I. Pendahuluan
Al-Qur’an,
sejak diturunkan sampai sekarang, diyakini oleh kaum muslimin sebagai kalam
Allah Subhanahu wa ta’ala yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Salalhhuhu
alaihi wasalam. Umat Islam juga sepakat bahwa kitab tersebut terjaga
keotentikannya. Semua isinya diyakini kebenarannya, tanpa reserve.
Kaum
muslimin meyakini sebagai mukjizat abadi Nabi Muhammad SAW, setiap kata di
dalam Al-Qur’an adalah perkataan atau kalam Allah yang qadim. Ia tetap
terpelihara seperti bentuk aslinya, sebagaimana janji Allah atas kemurniannya
yang disebutkan dalam Al-Qur’an:
Ayat
ini oleh kaum muslimin diyakini sebagai bentuk jaminan dari Allah yang akan
menjaga keaslian Al-Qur’an sampai hari kiamat. Ayat seperti ini tidak ditemukan
dalam kitab-kitab lain. Artinya, kitab selain Al-Qur’an tidak ada yang menjamin
dirinya terjaga dari kesalahan dan kekeliruan.
Tentu
saja, fakta ini membuat iri pemeluk agama-agama lain, khususnya
orientalis-misionaris dari Yahudi dan Nasrani. Maklum, sampai sekarang,
belum ada kesepakatan diantara mereka mengenai keaslian kitabnya. Sebagian
bahkan terang-terangan mengatakan bahwa kitab mereka bermasalah dari segi
otentisitas. Ini mereka nyatakan setelah melakukan kajian yang medalam terhadap
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Misalkan ditemukan bukti bahwa bahwa pada
abad 5 Masehi, Perjanjian Lama (PL) isinya ternyata mengalami perubahan. Demikian juga Perjanjian Baru (PB) juga mengalami hal yang
sama.
Hal
inilah yang kemudian membuat para orientalis sangat berambisi agar kaum
muslimin juga mencontoh mereka, yaitu mempersoalkan atau bahkan menggugat
isinya.
Untuk
memberi kesan seolah-olah yang mereka lakukan itu obyektif dan autoritatif,
sehingga bisa dicontoh kaum muslimin, biasanya mereka “berkedok” sebagai pakar
dalam bahasa, sejarah, agama dan kebudayaan Timur, baik yang ‘jauh’ (Far
Eastern, seperti Jepang, Cina dan India) maupun yang ‘dekat’ (Near
Estern, seperti Persia, Mesir, dan Arabia).
Disadari
atau tidak, dalam lingkup kajian Al-Qur’ân, akar gerakan orientalisme memang
benar-benar telah menjalar demikian dalam, kokoh dan tak mudah dicabut.
Kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan dari beragam ‘analisa’ yang mereka
lakukan, seakan-akan tampak sebagai buah dari kajian objektif dan sistematis.
Padahal sejatinya, kajian tersebut penuh dengan kecurangan-kecurangan.
Sayangnya,
sebagian sarjana muslim ternyata terpengaruh dengan hasil kajian-kajian
orientalis tersebut. Karenanya, tidak heran jika sebagian dari mereka ada yang
terhanyut, lalu tenggelam oleh derasnya rasionalisme; metode dasar kajian
orientalisme. Bahkan mereka merasa kagum dengan kajian-kajian tersebut dan
menganggap pling limiah. Atau setidaknya mereka menjadi pembela para
orientalis dan menganjurkan kaum muslimin agar tidak apriori dan mencontoh
kajian yang dilakukan mereka terhadap Al-Qur’an.
Entah
karena motif apa, kelompok ini kemudian juga mencoba ikut-ikutan
menggugat, mempersoalkan dan mengutak-atik yang sudah jelas dan mapan dalam
Al-Qur’an.
Sebagai
bukti, Luthfi Assyaukanie, Direktur Lembaga Religious Reform Project (RePro)
Jakarta, dalam tulisannya ‘Alquran dan Orientalisme’
yang dimuat milis Jaringan Islam Liberal, mengajak kaum muslimin menjadikan
karya-karya orientalis sebagai rujukan dalam mengkaji Al-Qur’an.
Menurutnya,
karya-karya mereka layak dipakai sebagai penuntun untuk mengetahui sejarah
Al-Qur’an secara lebih komprehensif. Ini didasari pemikiran bahwa studi yang
dilakukan orientalis sangat padat dan kaya dengan rujukan sumber-sumber Islam
klasik. Penguasaan mereka akan bahasa Arab dan peradaban Mediterania dapat membantu
mengeksplorasi hal-hal yang selama ini tercecer dalam tumpukan kitab-kitab
klasik. Dengan bantuan para orientalis, kaum muslimin dapat melihat secara
lebih komprehensif lagi sejarah pembentukan Al-Qur’an.
Bahkan
Luthfi dengan bangganya mengatakan, dirinya telah mengecek sebagian
sumber-sumber kitab klasik yang dirujuk beberapa orientalis seperti Arthur
Jeffrey, Theodor Noldeke, dan John Wansbrough. Menurutnya, dalam melakukan
studi Al-Qur’an, sejauh menyangkut data, tak ada satupun kekeliruan yang mereka
perbuat. Semuanya tepat dan mengagumkan.
Lebih
ironis lagi, Luthfi menuduh para ulama sengaja menyembunyikan data tentang
sejarah Al-Qur’an. Atau setidaknya menilai mereka tidak tahu akan wacana yang
begitu kompleks dalam literatur sejarah kitab suci kaum muslimin tersebut.
Berdasar
pandangan ini, kemudian ia menolak adanya pemikiran negatif dari kaum
muslimin tentang orientalis. Menurutnya, pandangan-pandangan yang kerap dituduh
sebagai “ciptaan orientalis” itu sesungguhnya adalah fakta sejarah yang terekam
dalam kitab-kitab mu’tabarah (rujukan). Misalkan ia mencontohkan, dalam
al-Fihrist karya Ibn Nadiem disebutkan bahwa surah Al-Fatihah bukanlah bagian
dari Al-Qur’an; dalam Al-Itqan karya Jalaluddin al-Suyuthi disebutkan bahwa
surah al-Ahzab semula berjumlah 200 ayat, tapi kemudian dipotong hingga kini
hanya menjadi 73 ayat; dalam al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an karya Imam Zarkasyi
disebutkan bahwa ada dua surah yang tidak dimasukkan dalam mushaf Uthmani,
yakni surah al-Khul’ dan al-Hafd.
Data-data
seperti itu, menurut Luthfi, diungkapkan dan didiskusikan secara obyektif oleh
para orientalis, dan kaum muslimin bisa langsung mengecek dan membuktikannya
dengan merujuk kitab-kitab yang disebutkan. Akses terhadap kitab-kitab klasik
itu pun semakin mudah karena sebagian besar sudah di-tahqiq dan diterbitkan.
Karenanya,
Luthfi berksimpulan, manfaat yang diwariskan tradisi keilmiahan orientalisme
jauh lebih besar ketimbang mafsadahnya.
Pemikiran
seperti ini kini mulai berkembang dan mendapat tempat di kalangan pemikir muda
Islam yang memang memiliki pola pikir yang sama dengan
Lutfie.
Paper
ini mencoba mengkritisi pemikiran tersebut dengan memulai melakukan kajian
terhadap sejarah orientalisme, kemudian usaha mereka menjatuhkan Islam dan
kenapa sebagian kaum muslimin bisa terpengaruh dengan pemikiran tersebut.
Kemudian juga dipaparkan bantahan-bantahan dari cendekiawan muslim yang bisa membuktikan
bahwa kajian para orientalis itu penuh dengan penipuan dan
kecurangan-kecurangan. Kajian-kajian mereka didasari oleh rasa kebencian
terhadap Islam dan kaum muslimin.
II. Sejarah Orientalisme
Dalam
buku Ensiklopedi Islam, orientalisme didefiniskan sebagai pemahaman
masalah-masalah ketimuran. Istilah ini berasal dari bahasa Perancis, orient
yang berarti timur atau bersifat timur. Isme berarti paham, ajaran,
sikap atau cita-cita.
Secara
analitis, orientalisme dibedakan atas: (1) keahlian mengenai wilayah timur (2)
metodologi dalam mempelajari masalah ketimuran, dan (3) sikap ideologis
terhadap masalah ketimuran, khususnya terhadap dunia Islam.
Orang
yang mempelajari masalah-masalah ketimuran (termasuk keislaman) disebut
orientalis. Para orientalis adalah ilmuwan Barat yang mendalami bahasa-bahasa,
kesustraan, agama, sejarah, adat istiadat dan ilmu-ilmu dunia Timur. Dunia
Timur yang dimaksud di sini adalah wilayah yang terbentang dari Timur Dekat
sampai ke Timur jauh dan negara-negara yang berada di Afrika Utara.
Minat
orang Barat terhadap masalah-masalah ketimuran sudah berlangsung sejak Abad
Pertengahan. Mereka telah melahirkan sejumlah karya yang menyangkut masalah
Dunia Timur.
Dalam
rentang waktu antara Abad Pertengahan sampai abad ini, secara garis besar,
orientalisme dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu: (1) masa sebelum perang
Perang Salib, di saat umat Islam berada dalam zaman keemasannya (650-1250); (2)
masa Perang Salib sampai Masa Pencerahan di Eropa; dan (3) munculnya Masa
Pencerahan di Eropa sampai sekarang.
Di
saat umat Islam berada dalam zaman kekemasan, negeri-negeri Islam, khususnya
Baghdad dan Andalusia (Spanyol Islam) menjadi pusat peradaban dan ilmu
pengetahuan. Bangsa Eropa yang menjadi penduduk asli Andalusia yang memakai
bahasa Arab dan adat-istiadat Arab dalam kehidupan sehari-hari. Mereka
bersekolah di perguruan-perguruan Arab.
Diantara
raja-raja spanyol yang non-muslim (misalkan, Peter I (w.1104), raja Arogan),
ada yang hanya mengenal huruf Arab. Alfonso IV mencetak uang dengan memakai
tulisan Arab. Di Sicilia keadaannya juga sama. Raja Normandia, Roger I,
menjadikan istananya sebagai tempat pertemuan para filsuf, dokter-dokter, dan
ahli islam lainnya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ketika Roger II
bahkan lebih banyak dipengaruhi kebudayaan Islam. Pakaian kebesaran yang
dipilihnya ialah pakaian Arab. Gerejanya dihiasi dengan ukiran dan
tulisan-tulisan Arab. Wanita Kristen Sicilia meniru wanita Islam dalam soal
mode pakaian.
Peradaban
itu bukan hanya berpengaruh bagi bangsa Eropa yang berada dibawah atau bekas
kekuasaan Islam, tetapi juga bagi orang Eropa di luar daerah itu. Penuntut ilmu
dari Perancis, Inggris, Jerman, dan Italia, dating belajar ke perguruan dan
universitas yang ada di Andalusia dan Sicilia. Di antaranya terdapat
pemuka-pemuka agama Kristen, misalnya Gerbert d’Aurillac yang belajar di
Andalusia dan Adelard dari Bath (1107-1135) yang belajar di Andalusia dan
Sicilia. Gerbert kemudian menjadi Paus di Roma dari tahun 999-1003 dengan nama
Sylvester II. Adapun Adelard setelah kembali ke Inggris diangkat menjadi guru
Pangeran Hanry yang kelak menjadi Raja. Ia menjadi salah satu penerjemah
buku-buku Arab ke dalam bahasa Latin.
Dalam
suasana inilah muncul orientalisme di kalangan Barat. Bahasa Arab mulai
dipandang sebagai bahasa yang harus dipelajari dalam bidang ilmiah dan
filsafat. Pelajaran bahasa Arab dimasukkan dalam kurikulum berbagai perguruan
tinggi Eropa, seperti di Bolagna (Italia) pada tahun 1076, Chartres (Perancis)
tahun 1117, Oxford (Inggris) tahun 1167, dan Paris tahun 1170. Munculnya
penerjemah generasi pertama, yakni Constatinus Africanus (w.1087) dan Gerard
Cremonia (w.1187).
Dalam
fase pertama ini, tujuan orientalisme ini memindahkan ilmu pengetahuan dan
filsafat dari dunia Islam ke Eropa. Ilmu pengetahuan tersebut diambil
sebagaimana adanya.
Pada
perkembangan berikutnya, perhatian orang Eropa terlihat kian meningkat.
Pelajaran bahasa Arab semakin digiatkan di universitas-universitas. Di Italia
pengajaran bahasa Arab diadakan di Roma (1303), Florencia (1321), Padua (1361),
dan Gregoria (1553), di Perancis diadakan di Toulouse (1217), Montpellier
(1221), dan Bourdeaux (1441); dan di Inggris dilaksanakan di Cambridge (1209).
Di bagian Eropa lainnya pelajaran bahasa Arab dimulai sesudah ke-15.
b. Dari Perang Salib
sampai Masa Pencerahan Eropa
Perang
Salib antara Kristen Barat dan Islam Timur yang berlangsung dari tahun
1096-1291 membawa kekalahan bagi golongan Kristen. Tidak lama setelah perang
agama ini selesai, Kerajaan Otoman (Usmani) mengadakan serangan-serangan ke
Eropa. Adrianopel jatuh pada tahun 1366, Constatinopel (Istanbul) jatuh pada
tahun 1453, bahkan Yerusalem dirampat umat Islam dan kemudian disusul wilayah
Balkan.
Kekalahan
dalam perang Salib dan jatuhnya Constatinopel merupakan pengalaman pahit
Kristen Eropa, sehingga raja-raja Eropa bersumpah untuk mengusir kaum “kafir”.
Maka muncullah semangat orang-orang Eropa untuk mengkritik, mengecam, dan
menyerang Islam dari berbagai kepentingan. Sebagai bias dari kebencian ini,
pengarang-pengarang orientalis mulai menulis buku-buku dengan gambaran yang
salah terhadap Islam. Hal-hal yang sebenarnya tidak terdapat dalam islam,
bahkan yang bertentangan mulai disiarkan ke Eropa.
Dalam
periode ini, para orientalis menggambarkan nabi Muhammad SAW sebagai orang yang
terserang epilepsy, gila perempuan, penjahat, pendusta, dan sebaganya. Oleh
karena itu agama yang dibawanya bukanlah agama yang benar. Yang benar adalah
agama Kristen yang dibawa Yesus Kristus.
Agama
Islam juga dikatakan mengajarkan Trinitas. Dua dari unsur trinitas itu adalah
Muhammad SAW dan Apollo. Disebutkan pula bahwa Nabi Muhammad Saw disembah dalam
bentuk patung yang terbuat dari emas dan perak. Dikatakan juga Islam
membolehkan poliandri. Selanjutnya disebutkan pula bahwa orang Islam diwajibkan
membunuh orang Kristen sebanyak mungkin sebagai suatu jalan masuk surga. Islam
menurut mereka disiarkan dengan pedang, dalam arti pedang diletakkan di leher
orang agar dia masuk Islam. Jadi kesalahpahaman tentang Islam yang ditimbulkan
oleh orientalis ketika itu lebih parah daripada kesalahpahaman tentang Kristen
yang ditumbulkan tulisan-tulisan orang Islam.
c. Dari Masa Pencerahan
hingga Sekarang
Permusuhan
antara Kristen dan Islam yang timbul akibat adanya tulisan-tulisan negatif
mulai mereda setelah memasuki Masa Pencerahan (Enlightenment) di Eropa, yang
diwarnai oleh keinginan untuk mencari kebenaran. Pada masa ini kekuatan rasio
mulai meningkat. Dalam sebuah tulisan yang diperlukan adalah sifat obyektif,
bukan mengada-ada. Mulailah muncul tulisan-tulisan mengenai Islam yang mencoba
bersifat positif, misalnya tulisan-tulisan Voltaire (1684-1778) dan Thomas
Crlyle (1896-1947).
Tidak
semua tulisan mengenai Islam mengandung hal-hal yang menjelek-jelekkan, akan
tetapi telah mulai berisikan penghargaan terhadap Nabi Muhammad SAW dan
Al-Qur’an serta ajaran-ajarannya. Jadi mereka mengadakan studi mengenai Islam
untuk mengetahui Islam yang sebenarnya.
Setelah
Masa Pencerahan, datanglah Masa Kolonialisme. Orang Barat dating ke negara
Islam untuk berdagang dan kemudian untuk mendudukkan bangsa-bangsa Timur. Untuk
itu bangsa-bangsa Timur perlu dikenal lebih dekat, termasuk agama dan kultur
mereka, karena dengan ini hubungan dagang menjadi lancar dan mereka mudah
ditundukkan.
Pada
masa ini muncullah karya-karya yang mencoba memberikan gambaran yang sebenarnya
tentang Islam. Misalnya tentang agama dan adat istiadat Indonesia. Bahkan
ketika Napoleon I mengadakan eksperimen ke Mesir pada tahun 1798, ia membawa
sejumlah orientalis untuk mempelajari adat istiadat, ekonomi dan pertanian
Mesir. Di antara orientalis itu adalah Langles (ahli bahasa Arab), Villoteau
(mempejari musik Arab) dan Marcel (mmpelajari sejarah Mesir).
Pada
periode ini tulisan-tulisan para orientalis ditujukan untuk mempelajari Islam
seobyektif mungkin, agar dunia Islam diketahui dan dipahami lebih mendalam. Hal
ini perlu karena orientalisme tidak bisa begitu saja terlepas dari
kolonialisme, bahkan juga usaha Kristenisasi.
Namun
begitu, awal abad ke-20 juga ditandai dengan munculnya para orientalis yang
berusaha menulis dunia Islam secara ilmiah dan obyektif. Orientalisme dijadikan
sebagai usaha pemahaman terhadap dunia Timur secara mendalam. Dalam tradisi
ilmiah baru ini, bahasa Arab dan pengenalan teks-teks klasik mendapat kedudukan
utama. Diantara mereka adalah Sir Hamilton A.R. Gibb, Louis Massignon, W.C.
Smith, dan FrithjofSchoun.
Sir
Hamilton dan Gibb sangat menguasai bahasa Arab dan dapat berceramah dengan
bahasa ini, sehingga ia diangkat menjadi anggota al-ajma’al al-Ilm al-Arabi
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Arab) di Damascus dan al-Majma’ al-Lugho al-Arabiyyah
(Lembaga bahasa Arab di Cairo), Mesir. Ia memandang Islam sebagai agama yang dinamis
dan Nabi Muhammad SAW mempunyai ahlak yang baik dan benar.
Gibb
menulis buku tentang Islam dalam berbagai aspeknya hingga mencapai lebih dari
20 buah, sehingga oleh orientalis lain dipandang sebagai iman mereka tentang
Islam.
Sama
seperti Gibb, Louis Massignon juga mahir berbahasa Arab dan menjadi anggota
al-ajma’al al-Ilm al-Arabi dan al-Majma’ al-Lugho al-Arabiyyah. Ia pernah
menjadi dosen filsafat Islam di universitas Cairo. Ia mengatakan, berkat adanya
tasawuf, Islam menjadi agama internasional yang pengikutnya ada di seluruh
dunia.
W.C.
Smith mempunyai ilmu yang mendalam tentang Islam. Ia adalah pendiri Institut
Pengkajian Islam di Universitas McGill di Montreal, Canada. Ia mengatakan bahwa
Tuhan ingin menyampaikan risalah kepada manusia. Untuk itu Tuhan mengirim
rasul-rasul dan satu diantara rasul itu ialah Muhammad SAW.
Frithjof
Scoun menulis buku dengan judul Understanding Islam yang mendapat sambutan baik
dari dunia Islam. Sayid Husein Nasir (ahli ilmu sejarah dan filsafat),
misalkan, menyebut buku tersebut sebagai buku terbaik tentang Islam sebagai
agama dan tuntunan hidup.
Namun
tidak semua pendapat yang dimajukan para orientalis modern tentang Islam bisa
diterima kaum Muslimin, karena diantara mereka ada yang salah dalam
menginterpretasi terhadap ajaran-ajaran Islam.
Kegiatan
yang dilakukan orientalis meliputi: (1) mengadakan kongres-kongres secara
teratur yang dimulai di Paris tahun 1870-an dan di kota-kota lain di dunia
secara bergantian. Kongres-kongres pada mulanya bernama Orientalist Congress.
Sejak tahun 1870-an telah berganti nama menjadi International Congres on Asia
and North Africa; (2) mendirikan lembaga-lembaga kajian ketimuran, diantaranya
Ecole des Langues Orientalis Vivantes (1795) di Perancis, The School of
Oriental and African Studies, Universitas London, (1917) di Inggris, Oosters
Institut (1917) di Universitas Leiden, dan dan Institut voor het Moderne Nabije
Oosten (1956) di Universitas Amsterdam: (3) mendirikan organisasi-organisasi
ketimuran seperti Societe Asiatuque (1822) di Paris, American Oriental Society
(1842) di Amerika Serikat, Royal Asiatic Society di Inggris, dan Oosters
Genootschap in Nederland (1929) di Leiden; dan (4) menerbitkan majalah-majalah,
diantaranya Journal Asiatique (1822) di Paris, Journal of the Royal Asiatic
Society (1899) di London, Journal of the American Oriental Soceity (1849) di
Amerika Serikat, The Muslim World (1917) di Amerika Serikat. Majalah-majalah
ini sebagian besar masih terbit sampai sekarang.
Sebenarnya,
objek studi orientalisme tidak melulu Islam dan kebudayaannya. Studi terhadap
kebudayaan Cina masih termasuk dalam lingkup orientalisme. Namun, yang paling
kental mewarnai gelombang orientalisme adalah studi tentang Islam dan
kebudayaannya.
Diantara
para oreintalis tersebut, memang kita akui ada yang obyektif menilai Islam.
Tapi sebagian besar bersifat subyektif dan memiliki misi tertentu. Nama-nama
seperti Arthur Jeffry, Alphonse Mingana, Pretzal, Tisdal, Gadamer dan lain-lain
termasuk kelompok orientalis yang selama ini dikenal memusuhi Islam. Banyak
karya tulis mereka yang memojokkan Islam dan kaum muslimin.
Sir
Willliam Muir (1819-1905) tanpa ragu-ragu membuat pernyataan, “Islam sebagai
musuh peradaban, kebebasan, dan kebenaran sebagaimana diakui dunia”
Pernyataan
seperti ini bukanlah hal yang baru yang akan terus dilontarkan para orientalis.
Sangat wajar jika kemudian kaum muslimin merasa sakit hati dan tidak terima
dengan pernyataan-pernyataan seperti itu. Dan juga tidak wajar jika diantara
umat Islam merasa tidak sakit hati sebagaimana yang dinyatakan Lutfi.
III. Orientalis dan Al-Qur’an
Salah
satu objek kajian dalam Islam yang menarik minat orientalis adalah Al-Qur’an.
Mereka sengaja mengkaji kitab suci kaum muslimin ini untuk mencari pembuktian
kalau-kalau ada penyimpangan di dalamnya, sebagaimana yang terjadi pada
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Diantara
karya mereka yang nampak jelas berkaitan dengan masalah ini antara lain:
1.
A. Mingana and A. Smith (ed.) dalam bukunya, “Leaves from Three Ancient
Qurans, Possibly Pre-’Othmanic with a List oftheir Variants,
Cambridge, 1914;”
2.
G. Bergtrasser, dalam bukunya, “Plan eines Apparatus Criticus zum Koran”, Sitrungsberichte
Bayer. Akad., Munchen, 1930, Heft 7;
3.
O. Pretzl, dalam bukunya “Die Fortfuhrung des Apparatus (‘riticus zum Koran”,
Sitzungsberichte Bayer. Akad., Miinchen, 1934, Heft 5;” dan
4.
A. Jeffery dalam bukunya, “The Qur’an as Scripture, R.F. Moore Company,
Inc., New York, 1952.”
Para
orientalis ini begitu getol ‘menyerang’ Al-Qur’an, karena tidak rela melihat
kenyataan bahwa kaum muslimin masih meyakini keotentikan Al-Qur’an. Sedang
kenyataan yang terjadi pada mereka, Injil terbukti bermasalah, yang membuat
mereka kecewa. Sehingga dengan segala upaya, mereka juga ingin menjatuhkan
Al-Qur’an.
Didasari
oleh kecemburuan inilah kemudian mereka mengumumkan perlunya melakukan kritik
terhadap Al-Qur’an, sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap Bible.
Pada
tahun 1927, Mingana, pendeta Kristen asal Iraq dan guru besar di
Universitas Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang
untuk melakukan kritik teks terhadap Al-Qur’an sebagaimana yang telah kita
lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci
Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of
the Koran to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and
Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures).”
Tentus
saja ajakan ini disambt baik oleh para orientalis lainnya. Mereka sengaja
melakukan hal ini karena ingin mencari pembuktian bahwa Al-Qur’an
kemungkinan juga bukan asli, sebagaimana yang terjadi pada Bible yang memang
terbukti banyak campur-tangan manusia di dalamnya, sehingga sulit dibedakan
mana yang benar-benar wahyu dan bukan.
Sebab,
sebagaimana ditegaskan oleh Kurt Aland dan Barbara Aland dalam “The Text of the
New Testament” (1995), bahwa sampai abad ke-14 teks Perjanjian Baru berkembang
bebas, sehingga banyak yang melakukan koreksi terhadap teks Bible baik dari
segi tata bahasa, gaya bahasa dan isinya (Until the beginning of the
fourth century, the text of the New Testament developed freely….Even for later
scribes, for example, the parallel passages of the Gospels were so familiar
that they would adapt the text of one Gospel to that of another. They also felt
themselves free to make corrections in the text, improving it by their own
standard of correctness, whether grammatically, stylistically, or more
substantively).
Demikian
juga St.Jerome, seorang rahib Katolik Roma yang belajar teologi, juga
mengeluh soal banyaknya penulis Bibel yang menuliskan apa yang tidak ditemukan,
tapi apa yang mereka pikirkan artinya; selagi mereka mencoba meralat kesalahan
orang lain, mereka hanya mengungkapkan dirinya sendiri. (wrote down not what
they find but what they think is the meaning; and while they attempt to rectify
the errors of others, they merely expose their own).
Kecewa
dengan kenyataan semacam itu, R. Bentley, Master of Trinity College pada tahun
1720 menghimbau Umat Kristen agar mencampakkan kitab suci mereka, yakni naskah
Perjanjian Baru versi Paus Clement 1592 (”…the ‘textus receptus’ to be
abandoned altogether”!).
Seruan
tersebut dilanjutkan dengan munculnya “edisi kritis” Perjanjian Baru hasil
‘utak-atik’ Brooke Foss Westcott (1825-1903) and Fenton John Anthony Hort
(1828-1892).
Ternyata
setelah mereka selesai melakukan kritik terhadap Bible, kemudian dilanjutkan
terhadap Al-Qur’an. Dengan memakai metodologi yang sama, yaitu model tafsir hermeneutik,
mereka mulai mengkaji Al-Qur’an. Ini mereka lakukan karena berangapan bahwa
Al-Qur’an juga bikinan manusia yaitu, Nabi Muhammad sebagaimana Al-Kitab yang
memang mereka temukan buatan manusia.
Sebenarnya,
anggapan mereka ini sudah dibantah sendiri oleh Allah dalam Al-Qur’an. Allah
berfirman
(”Bahkan
mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an itu”, Katakanlah:
“(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang
menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain
Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.”
Ayat
ini secara tersirat menjelaskan bahwa Nabi Muhammad bukanlah pembuat Al-Qur’an.
Yang membuat Al-Qur’an adalah Dzat Yang Maha Kuasa, yaitu Allah SWT.
Mingana
bukanlah yang pertama kali melontarkan himbauan semacam itu, dan ia juga tidak
sendirian. Jauh sebelum itu, tepatnya pad 1834 di Leipzig, seorang orientalis
Jerman bernama Gustav Fluegel menerbitkan hasil kajian filologinya. Naskah yang
ia namakan Corani Textus Arabicus tersebut sempat dipakai “tadarrus” oleh
sebagian aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL).
Kemudian
datang Theodor Noeldeke yang berusaha merekonstruksi sejarah Al-Qur’an dalam
karyanya Geschichte des Qorans (1860), sebuah upaya yang belakangan ditiru oleh
Taufik Adnan Amal, juga dari Jaringan Islam Liberal.
Lalu
pada tahun 1937 muncul Arthur Jeffery yang ingin mendekonstruksi al-Mushaf
al-Uthmani dan membuat mushaf baru. Orientalis asal Australia yang pernah
mengajar di American University, Cairo dan menjadi guru besar di Columbia
University ini, konon ingin merekonstruksi teks Al-Qur’an berdasarkan Kitab
al-Masahif karya Ibn Abi Dawuud as-Sijistaani yang ia anggap mengandung
bacaan-bacaan dalam mushaf tandingan (yang ia istilahkan dengan ‘rival
codices’). Jeffery bermaksud meneruskan usaha ini.
Gotthelf
Bergstraesser dan Otto Pretzl yang pernah bekerja keras mengumpulkan foto
lembaran-lembaran (manuskrip) Al-Qur’an dengan tujuan membuat edisi kritis
Al-Qur’an (tetapi gagal karena semua arsipnya di Munich musnah saat Perang
Dunia ke-II berkecamuk), sebuah ambisi yang belum lama ini di-echo-kan oleh
Taufik Amal dari JIL. Saking antusiasnya terhadap qira’aat-qira’aat pinggiran
alias ‘nyleneh’ (Nichtkanonische Koranlesarten) Bergstraesser lalu mengedit
karya Ibn Jinni dan Ibn Khalaawayh.
Bagi
para orientalis ini, ‘isnaad’ tidak penting dan, karena itu, riwayat yang
’shaadh’ bisa saja dianggap ’sahih’, yang ‘aahaad’ dan ‘ghariib’ bisa saja
menjadi ‘mutawaatir’ dan ‘mashhuur’, dan yang cacat disamakan dengan yang
sempurna. Yang demikian itu merupakan teknik dan strategi utama mereka
menjungkir-balikkan kriteria dan nilai, menyepelekan yang fundamental dan
menonjolkan yang ‘trivial’. Maka yang digembar-gemborkan adalah isu
naasikh-mansuukh, soal adanya surat tambahan versi kaum Shi’ah, isu “Gharaaniq”
dan lain sebagainya. Ada pula yang apriori mau merombak susunan ayat dan surah
Al-Qur’an secara kronologis, mau “mengoreksi” bahasa Al-Qur’an ataupun ingin
merubah redaksi ayat-ayat tertentu.
Kajian
orientalis terhadap Al-Qur’an tidak sebatas mempersoalkan oentisitasnya. Isu
klasik yang selalu diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster,
dan lain sebagainya terhadap Islam & isi kandungan Al-Qur’an (theories
of borrowing and influence), baik yang mati-matian berusaha mengungkapkan apa
saja yang bisa dijadikan bukti bagi ‘teori pinjaman dan pengaruh’
tersebut-seperti dari literatur & tradisi Yahudi-Kristen (Abraham
Geiger, Clair Tisdall, dan lain-lain) -maupun yang membandingkannya dengan
adat-istiadat Jaahiliyyah, Romawi dan lain sebagainya. Biasanya mereka akan
mengatakan bahwa cerita-cerita dalam Al-Qur’an banyak yang keliru dan tidak
sesuai dengan versi Bible yang mereka anggap lebih akurat.
Sikap
anti-Islam ini tersimpul dalam pernyataan ‘miring’ seorang orientalis Inggris
yang banyak mengkaji karya-karya sufi, Reynold A. Nicholson. Kata Nicholson,
“Muhammad picked up all his knowledge of this kind [i.e. Al-Qur’an] by hearsay
and makes a brave show with such borrowed trappings-largely consisting of
legends from the Haggada and Apocrypha.”
Namun
ibarat buih, segala usaha mereka muncul dan hilang begitu saja, tanpa pernah
berhasil merubah keyakinan dan penghormatan mayoritas umat Islam terhadap kitab
suci Al-Qur’an, apalagi sampai membuat mereka murtad.
Sampai
sekarang kaum muslimin tetap yakin bahwa Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab
yang terjaga keotentikan dan keasliaannya. Apalagi dalam Al-Qur’an disebutkan
bahwa Allah menantang orang-orang kafir membikin satu ayat yang sepadan dengan
Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
”Katakanlah:
"Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa
Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia,
sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain."
Tantangan
ini sampai sekarang masih tetap berlaku dan mereka terbukti tidak bisa
menjawabnya. Keindahannya, kedudukannya dan keasliannya adalah bukti bahwa
Al-Qur’an adalah kitab yang diwahyukan oleh Allah.
IV. Kekeliruan Para Orientalis
Para
orientalis telah mencurahkan seluruh hidupnya guna mencari kelemahan-kelemahan
yang terdapat dalam Al-Qur’an. Pertama kali yang mereka lakukan adalah mencoba
menyingkap perubahan teks Al-Qur’an yang menurut mereka tidak terjadi dalam
kajian kitab Injil.
Pendapat
ini telah dibantah oleh Prof. Dr. M.M al A’zami dalam bukunya berjudul: “The
History of The Qur’anic Text – From Revelation to Compilation”. Buku tersebut
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: “Sejarah Teks
Al-Quran, Dari Wahyu Sampai Kompilasinya.”
Dalam
buku ini Dr. Azami dengan gamblang menjelaskan bahwa telah terjadi perubahan
yang mendasar dalam teks-teks Injil. Kitab Injil yang sekarang ini sudah
mengalami perubahan beberapa kali. Sebelum muncul keempat Injil yaitu Markus,
Matius, Yohanes dan Lukas, para pengikut awal Yesus telah menyusun kitab mereka
masing-masing. Dalam kita tersebut tak ada hal yang dramatis tentang kehidupan
Yesus. Tak ada riwayat-riwayat mengenai pengorbanan dan penebusan spiritual.
Fokusnya hanya terbatas pada ajaran-ajarannya, pikiran-pikirannya dan tata
cara serta perilaku yang ia jelaskan. Begitu juga pada pembaruan-pembaruan
sosial yang ia canangkan.
Karangan
yang sekarang disebut Injil Yesus, yang kemudian diberi nama Injil Q, bukanlah
sebuah teks yang asli. Selama abad pertama orang-orang telah menyisipkan
teks-teks yang berbeda dengan isi Injil tersebut. Tulisan yang asli sangat
mencolok yaitu penuh dengan kalimat-kalimat yang sederhana tapi padat, tanpa
adanya ajakan kepada suatu agama baru dan tidak ada isyarat apa pun tentang
Yesus Kristus sebagai Anak Tuhan.
Generasi
kedua membawa pergeseran warna, yang secara tersurat mengancam terjadinya
kehancuran bagi mereka yang menolak gerakan mereka.
Namun,
pergeseran yang ironis terjadi pada generasi ketiga dan terakhir, yang
memasukkan tambahan ke Injil Q, pada masa percobaan pemberontakan Yahudi
Pertama (66-70 M.), yaitu dibawah bayangan kehancuran Rumah Tuhan yang Kedua
oleh serdadu Romawi. Di sinilah Yesus di-upgrade dari seorang nabi yang bijak
menjadi Anak Tuhan (Son of God), pewaris Kerajaan Ayah, yang berhasil melawan
godaan-godaan di dalam hutan-belantara.
Dengan
begitu, kitab ini telah terbukti rentan terhadap perubahan, sebagai korban dari
berbagai mitos yang mulai beredar di kalangan Kristen tentang siapa sebenarnya
Yesus. Tapi meski demikian, dalam lapisan ketiga ini pun tidak terdapat ajakan
untuk menyembah Kristus, atau menganggapnya sebagai seorang Tuhan yang
dibayangkan lewat ritual-ritual dan doa. Tidak terdapat penyaliban, apalagi
penebusan untuk seluruh manusia.
Kemudian
DR. Azami dengan tegas menulis bahwa Markus, Matius, dan Lukas menggunakan Q
saat menulis Injil mereka menjelang akhir abad pertama. Tapi mereka dengan
sengaja memelintir teks itu (masing-masing dengan caranya sendiri) untuk mencapai
tujuan yang mereka inginkan.
Ini
artinya, Q sebagai sebuah kitab sebenarnya telah hilang keotentikannya.
Teks-teks yang menggantikannya, berupa riwayat-riwayat kehidupan Kristus yang
dramatis, telah mengantarkan kepada suatu perubahan serta membantu menghidupkan
mitos-mitos dan spekulasi yang sejak itu telah menutupi figur Yesus yang
sebenarnya.
Selain
masalah perubahan teks, para orientalis juga menyerang Al-Qur’an dari segi
kompilasi. Mereka mempertanyakan kekhawatiran Umar akan lenyapnya Al-Qur’an
setelah banyaknya para huffaz yang meninggal dalam perang Yamamah
Lebih
jauh lagi, para orientalis mempertanyakan mengenai bahan-bahan yang telah
ditulis waktu itu tapi tidak disimpan oleh Nabi Muhammad sendiri. Demikian
halnya mengenai Zaid bin Tsabit yang tidak berhasil menyusun Suhuf Al-Qur’an
yang bisa dipakai rujukan setelah meninggalnya Rasulullah.
Berdasar
asumsi tersebut kemudian para orientalis berkesimpulan bahwa berita Al-Qur’an
yang didektikan sejak awal penulisannya dianggap palsu.
Terhadap
pendapat ini DR. Azami mengatakan bahwa kesimpulan itu sangat keliru dan
ngawur. Para orientalis itu berlagak tolol dan mengingkari tradisi keilmuan
Islam. Rasulullah memang sengaja tidak menyimpan setiap naskah Al-ur;an
dikarenakan waktu itu masih turun wahyu-wahyu baru. Juga adanya
perubahan-perubahan urutan ayat-ayat yang akan merubah pula urutan dikemudian
hari. Jika ini dilakukan maka Rasulullah khawatir akan membuat informasi yang
keliru dan merugikan ummatnya. Ini jelas kerugian lebih besar dari pada
manfaatnya.
Adapun
Zaid bin Tsabit tidak menyusun dan tidak menjadikannya sebagai rujukan pada masa
pemerintahan Abu Bakar, ini terkait dengan legimitasi sebuah dokumentasi. Untuk
mendapat sebuah pengesahan, seorang murid harus menjadi saksi mata dan menerima
secara langsung dari gurunya. Jika unsur kesaksian tidak ada, buku seorang
ilmuwan yang telah meninggal dunia, misalnya, akan menyebabkan hilanganya nilai
teks itu. Inilah yang dilakukan Zaid demi menghindari kekuarang-sahnya teks
tersebut..
Dalam
mendikte ayat-ayat Al-Qur’an kepada para sahabat, Nabi Muhammad SAW, membuat
jalur periwayatan yang lebih tepercaya berdasar pada hubungan antara guru
dengan murid. Sebaliknya, karena beliau tidak pernah menyerahkan bahan-bahan
tertulis, maka tidak ada unsur kesaksian yang terjadi pada naskah yang terdapat
pada kulit yang dapat digunakan sebagai sumber utama sebagai perbandingan, baik
oleh Zaid maupun orang lain.
Mengenai
kekhawatiran Umar terhadap meninggalnya para sahabat yang huffat, ini
terkait dengan hukum persaksian. Dengan jumlah yang ribuan, para huffaz
memperoleh pengetahuan tentang Al-Qur’an melalui satu-satunya otoritas yang
saling beruntun di muka bumi ini, yang akhirnya sampai pada Nabi Muhammad.
Setelah
beliau wafat, mereka (para sahabat) menjadi sumber otoritas selanjunya.
Meninggalnya mereka hampir-hampir telah mengancam terputusnya kesaksian yang
berakhir pada Nabi Muhammad.
Demikian
pula jika mereka mencatat ayat-ayatnya menggunakan tulisan tangan, akan
kehilangan nilainya jika pemiliknya meninggal karena tidak dapat memberi
pengesahan tentang kebenarannya itu. Sebab dikhawatirkan ada beberapa bahan
tulisan yang bukan Al-Qur’an. Jadi saksi merupakan legimitasi utama untuk
menentukan sah tidaknya naskah tersebut.
Itulah
sebabnya dalam membuat kompilasi Suhuf, Abu Bakr bertahan pada
pendiriannya bahwa setiap orang bukan saja harus membawa ayat, melainkan juga
dua saksi guna membuktikan bahwa penyampaian bacaan itu datang langsung dari
Nabi Muhammmad. Hal yang sama juga terjadi pada jaman Usman. Dengan demikian
ayat-ayat yang telah ditulis itu tetap terpelihara, apakah para huffat wafat di
Yamamah ataupun tidak.
Otoritas
saksi merupakan poin paling penting dalam menentukan keutuhan nilai sebuah
dokumen, yang paling dijadikan titik sentral kekhawatiran Umar.
Dalam
pengumpulan teks tersebut, atas saran Umar, Abu Bakar As-Sidiq menunjuk Zaid
bin Tsabit. Penunjukan ini sangat tepat, karena Tsabit adalah mantan sekretaris
pribadi Nabi yang tahu persis kapan Rasulullah menerima wahyu.
Zaid
sengaja dipilih karena dia orang kepercayaan Nabi Muhammad SAW yang
kejujurannya dan intelektualitasnya tidak diragukan.
Meski
Rasulullah memiliki banyak sahabat namun tidak sembarangan sahabat dipilih oleh
beliau untuk menulis Al-Qur’an. Para penulis yang ditunjuk Rasulullah adalah para
sahabat pilihan yang memiliki kemampuan tulis yang indah. Diantaranya Zaid bin
Tsabit, Ubay bin Ka’ab; Muadz bin Jabal, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Khulafaur
Rasyidin dan sahabat-sahabat lain.
Imam
Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Anas r.a. bahwasanya ia berkata:
“Al-Qur’an dikumpulkan pada masa Rasul SAW oleh 4 (empat) orang yang kesemuanya
dari kaum Anshar; Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu
Zaid. Anas ditanya: “Siapa ayah Zaid?” Ia menjawab: “Salah seorang pamanku”.
Setelah
itu Zaid melakukan pengumpulan lembaran-lembaran Al-Qur’an yang terdapat pada
lembaran pelepah kurma dan lempengan batu putih, seta memori kaum muslimin.
Selain
DR. Azami, muridnya, yaitu DR. Syamsuddin Arif juga memberikan jawaban terhadap
kekeliruan-kekeliruan yang sengaja dibuat oleh orientalis. Dalam sebuah
makalahnya berjudul “Kekeliruan Para Orientalis” ia
menjelaskan bahwa para orientalis telah membuat asumsi yang keliru mengenai
Al-Qur’an, yaitu diantaranya:
Pertama,
mereka mengasumsikan bahwa Al-Qur`an adalah dokumen tertulis atau teks, bukan
“hafalan yang dibaca”. Padahal, pada prinsipnya Al-Qur`an bukanlah tulisan
(rasm atau writing), tetapi bacaan (qira’ah atau recitation) dalam arti ucapan
dan sebutan. Baik proses turunnya (pewahyuan), penyampaian, pengajaran, sampai
periwayatannya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Dari dahulu,
yang dimaksud dengan ”membaca Al-Qur`an” adalah membaca dari ingatan (qara’a
‘an zhahri qalbin atau to recite from memory).
Jadi
kekeliruan orientalis bersumber dari sini. Orientalis seperti Jeffery,
Wansbrough dan Puin, misalnya, berangkat dari sebuah asumsi keliru, menganggap
Al-Quran sebagai ‘dokumen tertulis’ atau teks, bukan sebagai ‘hafalan yang
dibaca’ atau recitatio.
Padahal
tulisan yang ada hanya berfungsi sebagai penunjang semata-mata. Sebab pada awalnya
ayat-ayat Al-Qur`an dicatat di atas tulang, kayu, kertas, daun, berdasarkan
hafalan sang qari’/muqri’. Proses transmisi semacam ini–dengan isnad
(narasumber) secara mutawatir dari generasi ke generasi–terbukti berhasil
menjamin keutuhan dan keaslian Al-Qur`an hingga hari ini.
Tim
yang dipimpin Zaid bin Tsabit yang melakukan transmisi ini juga bukanlah orang
sembarangan. Mereka adalah para sahabat yang hafal seluruh kandungan Al-Qur’an
dan tidak diragukan kredibilitasnya sebagai orang yang memiliki hafalan yang
kuat.
Ini
sungguh berbeda dengan kasus Bibel. Tulisannya—fakta manuskrip dalam bentuk
papyrus, perkamen, dan sebagainya–memegang peran utama dan berfungsi sebagai
acuan dan landasan bagi Testamentum (perjanjian) alias Gospel. Tidak ada satupun
sejarah yang menyebutkan bahwa penulis Bible sekalipun yang hafal kitabnya,
baik separuhnya, apalagi seluruhnya.
Disengaja
atau tidak, mereka masih tetap berpatokan bahwa pengumpulan Al-Qur’an hanya
berasal dari tulisan, bukan hafalan. Dengan asumsi keliru ini—menganggap
Al-Qur`an semata-mata sebagai teks– mereka lantas mau menerapkan metode-metode
filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bibel, seperti historical
criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism. Akibatnya,
mereka menganggap Al-Qur`an sebagai produk sejarah, hasil interaksi orang Arab
abad ke-7 Masehi dan 8 dengan masyarakat sekeliling mereka.
Mereka
mengatakan bahwa mushaf yang ada sekarang tidak lengkap dan berbeda dengan
aslinya (yang mereka sendiri tidak tahu pasti!). Karena itu mereka mau membuat
edisi kritis, merestorasi teksnya, dan hendak membuat naskah baru berdasarkan
manuskrip-manuskrip yang ada.
Mereka
lupa bahwa pengumpulan Al-Qur’an lebih banyak didapatkan dari hafalan-hafalan
para sahabat yang memang diakui memiliki kekuatan hafalan yang sangat bagus.
Tradisi menghafal masyarakat Arab ketika itu lebih kuat daripada tradisi
tulis-menulis. Apalagi teks-teks Al-Qur’an itu memang mudah dihafal oleh anak
kecil sekalipun. Terbukti sampai sekarang banyak anak-anak yang usia muda hafal
Al-Qur’an. Hal ini tidak terjadi pada kitab lain seperti Al-Kitab.
Kedua,
meskipun pada prinsipnya Al-Qur`an diterima dan diajarkan melalui hafalan,
namun juga dicatat melalui berbagai medium tulisan. Sampai Rasulullah wafat,
hampir seluruh catatan awal tersebut milik pribadi para sahabat sehingga
kualitas dan kuantitasnya berbeda satu sama lain. Ini karena para sahabat
menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar (tafsir glosses)
di pinggir atau di sela-sela ayat untuk keperluan masing-masing.
Baru
setelah menyusutnya jumlah penghafal Al-Qur`an karena gugur di medan perang, usaha
kodifikasi (jam’) pun dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk atas inisiatif
Khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq Radhiyallahu ’anhu hingga Al-Qur`an terkumpul
dalam satu mushaf berdasarkan periwayatan langsung (first-hand) dan mutawatir
dari Nabi.
Setelah
wafatnya Abu Bakr (13H/634M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah ‘Umar bin
Khattab sampai wafat (23H/644M), lalu disimpan oleh Hafshah, sebelum kemudian
diserahkan kepada Khalifah ‘Utsman bin Affan.
Pada
masa inilah, atas desakan sejumlah sahabat, sebuah tim ahli dibentuk dan
diminta mendata kembali semua qira’at yang ada. Mereka juga ditugasi meneliti
dan menentukan nilai keshahihan periwayatannya untuk kemudian melakukan
standardisasi demi mencegah kekeliruan dan perselisihan.
Saat
transmisi, versi petama, yaitu yang dikumpulkan pada jaman Abu Bakar dan Umar,
dijadikan patokan. Kitab ini disimpan di Madinah dan tiga salinan dari naskah
asli ditulis dan dikirimkan ke tiga kota, yaitu Damaskus, Bashrah dan Kufah,
dan salinan-salinan lainnya dimusnahkan.
Hasilnya
dibukukan dalam beberapa mushaf standar yang masing-masing mengandung
qira’ah-qira’ah mutawatir yang disepakati keshahihan periwayatannya dari Nabi.
Jadi, sangat jelas fakta sejarah dan proses kodifikasinya. Sedang untuk mushaf
yang tidak standar disuruh dibakar.
Namun
pembakaran mushaf ini oleh Arthur Jeffery dijadikan titik poin untuk mengkritik
Al-Qur’an. Menurut Jeffery, ketika Uthman r.a. mengirim teks standar ke Kufah
dan memerintahkan supaya teks-teks yang lain dibakar, Ibnu Mas’ud menolak
menyerahkan mushafnya. Dia marah karena teks yang dibuat Zaid ibn Thabit yang
lebih muda, lebih diprioritaskan dibandingkan mushafnya. Padahal ketika
Ibn Mas’ud sudah menjadi Muslim, Zaid masih berada dalam pelukan orang-orang
kafir.
Asumsi
Jeffry ini dibantah oleh Adnin Armas, dalam bukunya, “Metode Bibel dalam Studi
Al-Quran” yang membuktikan ketidakjujuran orientalis yang satu ini dalam melakukan
studi Al-Quran.
Di
sini tampak jelas kekeliruan atau ketidakjujuran Jeffery dalam menulis sejarah
Al-Quran. Ia tidak mengkaji secara menyeluruh sikap Abdullah ibn Mas’ud.
Padahal, Kitab al-Mashaahif – yang diedit sendiri oleh Jeffery —
menunjukkan bahwa Ibn Mas’ud meridhai kodifikasi yang dilakukan Uthman bin
‘Affan. Ibnu Mas’ud mempertimbangkan kembali pendapatnya yang awal dan
kembali kepada pendapat Uthman dan para Sahabat lainnya.
Ibnu
Mas‘ud menyesali dan malu dengan apa yang telah dikatakannya. Jadi, pendapat
Jeffery menjadi naïf karena justru dari kedua buku yang diedit oleh Jeffery,
Ibnu Mas‘ud pada akhirnya menyetujui kebijakan Utsman, yang disokong oleh para
sahabat lainnya.
Meski
demikian, para orientalis biasanya akan mulai dengan mempertanyakan fakta ini
dan menolak hasilnya. Mereka menganggap sejarah kodifikasi tersebut hanya kisah
fiktif dan mengatakan bahwa proses kodifikasi baru dilakukan pada abad ke-9M.
Di
sini kelihatan bahwa para orientalis tidak mengerti atau sengaja tidak peduli
bahwa Al-Qur`an tidak sama dengan Bibel. Al-Qur`an bukan lahir dari manuskrip,
tapi sebaliknya, manuskrip lahir dari Al-Qur`an.
Ketiga,
salah faham tentang rasm dan qira’ah-qira’ah. Sebagaimana diketahui, tulisan
Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal Islam,
Al-Qur`an ditulis gundul, tanpa tanda-baca sedikit pun. Sistem vokalisasi baru
diperkenalkan kemudian. Namun rasm ‘Utsmani sama sekali tidak menimbulkan
masalah, mengingat kaum Muslimin saat itu belajar Al-Qur`an langsung dari para
sahabat dengan cara menghafal, dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung
pada manuskrip atau tulisan.
Ironisnya,
orientalis semacam Arthur Jeffery dan Gerd R Joseph Puin menyimpulkan sendiri
bahwa teks gundul inilah sumber variant readings (ragam pembacaan)–sebagaimana
terjadi dalam kasus Bibel–serta keliru menyamakan qira’ah dengan readings.
Mereka tidak tahu bahwa kaidah yang berlaku pada Al-Qur`an adalah tulisan
mengacu pada bacaan yang diriwayatkan dari Nabi (rasmu taab’iun li riwaayah),
bukan sebaliknya.
Para
orientalis itu juga salah faham mengenai rasm Al-Qur`an. Dalam bayangan mereka,
munculnya bermacam-macam qira’ah disebabkan oleh rasm yang sangat sederhana
itu, sehingga setiap pembaca bisa saja berimprovisasi dan membaca sesuka
hatinya. Padahal ragam qira’ah telah ada lebih dahulu sebelum adanya rasm.
Mereka
juga tidak mengerti bahwa rasm Al-Qur`an telah disepakati dan didesain
sedemikian rupa sehingga dapat mewakili dan menampung pelbagai qira’ah yang
diterima. Misalnya, dengan menyembunyikan (hadzf) ”alif” pada kata ”m-l-k”
(Al-Fatihah: 4) demi mengakomodasi qira’ah ‘Ashim, al-Kisa’i, Ya’qub, dan
Khalaf—yang menggunakan “maaliki”atau panjang–sekaligus qira’ah Abu ‘Amr, Ibnu
Katsir, Nafi’, Abu Ja’far, dan Ibnu ‘Amir–”maliki” atau pendek.
Mungkin
ada yang bertanya: Apakah semua qira’ah telah tertampung oleh rasm Utsmani?
Adakah qira’ah mutawatir yang tidak terwakili oleh rasm Utsmani? Atau, apakah
naskah-naskah yang dikirim oleh Khalifah ‘Utsman ke berbagai kota (Makkah,
Basrah, Kufah, Damaskus) seragam rasm-nya dan sama dengan yang ada di Madinah
atau berbeda-beda, yakni sesuai dengan harf atau qira’ah yang dominan di kota
tersebut?
Yang
masuk katagori ketiga cukup banyak. Menurut Prof Dr Sya’ban Muhammad Ismail
dari Universitas Al-Azhar, Kairo (Mesir), jumlah qira`ah yang ditulis dengan
rasm berbeda-beda dalam mashahi ‘Utsman, tanpa pengulangan, mencapai 58 kata.
Dari
sini jelas, mushaf-mushaf yang dikirim oleh Khalifah ‘Utsman ke berbagai kota
itu beragam rasm-nya, sesuai dengan bacaan sahabat yang diutus untuk
mengajarkannya. Namun demikian tetap saja bacaan tidak bergantung pada teks.
Dan memang, qira’ah sahabat (yang dikirim ke sebuah kota) atau perawinya tidak
otomatis sama dengan mushaf yang beredar di kota itu, tetapi pada umumnya sama.
Boleh
saja seorang imam atau perawi membacanya sesuai dengan riwayat dan rasm yang
ada di mushaf kota lain. Contohnya, Imam Hafsh di Kufah membaca Surat
Az-Zukhruf: 71 dengan bacaan ”tasytahiihi al-anfus” (dengan dua ha), seperti
tertera dalam mushaf Madinah dan Syam. Padahal dalam mushaf Kufah tertulis
”tasytahi” (dengan satu ha). Ini dibolehkan mengingat salah satu syarat
diterimanya sebuah qira’ah adalah sesuai dengan salah satu rasm mushaf
‘Utsmani.
Sebaliknya,
jika suatu qira’ah tidak tercatat dalam salah satu mushaf Utsmani, qira’ah
tersebut dianggap syadz’ (janggal) dan tidak dapat diterima. Itu karena
bertentangan dengan rasm yang disepakati atau rasm yang telah menampung dan
mewakili semua qira’ah mutawatir.
Jika
demikian halnya, maka improvisasi liar atau bacaan liberal seperti yang
direka-reka oleh para orientalis sudah pasti ditolak.
V. Tuduhan Terhadap Rasulullah
Ternyata
orientalis tidak hanya cukup menyerang Al-Qur’an, tapi juga menyerang
Rasulullah sebagai orang yang dianggap membuat wahyu. Menurut DR. Azami, mereka
menuduh Rasulullah telah melakukan kecurangan-kecurangan dengan melakukan
pemalsuan terhadap agama Yahudi dan Kristen. Mereka menuduh Rasulullah
mengadopsi ajaran-ajaran Bibel, kemudian menggantikannya dengan ajaran yang
sesuai dengan selerah beliau. Wanshrough, adalah salah seorang penggagas ide
ini. Ia mengatakan, “Doktrin ajaran Islam secara umum, bahkan ketokohan
Muhammad, dibangun di atas prototype kependetaan agama Yahudi.”
Bahkan
dalam sebuah artikel yang dimuat di Encyclopedia Britannica (1891)
Noldeke, tokoh Orientalis, menyebutkan bahwa banyaknya kekeliruan di dalam
Al-Qur’an disebabkan “kejahilan Muhammad” tentang sejarah awal agama Yahudi.
Rasulullah dituduh ceroboh dalam melakukan identifikasi nama-nama yang beliau
ambil dari sumber Yahudi. Ia mengatakan: “[Bahkan] orang Yahudi yang paling
tolol sekalipun tidak akan pernah salah menyebut Haman (menteri Ahasuerus)
untuk menteri Fir’aun, ataupun menyebut Miriam saudara perempuan Musa dengan
Maryam (Miriam) ibunya al-Masih…. [Dan] dalam kebodohannya tentang sesuatu di
luar tanah Arab, ia menyebutkan suburnya negeri Mesir-di mana hujan
hampir-hampir tidak pernah kelihatan dan tidak pernah hilang-karena hujan, dan
bukan karena kebanjiran yang disebabkan oleh sungai Nil (xii. 49).”
Bahkan
mereka yakin bahwa Al-Quran adalah buatan Muhammad. Gibb dalam bukunya,
Al-Wahyu Al-Muhammadi, berkata bahwa Al-Quran hanya buatan orang tertentu,
yaitu Muhammad yang hidup di lingkungan khusus, yaitu di kalangan Makkah
sehingga kehidupan beliau terwarnai oleh apa yang beliau ungkapkan.
Tuduhan
ini dibantah oleh DR. Azami dengan menyebutkan bahwa Noldeke dan kawan-kawan
telah melakukan kebohongan. Hanya karena tidak disebutkan dalam kitab Yahudi,
nama Hamam dianggap tidak ada pada masa Fir’aun. Atau Noldeke tidak malu
menunjuk bahwa Al-Qur’an menyebut Maryam (Ibu alMasih) sebagai “saudara
perempuan Harun”, bukan Musa. Harun ada di jajaran terdepan dalam kependetaan
orang-orang Bani Israel; yang menurut Perjanjian Baru, Elizabeth, saudara
sepupu Maryam dan juga ibunya Yunus, semua lahir dari keluarga pendeta, yang
berarti itu merupakan “anak-anak perempuan Harun.”
Dengan
keterangan itu, DR. Azami menjelaskan bahwa secara meyakinkan diketahui baik
Maryam atau Elizabeth merupakan “saudara-saudara perempuan Harun” atau
“anak-anak perempuan `Imran” (ayah Harun).
Sedang
mengenai tuduhan Noldeke mengenai kesuburan negeri Mesir, DR. Azami menjawab
bahwa membanjirnya Sungai Nil pada sebagian daerah, disebabkan adanya perbedaan
curah hujan, seperti telah dibuktikan para pakar lingkungan.
Berkaitan
dengan sumber penulisan Al-Quran, kaum orientalis menuduh bahwa isi Al-Quran
berasal dari ajaran Nasrani, seperti tuduhan Brockelmann. Sedangkan Goldziher
menuduhnya berasal dari ajaran Yahudi.
Dalam
banyak penelitan, para orientalis menyebarkan berbagai tuduhan negatif seputar
Al-Quran. Misalkan seorang orientalis bernama Noeldeke dalam bukunya, Tarikh
Al-Quran, menolak keabsahan huruf-huruf pembuka dalam banyak surat Al-Quran
dengan klaim bahwa itu hanyalah simbol-simbol dalam beberapa teks mushhaf yang
ada pada kaum muslimin generasi awal dulu, seperti yang ada pada teks mushhaf
Utsmani. Ia berkata bahwa huruf mim adalah simbol untuk mushhaf al-Mughirah,
huruf Ha adalah simbol untuk mushhaf Abu Hurairah. Nun untuk mushhaf Utsman.
Menurutnya, simbol-simbol itu secara tidak sengaja dibiarkan pada
mushhaf-mushhaf tersebut sehngga akhirnya terus melekat pada mushhaf Al-Quran
dan menjadi bagian dari Al-Quran hingga kini.
VI. Usaha Orientalis Merusak
Al-Qur’an
Meski
semua tuduhan orientalis sudah dijawab oleh sarjana-sarjan Islam, namun usaha
untuk menghancurkan Al-Qur’an tetap mereka lakukan. Tanpa malu-malu mereka
berusaha merubah Al-Qur’an.
DR.
Azamai menjelaskan bahwa pada tahun 1847 Flugel mencetak indeks Al-Qur’an.
Bukan cuma sampai di situ, ia juga ingin mengubah teks-teks Al-Qur’an berbahasa
Arab. Sayangnya usaha tersebut gagal total karena karya Flugel tidak diterima
oleh umat Islam di manapun.
Adalah
sudah menjadi kesepakatan di kalangan kaum Muslimin untuk membaca Al-Qur’an
menurut gaya bacaan salah satu dari tujuh pakar bacaan yang terkenal, yang
semuanya mengikuti kerangka tulisan `Uthmani dan sunnah dalam bacaannya (qira’ah).
Perbedaan-perbedaan yang ada, kebanyakan berkisar pada beberapa tanda
bacaan diakritikal yang tidak berpengaruh sama sekali terhadap isi
kandungan ayat-ayat itu. Setiap mushaf yang dicetak berpijak pada salah satu
dari Tujuh Qira’at, yang diikuti secara seragam sejak awal hingga akhir.
Tetapi Flugel menggunakan semua tujuh sistem bacaan dan memilih satu qira’ah
di sana sini dengan tidak menentu (tanpa alasan yang benar) yang hanya
menghasilkan sebuah bacaan yang tidak karuan.
Bahkan
Jeffery, yang dikenal sangat memusuhi Islam, bersikap sinis terhadap karya
Flugel itu. Ia mengatakan, “Edisi Flugel yang penggunaannya begitu meluas dan
berulang kali dicetak, tak ubahnya sebuah teks yang sangat amburadul, karena
tidak mewakili baik tradisi teks ketimuran yang murni mau pun teks dari
berbagai sumber yang ia cetak, serta tidak memiliki dasar ilmiah yang dapat
dipertanggung jawabkan.”
Selain
ingin merusak dari segi bacaan, para orientalis juga merusak isi Al-Qur’an.
Adalah Regis Blachere yang membuat terjemahan dalam bahasa Prancis (Le
Coran, 1949, ) bukan saja mengubah urutan surat, tapi juga menambahkan dua
ayat fiktif ke dalam Al-Qur’an. Dia berpijak pada cerita palsu di mana,
katanya, Setan yang memberi “wahyu” kepada Nabi Muhammad yang tampaknya tidak
dapat membedakan antara Kalam Allah dan ucapan mantra-mantra orang kafir
sebagaimana tercatat dalam cerita itu.
Terhadap
hal ini Dr. Azami menjawab bahwa tak satu pun periwayatan transmisi bacaan dan 250,000
manuskrip Al-Qur’an yang sampai sekarang masih ada, terdapat dua ayat yang
isinya bertentangan dengan Al-Qur’an. Kaum muslim pun akan mudah mengetahui
jika ada ayat-ayat yang disisipkan dalam Al-Qur’an.
Selain
kedua orientalis tersebuut, Prof. Rev. Mingana, yang dianggap sebagai ilmuwan
dalam bahasa Arab, juga melakukan hal yang sama terhadap Al-Qur’an. Ia sengaja
menghapus sebuah manuskrip kemudian menuliskannya kembali.
VII. Kesimpulan
Bisa
jadi motivasi awal orang Barat(orientalis) mempelajari Islam bukan untuk
menyerang Islam. Awalnya, mungkin mereka benar-benar mempelajari Islam sebagai
suatu ilmu. Namun dalam perjalanannya, mereka tetap saja membawa bau sentimen
Barat (Kristen) terhadap Islam yang mereka anggap musuh bebuyutan.
Akibatnya,
jadilah kajian-kajian orientalisme sebagai kajian yang syubhat sehingga
menimbulkan keragu-raguan di kalangan kaum muslimin terhadap ajaran Islam.
Diantara yang menjadi sasaran serangan mereka adalah Al-Qur’an.
Al-Qur’an
dijadikan target utama serangan missionaris dan orientalis Yahudi-Kristen
setelah gagal menjatuhkan pribadi Rasulullah. Meski mereka berkali-kali
mencemooh dan memberi gambaran yang negative tentang Rasulullah, seperti
homosex, orang gila, tetap saja kaum muslimin tak tergoyahkan keimannya kepada
beliau.
Karenanya,
kemudian dengan sekuat tenaga mereka mencoba menjatuhkan dan mengkorupsi
Al-Qur’an dengan cara-cara yang tidak elegan. Mereka melakukan
kebohongan-kebohongan yang kemudian dibongkar oleh para sarjana muslim seperti
Prof. MM. Azami, DR. Mustofa As-Siba’i dan DR. Syamsuddin Arif, maupun oleh
kalangan orietalis sendiri.
Sebut
saja orientalis bernama Juynboll yang secara mendasar telah mengkritik
Wansbrough karena terlalu selektif dalam memilih sumber-sumber rujukan yang
sesuai dengan pra-anggapan penelitiannya. Wansbrough berpendapat, bahwa tidak
ada teks Al-Quran yang fixed sebelum akhir abad ke-2 Hijriah atau awal abad
ke-3 Hijriah.
Tetapi,
Juynboll membuktikan, bahwa Wansbrough berlaku curang karena tidak memasukkan
literatur Islam sebelum abad ke-2 yang dapat menggoyahkan teorinya, seperti
Kitab Al- ’Alim wa al-Muta’allim and Risala ila Utsman al-Baitti yang
keduanya ditulis oleh Abu Hanifah (150 H.).
Estelle
Whellan juga telah meruntuhkan kesimpulan Wansbrough, dengan membuktikan
bahwa teks Al Quran telah menjadi teks yang tetap pada abad pertama Hijrah.
Para
orientalis berhati busuk itu tidak menyadari bahwa usaha-usaha tersebut
sebenarnya hanya menunjukkan hatred (kebusukan-hati) dan kebencian
mereka terhadap tokoh dan agama yang mereka kaji, sebagaimana disitir oleh
seorang pengamat; “The studies carried out in the West … have demonstrated
only one thing : the anti-Muslim prejudice of their authors.”
Para
orientalis yang bersemangat ingin “mengkorupsi” keotentikan Al-Quran, tidak
mengerti atau sengaja tidak peduli bahwa Al-Quran tidak sama dengan Bibel;.
Mereka seakan tidak mau tahu dengan kajian yang dilakukan oleh para ulama Islam
yang tentunya lebih mengetahui Islam daripada mereka. Mereka seakan sengaja
ingin menyakiti kaum muslimin dengan mengotak-atik keimanan yang sudah mendarah
daging dalam diri setiap muslimin.
Sikap
tidak peduli terhadap orang lain ini memang pada dasarnya sudah menjadi
karakter para orientalis dalam melakukan berbagai studi tentang Islam.
Misalkan, beberapa tahun yang silam Profesor C.E Bosworth, salah seorang editor
ensiklopedi Islam yang diterbitkan oleh J. Brill, menyampaikan kuliah di
Universitas Colorado. Ketika ditanya mengapa para intelektual Muslim yang
mendapat pendidikan di Barat tidak pernah diikutsertakan kontribusinya pada
ensiklopedi yang menyangkut berbagai masalah mendasar (seperti Al-Qur’an,
hadith, jihad, dll.), dia menjawab bahwa karya ini ditulis oleh para penulis
Barat untuk orang Barat.
Jawaban
ini kendati ada benarnya, dalam prakteknya karya tersebut tidak semata-mata
untuk kalangan masyarakat Eropa. Ia juga diterjemahkan ke dalam bahasa dunia
Islam. Bahkan proyek ini sengaja meraka lakukan dengan biaya yang tidak
sedikit. Biaya tersebut sengaja mereka persiapkan agar karya-karya mereka juga
dibaca oleh kaum muslimin. Akibatnya, umat Islam yang tidak memahami misi
dibalik itu semua ikut terpengaruh. Ironisnya lagi, ada yang sengaja mengambil
proyek tersebut demi kepentingan ekonomi. Sebuah sikap yang tak pantas
dilakukan oleh seorang muslim.
Untuk
itu patut dicatat apa yang ditulis oleh Edward Said dalam karya ilmiahnya yang
berjudul Orientalism. Edward Said mengutip perkataan Karl Max yang
berbunyi: “Mereka tidak dapat mewakili diri sendiri melainkan mereka harus
diwakili.”
Begitulah
cara orientalis melakukan serangan terhadap Islam. Sayangnya, beberapa sarjana
muslim ternyata juga mengikuti langkah-langkah mereka. Entah mereka sadar atau
tidak, kajian-kajian yang mereka adopsi dari para orientalis itu sejatinya
merugikan Islam dan kaum muslimin. Tidak sepantasnya, orang yang mengaku
beriman kepada Al-Qur’an tapi masih ragu dengan isinya, sebagaimana keraguan
para orientalis.
Al-Qur’an
merupakan kitab yang paling lengkap dan sempurna. Tidak diperlukan lagi bagi
manusia untuk mencari sesuatu selainnya. Ia memuat segala bentuk aspek
kehidupan. Berisi banyak nubuatan (ramalan) mengenai masa depan manusia dan
juga merupakan suatu peraturan yang lengkap bagi tingkah laku manusia.
Ia
merupakan kitab unik yang diturunkan oleh Pencipta Alam, yang berisi pesan yang
abadi dan universal. Muatannya tidak terbatas pada tema atau kajian tertentu,
tetapi berisi keseluruhan sistem hidup. Mencakup spektrum permasalahan yang
utuh, yang dimulai dari perintah dan larangan, hak dan kewajiban, kejahatan dan
hukuman, ajaran tentang masalah pribadi dan sosial dan lain-lain. Cara
Al-Qur’an mengungkapkan isinya juga bervariasi, seperti melalui sindirian,
peringatan, teguran secara langsung dan tegas, atau melalui kisah umat masa
lampau agar menjadi pelajaran bagi umat berikutnya.
Petunjuk
di dalamnya pun tidak hanya terbatas untuk umat Islam semata, namun orang-orang
non Islam pun juga menjadi obyek seruan ajarannya. Sehingga, bukanlah sesuatu
yang mengherankan jika dari awal mula turunnya hingga kini, ghiroh
manusia tidak pernah surut untuk mengkaji isi kandungan Al-Qur’an, baik dari
kalangan umat Islam sendiri maupun dari orang-orang orientalis.
Selain
sebagai kitab wahyu dan manifestasi kekuatan mukjizat Nabi SAW, Al-Qur’an juga
berperan lebih besar dan lebih penting ketimbang peran tongkat Nabi Musa as dan
nafas Nabi Isa as.
Rasulullah
SAW senang dan suka membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepada orang-orang. Kekuatan
magnetis ayatnya, dalam banyak kesempatan, mendorong banyak orang masuk Islam.
Dalam sejarah Islam, peristiwa-peristiwa seperti ini tak terhitung jumlahnya.
Al-Qur’an
diturunkan dalam bahasa Arab yang memiliki karakteristik bahasa yang sangat
bermutu. Sejak diturunkannya sampai sekarang, tidak ada perubahan dalam bahasa
tersebut. Ini berbeda dengan bahasa kitab suci lainnya. Bahasa Aramiah
misalnya, sebagai bahasa asli Injil, sudah mengalami perubahan, bahkan sulit
ditemukan.
Sebagai
orang beriman, kita mestinya yakin bahwa Al-Qur’an diperuntukkan untuk seluruh
makhluk melata yang bernama manusia, yang isisnya sudah pasti dijaga oleh Sang
Pembuatnya.
Al-Qur’an
sudah sempurna dan tidak perlu diotak-atik lagi. Dalam sebuah ayat Allah
berfirman:
“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”
Ayat
ini menjelaskan bahwa Al-Qur’an sudah sempurna sehingga bisa dijadikan pedoman
hidup terakhir bagi manusia. Ini bisa diterima karena isi Al-Qur’an diantaranya
memberikan bimbingan bagi pengembangan kepribadian manusia. Juga memberi
bimbingan terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan agar hidup damai sebagaimana
yang terjadi pada 1400 tahun yang lalu. Kehidupan seperti itu akan didapatkan
selama berpegang teguh pada Al-Qur’an. Keyakinan seperti ini yang seharusnya
kita miliki.
Kita
tidak selayaknya mudah terperanjat dan terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran
orientalis. Seorang muslim yang membaca buku-buku karya orientalis hendaknya
mempunyai pengetahuan yang benar dan cukup tentang Islam yang sebenarnya
sehingga tidak terjebak pada ide-ide kaum kuffar yang menipu. Bagaimana pun
juga, Allah akan terus membangkitkan ulama untuk membantah pemikiran-pemikiran
mereka.
Kita
juga sudah diajarkan oleh Rasulullah SAW untuk bersikap kritis terhadap
sumber-sumber dari kaum Yahudi dan Kristen. Kita tidak boleh menolak atau
menerima begitu saja. Perlu ada cek dan ricek agar tidak keliru.
Bukti-bukti
kekeliruan orientalis dalam melakukan studi Islam sudah banyak ditunjukkan oleh
para cendekiawan Muslim atau oleh para orientalis sendiri. Kaum Muslim juga
maklum, bahwa tidak semua hasil studi mereka ditolak begitu saja. Ada yang
bermanfaat untuk kaum Muslim. Tetapi, memuji dan mengikuti mereka tanpa ilmu
pengetahuan yang memadai adalah sikap naif yang tidak perlu dilakukan.
Kita
hendaknya tetap kritis terhadap mereka. Jangan hanya kritis terhadap para ulama,
tapi tidak kritis terhadap mereka. Jangan hanya karena ingin sesuatu yang
sifatnya dunia, kemudian sampai menggadaikan sesuatu yang berharga dari Islam
ini.
Daftar Pustaka
1.
Adian Husaini, “Tamsil Anjing untuk Penjual Kebenaran”, Catataan Akhir Pekan
(CAP) yang dimuat www. Hidayatullah.com
2.
Adnin Armas, MA, Metode Bibel dalam Studi Al-Quran, GIP, Jakarta
3.
Al-Qur’anul Karim, Departeman Agama RI
3.
A’zami, M.M, Prof DR. The History of The Qur’anic Text – From Revelation to
Compilation –(Sejarah Teks Al-Quran, Dari Wahyu Sampai Kompilasinya), GIP,
2005, Jakarta
4.
Edward Said, Orientalism, Vintage Book, New York,
5.
Ensiklopedi Islam 4, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta
6.
Lutfie Assaukanie, Alquran dan Orientalisme.
7.
Muhammad Hamid An-Nashir, Darul Haq, Menjawab Modernisasi Islam
8. Philip k. Hitti, History of the Arabs, PT Serambi Ilmu Semesta 2006
8. Philip k. Hitti, History of the Arabs, PT Serambi Ilmu Semesta 2006
9.
Syamsuddin Arif, Al-Qur’an dan Orientalisme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar