Sabtu, 25 Desember 2010

PERSAUDARAAN HATI NURANI

Kerusuhan atau bentrokan yang terjadi di tanah air kita selama beberapa tahun sajak kerusuhan mei 1998, ini sungguh peristiwa yang sungguh menyedihkan. Puluhan, ratusan bahkan ribuan nyawa melayang, dan sebagian -insya Allah- orang-orang yang tidak berdosa. Ngeri. Bahkan pelaku atau perusuh yang menemui ajalnya dalam kerusuhan yang diciptakannya sendiri itu tentu ditangisi juga oleh sanak keluarganya, terutama oleh anak-anaknya yang masih menginginkan belaian kasih sayangnya.

Namun, peristiwa-peristiwa itu sudah terlanjur terjadi. Orang yang melihat langsung atau menyaksikan lewat layar televisi tak mungkin melupakannya untuk kemudian menyatakan hal itu tidak pernah terjadi. Kita tidak mungkin menghapus ingatan pada tubuh-tubuh yang hangus akibat terpanggang api yang melalap plaza-plaza, gedung-gedung atau rumah-rumah, wanita-wanita yang diperkosa bahkan ada yang sampai mengandung anak yang tidak diinginkannya, mayat-mayat yang bergelimpangan di sembarangan tempat dengan tubuh yang tercabik-cabik dan dikerumuni lalat atau belatung. Kita tidak mudah menyetop angan-angan kita sendiri ketika berimajinasi atau membayangkan penderitaan mereka. Betapa panas dan menggelepar tubuh-tubuh malang itu ketika api menyulut kulit dan daging serta kemudian merengut nyawanya. Wanita-wanita yang diperkosa secara beramai-ramai di depan orang tuanya, anaknya, kakak atau adiknya, pacar atau suaminya dengan jeritan atau rintihan mohon ampun yang akhirnya mengalami trauma atau penderitaan seumur hidup. Juga betapa tersiksanya tubuh-tubuh malang itu dihujami senjata tajam atau senjata api.

Bayangkan, bagaimana kalau di antara korban-korban itu kebetulan keluarga atau saudara kita sendiri? Hanya bahasa air mata yang bisa menampung sakitnya nurani. Seorang anak yang pamit untuk pergi bermain dengan ucapan yang renyah lincah kemudian pulang ke rumah dalam keadaan menjadi mayat atau arang. Karena itu, meskipun mereka yang menjadi korban itu bukan sanak famili kita, sebagai manusia yang punya hati nurani, seyogyanya tuduk dan bersedih, karena ada sembilu yang menyayat rasa kemanusiaan kita.

Dengan peristiwa yang sangat tidak kita kehendaki itu, agaknya menjadi pertanda bahwa di negeri ini masih ada orang-orang yang tidak menghargai kemanusiaan. Mereka sebenarnya masih bangsa kita sendiri, bukan orang asing bangsa penjajah, seperti yang diperangi oleh Fatahillah tiga abad yang lalu. Karena itu, peristiwa yang mengharukan itu pantas dan layak untuk direnungkan. Paling tidak, kita merenungkan dengan hati yang dalam, syaraf-syaraf afeksi kita jadi terketuk dan semakin peka untuk menghargai hidup dan kehidupan. Jika manusia menghargai hidupnya sendiri, ia harus menghargai hidup orang lain. Indahnya hidup ini karena adanya rasa saling menghargai. Minusnya penghargaan kepada orang lain, pertanda rendahnya rasa kemanusiaan seseorang. Rendahnya rasa kemanusiaan itulah yang bisa membat manusia berlagak tidak seperti layaknya manusia lagi, dimana kemuliaan, persaudaraan, moral, akal sehat, dan agama sudah tidak diindahkan lagi. Jika banyak orang seperti itu, chaos dan anarki bisa terjadi, yang buntutnya tidak lain adalah kerugian dan penyesalan.

Dengan peristiwa sedih itu, maka sangat terpuji kalau kita intropeksi dengan kembali kepada hati nurani dan akal sehat, di samping mendekatkan diri kepada Tuhan YME. Hanya dengan hati nurani dan akal sehat, kita bisa melihat semua persoalan secara jernih. Untuk kemudian muncul kebersamaan agar segera bisa menyembuhkan situasi yang sakit itu untuk normal dalam arti yang sesungguhnya. Dengan membebaskan masyarakat dari kekhawatiran dan kecemasan, tidak kalah pentingnya dari upaya menyehatkan rupiah kita yang terpuruk. Kita punya tugas memulihkan suasana, agar ibu-ibu merasa aman saat mendekap bayinya yang sedang menyusu dan kemudian bermimpi indah-indah tentang hari esok yang lebih cerah. Anak-anak sekolah yang merasakan damai sambil melompat-lompat di tepi jalan dengan sorot mata yang ceria. Para pedagang -dari yang punya plaza sampai yang berjualan di kaki lima- merasa tak dihantui oleh ulangan peristiwa-peristiwa kerusuhan yang pernah terjadi di tanah air kita tercinta ini.

Ahlak mulia yang diajarkan nenek moyang kita, yang mengatakan “hidup tanpa hati nurani adalah bagai berjalan”, kiranya perlu dikaji ulang, apakah masih relevan dengan jaman yang serba modern ini. Namun, kalau direnungkan dengan jiwa yang dalam, hati nurani itu tak lain adalah mata kehidupan yang paling jernih dalam melihat semua persoalan. Hati nurani adalah yang paling inti dari kemanusiaan. Dalam hati nurani pula, iman kita kepada Tuhan YME menemukan tempat yang hakiki. Tanpa hati nurani, iman mudah goyah diombang-ambingkan keinginan hawa nafsu yang bisa merugikan diri sendiri dan orang lain. Dengan hati nurani, penderitaan dan kesakitan hati orang lain bisa dirasakan secara intens dan menimbulkan kesedihan hakiki, yang kemudian solidaritas yang sublim bisa dikembangkan menjadi suatu persaudaraan sebangsa setanah air.

Maka, untuk segera bisa menangkis bangsa ini dari kemelut, banyak sektor perlu diisi oleh setiap warga negara sesuai dengan keahlian dan profesinya masing-masing. Para birokrat, politikus, tentara, bankir, ulama, pedagang, mahasiswa, dan lain-lain, bisa menyumbangkan pengabdiannya demi atau untuk mengembalikan harkat dan martabat bangsa ini, untuk segera bebas dari hal-hal yang tidak kita sukai, atau aneka krisis yang betul-betul memprihatinkan itu. Bahkan, seorang penganggur yang tak ikut dan tak ingin berbuat kerusuhan bisa dinilai turut menyumbang di bidang keamanan. Sumbangan bisa dinilai sejati apabila ada usaha sehat berdasarkan kejernihan nurani. Sumbangan yang ikhlas itu yang akan membuat wajah tanah air tercinta ini menjadi cerah, karena sumbangan itu akan menjadi simbol saling menghargai sesama bangsa Indonesia. Dari stadium yang nyaman itulah, yang bernama keadilan dan kearifan berbangsa bisa diupayakan sebagai manifestasi dari cita-cita para pahlawan yang tidak diragukan lagi pengabdiaan dan kesetiaan kepada tanah air dan bangsa ini. Kita adalah ahli waris yang sah dari para pahlawan, karena itu Republik Indonesia ini adalah milik kita semua. Kita adalah satu keutuhan. Jika ada perbedaan pandangan di antara kita, kita punya bahasa Indonesia yang telah terbukti bisa mempersatukan bangsa ini. Marilah kita gunakan bahasa persatuan ini untuk berdialog atau temu wicara. Dialog yang dilakukan dengan bertumpu di atas nurani, di samping adanya itikad baik untuk saling mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain, tak pelak lagi pendekatan demi pendekatan semakin menghilangkan jarak. Dari situlah formula persaudaraan yang lebih segar akan muncul.

Dampak dari formula itu, kita semakin mudah untuk mengajak masyarakat awam melihat kedalam dirinya, dan kemudian menampilkan tindakan-tindakan nyata yang lebih menguntungkan. Dan sebenarnya, masyarakat kita mudah ditentramkan bila nuraninya diketuk dengan diperlakukan sebagai saudara. Persaudaraan itu tentunya harus terbit dari hati nurani. Persaudaraan yang tumbuh dari hati nurani itulah yang akan membuat kita senasib seperjuangan, maka pemerataan hasil pembangunan di tanah air ini bisa melahirkan senyum pada bibir lebih 200 juta rakyat indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar