Oleh: Samsir Mohamad,
bekas anggota Konstituante
Kita bernama Indonesia itu
belum lama yaitu tahun 1850. Nama itu pun bukan kita (bangsa Indonesia-ed) yang
membuat, tapi orang lain. Sumpah Pemuda saya sebut sebagai peristiwa
monumental. Rendra pernah menulis bahwa Sumpah Pemuda itu lebih agung, lebih
besar daripada Borobudur. Sebelum Sumpah Pemuda lahir, barangkali karena posisi
geografis kita tercerai-berai dalam kepulauan, organisasi pemuda yang ada
ketika itu mengikuti posisi geografisnya: Jong Ambon, Jong Sumatera, Jong
Selebes.
Di Surabaya lahir sebuah
perkumpulan pemuda yang tujuannya memperluas pengetahuan umum, mempelajari
kebudayaan, dan bahasa. Perkumpulan itu diberi nama Trikoro Darmo.
Perkumpulan itulah yang kemudian tumbuh menjadi Jong Java. Perkumpulan-perkumpulan
pemuda yang ada—atas inisiatif Jong Java dan Jong Sumatera—itulah
yang merintis ke arah penyatuan berbagai organisasi pemuda yang ada. Puncaknya
pada Kongres Pemuda Kedua yang melahirkan Sumpah Pemuda. Satu hal perlu dicatat
di sini: di dalam membidani lahirnya Sumpah Pemuda partai-partai politik
yang sudah ada ketika itu tidak terdengar muncul, apalagi berperan. Bahwa
dikemudian hari orang-orang dari kalangan Indonesia Muda itu menyebar ke berbagai
partai politik, itu benar, tetapi ketika membidani Sumpah Pemuda—sejauh yang
saya ketahui dari berbagai literatur—tidak ada. Hal itu berulang kembali, yakni
ketika membidani Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus. Tidak ada satupun partai
politik yang muncul. Bahwa waktu itu dilarang oleh Jepang, itu benar, tetapi
dalam momen seperti itu yang menentukan nasib bangsa, toh tidak muncul
juga.
Dua peristiwa terulang.
Siapa yang berperan di situ? Ini bukan untuk mengistimewakan kawan muda, tapi
memang anak mudalah yang berperan. Ketika Sumpah Pemuda, jelas para pemuda yang
berperan. Ketika Proklamasi, pemuda lagi dengan mahasiwa yang berperan.
Berulang lagi ketika menurunkan Soekarno dengan cara-cara yang aneh, itu juga
pemuda dan mahasiswa. Ketika menurunkan Soeharto, kembali lagi pemuda dan
mahasiswa. Apakah itu saja? Cukup di situ saja peranan paramuda: menaikkan dan
melengserkan, kemudian setelah itu ciserasera? Itu berpulang pada kalian
yang muda-muda. Saya tidak akan mengatakan harus begini, harus begitu, tidak.
Tapi, pengalaman itu mengatakan kepada kita, bahwa semua kejadian itu telah
membawa kita pada hari ini di mana kita merasa tidak betah. Terus terang, saya
sendiri tidak betah pada keadaan yang saya hadapi, yang saya alami dan yang
saya jalani sekarang ini. Orang usaha sendiri dengan modal sendiri, susah payah
sendiri diobrak-abrik. Petani bekerja keras, menanam, memelihara tanaman,
dibiarkan saja dimangsa tengkulak. Bank-bank kita, bank perkreditan kita
ratusan jumlahnya, tetapi tidak menyentuh jelata. Kaum jelata tetap saja
menjadi korban bank keliling yang bunganya tidak kira-kira.
Kembali ke Sumpah Pemuda.
Sumpah Pemuda itu yang mengerucutkan organisasi-organisasi pemuda menjadi
terhimpun dan melahirkan Indonesia Muda. Indonesia Muda itu awalnya
diperbolehkan oleh pemerintah kolonial, dengan syarat tidak berpolitik. Tapi
dalam praktiknya, mereka berpolitik juga sampai akhirnya digerebek, digeledah
kantornya dan ditahan pengurusnya. Pemerintah kolonial waktu itu melarang
anak-anak amtenar-amtenar (pegawai negeri) untuk menjadi anggota Indonesia
Muda. Meskipun demikian Indonesia Muda tidak surut, malah berkembang. Semakin
ditekan dia semakin keras melawan.
Pengukuhan kita sebagai
satu bangsa dilakukan oleh pemuda lewat Sumpah Pemuda. Sejak itulah kita
menganggap diri kita satu bangsa. Tetapi, bagaimana itu terjadi, asal mulanya
dan seperti apa, tampaknya kebanyakan dari kita merasa tidak perlu untuk
menelitinya. Saya sendiri mengetahui itu sebagian dari literatur yang ditulis
orang asing sebagaimana saya mengetahui misalnya Sarekat Islam merupakan
organisasi setelah Budi Utomo terbesar yang pernah ada sampai hari ini.
Pengetahuan itu saya peroleh dari literatur orang. Mengapa sejawaran-sejarawan
kita tidak menulis itu? Dengan begitu kita bisa belajar dari bangsa dan negeri
sendiri. Saya tidak mengatakan tidak perlu belajar dari bangsa lain, dari
revolusi-revolusi negara lain. Belajar dari bangsa lain, itu baik, tetapi
belajarlah dari bangsa dan negeri sendiri, supaya kita tahu apa kita ini,
bagaimana kita ini, apa perjalanan yang sudah kita tempuh, mana yang baik, mana
yang salah, supaya tidak mengulangi kesalahan.
Jika sekarang banyak
pelajar kita yang tidak tahu kapan dan siapa yang membuat nama Indonesia, itu
tidak berarti mereka bodoh, karena mereka itu adalah korban. Korban dari
pendidikan kita yang tidak sehat. Contoh yang mudah saja, Diponegoro itu tahun
1830 tamat riwayatnya, lalu bagaimana asal-usulnya dia menjadi pahlawan
nasional, sementara nama Indonesia saja baru ada 20 tahun kemudian. Namun
demikian, tidak perlu kita mencari siapa yang bersalah, lebih baik kita
perbaiki. Jadi, sejarah Indonesia itu baru bisa dikatakan sebagai sejarah
Indonesia yang sebenarnya adalah sejak 1850. Sebelum itu adalah pra Indonesia.
Kita memiliki MSI (Masyarakat
Sejarah Indonesia), perkara ada kata PKI dibelakang G30S saja ribut. Mengapa
itu yang diributkan? Apa dikira kalau ada kata PKI dunia Indonesia ini kiamat?
Lihatlah, hitunglah dari tahun 1966, berapa lama? 41 tahun. Apakah ada
orang-orang bekas PKI yang membuat huru-hara? Tanya pada polisi, apakah ada
orang-orang PKI yang merampok? Apakah ada yang menjadi penyelundup? Mereka
sudah finish. Saya jadi teringat kepada formulasi Yuyun Sumasumantri.
Ada empat kategori manusia. Pertama, yang tahu ditahunya, itu bagus; kedua,
yang tidak tahu ditahunya, itu aneh; ketika, yang tahu
ditidaktahunya, itu juga bagus. Paling sial yang keempat, orang yang
tidak tahu ditidaktahunya. Kita ini masuk yang mana? Kalian bisa menilai
sendiri-sendiri.
Perjalanan kita sejak Sumpah
Pemuda hingga hari ini itu apa saja dan bagaimana? Sebelum Sumpah Pemuda,
Soekarno mendirikan partai politik di Bandung, namanya PNI (Partai Politik
Nasional). Tujuannya jelas, untuk mencapai kemerdekaan. Sikapnya juga jelas,
non koorperatif terhadap pemerintah kolonial. Sebelumnya, tahun 1920 PKI muncul
dan berdiri. Dalam kongresnya tahun itu di Semarang mengambil dua keputusan. Pertama,
bergabung dengan Komintern (Komunis Internasional); dan kedua, bersikap
kooperatif terhadap pemerintah kolonial. Itulah yang terjadi. Silahkan kalian
menilainya. Saya ini bukan orang yang suka menjelek-jelekkan atau
membagus-baguskan. Saya suka lurus dan benar. Lurus itu tidak selingkuh, benar
itu seperti yang terjadi. Kita tahu PKI enam tahun kemudian—meskipun resmi
mengambil sikap kooperatif—dia memberontak pada tahun 1926. Digulung oleh
Belanda: dihukum digantung, dihukum ke Digul, dan dipenjara. Ketika Soekarno
ditangkap untuk kesekian kalinya dan penjara, pemimpin PNI yang lain ini
beranggapan bahwa keputusan pengadilan Belanda itu membuka kemungkinan
menangkapi pemimpin-pemimpin PNI yang lain. Pada waktu itu mereka menyimpulkan,
bubarkan saja PNI. Ada dua orang yang tidak setuju pada sikap itu, yaitu Hatta
dan Sjahrir. Oleh sebab itulah mereka mendirikan partai lagi dengan singkatan
PNI juga, yaitu Pendidikan Nasional Indonesia. Belanda tidak bodoh, karena
mengtahui tujuan organisasi itu, sehingga Hattan dan Sjahrir pun dibuang ke
Digul. Soekarno keluar dari penjara setelah berdiri Partindo, dan kemudian
Soekarno pun aktif di Partindo. Belanda menangkap lagi Soekarno dan diasingkan
ke Ende. Dari Enda dipindahkan ke Bengkulu. Itu perjalanan sampai akhirnya
Jepang mendarat di Indonesia.
Jepang mendarat di Banten
pada 4 Maret 1942. Empat hari kemudian tentara Belanda menyerah tanpa syarat,
tanpa membalas tembakan sekalipun, tanpa bertempur. Sebuah tentara di manapun
jika berhadapan dengan musuh yang menyerbunya tidak melawan dan hanya kabur
terbirit-birit, menyerah, menurut saya itu tentara yang hina dina secara
universal. Ada satu masalah yang sampai sekarang ini tidak pernah
dipersoalkan—bukan untuk mencari siapa salah siapa benar, tapi untuk mencari
yang terjadi seperti apa—yaitu sejarah. Sejarah itu ialah pencatatan tentang
peristiwa-peristiwa penting yang menyangkut orang banyak, ditulis secara lurus
dan benar. Lurus, tidak boleh selingkuh; benar, seperti yang terjadi. Tentang
penilaian, terserah yang hadir. Apakah mau disukai, tidak disukai, mau
disalahkan, mau dibenarkan, terserah. Perwira-perwira tentara KNIL itu menjadi
petinggi-petinggi di Indonesia. Kenapa orang Jepang tidak menangkap mereka, itu
aneh. Dikatakan aneh, karena tentara Jepang adalah tentara kekuatan musuhnya.
Tapi itu tidak terjadi, malah mereka mendapatkan jabatan pada jaman Jepang. Nah,
mengapa itu terjadi, saya sendiri tidak tahu. Itu pekerjaan rumah kalian jika
mau tahu. Cari tahu mengapa. Itu petinggi-petinggi, tidak main-main: Urip
Sumodiharjo, jenderal; Nasution, jenderal (lulusan PMA, militer di Bandung),
dan sejumlah perwira lainnya. Itu penting diungkap, bukan untuk
mengungkit-ungkit, menggugat-gugat, tapi untuk mencari tahu mengapa itu
terjadi. Kalau ada manfaat di situ kita tangguk, tapi kalau ada masalah di situ
jangan diulangi. Kalau saya mengatakan orang yang menandatangani prolamasi pada
17 Agustus 1945 dini hari, lalu sekitar empat tahun kemudian dia menerima
penyerahan kedaulatan dari Kerjaan Belanda, dari Ratu Belanda, katakan apa itu
namanya: baguskah, tidak baguskan, terserah kalian menilainya. Bagi saya, tidak
bagus! Buat apa saya tanda tangani proklamasi kalau ujung-ujungnya saya mau
tanda tangan lagi menerima kedaulatan dari Kerajaan Belanda. Itu kenyataan.
Saya berharap, ke depan
kita mulai membaca kenyataan seperti kenyataan itu sendiri, jangan
diselingkuhkan, jangan dipelinyir-pelintir demi apapun, sebab kebenaran adalah
kebenaran. Barangkali karena keselingkuhan-keselingkuhan di masa lalu itulah
kita jadi terpuruk ke dalam suatu keadaan seperti sekarang yang nyaris apapun
buntu. Pembangunan buntu, moneter buntu, industri buntu. Mencari gas dan
minyak, yang keluar malah lumpur hingga merendam desa-desa orang. Kemana-mana
buntu. Kalau mau menolong orang miskin dengan raskin (beras miskin) sebanyak 20
kilogram satu bulan, dengan harga seribu per kilogram, dalam kenyataannya tidak
sebanyak dua puluh kilogram. Saya katakan begitu, karena saya memperoleh
raskin. Kenyataannya hanya lima kilogram. Paling tinggi tujuh kilogram. Subsidi
300 ribu per keluarga miskin, orang yang mendapat jatah bicara pada saya: “iya,
tanda tangannya 300 ribu, tetapi yang saya terima hanya 150 ribu.” Kemana yang
lainnya? “Dipotong.” Buat apa? “Biaya-biaya,” katanya. Mengapa masyarakat mau? Nah,
di sini persoalan.
Ada hal yang elementer,
barangkali saya ditertawakan kalau mengatakan ini, tapi tak apa-apa. Kalian
semua diwajibkan membuat KTP bukan? Kalau tidak membuat, ada sanksinya. Ada
razia, ditangkap. Si A menyuruh si B membuat sesuatu, kemudian si A mengatakan
jika tidak awas kamu, dan bayar oleh kamu! Nah, yang menyuruh membuat
KTP, menyuruh membayar juga. Harganya pun bukan harga yang sebenarnya, karena
berlipat-lipat. Apa namanya yang seperti itu? Kalau kau menyuruh orang
menggosok sepatu atau sepeda motormu, kan kamu yang bayar orang itu.
Tapi ini tidak, kamu dirusuh sekaligus diminta membayar. Itulah berlangsung.
Masyarakat-bangsa ini mau diperlakukan seperti itu.
Di era kolonial para
pemimpin kita itu hebat. Saya menghormati mereka. Siapa mereka itu? Kihajar
Dewantara, Tan Malaka, Setiabudi, berturut-turut pada generasi berikutnya
sampai ke Soekarno, Hatta, Sjahrir, Amir Syarifudin, Mohamad Yamin,
Samratulangi, Dr. Mansur dan lain-lain. Orang-orang itu kalau hanya mau hidup
senang dengan Belanda, mereka cukup dan mudah. Gaji besar, minimum 300 Gulden
satu bulan ketika harga beras 4 sen satu liter. Kalau ekuivalen dengan
beras, berapa itu, bisa dihitung sendiri. Itu belum termasuk fasilitas. Ibrahim
(Tan Malaka) itu bekerja dengan gaji 300 Gulden dengan
fasilitas-fasilitas dan hak-haknya dipersamakan dengan orang Belanda. Tapi
mereka tidak memilih itu. Mereka menepiskan itu dan terjun ke dalam pergerakan
nasional, berlanjut dengan perjuangan. Itulah mereka. Nah, saya
menamakan mereka itu kaum terpelajar yang sehat dan patriotik. Itu saya
hormati.
Tetapi, setelah Jepang
datang; fasis Jepang menduduki Hindia Belanda, mereka bekerjasama dengan
Jepang. Tidak semua. Sutan Sjahrir tadinya tidak mau bekerjasama dengan Jepang,
walaupun ujung-ujungnya dia juga mengajar di sebuah badan (lembaga) buatan
Jepang dengan dalih karena Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia.
Dalam nalar saya ketika itu, lho kemerdekaan kok diberi oleh
Jepang? Bukankah kemerdekaan itu milik sendiri, harus diambil sendiri? Kalau
kemerdekaan pemberian, kedengaran aneh buat saya waktu itu. Yang namanya diberi
itu di bawah tangan. Tidak ada yang diberi itu tangannya di atas. Yang menerima
itu tangannya di bawah. Itulah perselisihan yang timbul ketika itu: antara para
senior dengan paramuda—yang isinya adalah pemuda dan mahasiswa. Saya terlibat
di situ. Saya masih “anak bawang”ketika itu. Usia saya masih 19-an tahun.
Setelah berdebat soal proklamasi, akhirnya kelompok senior mau memprolamirkan
kemerdekaan. Sehari setelah itu UUD disahkan, pemerintahan dibentuk. Kabinet
waktu itu terdiri dari 8 menteri. Kita tidak tahu lagi apa yang dilakukan oleh
pemerintah. Saya dengan kawan-kawan waktu itu menyerbu Jepang, mengambil alih
stasiun kota, stasiun trem. Di Kramat Raya diambil alih, Manggarai diambil
alih. Ada komite van aksi waktu itu. Dulu memakai istilah “van”,
karena kebanyakan adalah lulusan sekolah Belanda. Komite dari aksi: komite van
aksi. Ketuanya adalah Chairul Saleh, wakil ketuanya Johar Noer. Nah,
kita yang bertindak ketika itu, sampai-sampai si paramuda itulah yang berpikir
kita sudah merdeka dengan proklamasi, sudah punya UUD 1945, sudah punya
kabinet—yaitu pemerintahan—kok tidak memiliki tentara?
Tiga orang di antara
paramuda itu—pemuda Menteng 31—menghadap Menteri Pertahanan Amir Syarifudin di
jalan Cilacap untuk mendesak supaya segera dibentuk tentara Indonesia, karena
kita sudah merdeka. Itu terjadi bulan September tahun 1945, sekitar sebulan
setelah proklamasi. Kita tidak tahu apa yang dipikirkan oleh senior-senior yang
sudah jadi presiden, wakil presiden, menteri—apa yang mereka pikirkan, apa yang
mereka rencanakan—ketika itu. Kita hanya melihat bahwa kita sudah memiliki
negara, sudah merdeka, maka harus memiliki tentara. Kita desak, disampaikan
pada Amir Syarifudin. Setelah itu pada tanggal 5 Oktober 1945 keluarlah Dekrit
Presiden: membentuk Barisan Keamanan Rakyat (BKR), bukan tentara. Ketika itu
saya tidak tahu apa alasannya. Belakangan ada justifikasi supaya kita tidak
dianggap agresor, tidak dianggap agresif oleh sekutu. Dimana-mana negara itu
memiliki tentara, kecuali Monako barangkali. Kami mulai kecewa waktu itu.
Kecewa terhadap para pemimpin senior. Lalu datanglah perintah-perintah yang
menyusul kemudian—kebetulan waktu itu saya ada di Bandung, tapi bulannya
lupa—kami disuruh mundur, meninggalkan kota Bandung. Kita itu bukan kalah dalam
pertempuran oleh tentara Belanda. Mereka (tentara Belanda-ed) duduk-duduk di
sana, minum kopi, kita disuruh mundur. Siapa yang menyuruh? Pemerintah kita
sendiri.
Setelah Proklamasi,
kelompok Menteng 31, di mana saya bergabung menjelma menjadi API (Angkatan
Pemuda Indonesia). Selanjutnya API menjelama menjadi Laskar Rakyat Jakarta
Raya, yang kemudian melebar lagi menjadi Laskar Rakyat Jawa Barat. Itu proses
dalam masyarakat. Dalam pemerintahan yang terjadi dari perundingan ke
perundingan, mundur ke mundur. Mengapa begitu? Ini revolusi! Kenapa saya
katakan revolusi? Ketika kita diperintah mundur dari Bandung, pemerintah
sendiri, pemerintah kita—bukan diperintah oleh Belanda—yang mundur itu bukan
pasukan-pasukan bersenjata, tapi rakyat. Mereka ikut mundur, ikut pergi, tidak mau
hidup di bawah kekuasaan Belanda. Itu salah satu indikator penting bahwa rakyat
bangkit membela kemerdekaan, bangkit membela proklamasi. Kebangkitan itu oleh
pemimpin-pemimpin kita diredam, disuruh mundur, toh menurut: mundur
berbondong-bondong penduduk Bandung menyeberangi sungai Citarum, meninggalkan
harta kekayaan. Bayangkan itu! Harta benda yang mereka kumpulkan semumur-umur
ditinggalkan saja, karena memihak kemerdekaan, memihak Nagara Republik
Indonesia. Tidak mau di bawah Belanda. Tapi pemimpin kita tidak membaca itu.
Itu bukan hanya di Bandung, di Semarang, Surabaya, Makasar, Medan, Menado,
dimana-mana seperti itu. Bukankah itu suatu kebangkitan dari masyarakat?
Nah, pertanyaannya, mengapa
masyarakat bisa bangkit seperti itu? Apa datang wahyu dari langit, atau
bagaimana? Saya berpendapat, itulah hasil, buah kerja para pemimpin kita di era
kolonial. Kalau dihitung dari 1912 sampai 1942, 30 tahun tidak henti-hentinya
mereka—walaupun bermacam-macam partai dan organisasinya—tapi satu arah melawan
penjajahan. Caranya beragam: ada yang keras brontak, tegas, serta yang lunak
dan lembek pun ada. Tapi semua itu satu arah. Umar Said Tjokroaminoto dari
Sarekat Islam menyatakan: tidak boleh lama lagi kita menjadi sapi perah yang
hanya diambil susunya dan diberi makan oleh Belanda yang jauhnya ribuan
kilometer. Itu satu. Beberapa tahun kemudian kongres Sarekat Islam membuat
keputusan: berjuang melawan kapitalisme yang zalim. Itu kongres Sarekat Islam
di tahun 1920-an.
Nah, kalau sekarang, yang saya
dengar dan membaca koran, gerakan Islam berjuang melawan komunis. Sampai-sampai
dihalalkan darahnya. Saya jadi berpikir, mengapa bangsaku ini bisa begitu?
Siapa yang mengajari seperti itu? Dulu tahun 1945 itu rukun saja semua. Entah
dia Hisbullah, Sabililah, BPRI (Barisan Pemberontak Republik Indonesia),
pasukan Istimewa, API, Laskar Rakyat, RIS, rukun melawan penjajah. Jadi, satu
garis, satu benang merah, bahwa kebangkitan masyarakat itu digugah oleh para
pendahulu kita dulu. Ada formulasi bagus dari seorang pemimpin kita waktu itu:
rakyat Indonesia bagaikan ayam yang mati di lumbung padi. Negeri ini subur,
kaya sumber-sumbernya, kita melarat. Itu pemimpin-pemimpin kita dulu. Itu
ucapan Soekarno dulu, di era kolonial. Tapi belakangan, ketika musim tari lenso—dipopulerkan
oleh Soeharno—sampai orang-orang dari ormas, tokoh-tokoh politik dianjurkan
untuk berlenso. Ada lirik lagu: “di Indonesia banyak makanan”. Itu saya
plesetkan: “di restoran banyak makanan”. Dipanggil saya karena itu, dimarahi:
“bikin kacau kamu, ya!” Memang betul. Di restoran yang banyak makanan. Di
kampung-kampung susah, orang harus bekerja dulu: terima upah, baru beli beras.
Pemimpin kita yang begitu
hebat ketika melawan kolonial, mengapa menjadi begitu jinak ketika menghadapi
tentara Belanda yang dibantu oleh sekutu setelah merdeka? Mengapa itu, mengapa?
Tidak pantas itu. Kehebatan, ketahanujian, pengorbanan ketika melawan kolonial
begitu hebat. Tapi setelah menjadi presiden, menteri, kok menjadi jinak?
Sutan Sjahrir itu menandatangani Perjanjian Linggarjati, tahun 1946. Isinya
pasal pertama yang saya ingat: “wilayah kekuasaan de facto—tanpa
kekuasaan de jure—Republik Indonesia: Jawa, Madura dan Sumatera. Itu
yang ditandangani. Itu yang diterima. Padahal sebelum Sjahrir itu ke Digul.
Mengapa mendadak sontak jadi jinak seperti itu? Saya ketika itu berada di pihak
yang menolak perjanjian itu. Jadi, apa boleh buat, saya jadi buronan republik.
Menyusul setelah itu Perjanjian Renville juga begitu. Kekuatan tentara kita di
kantung-kantung gerilya di pulau Jawa ini harus keluar dari kantung-kantung
gerilya, berkumpul ke Yogyakarta semua. Saya termasuk dalam kelompok yang
menolak itu. Kalau mau bukan kita yang keluar, tapi itu Belanda yang pergi dari
ini. Nah, mengapa pemimpin kita sampai begitu? Why? Mengapa
mereka yang dulu begitu perkasa di era kolonial menjadi jinak seperti tidak
punya tulang punggung? Haah-heeh saja pada Belanda. Ketika itu saya
masih muda, jengkel sekali. Apalagi ketika KMB. Coba kalian pikir, kau
tandatangani sebuah perjanjian, terus kautandatangani sesuatu yang menganulir
yang ditandatangan pertama, apa itu namanya?
Nah, sejarah tentang itu tidak
diungkap. Saya tidak mempersalahkan orang-orang yang sampai sekarang
memuja-muja Hatta, memuja-muja Sjahrir, silahkan. Akupun memujanya, tapi
Sjahrir yang mana, Hatta yang mana? Hatta yang ketika sekolah di Belanda aktif
dalam Liga Anti-Kolonial. Itu Hatta yang hebat. Tapi Hatta yang menandangani
KMB, maaf. No way! I do not respect it! Jadi saya itu
proporsional. Saya tidak mau berpikir absolut. Kalau bagus itu bagus saja dari
ujung sampai ujung. Tidak ada di dunia yang seperti itu. Kalau baca perjanjian
KMB, yang saya ingat saja: itu utang-utang Belanda selama menyerang kita
bertahun-tahun harus dibayar oleh kita. Terus tentara kita, TNI harus dicampur
aduk dengan KNIL. Karena itu saya tidak suka, dan saya letakan. Saya bersedia
menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia), tapi tentara RIS (Republik Indonesia
Serikat-ed) sama sekali tidak. Saya mundur. Nah, itu perjalanan kita.
Saya sendiri sudah lama
minta tolong beberapa kawan untuk dicarikan naskah-nasakah perjanjian itu:
Linggarjati, Renville, KMB yang otentik, supaya bisa dibaca, bisa dipelajari,
bisa ditangguk pengalaman dari situ. Kalau ada yang baik bisa diambil, kalau
ada yang buruk kita tinggalkan, jangan diulangi. Hanya untuk itu! Tadi saya
berkata seperti itu bukan saya menjelekan Hatta. Saya hanya bertanya, mengapa
kamu yang begitu hebat dulu di negeri Belanda sampai ditangkap oleh Belanda
karena anti-kolonial, di Indonesia gara-gara menentang kolonialisme ditangkap
dan dibuang ke Digul, tapi mengapa sekarang loyo begitu, main tanda tangan saja
perjanjian yang menguntungkan Belanda. Itu pertanyaan besar. Apa sebabnya, saya
sendiri belum bisa jawab. Tapi, terjadilah seperti itu. It was happen like
that?
Nah, itu perjalanan. Tanpa
mempelajari perjanjian ini (Perjanjian Linggarjati, Renville, dan KMB) omong
kosong kita mempelajari pemerintahan negara Indonesia. Apa yang mau dipelajari:
puji-memuji, hebat-menghebat, puja-memuja, gitu-gituan saja? Itu sama
dengan “si buta dan si gagu”. Menurut saya itu tidak baik. Kalian harus lebih
mengerti dan lebih tahu mengapa semua itu terjadi, bagaimana sampai terjadi.
Kalau kita membuat perbandingan sedikit, kita ambil contoh negeri yang kecil:
luasnya lebih kecil, jumlah penduduknya juga lebih kecil dari kita—jauh lebih
kecil—dijajah oleh Prancis, Prancis dia lawan. Dia tidak menempuh jalan
kompromi, tapi dia menempuh jalan perjuangan. Rakyatnya bangkit, melawan, kalah
Prancis. Benteng yang dibangga-banggakan Prancis Dien-dien Fu itu
direbut oleh mereka, dan jenderalnya ditangkap di situ. Karena wilayah itu
strategis menurut pandangan tuan-tuan modal, tidak bileh lepas itu. Datanglah
tentara Amerika ke sana. Enam sampai tujuh ratus ribu jumlahnya dikirim ke
tempat itu, ke negeri itu untuk menghancurkan gerakan kemerdekaan. Apa yang
terjadi? Karena mereka menempuh jalan perjuangan, mereka membaca kesadaran
rakyat, kebangkitan rakyat, serdadu Amerika itu terbirit-birit kabur dari situ
walaupun jumlahnya 700 ribu orang. Nah, kita sebesar ini, seluas ini, 70
juta waktu itu kita punya penduduk, hanya dengan 100 ribu tentara Belanda diem.
Kok kita mendek-mendek. Mengapa pemimpin-pemimpin jadi begitu? Aneh
sekali. Saya serahkan pada kalianlah untuk mencari jawabnya. Mereka yang begitu
hebat terus mendek-mendek hanya dengan 100 ribu tentara Belanda. Total
itu yang bule dan kulit hitam—KNIL dan KL. Sedangkan mereka di sana 700 ribu
tentara Amerika yang persenjataannya jauh lebih hebat dari tentara Belanda toh
mereka bisa atasi.
Nah, dari sana saya
mencoba-coba untuk membuat sebuah hipotesis: suatu revolusi kalau
dikompromikan, maka revolusi itu bunuh diri. Itulah yang terjadi. Itu yang
terjadi di Prancis, revolusinya dikompromikan, habislah: Montesque, Dante
digueletin semua. Padahal mereka itu adalah pencetus revolusi. Kalau di sini
tidak sampai digueletin, karena tidak ada digueletin, tapi ditembaki. Gara-gara
menolak perjanjian Linggarjati diserbu dan ditembak. Gara-gara menolah
Perjanjian Renville diserbu, ditangkap, dan ditembak di tempat. Jadi, main
tembak mati di tempat itu bukan Soeharto saja, sudah ada jauh sebelumnya.
Itu perjalanan. Untuk apa
itu semua? Supaya kita tahu di mana benarnya di mana salahnya. Salahnya jangan
diulangi, benarnya bisa diteruskan. Seperti yang ditulis oleh Utuy Tatang
Sontani tentang Sangkuriang: ketika Sangkuriang mati, Dayang Sumbi mati, semua
menangis, maka datanglah lengser dan berkata, “sudahlah, jangan ditangisi
lagi, tidak hidup lagi yang mati”. Sekarang tinggal yang jeleknya kita tunda,
yang baiknya tuluy keneun sarerea (tinggal diteruskan oleh semua). Nah,
itu formulanya. Jadi saya hanya mengemukakan fakta-fakta, kejadian-kejadian dan
proses berlangsungnya.
Terakhir, kita punya
Undang-Undang Dasar. Saya bertanya kepada diri saya sendiri: mengapa kalangan
terpelajar kita hari ini tidak membahas Undang-Undang Dasar? Sekalinya dibahas
untuk diobok-obok. Mengapa timbul kemalasan di situ? Saya tidak tahu itu
mengapa. Padahal isinya itu—berulang-ulang harus saya sitir, harus diulangi
lagi mentang-mentang saya duduk di Dewan Konstituante, badan perancang
konstitusi negara—semua orang bisa baca kalau mau. Kok saya tidak pernah
dengar ada kelompok diskusi membahas apa Undang-Undang Dasar kita itu. Baca,
diskusikan, apa ini artinya ini, dan apa itu artinya. Akibat kelalaian—kalau
boleh disebut kelalaian—sekarang ini sudah 3600 lebih undang-undang dan
perda-perda yang dibuat tidak sesuai dan bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar. Karena kalian tidak mau membahas Undang-Undang Dasar, ya sudah,
dilangkah-langkahi, dibiarkan saja, diam-diam saja. Itu persoalan kita
sekarang. Kalau memang betah seperti itu saya tidak apa-apa, up to you, up
to all of you.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar