Hatinya terlalu
teguh untuk berkompromi. Maka ia diburu polisi rahasia Belanda, Inggris,
Amerika, dan Jepang di 11 negara demi cita-cita utama: kemerdekaan Indonesia.
Ia, Tan Malaka,
orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia. Muhammad Yamin
menjulukinya ”Bapak Republik Indonesia”. Soekarno menyebutnya ”seorang yang
mahir dalam revolusi”. Tapi hidupnya berakhir tragis di ujung senapan tentara
republik yang didirikannya.
Ia seorang yang
telah melukis revolusi Indonesia dengan bergelora. Namanya Tan Malaka, atau
Ibrahim Datuk Tan Malaka, dan kini mungkin dua-tiga generasi melupakan sosoknya
yang lengkap ini: kaya gagasan filosofis, tapi juga lincah berorganisasi.
Orde Baru telah
melabur hitam peran sejarahnya. Harus diakui, di mata sebagian anak muda, Tan
mempunyai daya tarik yang tak tertahankan. Sewaktu Soeharto berkuasa, menggali
pemikiran serta langkah-langkah politik Tan sama seperti membaca
tulisan-tulisan hasil karya kaum kiri lainnya. Buku-bukunya disebarluaskan
lewat jaringan klandestin. Diskusi yang membahas alam pikirannya dilangsungkan
secara berbisik. Meski dalam perjalanan hidupnya Tan akhirnya berseberangan
dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), sosoknya sering kali dihubungkan dengan
PKI: musuh abadi Orde Baru.
Perlakuan serupa
menimpa Tan di masa Soekarno berkuasa. Soekarno, melalui kabinet Sjahrir,
memenjarakan Tan selama dua setengah tahun, tanpa pengadilan. Perseteruannya
dengan para pemimpin pucuk PKI membuat ia terlempar dari lingkaran kekuasaan.
Ketika PKI akrab dengan kekuasaan, Bung Karno memilih Musso—orang yang telah
bersumpah menggantung Tan karena pertikaian internal partai—ketimbang Tan.
Sedangkan D.N. Aidit memburu testamen politik Soekarno kepada Tan. Surat wasiat
itu berisi penyerahan kekuasaan kepemimpinan kepada empat nama—salah satunya
Tan—apabila Soekarno dan Hatta mati atau ditangkap. Akhirnya Soekarno sendiri
membakar testamen tersebut. Testamen itu berbunyi: ”...jika saya tiada berdaya
lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah
mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka.”
Politik memang
kemudian menenggelamkannya. Di Bukittinggi, di kampung halamannya, nama Tan
cuma didengar sayup-sayup. Ketika Harry Albert Poeze, sejarawan Belanda yang
meneliti Tan sejak 36 tahun lalu, mendatangi Sekolah Menengah Atas 2
Bukittinggi, Februari lalu, guru-guru sekolah itu terkejut. Sebagian guru tak
tahu Tan pernah mengenyam pendidikan di sekolah yang dulu bernama Kweekschool
(sekolah guru) itu pada 1907-1913. Sebagian lain justru tahu dari murid yang
rajin berselancar di Internet. Mereka masih tak yakin, sampai kemudian Poeze
datang. Poeze pun menemukan prasasti Engku Nawawi Sutan Makmur, guru Tan,
tersembunyi di balik lemari sekolah.
Di sepanjang
hidupnya, Tan telah menempuh pelbagai royan: dari masa akhir Perang Dunia I,
revolusi Bolsyewik, hingga Perang Dunia II. Di kancah perjuangan kemerdekaan
Indonesia, lelaki kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897
ini merupakan tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik
Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia)
pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia
Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den
Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).
Buku Naar de
Republiek dan Massa Actie (1926) yang ditulis dari tanah pelarian itu telah
menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti
Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan
mencoret-coret hal penting dari Massa Actie. Waktu itu Bung Karno memimpin Klub
Debat Bandung. Salah satu tuduhan yang memberatkan Soekarno ketika diadili di
Landrat Bandung pada 1931 juga lantaran menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh
jika isi buku itu menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya,
Indonesia Menggugat.
W.R. Supratman pun
telah membaca habis Massa Actie. Ia memasukkan kalimat ”Indonesia tanah tumpah
darahku” ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir dari Massa
Actie, pada bab bertajuk ”Khayal Seorang Revolusioner”. Di situ Tan antara lain
menulis, ”Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri.... Kewajiban seorang
yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.”
Di seputar
Proklamasi, Tan meno-rehkan perannya yang penting. Ia menggerakkan para pemuda
ke rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), 19 September 1945.
Inilah rapat yang menunjukkan dukungan massa pertama terhadap proklamasi
kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan ”masih sebatas catatan di
atas kertas”. Tan menulis aksi itu ”uji kekuatan untuk memisahkan kawan dan
lawan”. Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang kian berani dan gencar.
Kehadiran Tan di
Lapangan Ikada menjadi cerita menarik tersendiri. Poeze bertahun-tahun mencari
bukti kehadiran Tan itu. Sahabat-sahabat Tan, seperti Sayuti Melik, bekas
Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, dan mantan Wakil Presiden Adam Malik,
telah memberikan kesaksian. Tapi kesaksian itu harus didukung bukti visual.
Dokumen foto peristiwa itu tak banyak. Memang ada rekaman film dari Berita Film
Indonesia. Namun mencari seorang Tan di tengah kerumunan sekitar 200 ribu orang
dari pelbagai daerah bukan perkara mudah.
Poeze mengambil
jalan berputar. Ia menghimpun semua ciri khas Tan dengan mencari dokumen di delapan
dari 11 negara yang pernah didatangi Tan. Tan, misalnya, selalu memakai topi
perkebunan sejak melarikan diri di Filipina (1925-1927). Ia cuma membawa paling
banyak dua setel pakaian. Dan sejak keterlibatannya dalam gerakan buruh di
Bayah, Banten, pada 1940-an, ia selalu memakai celana selutut. Ia juga selalu
duduk menghadap jendela setiap kali berkunjung ke sebuah rumah. Ini untuk
mengantisipasi jika polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris, atau Amerika
tiba-tiba datang menggerebek. Ia memiliki 23 nama palsu dan telah menjelajahi
dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer—dua kali jarak
yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin.
Satu lagi bukti
yang mesti dicari: berapa tinggi Tan sebenarnya? Di buku Dari Penjara ke
Penjara II, Tan bercerita ia dipotret setelah cukur rambut dalam tahanan di
Hong Kong. ”Sekonyong-konyong tiga orang memegang kuat tangan saya dan memegang
jempol saya buat diambil capnya. Semua dilakukan serobotan,” ucap Tan. Dari
buku ini Poeze pun mencari dokumen tinggi Tan dari arsip polisi Inggris yang
menahan Tan di Hong Kong. Eureka! Tinggi Tan ternyata 165 sentimeter, lebih
pendek daripada Soekarno (172 sentimeter). Dari ciri-ciri itu, Poeze menemukan
foto Tan yang berjalan berdampingan dengan Soekarno. Tan terbukti berada di
lapangan itu dan menggerakkan pemuda.
Tan tak pernah
menyerah. Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa dengan Soekarno-Hatta
yang memilih berunding dan kemudian ditangkap Belanda. Menurut Poeze, Tan
berkukuh, sebagai pemimpin revolusi Soekarno semestinya mengedepankan
perlawanan gerilya ketimbang menyerah. Baginya, perundingan hanya bisa
dilakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan Indonesia 100 persen dari Belanda
dan Sekutu. Tanpa itu, nonsens.
Sebelum melawan
Soekarno, Tan pernah melawan arus dalam kongres Komunisme Internasional di
Moskow pada 1922. Ia mengungkapkan gerakan komunis di Indonesia tak akan
berhasil mengusir kolonialisme jika tak bekerja sama dengan Pan-Islamisme. Ia
juga menolak rencana kelompok Prambanan menggelar pemberontakan PKI 1926/1927.
Revolusi, kata Tan, tak dirancang berdasarkan logistik belaka, apalagi dengan
bantuan dari luar seperti Rusia, tapi pada kekuatan massa. Saat itu otot
revolusi belum terbangun baik. Postur kekuatan komunis masih ringkih. ”Revolusi
bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak,” tulis Tan. Singkat kata, rencana
pemberontakan itu tak matang.
Penolakan ini tak
urung membuat Tan disingkirkan para pemimpin partai. Tapi, bagi Tan, partai
bukanlah segala-galanya. Jauh lebih penting dari itu: kemerdekaan nasional
Indonesia. Dari sini kita bisa membaca watak dan orientasi penulis Madilog ini.
Ia seorang Marxis, tapi sekaligus nasionalis. Ia seorang komunis, tapi kata
Tan, ”Di depan Tuhan saya seorang muslim” (siapa sangka ia hafal Al-Quran sewaktu
muda). Perhatian utamanya adalah menutup buku kolonialisme selama-lamanya dari
bumi Indonesia.
Berpuluh tahun
namanya absen dari buku-buku sejarah; dua-tiga generasi di antara kita mungkin
hanya mengenal samar-samar tokoh ini. Dan kini, ketika negeri ini genap 63
tahun, majalah ini mencoba melawan lupa yang lahir dari aneka keputusan politik
itu, dan mencoba mengungkai kembali riwayat kemahiran orang revolusioner ini.
Sebagaimana kita mengingat bapak-bapak bangsa yang lain: Bung Karno, Bung Hatta,
Sjahrir, Mohammad Natsir, dan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar