Kamis, 01 September 2011

Alasan Menentang Sidang Istibat DEPAG RI Pada 29 Agustus 2011


[1]. Perlu sama-sama dipahami, bahwa urusan ibadah memiliki aturan berbeda dengan muamalah. Ibadah memiliki khashaish (kekhususan-kekhususan) yang merupakan hak prerogatif Allah dan Rasul-Nya. Dalam soal ibadah shaum, Haji, dan hari raya, Nabi Saw memerintahkan metode RUKYATUL HILAL (melihat awal bulan). Tidak masalah kita menjalankan ibadah berbeda dengan kalender, asalkan syarat-syarat ketentuan ibadah itu terpenuhi. Dalam urusan ibadah memakai Rukyatul Hilal, sedangkan dalam urusan muamalah memakai kalender (hasil hisab). Tidak mengapa semua ini.

[2]. Sudah ada pernyataan yang datang SEBELUM pengumuman Sidang Itsbat Depag RI, bahwa ada di antara kaum Muslimin di Jepara dan Cakung Jakarta sudah melihat hilal. Maka pengumuman ini harus diterima, selama yang bersangkutan mau bersumpah. Demikian kaidah aslinya. Apapun teori ilmu falaq, nasehat MUI, perhitungan ahli hisab ormas Islam, pantauan astronomi, dll. semua itu menjadi tidak berlaku, jika sudah ada kaum Muslimin yang mengaku telah melihat hilal. Inilah dasar aplikasi Syariat Islam aslinya, sebelum kaum ahli hisab/pakar astronomi menguasai wilayah ibadah ini. Hal itu sesuai sabda Nabi Saw.: “Shumuu li ru’yatihi wa ufthiruu li ru’yatihi” (shaumlah kalian dengan melihat hilal, dan berbukalah -saat awal Syawal- dengan melhatnya juga). [HR. Bukhari Muslim]. Untuk memastikan baca artikel voa-islam.com ini: Hilal Sudah Telrihat Senin Sore, Tapi Pemerintah Tetapkan 1 Syawal Hari Rabu.

[3]. Depag RI dan ormas-ormas Islam tertentu jelas TELAH MENOLAK KESAKSIAN beberapa Muslim yang telah melihat hilal. Padahal dalam riwayat diceritakan, ada seorang Shahabat datang kepada Nabi Saw dan mengaku telah melihat hilal. Lalu Nabi Saw meminta dia bersumpah, dia pun bersumpah. Maka kemudian Nabi Saw memerintahkan Bilal Ra mengumumkan, bahwa besok kaum Muslimin berpuasa. Lihatlah, cara ini sangat mudah, sangat mudah, sangat simple; sebelum akhirnya DIBUAT KERUH oleh para ahli hisab, para ahli falaqiyyah, para pakar astronomi, dan sebagainya. Padahal Nabi Saw bersabda: “Yassiruu wa laa tu’assiruu” (permudahlah, jangan dibuat susah).

[4]. Perlu diketahui bahwa metode penetapan melalui Sidang Itsbat Depag RI itu ternyata merupakan bentuk dari memaksakan metode hisab/falaqiyyah secara EKSTREM. Ini adalah bentuk kesesatan baru yang tidak sesuai Sunnah Nabi Saw. Mengapa dikatakan demikian? Sebab mereka jelas-jelas MENOLAK kesaksian beberapa orang Muslim di Cakung dan Jepara yang telah mengaku melihat hilal. Kata mereka, “Tidak mungkin hilal sudah terlihat! Menurut perhitungan kami dan pengamatan astronomi, seharusnya hilal belum terlihat.” Nah itu dia, mereka menolak kesaksian melihat hilal karena alasan perhitungan ilmu falaq dan pantauan astronomi. Padahal Nabi Saw tidak mempersyaratkan hal itu. Cukuplah kesaksian seorang Muslim yang mau disumpah, itu sudah cukup.

[5]. Kita harus memahami, bahwa Allah Ta’ala berkuasa atas segala kejadian di alam ini. Bisa jadi, sesuatu yang tidak mungkin secara ilmu falaq/astronomi, bisa menjadi mungkin menurut Allah Ta’ala. Apakah kita meragukan Kekuasaan Allah? Percayakah Anda, bahwa bisa saja Allah menampakkan hilal kepada sebagian hamba-Nya dan menutup hilal bagi sebagian yang lain? Hal itu sangat bisa terjadi dan sering terjadi. Tampaknya hilal adalah karunia Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Dan prediksi sains tidak selalu sesuai kenyataan. Banyak bukti-bukti di lapangan bahwa prediksi sains berbeda dengan kenyataan, misalnya prediksi cuaca, prediksi badai, prediksi gunung meletus, prediksi tsunami, prediksi janin dalam kandungan, prediksi usia harapan hidup pasien, prediksi penyakit dalam tubuh, prediksi hasil panen, prediksi pertumbuhan tanaman, prediksi kecepatan kendaraan, dll. Apakah di semua keadaan itu sains bisa memberikan hasil prediksi sempurna? Contoh kekeliruan informasi sains. BMKG pernah memprediksi ancaman tsunami di Sumatera telah berlalu, tetapi kemudian tsunami melanda Mentawai dan sekitarnya, ratusan orang meninggal disana. Sebaiknya Ummat Islam jangan memutlakkan hasil analisis sains, meskipun jangan pula menolaknya mentah-mentah.

[6]. Para ahli falaqiyyah/ahli hisab/pakar astronomi sering marah kalau mendengar ada seorang Muslim mengaku sudah melihat hilal. Mereka beralasan, “Tidak mungkin terlihat. Itu bohong semata! Berdasarkan perhitungan kami, hilal belum terlihat!” Orang-orang ini bersikap IRONIS, seolah hak dalam penentuan urusan din ini ada di tangan mereka sepenuhnya. Seolah, mereka berada dalam maqam ma’shum, yang tak tersentuh kesalahan. Masya Allah, laa haula wa laa quwwata illa billah. Disini kita bisa buktikan, bahwa orang-orang itu bersikap TIDAK KONSISTEN dengan sikapnya. Pertama, kita bertanya ke mereka, “Mengapa Anda menolak kesaksian Muslim yang sudah melihat hilal?” Mereka jawab, “Berdasarkan perhitungan kami, dan diperkuat hasil pantauan astronomi, hilal tak mungkin terlihat. Bohong besar kalau ada yang mengaku sudah melihat.” Kedua, kita bertanya lagi, “Kalau hilal tak mungkin terlihat, lalu bagaimana solusinya?” Mereka jawab, “Ya, bulan Ramadhan kita istikmal-kan menjadi 30 hari. Mudah bukan!” Nah, disana itu bukti sikap TIDAK KONSISTEN mereka. Kalau mereka konsisten dengan metode Rukyatul Hilal dengan syarat-syarat seperti yang mereka tetapkan, belum tentu bisa melihat hilal pada tanggal 30 Ramadhan, tanggal 31, dan sebagainya. Bagaimana kalau langit tertutup mendung terus, darimana mereka akan bisa melihat hilal? Perlu diketahui, Observatorium Boscha itu berkali-kali gagal mengamati gerhana, komet, atau meteor gara-gara langit terhalang oleh mendung/awan. Metode istikmal (menggenapkan bulan menjadi 30 hari) adalah metode Sunnah, bukan berdasarkan teori-teori falaqiyyah/astronomi. Kalau mereka mau mengambil Sunnah dalam soal ISTIKMAL, mengapa mereka menolak Sunnah dalam kesaksian seorang Muslim bahwa dia sudah melihat hilal? Dimana sikap konsisten mereka?

[7]. Para pakar falaqiyyah/ahli hisab/astronomi menuduh bahwa kesaksian beberapa Muslim yang telah melihat hilal pada saat senja hari, 29 Agustus 2011, sebagai bentuk kebohongan. Masya Allah, padahal Nabi Saw hanya mempersyaratkan SUMPAH saja untuk memverifikasi kesaksian itu. Hal tersebut adalah bentuk kemudahan dalam Syariat. Lalu pertanyaannya, “Bagaimana kalau kesaksian beberapa orang yang mengaku melihat hilal itu benar-benar bohong?” Jawabnya sebagai berikut: (a). Kalau mereka dusta, dosanya ditanggung mereka sendiri di hadapan Allah; (b). Selama kita sudah berpuasa 29 hari, itu sudah mencukupi ketentuan puasa Ramadhan. Kecuali kalau puasa kita baru 28 hari, jelas harus disempurnakan. Jadi, hal semacam ini dibuat ringan saja: sejauh kita sudah puasa 29 hari dan ada kesaksian Muslim bahwa dirinya telah melihat hilal dan mau disumpah, itu sudah mencukupi.  Anda tidak akan disebut maksiyat kepada Allah dan Rasul-Nya karena telah puasa 29 hari. Bahkan menurut riwayat Ibnu Mas’ud Ra, puasa Nabi Saw lebih banyak 29 hari, bukan 30 hari.

[8]. Sangat berbahaya kita berpuasa saat 1 Syawal atau saat jatuh hari raya Idul Fithri. Ini berbahaya, haram menurut Syariat Islam. Siapapun puasa di hari Idul Fithri, hal itu merupakan maksiyat serius kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam kaidah Sunnah, kalau ada dua pilihan yang sama-sama halalnya, kita dianjurkan memilih yang paling ringan. Misalnya, saat dalam safar, kita boleh Shalat secara sempurna, tapi boleh juga Shalat Qashar. Maka memilih yang lebih ringan (shalat qashar) itu lebih utama dan lebih sesuai Sunnah. Dalam hal ini, memilih shaum 29 hari lebih mudah dan lebih sesuai Sunnah Nabi Saw, daripada berpuasa 30 hari.

[9]. Andaikan perhitungan ilmu falaq/ilmu hisab/astronomi dalam soal Rukyatul Hilal harus diterima sebagai KEPASTIAN, maka itu sama saja dengan membuang Sunnah Rukyatul Hilal itu sendiri. Kalau begitu caranya, ya sudah Anda tetapkan saja jadwal Ramadhan/Syawal secara abadi seperti “jadwal shalat abadi”. Jadi, tidak usah bertele-tele bicara Rukyatul Hilal. Karena percuma juga kaum Muslimin melakukan Rukyatul Hilal, kalau nanti tidak sesuai perhitungan ilmu falaq/ilmu hisab/astronomi, maka Rukyatul Hilal itu tetap akan ditolak juga (seperti Sidang Itsbat Depag RI tanggal 29 Agustus 2011 itu). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa AROGANSI para pakar ilmu falaq/ilmu hisab/astronomi berhasil membuang Sunnah Rukyatul Hilal dari kehidupan kaum Muslimin. Nah, inilah yang saya sebut sebagai sikap EKSTREM orang-orang itu.

[10]. Lalu bagaimana dengan nasehat agar kaum Muslimin lebih mengutamakan PERSATUAN daripada kesaksian Rukyatul Hilal? Bantahannya sebagai berikut: (a). Dalam Surat Ali Imran dikatakan, “Wa’tashimu bi hablillahi jami’an, wa laa tafarraquu.” Dalam ayat ini berpegang teguh kepada kebenaran DIDAHULUKAN dari persatuan. Hikmahnya, apa artinya bersatu kalau ingkar terhadap Syariat Islam?; (b). Ibnu Mas’ud menjelaskan pengertian Al Jamaah, “Ittifaqu bil haqqi walau kunta wahid” (sepakat dengan kebenaran walau engkau hanya seorang diri). Kita harus berpegang dengan kebenaran, meskipun seorang diri; (c). Dalam Sunnah disebutkan sabda Nabi Saw, “Innamat tha’atu fil ma’ruf” (bahwa ketaatan itu hanya dalam hal yang ma’ruf saja). Mengingkari kesaksian melihat hilal adalah maksiyat serius, harus ditolak, kita tak boleh mematuhinya; (d). Persatuan yang dikehendaki oleh Islam adalah persatuan yang Syar’i, bukan persatuan yang membuang kaidah Sunnah Rasululullah Saw; (e). Bersatu di atas kebathilan justru sangat dilarang dalam Islam, seperti disebut dalam Surat Al Maa’idah, “Wa laa ta’awanuu ‘alal itsmi wal ‘udwan” (jangan kalian bekerjasama di atas dosa dan permusuhan); (f). Para ulama, salah satunya Ibnu Utsaimin rahimahullah, mengatakan bahwa kalau ada Muslim yang melihat hilal, sementara Ulil Amri sudah menyatakan bahwa hari itu hari berpuasa, maka dia dipersilakan berbuka untuk dirinya sendiri dan tak mengumumkan hasil pantauan hilalnya. Mengapa orang itu tidak dilarang berbuka, malah disuruh berbuka di hari itu? Sebab HARAM berpuasa saat hilal sudah terlihat.

Kamis, 25 Agustus 2011

Seluk Beluk BID’AH: Dampak Buruk BID’AH

Sudah sepatutnya kita menjauhi berbagai macam bid’ah mengingat dampak buruk yang ditimbulkan. Berikut beberapa dampak buruk dari bid’ah.


Pertama, amalan bid'ah tertolak

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)

Orang yang berbuat bid’ah inilah yang amalannya merugi. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi [18] : 103-104)

Kedua, pelaku bid'ah terhalangi untuk bertaubat selama dia terus menerus dalam bid'ahnya. Oleh karena itu, ditakutkan dia akan mengalami su'ul khotimah

Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ
“Allah betul-betul akan menghalangi setiap pelaku bid’ah untuk bertaubat sampai dia meninggalkan bid’ahnya.” (HR. Thabrani. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 54)

Ketiga, pelaku bid'ah tidak akan minum dari telaga Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak akan mendapatkan syafa'at beliau shallallahu 'alaihi wa sallam

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’ “ (HR. Bukhari no. 7049)

Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى
“(Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu.” Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.” (HR. Bukhari no. 7051)

Inilah do’a laknat untuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berbuat bid’ah.

Ibnu Baththol mengatakan, “Demikianlah, seluruh perkara bid’ah yang diada-adakan dalam perkara agama tidak diridhoi oleh Allah karena hal ini telah menyelisihi jalan kaum muslimin yang berada di atas kebenaran (al haq). Seluruh pelaku bid’ah termasuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang membuat-buat perkara baru dalam agama. Begitu pula orang yang berbuat zholim dan yang menyelisihi kebenaran, mereka semua telah membuat sesuatu yang baru dan telah mengganti dengan ajaran selain Islam. Oleh karena itu, mereka juga termasuk dalam hadits ini.” (Lihat Syarh Ibnu Baththol, 19/2, Asy Syamilah) -Semoga Allah menjauhkan kita dari berbagai perkara bid’ah dan menjadikan kita sebagai umatnya yang akan menikmati al haudh sehingga kita tidak akan merasakan dahaga yang menyengsarakan di hari kiamat, Amin Ya Mujibad Du’a-

Keempat, pelaku bid'ah akan mendapatkan dosa jika amalan bid'ahnya diikuti orang lain

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (HR. Muslim no. 1017)

Wahai saudaraku, perhatikanlah hadits ini. Sungguh sangat merugi sekali orang yang melestarikan bid’ah dan tradisi-tradisi yang menyelisihi syari’at. Bukan hanya dosa dirinya yang akan dia tanggung, tetapi juga dosa orang yang mengikutinya. Padahal bid’ah itu paling mudah menyebar. Lalu bagaimana yang mengikutinya sampai ratusan bahkan ribuan orang? Berapa banyak dosa yang akan dia tanggung? Seharusnya kita melestarikan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kenapa harus melestarikan tradisi dan budaya yang menyelisihi syari’at? Jika melestarikan ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam -seperti mentalqinkan mayit menjelang kematiannya bukan dengan talqin setelah dimakamkan- kita akan mendapatkan ganjaran untuk diri kita dan juga dari orang lain yang mengikuti kita. Sedangkan jika kita menyebarkan dan melestarikan tradisi tahlilan, yasinan, maulidan, lalu diikuti  oleh generasi setelah kita, apa yang akan kita dapat? Malah hanya dosa dari yang mengikuti kita yang kita peroleh.

Marilah Bersatu di Atas Kebenaran

Saudaraku, penulis menyinggung masalah bid’ah ini bukanlah maksud penulis untuk memecah belah kaum muslimin sebagaimana disangka oleh sebagian orang jika penulis menyinggung masalah ini. Yang hanya penulis inginkan adalah bagaimana umat ini bisa bersatu di atas kebenaran dan di atas ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar. Yang penulis inginkan adalah agar saudara penulis mengetahui kebenaran dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang kami ketahui. Penulis tidak ingin saudara penulis terjerumus dalam kesalahan sebagaimana tidak penulis inginkan pada diri penulis. Semoga maksud penulis ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib,
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud [11] : 88)

Inilah sedikit pembahasan mengenai bid’ah, kerancuan-kerancuan di dalamnya dan dampak buruk yang ditimbulkan. Semoga dengan tulisan yang singkat ini kita dapat semakin mengenalinya dengan baik. Hal ini bukan berarti dengan mengetahuinya kita harus melakukan bid’ah tersebut. Karena sebagaimana perkataan seorang penyair,
عَرَّفْتُ الشَّرَّ لاَ لِلشَّرِّ لَكِنْ لِتَوَقِّيْهِ
وَمَنْ لاَ يَعْرِفُ الشَّرَّ مِنَ النَّاسِ يَقَعُ فِيْهِ
Aku mengenal kejelekan, bukan berarti ingin melakukannya, tetapi ingin menjauhinya
Karena barangsiapa tidak mengenal kejelekan, mungkin dia bisa terjatuh di dalamnya


Ya Hayyu, Ya Qoyyum. Wahai Zat yang Maha Hidup lagi Maha Kekal. Dengan rahmat-Mu, kami memohon kepada-Mu. Perbaikilah segala urusan kami dan janganlah Engkau sandarkan urusan tersebut pada diri kami, walaupun hanya sekejap mata. Amin Yaa Mujibbas Sa’ilin.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.