di tingkat dunia.
Di Jerman
misalnya, proses ini terjadi dalam waktu kurang dari enam bulan. Gerakan
mahasiswa dimulai dengan mempertanyakan struktur universitas yang otoriter, dan
terus menuju masalah imperialisme dan keadaan Dunia Ketiga, dan dengan
menghubungkan diri dengan gerakan pembebasan maja timbul kebutuhan menganalisis
kembali neo-kapitalisme di tingkat dunia dan di negeri di mana
mahasiswa-mahasiswa Jerman itu bergerak. Mereka kembali kepada titik awal
analisis Marxis tentang masyarakat di mana kita hidup untuk memahami
alasan-alasan terdalam dari masalah sosial dan perlawanan.
Kesatuan Teori
dan Aksi
Dalam proses
keseluruhan kesatuan teori dan aksi yang dinamis, teori kadang ada di depan
aksi dan sewaktu-waktu aksi tampil di depan teori. Bagaimanapun, pada setiap
titik keharusan perjuangan mendesak para aktivis untuk memantapkan kesatuan
ini pada tingkat yang lebih tinggi.Untuk memahami proses yang dinamis ini kita
harus menyadari bahwa mempertentangkan aksi langsung dengan studi yang mendalam
itu sepenuhnya keliru. Saya tersentak ketika mengikuti Konferensi Sarjana
Sosialis dan pertemuan lainnya yang saya ikuti di Amerika selama dua minggu
terakhir, melihat bagaimana pemisahan teori dan praktek terus dipertahankan.
Saya seperti sedang mengikuti perdebatan di antara orang-orang tuli, di mana
sebagian pengunjung mengatakan, "yang penting aksi! Tidak perlu yang lain,
yang penting aksi!" sementara di pihak lain ada yang mengatakan,
"Tidak, sebelum bisa aksi, kita harus tahu apa yang dikerjakan. Duduk,
belajar, dan tulis buku."
Jawaban yang jelas
dari pengalaman sejarah gerakan revolusioner, bukan hanya dari periode Marxis
tapi bahkan dari periode pra-Marxis, adalah kenyataan bahwa keduanya tidak
dapat dipisahkan Aksi tanpa teori tidak akan efisien atau tidak akan berhasil
melakukan perubahan yang mendasar, atau seperti saya katakan sebelumnya, kita
tidak dapat membebaskan manusia tanpa sadar. Di pihak lain, teori tanpa aksi
tidak akan mendapat watak ilmiah yang sejati karena tidak ada jalan lain untuk
menguji teori kecuali melalui aksi.
Setiap bentuk teori
yang tidak diuji melalui aksi bukan teori yang sahih, dan dengan sendirinya
menjadi teori yang tidak berguna dari sudut pandang pembebasan manusia. Hanya
melalui usaha terus menerus memajukan keduanya pada saat bersamaan, tanpa
pemisahan kerja, maka kesatuan teori dan aksi dapat dimantapkan, sehingga
gerakan revolusioner tersebut, apapun asal usul maupun tujuan sosialnya, dapat
mencapai hasilnya. Dalam hubungannya dengan pemisahan kerja, ada satu hal lain
yang membuat saya tersentak, dan benar-benar menyentak karena diajukan dalam
satu pertemuan orang-orang sosialis. Pemisahan teori dan aksi yang sudah begitu
buruk, kini diberi satu dimensi baru dalam gerakan sosialis ketika dikatakan:
di satu pihak ada para aktivis, orang-orang awam yang kerja kasar. Di pihak
lain adalah elit yang kerjanya berpikir. Jika elit ini terlibat dalam aksi
demonstrasi, maka mereka tidak akan punya waktu berpikir atau menulis buku, dan
dengan begitu maka ada elemen berharga dalam perjuangan yang akan hilang.
Saya katakan bahwa
setiap pernyataan yang menyebut adanya pemisahan kerja manual dan kerja pikiran
di dalam gerakan revolusioner, yang memisahkan barisan aksi yang kerja kasar
dan elit yang kerja pikiran, secara mendasar bukan pernyataan sosialis.
Pernyataan itu bertentangan dengan salah satu tujuan utama dari gerakan
sosialis, yang ingin mencapai penghapusan pemisahan kerja manual dan
intelektual bukan hanya dalam organisasi tapi, lebih penting lagi, dalam
masyarakat secara keseluruhan. Orang-orang sosialis revolusioner pada 50 atau
100 tahun yang lalu belum dapat melihat hal ini dengan jelas, seperti kita
sekarang ini, saat sudah ada kemungkinan obyektif untuk mencapai tujuan itu.
Kita sudah memasuki satu proses teknologi dan pendidikan yang memungkinkan
tercapainya hal itu. Salah satu pelajaran berharga yang harus kita ambil dari
kemunduran Revolusi Rusia, adalah jika pemisahan antara kerja manual dan kerja
intelektual dipertahankan pada masyarakat yang sedang dalam transisi dari
kapitalisme menuju sosialisme dalam bentuk lembaga, maka hasilnya pasti
meningkatkan birokrasi dan menciptakan ketimpangan baru dan bentuk-bentuk
penindasan manusia yang tidak sesuai dengan kemakmuran sosialis.
Jadi kita harus
mulai dengan menghapus sebisa mungkin setiap gagasan tentang pemisahan kerja
manual dan kerja pikiran dalam gerakan revolusioner. Kita harus bertahan bahwa
tidak akan ada teoretisi yang baik jika tidak terlibat dalam aksi, dan tidak
akan ada aktivis yang baik jika tidak dapat menerima, memperkuat dan memajukan
teori.
Gerakan mahasiswa
Eropa telah mencoba mencapai hal ini sampai tingkat tertentu di Jerman, Prancis
dan Italia. Di sana muncul pemimpin-pemimpin mahasiswa agitator yang juga
dapat, jika diperlukan, membangun barikade dan bertempur mempertahankannya, dan
pada saat yang dapat menulis artikel bahkan buku teoretis dan berdiskusi dengan
sosiolog terkemuka, ahli politik dan ekonomi dan mengalahkan mereka dalam
bidang ilmu mereka sendiri. Hal ini makin memperkuat keyakinan bukan hanya
tentang masa depan gerakan mahasiswa tapi juga tentang masa ketika orang-orang
ini sudah berhenti menjadi mahasiswa, dan harus berjuang di bidang lain.
Perlunya
Organisasi Revolusioner
Sekarang saya
ingin berbicara tentang aspek lain dari kesatuan teori dan aksi yang sudah
menjadi perdebatan dalam gerakan mahasiswa Eropa dan Amerika Utara. Saya secara
pribadi yakin bahwa tanpa organisasi yang revolusioner, bukan suatu formasi
yang longgar tapi sebuah organisasi yang serius dan permanen sifatnya, maka
kesatuan teori dan praktek tidak akan bertahan lama.
Ada dua alasan.
Yang pertama berhubungan dengan asas dari mahasiswa sendiri. Status
kemahasiswaan, hanya berlaku untuk jangka waktu yang singkat, tidak seperti
buruh. Ia bisa menetap di universitas selama empat, lima, enam tahun, dan tidak
ada yang dapat memperkirakan apa yang terjadi setelah ia meninggalkan
universitas. Pada kesempatan ini saya sekaligus ingin menjawab salah satu
argumen demagogis yang telah digunakan sejumlah pemimpin partai-partai komunis
di Eropa yang menentang perlawanan mahasiswa. Dengan nada sinis mereka
mengatakan: "Siapa mahasiswa-mahasiswa itu? Hari ini mereka berontak,
besok mereka akan menjadi bos yang menindas kita. Kita tidak perlu
memperhitungkan aksi-aksi mereka dengan serius."
Ini adalah argumen
yang tolol karena tidak mempertimbangkan transformasi revolusioner dari peranan
lulusan universitas sekarang ini. Jika mereka melihat angka-angka statistik,
maka mereka akan tahu bahwa hanya sebagian kecil dari lulusan universitas yang
bisa menjadi kapitalis atau agen-agen langsung dari para kapitalis ini. Apa
yang mereka khawatirkan mungkin saja menjadi kenyataan jika jumlah lulusan itu
hanya 10.000, 15.000 atau 20.000 orang dalam satu tahun. Tapi sekarang ada satu
juta, empat juta, lima juta mahasiswa, dan tidak mungkin kebanyakan dari mereka
akan menjadi kapitalis atau manejer perusahaan karena tidak ada lowongan
sebanyak itu untuk mereka.
Argumen demagogis
ini ada benarnya. Lingkungan akademis memang memiliki konsekuensi tertentu
terhadap tingkat kesadaran sosial dan aktivitas politik seorang mahasiswa.
Selama ia tetap di universitas, maka lingkungannya mendukung aktivitas politik.
Ketika ia meninggalkan universitas, lingkungan ini tidak ada lagi di
sekelilingnya, dan ia makin mudah ditekan oleh ideologi dan kepentingan
borjuasi atau borjuasi kecil (petty-bourgeoisie). Ada ancaman bahwa ia akan
melibatkan dirinya dalam lingkungan sosial yang baru ini, apapun bentuknya. Ada
kemungkinan terjadinya proses mundur ke posisi intelektual reformis atau
liberal kiri yang tidak lagi berhubungan dengan aktivitas revolusioner.
Penting untuk
mempelajari sejarah SDS Jerman, yang dalam hal ini adalah gerakan mahasiswa
revolusioner yang paling tua di Eropa. Setelah dikeluarkan dari kalangan Sosial
Demokrat Jerman sembilan tahun yang lalu satu generasi mahasiswa SDS yang
militan meninggalkan universitas. Setelah beberapa tahun, dengan tidak adanya
organisasi revolusioner, kebanyakan orang-orang militan ini, terlepas dari
keinginan mereka untuk tetap teguh dan menjadi aktivis sosialis, tidak aktif
lagi dalam politik dari sudut pandang revolusioner. Jadi, untuk memelihara
kelanjutan aktivitas revolusioner ini, kita harus punya organisasi yang lebih
luas jangkauannya dari organisasi mahasiswa biasa, sebuah organisasi di mana
mahasiswa dan bukan mahasiswa dapat bekerja sama.
Dan ada alasan
yang lebih penting lagi, di balik kepentingan kita memiliki satu organisasi
partai. Karena tanpa organisasi semacam itu, tidak akan dapat dicapai kesatuan
aksi dengan kelas buruh industri, dalam pengertian yang paling umum sekalipun.
Sebagai Marxis, saya tetap yakin bahwa tanpa aksi kelas buruh tidak akan
mungkin masyarakat borjuis ini ditumbangkan dan itu berarti tidak mungkin juga
dibangun masyarakat sosialis.
Di sini sekali
lagi kita lihat bagaimana pengalaman gerakan mahasiswa, pertama di Jerman, lalu
Prancis dan Italia, sudah berhasil mencapai kesimpulan teoretis tersebut dalam
praktek. Diskusi yang sama tentang relevan atau tidaknya kelas buruh industri
bagi aksi revolusioner dilakukan setahun atau bahkan enam bulan yang lalu di
negara-negara seperti Jerman dan Italia. Masalah ini ditempatkan dalam praktek
bukan hanya oleh peristiwa revolusioner selama Mei-Juni 1968 di Prancis, tapi
juga oleh aksi bersama mahasiswa di Turin dengan buruh Fiat di Italia. Ini juga
diperjelas dengan usaha-usaha sadar dari SDS Jerman untuk melibatkan bagian
dari kelas buruh di dalam agitasi mereka di luar universitas menentang
perusahaan penerbit Springer dan kampanyenya dalam mencegah diberlakukannya
undang-undang darurat yang akan mencegah kebebasan sipil. Pengalaman seperti
ini mengajarkan gerakan mahasiswa di Eropa Barat bahwa mereka harus menemukan
jembatan dengan kelas buruh industri. Masalah ini memiliki sejumlah aspek yang
berbeda dengan tingkatan yang berbeda pula. Ada masalah programatik yang tidak
dapat saya jabarkan sekarang. Hal yang diungkapkan di sini adalah bagaimana
mahasiswa dapat mendekati buruh, bukan sebagai guru, karena buruh tentunya
menolak hubungan seperti itu, tapi dengan cara masuk ke dalam lapangan
kepentingan yang sama. Terutama diuraikan masalah organisasi partai. Selain
pengalaman kalah beberapa kali untuk membangun kolaborasi di tingkat rendahan
dalam aksi-aksi langsung antara sejumlah kecil mahasiswa dan sejumlah kecil
buruh, setelah tiga sampai delapan bulan, persekutuan itu akan hilang. Bahkan
jika kalian memulai lagi dari awal, dan saat keseimbangan sudah tercapai, maka
sedikit saja yang tersisa.
Kegunaan
organisasi revolusioner yang permanen adalah untuk menyediakan integrasi timbal
balik antara mahasiswa dan perjuangan kelas buruh oleh para pelopornya secara
terus menerus. Ini bukan sekadar kesinambungan yang sederhana dalam batas waktu
tertentu, tapi sebuah kelanjutan ruang antara kelompok-kelompok sosial yang
berbeda yang memiliki tujuan sosialis revolusioner yang sama.
Kita harus kritis
melihat apakah integrasi seperti ini memang mungkin secara obyektif. Melihat
pengalaman di Prancis, Italia, dan sejumlah negara Eropa Barat lainnya, maka
dengan mudah kita bisa bilang ya. Dan garis inipun dapat dipertahankan di
Amerika Serikat. Dengan alasan-alasan historis yang juga tidak dapat saya
uraikan sekarang, sebuah situasi khusus muncul di Amerika Serikat di mana
mayoritas kelas buruh, yakni kelas buruh kulit putih, belum menerima gagasan
sosialis tentang aksi revolusioner. Ini fakta yang tidak dapat ditandingi.
Tentu saja hal ini dengan cepat dapat berubah. Sejumlah orang berpendapat
seperti itu di Prancis, hanya beberapa minggu sebelum tanggal 10 Mei 1968. Namun,
bahkan di Amerika Serikat, ada minoritas dalam kelas buruh industri yang
penting, yaitu buruh kulit hitam. Tak seorangpun bisa mengatakan bahwa setelah
dua tahun terakhir mereka tidak dapat menerima gagasan sosialis atau tidak
mampu menjalankan aksi revolusioner. Di sini paling tidak ada kemungkinan
langsung terjadinya kesatuan antara teori dan praktek di sebagian kalangan
kelas buruh.
Sebagai tambahan,
kiranya penting untuk menganalisa kecenderungan sosial dan ekonomi yang dalam
jangka panjang akan mengguncang ketidakpedulian politik yang platen dan
konservatisme kelas buruh kulit putih. Pelajaran dari Jerman dengan lingkungan
yang sangat mirip membuktikan bahwa hal itu mungkin terjadi. Beberapa tahun
lalu di kalangan kelas buruh di Jerman mengendap stabilitas, konservatisme, dan
integrasi masyarakat kapitalis yang tidak terguncang, sama seperti Amerika
Serikat di mata banyak orang sekarang ini. Hal ini sudah mulai berubah. Kasus
ini memperlihatkan bahwa pergeseran kecil di dalam perimbangan kekuatan, yaitu
penurunan tingkat ekonomi, dan serangan dari pengusaha terhadap struktur
serikat buruh tradisional dan hak-hak dapat menciptakan ketegangan sosial yang
mampu mengubah banyak hal.
Tugas saya di sini
tidak lebih dari memberi informasi kepada kalian tentang masalah-masalah
perjuangan kelas kalian sementara tugas kalian adalah menyadari bahwa kalian
harus bergabung dengan buruh. Saya hanya akan menunjukkan satu di antara sekian
banyak saluran tempat kesadaran sosialis dan aktivitas revolusioner dapat
menghubungkan mahasiswa dan buruh, seperti ditunjukkan bukan hanya oleh Eropa
Barat tapi juga oleh Jepang. Rangkaian penghubung ini adalah pemuda dari
kalangan kelas buruh. Sebagai konsekuensi dari perubahan teknologi selama
beberapa tahun terakhir yang mempengaruhi struktur kelas buruh, sistem
pendidikan borjuis tidak dapat mempersiapkan buruh-buruh muda, atau sebagian
dari buruh muda ini, untuk memainkan peran baru dalam teknologi yang telah
berubah bahkan dari sudut pandang para kapitalis sendiri.
Amerika Serikat
adalah contoh yang jelas tentang kehancuran total dari pendidikan bagi buruh
muda berkulit hitam yang tingkat penganggurannya sama tinggi seperti tingkat
rata-rata pengangguran seluruh kelas buruh di masa depresi. Kenyataan ini
memperlihatkan apa yang tengah terjadi di kalangan pemuda kulit hitam negeri
itu. Ini hanyalah ekspresi dari kecenderungan umum yang mendikte kepekaan
ekstrem terhadap segala sesuatu yang terjadi di kalangan muda. Kebusukan dan
kemacetan sistem sosial sekarang ini jelas menunjukkan ketidakberpihakan para
penguasanya kepada kaum muda. Para penguasa Prancis selama peristiwa Mei tidak
membeda-bedakan antara mahasiswa, pegawai dan buruh muda. Mereka memperlakukan
semuanya sebagai musuh. Contoh kongkret dari ini adalah insiden di Flins ketika
terjadi demonstrasi besar. Setelah seorang anak sekolah dibunuh oleh polisi
muncul kegelisahan besar. Polisi bergerak masuk dan mulai memerika para
demonstran, memerika kartu identitas orang-orang yang lewat. Setiap orang yang
berusia di bawah 30 tahun ditangkap karena dianggap potensial sebagai
pemberontak, sebagai orang yang akan bergerak menghantam polisi.
Jika kalian secara
seksama membaca buku-buku sekarang, industri film dan bentuk-bentuk refleksi
kenyataan sosial yang lain di dalam suprastruktur budaya selama lima atau
sepuluh tahun terakhir, kalian akan lihat bahwa di samping semua pembicaraan
yang palsu tentang kenakalan remaja, kaum borjuis telah menggambarkan jenis
pemuda yang dihasilkan sistemnya dan juga semangat memberontak dari kaum muda.
Ini tidak terbatas bagi mahasiswa atau kelompok minoritas seperti orang kulit
hitam di Amerika Serikat. Ini juga berlaku bagi buruh-buruh muda.Kiranya perlu
dipelajari apa yang ada lingkungan buruh-buruh muda karena perjuangan memenangkan
mereka kepada kesadaran sosialis, kepada gagasan-gagasan revolusi sosialis
kelihatannya penting bagi negeri-negeri Barat selama sepuluh sampai limabelas
tahun mendatang. Jika kita berhasil mengangkat kaum muda yang terbaikmenjadi
sosialis revolusioner --saya pikir ini sudah mulai dilakukan di negeri-negeri
Eropa Barat-- kita bisa yakin tentang kemajuan gerakan kita. Jika kemungkinan
ini lepas dan kebanyakan orang muda berpihak ke kalangan ekstrem kanan, maka
kita akan kalah dalam perjuangan yang menentukan dan akan masuk ke dalam liang
kubur bersama sosialis Eropa dan gerakan revolusioner di tahun 1930-an.
Persatuan teori
dan praktek juga berarti bahwa serangkaian gagasan kunci dari gerakan sosialis
dan tradisi revolusioner telah ditemukan kembali sekarang. Aku tahu bahwa
sebagian orang dalam gerakan mahasiswa di Amerika Serikat ingin menciptakan
sesuatu yang sama sekali baru. Aku sepenuh hati setuju dengan setiap usulan
yang menginginkan sesuatu yang lebih baik, karena apa yang telah dicapai oleh
generasi-generasi sebelumnya juga kurang meyakinkan dari sudut pandang
pembangunan masyarakat sosialis. Tapi penting juga aku utarakan peringatan.
Jika kalian menyangka sedang menciptakan sesuatu yang baru, yang sebenarnya
sedang dilakukan adalah mundur ke masa lalu yang jauh lebih terbelakang dari
masa lalu Marxisme.
Semua gagasan baru
yang dimajukan dalam gerakan mahasiswa di Eropa selama tiga atau empat tahun
terakhir, dan menjadi populer di kalangan mahasiswa Amerika Serikat, sebenarnya
sudah sangat tua umurnya. Alasannya sangat sederhana. Kecenderungan logis dari
evolusi sosial dan kecenderungan kritik sosialis dikembangkan dalam jalur para
pemikir besar abad 18 dan 19. Terlepas dari kalian suka atau tidak, hal itu
memang benar, dan berlaku bagi ilmu sosial sekaligus ilmu alam yang rangkaian
hukumnya diciptakan di masa lalu. Jika kalian ingin mengembangkan
kecenderungan baru, kalian harus maju dari landasan yang merupakan hasil terbaik
dari generasi-generasi sebelumnya. Keinginan untuk senantiasa menciptakan
sesuatu yang baru hanyalah satu aspek awal dari radikalisme mahasiswa.
Ketika gerakan
sudah berkembang menjadi besar dan bisa memobilisasi massa yang besar maka yang
akan terjadi adalah sebaliknya seperti ditunjukkan para sosiologis Prancis
ketika melihat kejadian bulan Mei 1968. Saat itu massa mahasiswa revolusioner
yang luas berjuang menemukan kembali tradisi sejarah dan akar-akar historis
mereka. Mereka seharusnya sadar bahwa mereka akan lebih kuat jika mengatakan:
perjuangan kami adalah perpanjangan dari perjuangan untuk kebebasan yang
dimulai 150 tahun lalu, atau bahkan 2.000 tahun lalu ketika budak-budak pertama
memberontak terhadap tuannya. Ini akan jauh lebih meyakinkan daripada
mengatakan: kami melakukan sesuatu yang sama sekali baru yang terputus dari
sejarah dan terisolasi dari keseluruhan masa lalu seakan masa lalu tidak
pernah mengajarkan apa-apa kepada kita dan tidak ada yang dapat kita pelajari
dari itu.
Masalah ini
akhirnya akan membawa aktivis mahasiswa kembali pada beberapa konsep historis
dasar dari sosialisme dan Marxisme. Kita telah melihat bagaimana gerakan
mahasiswa di Prancis, Jerman, Italia dan sekarang Inggris kembali kepada
gagasan-gagasan revolusi sosialis dan demokrasi buruh. Bagi seseorang seperti
saya, sangat menggembirakan melihat bagaimana gerakan revolusioner Prancis
mempertahankan hak kebebasan berbicara, dan menghubungkannya dengan tradisi
terbaik dari sosialisme. Pertemuan kalian sekarang ini juga memperbarui kembali
tradisi internasionalisme dari sosialisme lama dan Marxisme ketika kalian
bilang bahwa perlawanan mahasiswa bersifat mendunia dan bahwa gerakan mahasiswa
itu bersifat internasional. Ini adalah internasionalisme yang sama, dengan
akar-akar dan tujuan yang sama seperti internasionalisme dari sosialisme, sama
seperti internasionalisme dari kelas buruh.
Masalah-masalah
internasional yang dihadapi adalah masalah solidaritas dengan kawan-kawan kita
di Meksiko, Argentina dan Brasil yang memimpin perjuangan besar, yang
mengangkat revolusi Amerika Latin ke tingkat lebih tinggi setelah menderita
kekalahan karena kepemimpinan yang buruh, reaksi internal dan represi
imperialis selama tahun-tahun belakangan ini. Kita harus menyanjung kekuatan
mahasiswa-mahasiswa Mexico.
Dalam beberapa
hari mereka telah mengubah situasi politik secara mendasar di negeri itu dan
membuang topeng demokrasi palsu yang dipasang pemerintah Mexico untuk menerima
jutaan dolar dari penonton-penonton Olimpiade. Sekarang setiap orang yang
menonton Olimpiade akan tahu bahwa ia telah mengunjungi negeri di mana para
pemimpin serikat buruh kereta apinya ditahan bertahun-tahun setelah masa
tahanan mereka berakhir; negeri di mana banyak pemimpin politik kalangan kiri
dipenjara bertahun-tahun tanpa pengadilan, di mana pemimpin mahasiswa dan
ribuan milisi mahasiswa ditahan di penjara tanpa landasan hukum. Protes mereka
yang heroik memiliki konsekuensi bagi masa depan politik Meksiko dan perjuangan
kelas di negeri itu.
Penting juga
kiranya mengutarakan beberapa patah kata tentang mahasiswa tahanan di
negeri-negeri semi kolonial lainnya, yang tidak pernah dibicarakan orang,
seperti pemimpin mahasiswa Kongo yang telah ditahan selama hampir satu tahun
karena mengorganisir sebuah demonstrasi kecil menentang perang Vietnam ketika
wakil presiden Humphrey bertandang ke sana. Kita tidak boleh lupa bahwa
pemimpin-pemimpin mahasiswa Tunisia yang ditahan selama dua belas tahun dengan
alasan yang sama, memimpin sebuah demonstrasi. Duabelas tahun di penjara! Kita
harus menyadarkan masyarakat agar kejahatan penindas seperti ini tidak akan
terlupakan.
Akhirnya, kita
tidak boleh lupa perjuangan melawan intervensi Amerika Serikat di Vietnam, yang
tetap menjadi perjuangan utama di dunia sekarang ini. Dengan dimulainya
negosiasi itu di Paris, tidak berarti bahwa tidak ada yang dapat kita lakukan
untuk membantu perjuangan kawan-kawan kita di Vietnam.
Untuk itu, saya
mengajak kalian ikut dalam aksi dunia yang dimulai oleh gerakan mahasiswa
Jepang, Zengakuren, Federasi Mahasiswa Revolusioner Inggris bersama dengan
Kampanye Solidaritas Vietnam, dan Komite Mobilisasi Mahasiswa di sini.
Ini adalah Minggu
Solidaritas untuk revolusi Vietnam, dari tanggal 21 sampai 27 Oktober. Minggu
ini ratusan ribu mahasiswa, buruh muda dan revolusioner muda akan turun ke
jalan bersamaan untuk mencapai tujuan-tujuan yang diajukan kawan-kawan Vietnam!
Perlihatkan pada
dunia bahwa di Amerika Serikat ada ratusan ribu orang yang menginginkan
penarikan kembali pasukan Amerika dari Vietnam. Itu pasti akan berhasil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar