1.
Norma Kehidupan
Apa yang bakal
terjadi bila manusia hidup atas dasar hukum rimba?. Yang kuat akan memakan yang
lemah. Yang besar akan menindas yang kecil. Yang pintar akan menipu yang bodoh.
Kehidupan akan segera menjadi neraka. Manusia mungkin akan segera
musnah. Nenek moyang orang Minang, nampaknya sejak beribu tahun yang lalu
telah memahami bahaya ini bagi hidup dan kehidupannya, apalagi bagi
kelangsungan anak dan cucunya. Karena itu mereka telah menciptakan norma-norma
kehidupan yang akan menjamin ketertiban-kesejahteraan dan kebahagiaan hidup
bagi mereka sendiri dan anak cucunya sepanjang zaman. Norma-norma itu
antara lain berupa aturan-aturan yang sangat esensial bagi kehidupan yang
tertib aman dan damai.
Aturan-aturan itu
antara lain mengatur hubungan antara wanita dan pria, aturan mengenai harta
kekayaan, yang menjadi tumpuan kehidupan manusia, norma-norma tentang tata
krama pergaulan dan sistim kekerabatan. Kalau dipelajari dengan seksama,
ketentuan adat Minang mengenai hal-hal diatas, agaknya tidak ada seorangpun
diantara kita yang tidak kagum dan bangga dengan aturan itu.
Kalau kita tahu
manfaat dari aturan-aturan itu, agaknya tidak seorangpun diantara kita yang
mengingini lenyapnya aturan itu. Namun sayangnya banyak juga diantara kita yang
kurang memahami aturan-aturan adat itu sehingga kurang mencintainya. Tak tahu
maka tak kenal, tak kenal maka tak cinta. Kebanyakan kita dewasa ini memang
sudah banyak yang melupakan norma-norma kehidupan yang terkandung dalam ajaran
adat Minang.
2.
Sistem Matrilinial
Menurut para ahli
antropologi tua pada abad 19 seperti J. Lublock, G.A. Wilken dan sebagainya,
manusia pada mulanya hidup berkelompok, kumpul kebo dan melahirkan keturunan
tanpa ikatan.
Kelompok keluarga
batih (Nuclear Family) yang terdiri dari ayah-ibu dan anak-anak seperti
sekarang belum ada. Lambat laun manusia sadar akan hubungan antara “ibu
dan anak-anaknya” sebagai satu kelompok keluarga karena anak-anak hanya
mengenal ibunya dan tidak tahu siapa dan dimana ayahnya. Dalam kelompok
keluarga batih “ibu dan anak-anaknya” ini, si Ibulah yang menjadi Kepala
Keluarga. Dalam kelompok ini mulai berlaku aturan bahwa persenggamaan
(persetubuhan) antara ibu dan anak lelakinya dihindari dan dipantangkan (tabu).
Inilah asal mula perkawinan diluar batas kelompok sendiri yang sekarang disebut
dengan “adat eksogami”. Artinya perkawinan hanya boleh dilakukan dengan pihak
luar, dan sebaliknya perkawinan dalam kelompok serumpun tidak diperkenankan
sepanjang adat.
Kelompok keluarga itu
tadi makin lama makin bertambah banyak anggotanya. Karena “garis keturunan” selalu
diperhitungkan menurut “Garis Ibu”, dengan demikian terbentuk suatu
masyarakat yang oleh para sarjana seperti Wilken disebut masyarakat “matriarchat”. Istilah
“matriarchat” yang berarti “ibu yang berkuasa” sudah
ditinggalkan. Para ahli sudah tahu bahwa sistem “ibu yang berkuasa” itu
tidak ada. Yang ada ialah kelompok keluarga yang menganut prinsip silsilah
keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu atau dalam bahasa asing disebut
garis “matrilinial”.
Jadi dalam sistem
kekerabatan “matrilinial” terdapat 3 unsur yang paling dominan:
·
Garis
keturunan “menurut garis ibu”.
·
Perkawinan
harus dengan kelompok lain diluar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan
istilah Eksogami matrilinial.
· Ibu
memegang peranan yang sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan dan
kesejahteraan keluarga
3.
Hubungan Individu dan Kelompok
Manusia secara alami
tidak mungkin hidup sendiri. Setiap individu membutuhkan orang lain untuk bisa
hidup. Sudah menjadi hukum alam dan merupakan takdir Tuhan bahwa manusia tidak
dapat hidup sendiri tanpa orang lain. Manusia membutuhkan manusia lain untuk
hidup bersama dan bekerjasama. Ia telah ditentukan harus hidup berkelompok dan
hidup bermasyarakat.
Kelompok kecil dalam
masyarakat Minang adalah suku, sedangkan kelompok terbesar, terlihat dari
kacamata adat Minang adalah nagari. Suku sebagai kelompok terkecil, seyogianya
harus dipahami dan dihayati betul oleh orang-orang Minang. Kalau tidak akan
mudah sekali tergelincir pada pengertian bahwa keluarga terkecil adalah
keluarga batih yang terdiri dari ayah-ibu dan anak-anak. Pengertian yang keliru
inilah yang sering membawa pecahnya kekeluargaan Minang, karena mamak rumah,
dunsanak ibu, bahkan Penghulu suku tidak lagi dianggap keluarga.
Selain itu sifat
dasar masyarakat Minang adalah “kepemilikan bersama”. Tiap individu menjadi milik
bersama dari kelompoknya. Sebaliknya tiap kelompok itu menjadi milik dari semua
individu yang menjadi anggota kelompok itu. Rasa saling memiliki ini menjadi
sumber dari timbulnya rasa setia kawan (solidaritas) yang tinggi, rasa
kebersamaan, rasa tolong menolong. Tiap individu akan mencintai kelompok
sukunya dan setiap anggota dari satu suku akan selalu mengayomi atau melindungi
setiap individu. Kehidupan individu terhadap kelompok sukunya bagaikan
kehidupan ikan dengan air. Ikan adalah individu sedangkan air adalah suku
tempat hidup. Bila si ikan dikeluarkan dari air, maka ia akan segera mati. Dari
sini lahirlah pepatah yang berbunyi : Suku yang tidak bisa dianjak Malu
yang tidak bisa dibagi.
Dengan melihat
hubungan individu dengan kelompoknya seperti digambarkan diatas, maka jelas
antara individu dan kelompoknya akan saling mempengaruhi. Individu yang
berwatak baik, akan membentuk masyarakat yang rukun dan damai. Sebaliknya
kelompok yang tertata rapi, akan melahirkan individu-individu yang tertib dan berdisiplin
baik. Dengan demikian nenek moyang orang Minang, telah memberikan kriteria
tertentu yang dianggap ideal untuk menjadi sifat-sifat orang-orang Minang.
4. Adat Nagari dan
Keturunan Orang Minangkabau
Adap
Adapun adab yang
pertama, patut kita berkasih-kasihan antara
sesama hamba Allah dengan sahabat kenalannya, dengan kaum kerabatnya serta
sanak saudaranya. Adapun adab yang kedua, hormat kepada ibu dan bapak,
serta guru dan raja, mamak dan ninik serta orang mulia-mulia. Adapun adab
yang ketiga, yang tua wajib dimuliakan, yang muda patut dikasihi, sesama
remaja dibasa-basikan (dipersilakan/dilayani dengan baik). Adapun adab
yang keempat, adab berkorong dan berkampung, adab berkaum kerabat, jika
sukacita sama-sama ketawa, kalau dukacita sama-sama menangis.
Bertolong-tolongan
pada jalan kebaikan, jangan bertolong-tolongan pada jalan maksiat, atau jalan
aniaya, jangan memakai khizit dan khianat serta loba dan tamak, tidak usah
berdengki-dengkian sesama hamba Allah, pada jalan yang patut-patut; janganlah
memandang kepada segala manusia, dengan cara bermasam muka, itulah dia yang
bersama adat yang patut, yang kita pakaikan setiap hari.
Tertib
Adapun tertib kepada
raja-raja dan orang-orang besar serta kepada alim ulama; kepada ibu dan bapak;
dan kepada ninik mamak dan orang tua-tua dengan orang mulia-mulia; jikalau
menyambut barang sesuatu hendaklah meletakkan tangan kanannya diatas tangan
kirinya. Sewaktu mengunjukkan barang sesuatu, duduk menghadap dengan cara
bersimpuh, jika berjalan mengiring di belakang; jikalau sama-sama minum dan
makan, hendaklah kemudian daripadanya, jangan meremas-remas nasi, jangan
mengibas-ngibaskan tangan kearah belakang atau samping kanan belakang sehingga
besar sekali kemungkinan ada orang lain atau sekurang-kurangnya dinding rumah
akan kejipratan air bekas pembasuh tangan yang masih melengket dijari-jari
tangan.
Selain dari itu
lebihkanlah menekurkan kepala daripada menengadah kepadanya dan apabila
berkata-kata hendaklah dengan suara yang lemah lembut.
Sifat Perempuan
Adapun setiap wanita
itu hendaklah dia berhati sabar; menurut perintah suaminya, serta ibu bapaknya;
baikpun ninik mamaknya; kalau dia berkata-kata hendaklah merendahkan diri
terhadap mereka itu. Dan wajib baginya untuk mempelajari ilmu dan tertib sopan,
serta kelakuan yang baik-baik; menghindarkan segala macam perangai yang akan
menjadi cela kepadanya, atau kepada suaminya, atau kepada kaum kerabatnya, yang
timbul oleh karena tingkah laku dan perangainya yang kurang tertib, hemat
cermat. Kalau dia sudah bersuami, hendaklah dia berhati mukmin terhadap
suaminya itu.
Perangai
Adapun perangai yang
wajib, berlaku atas segala makhluk, baik laki-laki maupun perempuan; ialah
menuntut ilmu, dan mempelajari adat dan hormat, dan merendahkan dirinya pada
tempatnya juga, dan wajib dia berguru, sifat berkata-kata yang “mardesa”
(tertib sopan; hemat cermat) bagaimana bunyi yang akan baik, didengar oleh
telinga si pendengar, serta dengan perangai yang lemah lembut juga dilakukan,
dengan halus budi bahasanya, karena kita berlaku hormat kepada orang-orang
besar dan orang-orang mulia dan orang-orang tua, supaya terpelihara daripada
umpat dan caci; itulah kesempurnaan perbasaan bagi orang baik-baik, yang
terpakai dalam nagari atau dalam alam ini.
Hutang Bagi Orang
Tua-Tua
Adapun yang menjadi
hutang bagi orang tua-tua dan cerdik pandai serta orang mulia-mulia dan segala
arif bijaksana yaitu harus baginya mengingatkan kepada segala ahlinya, dan
kepada segala orang nan percaya kepadanya, dan segala kaumnya, yang tidak ikut
melakukan perangai dan tertib yang baik-baik. Maka hendaklah dibantahi;
segala kelakuan mereka itu, yang bersalahan dengan kebenaran juga, memberi
petunjuk ia akan segala kaumnya itu, supaya dia melakukan segala perangai yang
baik-baik dan membuangkan segala perangai yang kurang baik itu, supaya mudah
sekalian mereka itu mengetahui akan keindahan dan kemuliaan yang terpakai oleh
orang besar-besar yang membawa kepada jalan kebajikan, dan kesempurnaan
hidupnya, supaya ingat segala anak kemenakannya itu kepada yang baik, dan
lembut hatinya yang keras itu, karena hati lebih keras dari batu dan besi.
Apabila sudah
berkata-kata dengan orang tua-tua dan orang cerdik pandai itu; dengan ilmunya
dan pengetahuannya yang sempurna, tidak boleh tidak akan lembutlah orang yang
keras-keras itu oleh muslihatnya, dan kendorlah yang tegang itu, sebab
kepandaiannya berkata-kata, melakukan nasihat nan baik-baik itu. Karena itu
wajiblah bagi orang yang tua-tua dan cerdik pandai itu akan menajak segala kaum
keluarganya dan orang yang percaya kepadanya, dengan perkataan yang lemah
lembut juga, serta tutur kata yang baik-baik, akan menarik hati sekalian mereka
itu, karena sekalian jalan kebajikan, memberi sukahatinya mendengarkan; serta
wajib juga kepada orang tua-tua dan cerdik pandai itu, akan bercerita dan
memberi ingat kepada segala kaum kerabatnya, apapun cerita dan kabar; baik
maupun buruk; menceritakan kabar-kabar yang dahulu kala, yang dilihat dan
didengarnya, dengan menyatakan kesan-kesannya yang baik ataupun yang jelek. Supaya
menjadi pengajaran dan peringatan juga untuk semua ahli baitnya; yakni
kabar-kabar yang kira-kira cocok dengan pendapat dan pikiran si pendengar.
Demikianlah yang
wajib dipakaikan oleh orang tua-tua dan cerdik pandai serta arif
bijaksana; ”menyigai-nyigaikan” (sigai=diusut, diselidiki sebaik-baiknya; di
dalam ini berarti mendengarkan/menghampirkan dirinya) artinya, janganlah dia
mengatakan jauhnya dengan mereka itu, melainkan wajib dia menyatakan hampirnya
juga, supaya tertambah-tambah kasih sayangnya, kaum kerabatnya itu dan murah
baginya melakukan segala nasihat dan petunjuk yang dilakukannya kepada sekalian
orang.
Adat Berkaum Keluarga
Apabila ada kerja
dalam kampung atau dalam suku dan nagari, baik “kerja yang baik” (kerja yang
menyukakan hati) maupun “kerja yang tidak baik” (dukacita, kematian, musibah
dan kerugian yang mendadak); jikalau suka sama-sama ketawa, kalau duka
sama-sama menangis; jika pergi karena disuruh, jika berhenti karena dilarang;
artinya semua perbuatan hendaklah dengan sepengetahuan penghulu-penghulunya
juga, serta orang tua-tuanya dan sanak saudaranya yang patut-patut.
Demikianlah adat
orang berkaum keluarga dan beranak berbapak, beripar besan, berindu bersuku.
Itulah yang dipertalikan dengan adat lembaga, yang “persaluk urat, yang
berjumbai akar, berlembai pucuk” (bertali kerabat) namanya, menyerunduk sama
bongkok, melompat sama patah; kalau ke air sama basah, jika ke api sama letup,
itulah yang dinamakan “semalu sesopan”, kalau kekurangan tambah-menambah, jika
“senteng bilai-membilaia’, yang berat sama dipikul dijunjung dan yang ringan
sama dijinjing. Adat penghulu kepada anak kemenakan, baik dalam pekerjaan
yang baik maupun didalam pekerjaan yang tidak baik. Apabila sesuatu persoalan
anak kemenakan disampaikan kepada penghulu dan orang tua-tua wajiblah bagi
beliau itu; bila kusut diselesaikan, bila keruh diperjernih, menghukum dengan
jalan keadilan, beserta dengan orang tua-tuanya disana. Adapun yang
dikatakan tua disana, ialah orang yang cerdik pandai, orang yang berakal juga,
yang akan menimbang buruk dengan baik, tinggi dengan rendah, supaya menjadi
selesai seisi kampungnya itu.
Jika tidak putus oleh
penghulu-penghulu dan orang tua-tua didalam masing-masing kampung mengenai
apa-apa yang diperselisihkan oleh anak buahnya; wajiblah kepada
penghulu-penghulu dan orang tua-tua tersebut untuk membawa “serantau hilir,
serantau mudik” (sepanjang sungai kesana kemari mencarikan air yang jernih,
sayak yang landai” (keadilan) katian (timbangan dengan ukuran berat sekati)
yang genab; supaya diperoleh kata kebenaran dan aman segala kaum
keluarganya.
Adat orang menjadi
“kali” (Tuan Kadi; penghulu nikah), pendeta dan alim ulama, imam, khatib dan
bilal serta maulana; hendaklah dia mengetahui benar-benar segala aturan agama
(syarat; syariat Islam) di dalam surau dan mesjid-mesjidnya atau didalam segala
majelis perjamuan, dan pada tempat yang suci-suci baikpun di dusun-dusun atau
di medan majelis orang banyak, hendaklah selalu dia melakukan perangai nan suci
dan hormat, supaya menjadi suluh, kepada segala isi nagari dan yang akan
diturut, oleh segala murid-muridnya. Wajib dia mengatur segala penjagaan nan
bersalahan, dalam mesjid dan surau dan didalam majelis perjamuan yang akan
menjadi cacat dan cela bagi ketertiban agamanya, yang boleh membinasakan tertib
kesopanan orang-orang “siak” (santri) dan alim ulama yang sempurna.
Adat Laki-laki Kepada
Wanita Yang Sudah Dinikahinya
Wajib laki-laki itu
memberi nafkah lahir dan bathin kepada istrinya dan memberi tempat kediaman
serta memberi minum dan makannya serta pakaian sekurang-kurangnya dua persalin
setahun; dan wajib pula bagi perempuan itu berperangai yang sempurna kepada
segala ahli-ahli (karib bait) suaminya dengan perangai yang hormat dan tertib
sopan seperti adab kepada suaminya juga. Demikianlah pula wajiblah bagi lelaki
tsb berperangai nan sopan, kepada segala kaum kerabat anak istrinya seperti dia
melakukannya terhadap kaum kerabatnya sendiri yang patut-patut.
Cara bagaimana
hormatnya istri kepada ibu bapaknya dan ninik mamaknya begitu pulalah hendaknya
dia menghormati dan mempunyai rasa malu terhadap ibu bapak dan ninik mamak
istrinya itu. Yakni dengan basa-basi yang lemah lembut dan hendaklah dia
memberi petunjuk akan anak istrinya yang alpa dalam menghormati kaum kerabatnya
dan ibu bapak serta ninik mamaknya yang sepatutnya dihormatinya, supaya
istrinya itu berlaku baik dan beradat yang sempurna terhadap kepada
ahli-ahlinya (karib baitnya). Wajib pula suami melarang istrinya berperangai
yang salah menurut adab dan tertib yang sopan dan santun, supaya istrinya itu
tetap menurut jalan yang baik-baik dan sopan; begitulah yang sebaik-baiknya
yang dilakukan oleh segala suami terhadap istrinya masing-masing.
Milik
Ada berbagai milik;
ada milik raja, ada milik penghulu, ada milik kadi, ada milik dubalang dan
pegawai, ada milik imam dan khatib dan ada pula milik orang banyak.
Masing-masing milik tsb tidak boleh dikuasai oleh yang bukan
pemiliknya. Adapun yang menjadi milik raja itu adalah memerintah dan
menghukum segala perselisihan hamba rakyatnya yang disampaikan kepadanya dan
menjaga kesentosaan nagari, dan mengetahui dia akan perangai sekalian
orang-orang yang dibawah kekuasaannya serta berhubungan dengan pembantunya dan
apabila pembantu-pembantunya bersalah maka diapun akan menghukum mereka itu
juga supaya nagari menjadi sempurna dan rakyat menjadi sentosa.
Adapun milik penghulu
itu adalah menjaga akan kesentosaan dan keselamatan anak buahnya; baik yang ada
dalam kampung dalam suku, dalam nagari, pada tempat masing-masing, dan wajib baginya
menentukan batas dan “bintalak” (pasupadan; sempadan) milik anak buahnya
didalam pegangan masing-masingnya; dan yang lain-lainnya yang akan memberi
kebajikan kepada segala anak buahnya.
Adapun milik tuan
Kardi itu adalah menghukumkan menurut jalan hukum dan syariat agama nabi kita
Muhammad dan menentukan sah dan batal, pasal dan bab, dalil dan maknanya,
setiap hukum agama dikeluarkannya (diterapkannya).
Adapun milik pegawai
dan hulubalang, menjelaskan apa-apa yang dititahkan penghulu-penghulu; “menakik”
yang keras, “menyudu” yang lunak; berdasarkan jalan kebenaran juga.
Adapun milik bagi
orang banyak itu, wajib kita menutur segala titah dan perintah
penghulu-penghulu, orang tua-tuanya; memelihara akan pekerjaannya
masing-masing; dengan yakin menjalankan titah rajanya dan disampaikan
kepadanya; Tuan Kadinya dan ibu bapaknya serta sanak saudaranya.
Adapun milik bagi
harta benda itu, seperti sawah ladang, emas perak kerbau sapi, ayam itik dan
lain-lainnya, wajib tergenggam pada yang punya milik masing-masing juga,
tidaklah harus dimiliki oleh bukan pemiliknya.
Hak
Adapun hak itu
tidaklah tetap terpegang, kepada yang empunya hak untuk selamanya; hak yang
terpegang ditangan yang empunya masing-masing adalah hak milik namanya. Dan
apabila haknya itu dipegang oleh orang lain, maka dinamai “Haknya saja” tetapi
yang memiliki orang lain. Itulah undang-undang yang terpakai dalam nagari
di Alam Minangkabau ini yang sepatutnya engkau ketahui terlebih dahulu.
Tentukan (usut dan periksa) benarlah dahulu semuanya yang hamba sebut tadi;
yang dipakai didalam nagari ini; agar jelas pegangan masing-masing, agar
berbeda orang dengan awak; baik jauh maupun dekat.
5. NAMA
PANGGILAN MASYARAKAT MINANG
Bagi orang Minang
nama itu penting. Ketek banamo – gadang bagala. Katiko ketek disabuik namo –
alah gadang disabuik gala. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa yang
dikatakan sepesukuan sebagai unit terkecil dalam sistem kekerabatan Minang
terdiri dari 5 lapis generasi atau keturunan. Mungkin dalam satu masa tidak
terdapat kelima tingkat keturunan itu, karena hal itu sangat tergantung dari
usia rata-rata anggota suku dari tiap generasi.
Panggilan Sesama Anak
Adik memanggil
kakaknya yang perempuan dengan “Uni” dan “Uda” untuk kakak lelaki. Antara
mereka yang seusia, memanggil nama masing-masing. Si Ani memanggil si Ana
dengan menyebut Ana. Si Husin memanggil si Hasan dengan sebutan Hasan. Mande
dan Mamak serta generasi yang lebih tua, memanggil anak-anak dengan panggilan
kesayangan “Upiak” pada anak perempuan dan “Buyuang” untuk anak laki-laki.
Panggilan untuk Ibu dan Paman
Anak sebagai generasi
terbawah dalam susunan pesukuan Minang, mempunyai panggilan kehormatan terhadap
ibu dan saudara ibunya, serta generasi yang berada diatasnya. Anak memanggil
ibunya dengan panggilan Mande – Amai – Ayai – Biyai – Bundo – Andeh dan di
zaman modern ini dengan sebutan Mama – Mami – Amak – Ummi dan Ibu. Jika ibu
kita mempunyai saudara perempuan yang lebih tua dari ibu kita (kakak ibu) maka sebagai
anak kita memanggilnya dengan istilah Mak Adang yang berasal dari kata Mande
dan Gadang.Bila ibu mempunyai adik perempuan, maka kita memanggilnya dengan Mak
Etek atau Etek yang berasal dari kata Mande nan Ketek.
Bila ibu kita punya
saudara lelaki, kita panggil beliau dengan Mamak. Semua lelaki dalam pesukuan
itu, dan dalam suku yang serumpun yang menjadi kakak atau adik dari ibu kita,
disebut Mamak. Jadi Mamak tidak hanya sebatas saudara kandung ibu, tapi semua
lelaki yang segenerasi dengan ibu kita dalam suku yang serumpun. Dengan
demikian kita punya Mamak Kanduang, Mamak Sejengkal, Mamak Sehasta, Mamak
Sedepa sesuai dengan jarak hubungan kekeluargaan. Mamak Kandung adalah mamak
dalam lingkungan semande.
Mamak tertua dan yang
lebih tua dari ibu kita, kita panggil dengan istilah Mak Adang dari singkatan
Mamak nan Gadang sedangkan yang lebih muda dari ibu kita , kita sebut dengan
Mak Etek atau Mamak nan Ketek. Mamak yang berusia antara yang tertua dan yang
termuda dipanggil dengan Mak Angah atau Mamak nan Tangah.
Kedudukan Mamak
Mamak mempunyai
kedudukan yang vital dalam struktur kekerabatan minang, khususnya dalam
hubungan Mamak-Kemenakan, seperti diatur dalam Pepatah Adat berikut ini.
Kamanakan barajo ka
mamak,
Mamak barajo ka
panghulu,
Panghulu barajo ka
mufakat,
Mufakat barajo ka nan
bana,
Bana badiri
sandirinyo.
Dari uraian diatas,
dapat dilihat bahwa mamak mempunyai kedudukan yang sejajar dengan ibu kita.
Karena beliau itu saudara kandung. Sehingga mamak dapat diibaratkan sebagai
ibu-kandung kita juga kendatipun beliau lelaki. Adat Minang bahkan
memberikan kedudukan dan sekaligus kewajiban yang lebih berat kepada mamak
ketimbang kewajiban ibu. Adat mewajibkan mamak harus membimbing kemenakan,
mengatur dam mengawasi pemanfaatan harta pusaka, mamacik bungka nan
piawai. Kewajiban ini tertuang dalam pepatah adat, ataupun dalam kehidupan
nyata sehari-hari.
Kewajiban untuk
membimbing kemenakan sudah selalu didendangkan orang Minang dimana-mana. Namun
kini sudah mulai jarang diamalkan Pepatah menyebutkan:
Kaluak paku kacang balimbiang,
Buah simantuang enggang lenggangkan,
Anak dipangku kamanakan dibimbiang,
Urang kampuang dipatenggangkan.
Buah simantuang enggang lenggangkan,
Anak dipangku kamanakan dibimbiang,
Urang kampuang dipatenggangkan.
Kewajiban mamak
terhadap harta pusaka antaranya dalam menjaga batas sawah ladang, mengatur
pemanfaatan hasil secara adil di lingkungan seperindukan, dan yang terpenting
mempertahankan supaya harta adat tetap berfungsi sesuai ketentuan adat.
Fungsi utama harta
pusaka:
·
Sebagai
bukti dan lambang penghargaan terhadap jerih payah nenek moyang yang telah
mencancang-malateh, manambang-manaruko, mulai dari niniek dan inyiek zaman
dahulu, sampai ke mande kita sendiri. Karena itu kurang pantaslah bila kita
sebagai anak cucu, tidak memeliharanya, apalagi kalau mau menjualnya. Tugas
mamak terutama untuk menjaga keberadaan harta pusaka ini.
Ramo-ramo si kumbang
janti,
Katik Endah pulang
bakudo,
Patah tumbuah hilang
baganti,
Harto pusako dijago
juo.
·
Sebagai
lambang ikatan kaum yang bertali darah. Supaya tali jangan putus, kait-kait
jangan sekah (peceh) sehingga pusaka ini menjadi harta sumpah satie (setia),
sehingga barang siapa yang merusak harta pusaka ini, akan merana dan sengsara
seumur hidupnya dan keturunannya.
·
Sebagai
jaminan kehidupan kaum jaman dahulu sehingga sekarang terutama tanah-tanah
pusaka. Baik kehidupan zaman agraris, maupun kehidupan zaman industri, tanah
memegang peranan yang sangat strategis. Jangan terpedaya atas ajaran
individualistis atas tanah, yang bisa menghancurkan sendi-sendi adat Minang.
·
Sebagai
lambang kedudukan social.
Itulah 4 fungsi utama
dari harta pusaka yang menjadi kewajiban mamak untuk
memeliharanya. Kewajiban mamak sebagai pamacik bunka nan piawai, selaku
pemegang keadilan dan kebenaran. Kewajiban ini dilakukan dengan bersikap adil
terhadap semua kemenakan. Antaranya dalam pemanfaatan hasil harta pusaka
tinggi.
Dilain pihak
penanggung jawab terhadap ikatan perjanjian antara pihak luar pesukuan misalnya
dalam ikatan perkawinan. Bila sudah ada kesepakatan antara kedua keluarga, maka
mamaklah menjadi penanggung jawab atas kesepakatan itu. Bila terjadi ingkar
janji, mamaklah yang harus membayar hutang. Bila telah dilakukan Tukar Tando
sebagai tanda kesepakatan, maka mamaklah yang akan menjadi tumpuan dan tumbal
bagi kesepakatan itu. Mamaklah yang menjadi penanggung jawab atas janji antara
kedua keluarga ini, bukan kemenakan yang akan dikawinkan.
Panggilan Generasi Ketiga
Dalam hubungan
pesukuan diatas, terlihat bahwa kita sebagai anak menjadi generasi kelima. Kita
sebagai generasi kelima, memanggil “Uo” atau “Nenek” kepada Mande dari ibu kita
sendiri dan Mamak atau Tungganai (Mamak Kepala Waris) pada saudara lelaki dari
Uo (Nenek) kita. Berdasarkan pada pengelompokkan umur rata-rata, maka yang
diangkat jadi Penghulu dalam pesukuan ini, biasanya dari kelompok tungganai
ini. Pada saat kita lahir, kelompok para tungganai ini berusia sekitar 40
tahun, sehingga memenuhi syarat usia yang pantas untuk memimpin suku (kaum)
kita.
Selanjutnya pada
generasi kedua kita memanggil Gaek untuk perempuan dan Datuak pada lelaki yang
termasuk dalam generasi kedua ini. Generasi pertama (kalau masih hidup)
kita sebut dengan panggilan Niniek untuk perempuan dan Inyiek untul lelaki yang
termasuk generasi pertama. Usia rata-rata generasi pertama ini, pada saat kita
lahir sekitar 80 th.
Bagi mamak atau
tungganai yang diangkat jadi Penghulu, diberi gelar DATUK. Keluarga yang seusia
atau lebih tua dari Penghulu memanggilnya dengan “Ngulu”, sedangkan yang lebih
muda dengan panggilan yang biasa seperti Uda dan Mamak.
6. Suku dan
Pengembangannya
Suku
Asal
Kata suku dari bahasa
Sanskerta, artinya “kaki”, satu kaki berarti seperempat dari satu kesatuan.
Pada mulanya negeri mempunyai empat suku, Nagari nan ampek suku. Nama-nama suku
yang pertama ialah Bodi, Caniago, Koto, Piliang.
Kata-kata ini semua
berasal dari sanskerta:
·
Bodi
dari bhodi (pohon yang dimuliakan orang Budha)
·
Caniago
dari caniaga (niaga = dagang) ·
·
Koto
dari katta (benteng)
·
Piliang
dari pili hiyang (para dewa)
Bodi Caniago adalah
kelompok kaum Budha dan saudagar-saudagar (orang-orang niaga) yang memandang
manusia sama derajatnya.
Koto Piliang adalah
kelompok orang-orang yang menganut agama Hindu dengan cara hidup menurut
hirarki yang bertingkat-tingkat.
Dalam tambo,
kata-kata Bodi Caniago dan Koto Piliang ditafsirkan dengan : Budi Caniago =
Budi dan tango, budi nan baharago, budi nan curigo Merupakan lambang ketinggian
Dt. Perpatih nan Sabatang dalam menghadapi pemerintahan aristokrasi Dt.
Katumanggungan. Koto Piliang = kata yang pilihan (selektif) dalam menjalankan
pemerintahan Dt. Katumanggungan.
Pertambahan Suku
Suku yang empat itu
lama-lama mengalami perubahan jumlah karena:
·
Pemecahan
sendiri, karena warga sudah sangat berkembang. Umpama : suku koto memecah
sendiri dengan cara pembelahan menjadi dua atau tiga suku.
·
Hilang
sendiri karena kepunahan warganya, ada suku yang lenyap dalam satu nagari.
·
Perpindahan,
munculnya suku baru yang warganya pindah dari negeri lain.
· Tuntutan
kesulitan sosial, hal ini timbul karena masalah perkawinan, yang melarang kawin
sesuku (eksogami). Suatu suku yang berkembang membelah sukunya menjadi dua atau
tiga.
Biasanya suku-suku
yang baru tidak pula mencari nama baru. Nama yang lama ditambah saja dengan
nama julukan. Jika suku bari itu terdiri dari beberapa ninik, jumlah ninik itu
dipakai sebagai atribut suku yang baru itu. Koto Piliang memakai angka genap
dan Bodi Caniago memakai angka ganjil. Umpama:
·
Suku
Melayu membelah menjadi : melayu ampek Niniak, Melayu Anam Niniak, Caniago Tigo
Niniak, Caniago Limo Niniak (Bodi Chaniago)
·
Kalau
gabungan terdiri dari sejumlah kaum, namanya : Melayu Ampek Kaum (Koto
Piliang), Melayu Tigo Kaum (Bodi Caniago)
·
Apabila
gabungan terdiri dari sejumlah korong namanya : Melayu Duo Korong (Koto
Piliang), Caniago Tigo Korong (Bodi Caniago)
Pembentukan
Suku dipemukiman baru
perpindahan dari beberapa negeri ke tempat pemukiman baru di luar wilayah
negari masing-masing, ditempat yang baru itu dapat dibuat suku dengan memilih
beberapa alternatif:
·
Setiap
anggota bergabung dengan suku yang sejenis yang terlebih dulu tiba di tempat
itu.
·
Beberapa
ninik atau kaum dari suku yang sama berasal dari nagari yang sama bergabung
membentuk suku baru. Nama sukunya pakai nan spt: Caniago nan Tigo Niniak atau
Caniago nan Tigo.
·
Apabila
tidak ada tempat bergabung dengan suku yang sama lalu mereka berkelompok
membentuk suku baru. Mereka memakai nama suku asli dari negerinya tanpa
atribut, spt asal Kitianyir ditempat baru tetap Kutianyir.
·
Membentuk
suku sendiri di nagari baru tanpa bergabung dengan suku yang ada ditempat lain.
Biasanya memakai atribut korong spt Koto nan Duo Korong.
·
Orang-orang
dari bermacam-macam suku bergabung mendirikan suku yang baru. Nama suku diambil
dari nama negeri asal : spt Suku Gudam (negeri Lima Kaum), Pinawan (Solok
Selatan), suku Padang Laweh, suku Salo dsb.
Selain dari itu ,
cara-cara lain yaitu mengambil nama-nama dari:
·
Tumbuh-tumbuhan,
seperti Jambak, Kutianyir, Sipisang, Dalimo, Mandaliko, Pinawang dll.
·
Benda
seperti Sinapa, Guci, Tanjung, Salayan dll.
·
Nagari
seperti Padang Datar, Lubuk Batang, Padang Laweh, Salo dll.
·
Orang
seperti Dani, Domo, Magek dll.
Suku yang demikian
lebih banyak daripada suku-suku yang semula. Apabila dijumlahkan nama-nama suku
itu seluruhnya sudah mendekati seratus buah di seluruh Alam Minangkabau.
Adat orang sesuku
Orang-orang yang
sesuku dinamakan badunsanak atau sakaum. Pada masa dahulu mulanya antara orang
yang sesuku tidak boleh kawin walaupun dari satu nagari, dari satu luhak ke
luhak. Tetapi setelah penduduk makin bertambah banyak, dan macam-macam suku
telah bertambah-tambah, dewasa ini hal berkawin seperti itu pada beberapa
nagari telah longgar. Tiap-tiap suku itu telah mendirikan penghulu pula dengan
ampek jinihnyo. Jauh mencari suku, dakek mancari indu, sesungguhnya
sejak dahulu sampai sekarang masih berlaku, artinya telah menajdi adat juga.
Adat serupa ini sudah menjadi jaminan untuk pergi merantau jauh.
Mamak ditinggakan,
mamak ditapati. Mamak yang dirantau itulah, yaitu orang yang sesuku dengan
pendatang baru itu yang menyelenggarakan atau mencarikan pekerjaan yang
berpatutan dengan kepandaian atau keterampilan dan kemauan “kemenakan” yang
datang itu sampai ia mampu tegak sendiri. Baik hendak beristri, sakit ataupu
kematian mamak itu jadi pai tampek batanyo, pulang tampek babarito, bagi
kemenakan tsb. Sebaliknya “kemenakan” itu harus pula tahu bacapek kaki baringan
tangan menyelenggarakan dan memikul segala buruk baik yang terjadi dengan
“mamak” nya itu. Dengan demikian akan bertambah eratlah pertalian kedua belah
pihak jauh cinto-mancinto, dakek jalang manjalang. Tagak basuku mamaga suku
adalah adat yang membentengi kepentingan bersama yang merasa semalu serasa.
Bahkan menjadi adat pusaka bagi seluruh Minangkabau, sehingga adat basuku itu
berkembang menjadi Tagak basuku mamaga suku tagak banagari mamaga nagari, tagak
baluhak mamaga luhak dll. Artinya orang Minangkabau dimana saja tinggal
akan selalu bertolong-tolongan, ingat mengingatkan, tunjuk menunjukkan, nasehat
menasehatkan, ajar mengajarkan. Dalam hal ini mereka tidak memandang tinggi
rendahnya martabat, barubah basapo batuka baangsak.
Karena adat itulah
orang Minangkabau berani pergi merantau tanpa membawa apa-apa, jangankan modal.
Kalau pandai bakain panjang Labiah dari kain saruang Kalau pandai bainduak
samang Labiah dari mande kanduang. Lebih-lebih kalau yang datang dengan
yang didatangi sama-sama pandai. Padilah nan sama disiukkan sakik nan samo
diarangkan. Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang. Apalagi kalau “ameh
lah bapuro, kabau lah bakandang“.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar