Senin, 31 Januari 2011

Klaim Kebenaran Agama


Inklusivisme, Eksklusivisme, dan Pluralisme

Jika dicermati secara seksama, semua agama lahir dan hadir lengkap dengan “klaim kebenaran” (truth claim)nya, baik secara explisit ataupun implisit. Masalah apakah klaim-klaim kebenaran ini valid atau tidak, rasional atau irasional, that’s another issue. Dengan kata lain, tidak ada agama yang tidak membuat klaim kebenaran. Hanya saja terdapat perbedaan di antara agama-agama dalam memandang klaim kebenaran ini, antara lain:

Eksklusivisme, yaitu bahwa kebenaran absolut hanya dimiliki suatu agama tertentu secara eksklusif. Klaim ini tidak memberikan alternatif lain apapun. Ia tidak memberikan konsesi sedikitpun dan tidak mengenal kompromi. Ia memandang kebenaran (truth) secara hitam-putih. Klaim kebenaran absolut ini secara umum terdapat di setiap agama. Namun ia terrepresentasikan secara demonstratif oleh agama-agama semitik: Yudaisme, Kristen dan Islam, yang mana masing-masing saling mengklaim diri yang paling benar.

Dan klaim eksklusivitas dan absolutisme kebenaran ini kemudian ditopang dengan konsep juridis tentang “keselamatan” (juridical concept of salvation), di mana masing-masing agama tersebut mengklaim diri sebagai satu-satunya “ruang” soteriologis (soteriological space) yang hanya di dalamnya, atau “jalan” soteriologis (soteriological way) yang hanya melaluinya, manusia dapat mendapatkan keselamatan (salvation) atau kebebasan (liberation) atau pencerahan (enlightenment) – suatu hal yang semakin menambah mantap dan kuatnya klaim kebenaran absolut dan eksklusif tersebut.

Yudaisme, dengan doktrin “the chosen people”-nya, hanya mengakui kebenaran, kesalehan, dan keselamatan atas dasar etnisitas yang sangat sempit, yaitu bangsa Yahudi saja; Katolik dengan doktrin “extra ecclesiam nulla salus”-nya dan Protestan dengan doktrin “outside Christianity, no salvation”-nya menentukan status kesalehan dan keselamatan seseorang hanya dengan iman pada pengorbanan Yesus Kristus di atas tiang salib sebagai tebusan dosa warisan (original sin); sementara Islam dengan statemen Allah SWT dalam al-Qur’an: “Innad-dina ‘indallahi al-islam” (Ali Imran 19) dan hanya dengan meniscayakan kepasrahan dan ketundukan total (berislam) kepada Allah SWT sajalah seseorang bisa mendapatkan keselamatan: “wa man yabtaghi ghairal-islami dinan fa lan yuqbala minhu wa huwa fil-akhirati minal-khasirin” (Ali Imran 85).

Inklusivisme, merupakan bentuk klaim kebenaran absolut yang lebih longgar. Di satu fihak, inklusivisme masih tetap meyakini bahwa hanya salah satu agama saja yang benar (the truth) secara absolut, tapi, di pihak lain ia mencoba mengakomodasi konsep yuridis keselamatan dan transformasinya untuk mencakup seluruh pengikut agama lain. Inklusivisme ini mendapatkan ekspresinya yang begitu artikulatif dalam pemikiran-pemikiran teologis yang dicoba kembangkan oleh para teolog semisal Karl Rahner dengan teori “Anonymous Christian” (Kristen anonim)-nya, yang kemudian diikuti oleh Gavin D’Costa, dan Raimundo Panikkar dengan ‘the unknown Christ of Hinduism’.

Sejauh yang bisa dilacak, teologi inklusif ini secara artikulatif hanya muncul di lingkungan Kristen dan dalam waktu yang relatif belakangan, sebagai respon, di satu fihak, terhadap teologi pluralis yang mulai merebak pada pertengahan kedua dari abad ke-20 yang lalu, dan di lain pihak, terhadap klaim eksklusif yang menurut mereka sudah ketinggalan zaman.

Dengan kata lain inklusivisme ingin mengambil sikap tengah-tengah, antara eksklusivisme dan pluralisme. Ia ingin tetap memelihara dan mempertahankan doktrin utama Kristen tentang Penebusan Dosa (Atonement) yang dilakukan Yesus Kristus namun dengan interpretasi baru yang lebih segar dan seirama dengan nilai-nilai humanisme modern. Yakni, selama atonement tersebut adalah dimaksudkan untuk menebus seluruh dosa warisan Adam, maka dengan demikian semua umat manusia sekarang setatusnya terbuka untuk ampunan Tuhan, meskipun mereka mungkin tak pernah mendengar tentang Yesus dan kenapa ia mati disalib, dan meskipun mereka pengikut resmi agama-agama yang lain. Teologi inilah yang kemudian diadopsi secara resmi oleh Vatikan dan dideklarasikan dalam Konsili Vatikan II tahun 1962-1965.

Di lingkungan Islam, sebetulnya juga ada upaya serupa. Paling tidak dalam konteks Islam Indonesia pada awal tahun sembilan puluhan dari abad yang lalu, beberapa intelektual muslim kita mulai gemar mengusung jargon “Islam inklusif” dalam berbagai kesempatan. Namun setelah diteliti secara seksama, kandungan pemikiran yang mereka maksudkan ternyata lebih dekat, kalau tidak malah serupa, dengan model pluralisme yang akan dibentangkan berikut ini.

Pluralisme. Wacana ini muncul dan berkembang dalam konfigurasi dan setting sosial-politik tertentu, yakni humanisme sekular Barat yang bermuara pada lahirnya tatanan demokrasi liberal yang mana salah satu konstituen dan struktur utamanya adalah pluralisme agama (yang oleh sementara sosiolog diidentifikasi sebagai civil religion).

Klaim kebenaran pluralis ini ingin menegaskan bahwa semua agama, yang teistik maupun non-teistik, dapat dianggap sebagai “ruang-ruang” soteriologis (soteriological spaces) yang di dalamnya, atau “jalan-jalan” soteriologis (soteriological ways) yang melaluinya, manusia bisa mendapatkan keselamatan/kebebasan/pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semuanya sama-sama merupakan bentuk-bentuk respon otentik yang berbeda dan beragam terhadap Hakikat ketuhanan (the Real) yang sama dan transenden.

Klaim pluralisme ini sangat “problematik” dan membawa implikasi yang luar biasa berbahaya bagi manusia dan kehidupan relijius dan spiritualnya. Kenyataan ini pada akhirnya telah mengantarkan gagasan pluralisme agama pada sebuah posisi yang sangat sulit untuk bisa menjawab pertanyaan yang sangat krusial, yaitu apakah gagasan ini benar-benar mampu memberikan solusi yang ramah terhadap konflik-konflik antar agama, sebagaimana yang diklaim oleh para penggagas dan penganjurnya, atau malah sejatinya lebih merupakan problem baru dalam fenomena pluralitas keagamaan?

Maka tidaklah terlalu mengherankan jika kemudian pemahaman ini, di satu pihak, menggiring pada sebuah kesimpulan akan persamaan semua agama secara penuh tanpa ada yang lebih superior dan benar daripada yang lain. Sebuah kesimpulan yang justru mengantarkan para penggagas dan penganjur paham ini, khususnya yang beragama Kristen, pada posisi yang amat dilematis ketika dihadapkan pada sebuah pertanyaan: apakah Kristen sama persis dengan agama-agama primitif dan pagan yang kanibalistik?

Dan di pihak lain, klaim ini telah melakukan pereduksian yang demikian dahsyat sehingga mengkerangkeng agama hanya boleh beroperasi di wilayah spiritual manusia yang sangat sempit dan private – hubungan manusia dengan tuhannya atau the ultimate. Namun sebuah pertanyaan krusial yang segera menyusul adalah apakah hubungan pribadi dengan sesuatu yang sakral dan metafisikal ini mempengaruhi dan membentuk perilaku manusia baik dalam kehidupan individual maupun sosialnya atau tidak? Pertanyaan yang tentu saja tak mungkin bisa dijawab mereka kecuali mengiyakan atau mengukuhkannya.

Di samping itu, terminologi “pluralisme” di Barat dewasa ini, artinya telah mengalami perkembangan, atau tepatnya: perubahan, yang sangat fundamental sehingga hampir sama persis, atau sama dan sebangun dengan “demokrasi”, yakni penegasan tentang kebebasan, toleransi persamaan (equality) dan koeksistensi. Namun, konsep Barat modern yang secara teoretis sangat aggun dan toleran ini, pada dataran praktis cenderung menunjukkan perilaku sebaliknya, yakni intoleran, menyatroni dan memberangus karakter dan HAM orang/kelompok lain. Sebab realitasnya, kata Prof Muhammad Imarah, “Barat telah memaksa yang lain untuk mengikutinya secara kultur maupun pemikiran… dan untuk melepaskan sejarah, kultur dan referensi keagamaan dan intelektual mereka masing-masing.”3 Dengan kata lain, Barat tidak ingin “to let the others to be really other” (membiarkan yang lain menjadi dirinya sendiri).


Islam dan Klaim Kebenaran Agama

Masalah hubungan Islam dengan agama-agama lain beserta klaim-klaim kebenarannya secara teologis sudah selesai, settled, dan final. Allah sendiri yang telah menuntaskan masalah ini sejak awal lewat wahyu-Nya, Al-Qur’an. Oleh karenanya, tak selayaknya seorang Muslim mengingkari hal ini, sebab Al-Qur’an adalah merupakan otoritas keagamaan yang tertinggi, di mana teks-teksnya tak pernah berubah (dan berkat jaminan Allah SWT, tak akan pernah berubah sampai Hari Kiamat), begitu juga gramatika bahasa Arabnya.

Oleh karena masalah hubungan antar agama ini secara teologis sudah tuntas dan final, maka inilah agaknya yang menjadi alasan kenapa perbincangan para ulama klasik kita mengenai masalah ini lebih banyak terdapat di dalam pembahasan-pembahasan fiqhiyyah daripada ilmu kalam atau teologi Islam.

Dengan demikian, terdapat perbedaan mendasar antara Islam dan teori-teori pluralisme agama dalam hal pendekatan metodologis terhadap isu dan fenomena pluralitas agama. Islam memandangnya sebagai hakikat ontologis yang genuine yang tidak mungkin dinafikan atau dinihilkan, sementara teori-teori pluralis melihatnya sebagai keragaman yang hanya terjadi pada level manifestasi eksternal yang superfisial –dan oleh karenanya tidak hakiki atau tidak genuine. Perbedaan metodologis ini pada gilirannya menggiring pada perbedaan dalam menetukan solusinya. Islam menawarkan solusi praktis sosiologis – oleh karenanya lebih bersifat fiqhiyyah, sementara teori-teori pluralis memberikan solusi teologis epistemologis.

Sebagaimana yang ditegaskan di atas, Islam memandang perbedaan dan keragaman agama ini sebagai suatu hakikat ontologis (haqiqah wujudiyah/kauniyah) dan sunnatullah, dan oleh karenanya genuine. Termasuk di dalamnya adalah truth claim (klaim kebenaran) yang absolut dan eksklusif yang mana tanpanya jati diri dan identitas sebuah agama menjadi kabur, tak jelas, atau hilang sama sekali.

Dengan kata lain, Islam memperlakukan agama-agama lain sebagaimana adanya (as the way they are) dan membiarkan mereka untuk menjadi diri mereka sendiri, tanpa reduksi dan manipulasi. Apapun kondisinya, klaim kebenaran agama harus diapresiasi, tidak boleh disimplifikasikan, atau direlatifkan, apalagi dinafikan atau dinegasikan.

Kesimpulannya, klaim kebenaran (truth claim) bagi agama adalah sesuatu yang alami atau natural. Lebih dari itu, ia merupakan esensi jati diri sebuah agama.



Sumber: Dr. Anis Malik Toha

Rabu, 26 Januari 2011

Bung Karno Dan Marxisme


Sejak muda Bung Karno sudah jadi pengagum Marxisme. Dalam usia dua puluh lima tahun, dengan tujuan mempersatukan kekuatan bangsa melawan kolonialisme, Bung Karno sudah mengemukakan arti penting Marxisme dan menilai pentingnya kekuatan kaum Marxis di Indonesia. Dalam karyanya, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, yang diterbitkan tahun 1926, Bung Karno menulis: Partai Boedi Oetomo, ‘marhum’ Nationaal Indische Partij yang kini masih ‘hidup’, Partai Sarekat Islam, Perserikatan Minahasa, Partai Komunis Indonesia, dan masih banyak partai-partai lain ... itu masing-masing mempunyai rokh Nasionalisme, rokh Islamisme, atau rokh Marxisme adanya. Dapatkah roch-roch ini dalam politik jajahan bekerja bersama-sama menjadi satu Rokh yang Besar, Roch Persatuan? Rokh Persatuan yang akan membawa kita ke-lapang ke-Besaran?[1]
Bung Karno dengan tegas menjawab bahwa ketiga aliran itu dapat bersatu. Terhadap kaum nasionalis Bung Karno menyatakan:
Bukannya kita mengharap, yang Nasionalis itu supaya berobah faham jadi Islamis atau Marxis, bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi impian kita yalah kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu.[2]
Terhadap kalangan Islam Bung Karno menulis:
Islam yang sejati tidaklah mengandung azas anti-nasionalis; Islam yang sejati tidaklah bertabiat anti-sosialistis. Selama kaum Islamis memusuhi faham-faham Nasionalisme yang luas-budi dan Marxisme yang benar, selama itu kaum Islamis tidak berdiri diatas Sirothol Mustaqim; selama itu tidaklah ia bisa mengangkat Islam dari kenistaan dan kerusakan tahadi ! Kita sama sekali tidak mengatakan yang Islam itu setuju pada Materialisme atau perbendaan; sama sekali tidak melupakan yang Islam itu melebihi bangsa, super-nasional. Kita hanya mengatakan, bahwa Islam yang sejati itu mengandung tabiat-tabiat yang sosialistis dan menetapkan kewajiban-kewajibannya nasionalis pula! [3]
Kekagumannya terhadap ajaran-ajaran Marx dituangkannya dalam kalimat berikut ini:
Kaum buruh dari semua negeri, kumpullah menjadi satu!. Riwayat dunia belumlah pernah menceriterakan pendapat dari seorang manusia, yang begitu cepat masuknya dalam keyakinan satu golongan pergaulan hidup, sebagai pendapatnya kampiun kaum buruh ini. Dari puluhan menjadi ratusan, dari ratusan menjadi ribuan, dari ribuan menjadi laksaan, jutaan ... begitulah jumlah pengikutnya bertambah-tambah. Sebab, walaupun teori-teorinya ada sangat sukar dan berat untuk kaum yang pandai dan terang-fikiran, tetapi amatlah ia gampang dimengerti oleh kaum yang tertindas dan sengsara: kaum melarat yang berkeluh kesah itu.... Berlainan dengan Ferdinand Lassale yang teriaknya itu ada suatu teriak perdamaian, maka Karl Marx, yang dalam tulisan-tulisannya tidak satu kali mempersoalkan kata asih atau kata cinta, membeberkan pula faham pertentangan golongan; faham klassenstrijd, dan mengajarkan pula, bahwa lepasnya kaum buruh dari nasibnya itu, yalah oleh perlawanan-zonder-damai terhadap pada kaum ‘bursuasi’, satu perlawanan yang tidak boleh tidak, musti terjadi oleh karena peraturan yang kapitalistis itu adanya.... Jasanya ahli-fikir ini yalah: -- ia mengadakan suatu pelajaran gerakan fikiran yang bersandar pada perbendaan (Materialistische Dialectiek); -- ia membentangkan teori, bahwa harganya barang-barang itu ditentukan oleh banyaknya ‘kerja’ untuk membikin barang-barang itu, sehingga ‘kerja’ ini yalah ‘wert-bildende Substanz’, dari barang-barang itu (arbeids-waarde-leer); -- ia membeberkan teori, bahwa hasil pekerjaan kaum buruh dalam pembikinan barang itu adalah lebih besar harganya daripada yang ia terima sebagai upah (meerwaarde); -- ia mengadakan suatu pelajaran riwayat yang berdasar peri-kebendaan, yang mengajarkan, bahwa ‘bukan budi-akal manusialah yang menentukan keadaannya, tetapi sebaliknya keadaannya berhubungan dengan pergaulan-hiduplah yang menentukan budi-akalnya’ (materialistische geschiedenisopvatting); -- ia mengadakan teori, bahwa oleh karena ‘meerwaarde’ itu dijadikan kapital pula, maka kapital itu makin lama makin menjadi besar (kapitaals-accumulatie), sedang kapital-kapital yang kecil sama mempersatukan diri jadi modal yang besar (kapitaals-centralisatie), dan bahwa, oleh karena persaingan, perusahaan yang kecil sama mati terdesak oleh perusahaan-perusahaan yang besar, sehingga oleh desak-desakan ini akhirnya cuma tinggal beberapa perusahaan sahaja yang amat besarnya (kapitaals-concentratie); -- dan ia mendirikan teori, yang dalam aturan kemodalan ini nasibnya kaum buruh makin lama makin tak menyenangkan dan menimbulkan dendam-hati yang makin lama makin sangat (Verelendungstheorie)... [4]
Bung Karno memperingatkan bahwa kaum Marxis harus ingat bahwa pergerakannya itu, tak boleh tidak, pastilah menumbuhkan rasa Nasionalisme dihati-sanubari kaum buruh Indonesia, oleh karena modal di Indonesia itu kebanyakannya yalah modal asing , dan oleh karena budi perlawanan itu menumbuhkan suatu rasa tak senang dalam sanubari kaum-buruhnya rakyat di-‘bawah’ terhadap pada rakyat yang di-‘atas’-nya, dan menumbuhkan suatu keinginan pada nationale machtspolitiek dari rakyat sendiri . ... Niscaya mereka ingat pula akan teladan-teladan pemimpin-pemimpin Marxis di lain-lain negeri, yang sama bekerja bersama-sama dengan kaum-kaum nasionalis atau kebangsaan. Niscaya mereka ingat pula akan teladan pemimpin-pemimpin Marxis di negeri Tiongkok, yang dengan ridla hati sama menyokong usaha kaum Nasionalis, oleh sebab mereka insyaf bahwa negeri Tiongkok itu pertama-tama butuh persatuan nasional dan kemerdekaan nasional adanya. Demikian pula, tak pantaslah kaum Marxis itu bermusuhan dan berbentusan dengan pergerakan Islam yang sungguh-sungguh).[5] Memperhatikan perkembangan teori Marxisme, Bung Karno menulis: adapun teori Marxisme sudah berobah pula. Memang seharusnyalah begitu! Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala zaman. Teori-teorinya haruslah diobah, kalau zaman berobah; teori-teorinya harus diikutkan pada perobahannya dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut. Marx dan Engels sendiripun mengerti akan hal ini; mereka sendiripun dalam tulisan-tulisannya sering menunjukkan perobahan faham atau perobahan tentang kejadian-kejadian pada zaman mereka masih hidup.[6]
Sejak awal Bung Karno sudah bersikap memihak Marxisme. Dalam membela kaum Marxis dari serangan kaum agama, Bung Karno menyatakan, agar bisa memahami Marxisme kita harus membedakan Historis-Materialisme dan materialisme-filsafat. Historis-Materialisme—materialisme historis—adalah penerapan materialisme dialektik dalam ilmu sosial—penerapan filsafat materialisme dalam ilmu sosial; dalam memandang perkembangan sejarah. Bung Karno menulis, kita harus membedakan Historis- Materialisme itu dari pada Wijsgerig– Materialisme, kita harus memperingatkan, bahwa maksudnya Historis-Materialisme itu berlainan dari pada maksudnya Wijsgerig-Materialisme tahadi. Wijsgerig-Materialisme memberi jawaban atas pertanyaan: bagaimanakah hubungannya antara fikiran (denken) dengan benda (materie), bagaimana fikiran itu terjadi, Sedang Historis-Materialisme memberi jawaban atas soal: sebab apakah fikiran itu dalam suatu zaman ada begitu atau begini; wijsgerig-materialisme menanyakan ada (wezen) fikiran itu; historis-materialisme menanyakan sebab-sebabnya fikiran itu berobah; wijsgerig-materialisme mencari asal nya fikiran, historis-materialisme mempelajari tumbuhnya fikiran; wijsgerig-materialisme adalah wijsgerig, historis-materialisme adalah historis. Dua faham ini oleh musuh-musuhnya Marxisme di Eropah, terutama kaum gereja, senantiasa ditukar-tukarkan, dan senantiasa dikelirukan satu sama lain. Dalam propagandanya anti-Marxisme mereka tak berhenti-henti mengusahakan kekeliruan faham itu; tak berhenti-henti mereka menuduh-nuduh, bahwa kaum Marxisme itu yalah kaum yang mempelajarkan, bahwa fikiran itu hanyalah suatu pengeluaran sahaja dari otak, sebagai ludah dari mulut dan sebagai empedu dari limpa; tak berhenti-henti mereka menamakan kaum Marxis suatu kaum yang menyembah benda, suatu kaum yang bertuhankan materi [7].
Menghadapi Ir. Baars yang membelot dari Marxisme, Bung Karno dengan tangguh membela Marxisme. Baars menyatakan, bahwa ia kini oleh pengalaman-pengalamannya di negeri Russia, sudah ‘bertobat’ dari faham, yang bertahun-tahun menyerapi budi-akalnya: komunisme. Berkali-kali Baars dalam tulisannya memperingatkan, janganlah mendekati komunisme itu; berkali-kali ia mengatakan, bahwa apa yang ia alami di Russia itu hanyalah kekalutan dan kesengsaraan sahaja. Bung Karno tidak percaya terhadp tulisan Baars itu. Bung Karno menilai Baars sebagai seorang bekas–komunis yang sekarang bukan saja anti-komunisme, tetapi juga anti-sosialisme, dan juga anti-marxisme dalam umumnya. Bung Karno menulis, untuk adilnya kita punya hukuman terhadap pada ‘prakteknya’ faham Marxisme itu, maka haruslah kita ingat, bahwa ‘failliet’ dan ‘kalang-kabut’nya negeri Russia itu adalah dipercepat pula oleh penutupan atau blokade oleh semua negeri-negeri musuhnya; dipercepat pula oleh hantaman dan serangan pada empatbelas tempat oleh musuh-musuhnya sebagai Inggeris, Perancis dan jenderal-jenderal Koltchak, Denikin, Yudenitch dan Wrangel; dipercepat pula oleh anti-propaganda yang dilakukan oleh hampir semua surat-kabar di seluruh dunia.....
Bagaimanakah sikap kita, kaum nasionalis, terhadap pada sosialisme atau komunisme itu dalam umumnya? Sosialisme, sosial-demokrasi, komunisme adalah suatu reaksi, suatu faham perlawanan terhadap pada kapitalisme, suatu faham-perlawanan yang dilahirkan oleh kapitalisme itu juga. Ia adalah anaknya kapitalisme, tetapi ia adalah pula suatu kekuatan yang mencoba menghancurkan kapitalisme itu juga. Ia tidak bisa berada dalam suatu negeri, dimana kapitalisme belum berdiri, dan ia tentu ada suatu negeri, jikalau negeri itu mempunyai aturan kemodalan, ia tentu ada suatu negeri, jikalau negeri itu susunan-pergaulan hidupnya ada kapitalistis ...Dan begitulah, maka walaupun sosialisme itu atau komunisme itu diperangi sehaibat-haibatnya atau ditindas sekeras-kerasnya, walaupun pengikut-pengikutnya dibui, dibuang, digantung, didrel atau dibagaimanakan juga; walaupun oleh penindasan yang keras dan pemerangan yang haibat ia kadang-kadang seolah-olah bisa binasa dan tersapu sama sekali, maka tiada henti-hentinya ia muncul lagi dinegeri yang kapitalistis, tiada henti-hentinyalah ia membikin gemparnya kaum yang dimusuhinya, menyatakan diri didalam riwayat dunia, sebagai ditahun 1848, ditahun 1871, ditahun 1905 dan ditahun 1917, -- tiada henti-hentinya ia memperingatkan juru-riwayat yang menulis tambonya negeri-negeri Perancis, Jerman, Inggeris, Rusia, Amerika... Dan di Indonesia? Dinegeri tumpah-darah kita? Indonesia-pun tak akan hindar dari pada jurusan-jurusan atau tendenz-tendenz yang dilalui oleh negeri-negeri lain. Indonesia pun tak akan hindar dari pada sociaal–economische praedestinatie , yang juga sudah menjadi nasibnya negeri-negeri Asia yang lain, tak akan bisa hindar dari pada keharusan-keharusan yang sudah pula menetapkan jalan-jalannya susunan pergaulan hidup negeri-negeri lain, yakni keharusan-keharusannya hukum evolusi , artinya: Indonesia juga akan menaiki semua tingkat-tingkat susunan pergaulan hidup yang sudah dinaiki oleh negeri-negeri itu, -- Indonesia juga akan meninggalkan tingkat susunan-pergaulan hidup yang sekarang ini, dan akan naik keatas tingkat susunan pergaulan-hidup yang kemudian, masuk kealam zaman kepabrikan, masuk kedalam zaman kapitalisme yang sebenar-benarnya, sebagaimana yang sekarang memang sudah kentara adanya, Indonesia oleh karena itu juga tak luput mengenali ‘pengikutnya’ kapitalisme itu, suatu pergerakan yang berazaskan sosialisme atau komunisme, sebagaimana yang memang sudah kita alamkan permulaannya pula.[8]

Pada kesempatan ulang tahun ke-50 wafatnya Karl Marx, Bung Karno menyatakan pujian yang tinggi pada Marx. Soekarno menulis sebagai berikut:
Dari muda sampai wafatnya, manusia yang haibat ini tiada berhenti-hentinya membela dan memberikan penerangan pada simiskin, bagaimana mereka itu sudah menjadi sengsara, dan bagaimana jalannya mereka itu akan mendapat kemenangan: tiada kesal dan capainya ia bekerja dan berusaha untuk pembelaan itu: selagi duduk diatas kursinya, dimuka meja-tulisnya, begitulah ia pada 14 Maret 1883, -- limapuluh tahun yang lalu --, melepaskan nafasnya yang penghabisan. .....Berlainan dengan sosialis-sosialis lain, yang mengira bahwa cita-cita sosialisme itu dapat tercapai dengan cara pekerjaan-bersama antara buruh dan majikan, berlainan dengan umpamanya; Ferdinand Lassale, yang teriaknya ada suatu teriak-perdamaian, maka Karl Marx, yang dalam tulisan-tulisannya tidak satu kali memakai kata kasih atau kata cinta, membeberkanlah faham pertentangan-kelas; faham klassenstrijd, faham perlawanan-zonder-damai sampai habis-habisan. Dan bukan itu sahaja! Ilmu dialektik materialisme, ilmu nilai-kerja, ilmu harga lebih, ilmu historis materialisme, ilmu statika dan dinamikanya kapitalisme, ilmu Verelendung, ---- semua itu adalah ‘jasanya’ Marx. Bung Karno menulis, bahwa Kaum melarat-kepandaian yang berkeluh kesah itu dengan gampang segera mengertinya.... Mereka dengan gampang mengerti seluk-beluknya dialektika: bahwa perlawanan kelas adalah suatu keharusan riwayat, dan bahwa oleh karenanya, kapitalisme adalah ‘menggali liang kuburnya’. Begitulah teori-teori yang dalam dan berat itu dengan gampang sahaja masuk didalam keyakinan kaum yang merasakan stelsel yang ‘diteorikan’ itu, yakni didalam keyakinannya kaum yang perutnya senantiasa keroncongan. Sebagai tebaran benih yang ditebarkan oleh angin kemana-mana dan tumbuh pula dimana ia jatuh, maka benih Marxisme ini berakar dan subur bersulur dimana-mana. Benih yang ditebar-tebarkan di Eropah itu sebagian telah diterbangkan pula oleh tofan-zaman ke arah khatulistiwa, terus ke Timur, jatuh dikanan kirinya sungai Sindu dan Gangga dan Yang Tse dan Hoang Ho, dan dikepulauan yang bernama kepulauan Indonesia. Nasionalisme di dunia Timur itu lantas ‘berkawinlah’ dengan Marxisme itu, menjadi satu nasionalisme baru, satu ilmu baru, satu iktikad baru, satu senjata-perjuangan yang baru, satu sikap-hidup yang baru. Nasionalisme-baru inilah yang kini hidup dikalangan rakyat Marhaen Indonesia.[9].

Bung Karno memahami ajaran Marx mengenai kepeloporan klas buruh dalam revolusi. Sesudah Konferensi Partindo di Mataram tahun 1933 mengambil 9 butir kesimpulan mengenai Marhaen dan Proletar, Bung Karno menjelaskan hubungan Marhaenisme dengan pandangan Marx tentang kepeloporan klas buruh dalam revolusi sosial sebagai berikut:

Kaum proletar sebagai kelas adalah hasil-langsung daripada kapitalisme dan imperialisme. Mereka adalah kenal akan paberik, kenal akan mesin, kenal akan listrik, kenal akan cara produksi kapitalisme, kenal akan segala kemoderenannya abad keduapuluh. Mereka ada pula lebih langsung menggenggam mati-hidupnya kapitalisme didalam mereka punya tangan, lebih direct mempunyai gevechtswaarde anti-kapitalisme. Oleh karena itu, adalah rasionil jika mereka yang didalam perjoangan anti-kapitalisme dan imperialisme itu berjalan dimuka, jika mereka yang menjadi pandu, jika mereka yang menjadi ‘voorlooper’ – jika mereka yang menjadi ‘plopor’. Memang ! Sejak adanya soal ‘Agrarfrage’ alias ‘soal kaum tani’, sejak adanya soal ikutnya sitani didalam perjoangan melawan stelsel kapitalisme yang juga tak sedikit menyengsarakan sitani itu, maka Marx sudah berkata bahwa didalam perjoangan tani & buruh ini, kaum buruhlah yang harus menjadi ‘revolutionaire voorhoede’ alias ‘barisan-muka yang revolusioner’, kaum tani harus dijadikan kawannya kaum buruh, dipersatukan dan dirukunkan dengan kaum buruh, dihela dalam perjoangan anti-kapitalisme agar jangan nanti menjadi begundalnya kaum kapitalisme itu – tetapi didalam perjoangan bersama ini kaum buruhlah ‘menjadi pemanggul panji-panji revolusi sosial’. Sebab, memang merekalah yang, menurut Marx, sebagai klasse ada suatu ’sociale noodwendigheid’, dan memang kemenangan ideologi merekalah yang nanti ada suatu ‘historische noodwendigheid’, suatu keharusan riwayat, suatu kemustian didalam riwayat.[10].

Mengenai sikap suatu klas terhadap kekuasaannya, Bung Karno bepegang pada ajaran Marx yang menyatakan:
Tak pernahlah suatu kelas suka melepaskan hak-haknya dengan ridlanya kemauan sendiri, --- 'nooit heeft een klasse vrijwillig van haar bevoorrechte positie afstand gedaan’, begitulah Karl Marx berkata. ---- Selama Rakyat Indonesia belum mengadakan suatu macht yang maha sentausa, selama Rakyat itu masih sahaja tercerai berai dengan tiada kerukunan satu sama lain, selama Rakyat itu belum bisa mendorongkan semua kemauannya dengan suatu k e k u asaan yang teratur dan tersusun, -- selama itu maka kaum imperialisme yang mencahari untung sendiri itu akan tetaplah memandang kepadanya sebagai seekor kambing yang menurut, dan akan terus mengabaikan segala tuntutan-tuntutannya. Sebab, tiap-tiap tuntutan Rakyat Indonesia adalah merugikan kepada imperialisme, tiap-tiap tuntutan Rakyat Indonesia tidaklah akan diturutinya, kalau kaum imperialisme tidak terpaksa menurutinya. Tiap-tiap kemenangan Rakyat Indonesia adalah buahnya desakan yang Rakyat itu jalankan, -- tiap-tiap kemenangan Rakyat Indonesia itu adalah suatu afgedwongen concessie.[11].

Mengenai dirinya sendiri Bung Karno menulis:
Ada orang yang mengatakan Sukarno itu nasionalis, ada orang mengatakan Sukarno bukan lagi nasionalis, tetapi Islam, ada lagi yang mengatakan dia bukan nasionalis, bukan Islam, tapi Marxis, dan ada lagi yang mengatakan dia bukan nasionalis, bukan Islam, bukan Marxis, tetapi seorang yang berfaham sendiri. Golongan yang tersebut belakangan ini berkata: mau disebut dia nasionalis, dia tidak setuju dengan apa yang biasanya nasionalisme; mau disebut dia Islam, dia mengeluarkan faham-faham yang tidak sesuai dengan fahamnya banyak orang Islam; mau disebut Marxis, dia .... sembahyang; mau disebut bukan Marxis, dia ‘gila’ kepada Marxisme itu! Kini saya menjadi pembantu tetap dari ‘Pemandangan’, dan oleh karena artikel-artikel saya nanti tentu akan membawa corak jiwa Sukarno, maka baiklah saya tuturkan kepada Tuan, betapakah ... Sukarno itu. Apakah Sukarno itu ? Nasionaliskah ? Islam-kah ? Marxis-kah ? Pembaca-pembaca, Sukarno adalah ...campuran dari semua isme itu![12]
Selanjutnya Bung Karno menulis,
Dr Tjiptomangunkusumo dua bulan yang lalu telah menulis didalam surat-khabar ‘Hong Po’, bahwa Marxisme adalah ‘membakar Sukarno punya jiwa‘ Saya mengucap terima kasih atas kehormatan yang Dr Tjiptomangunkusumo limpahkan atas diriku itu. Memang ! sejak saya sebagai ‘anak plonco’ buat pertama kali belajar kenal dengan teori Marxisme dari mulutnya seorang guru H.B.S. yang berhaluan sosial-demokrat (C.Hartogh namanya), sampai memahamkan sendiri teori itu dengan membaca banyak-banyak buku Marxisme dari semua corak, sampai bekerja didalam actieve politiek, sampai sekarang, maka teori Marxisme begitu adalah satu-satunya teori yang saya anggap competent buat memecahkan soal-soal sejarah, soal-soal politik, soal-soal kemasyarakatan. Marxisme itulah yang membuat saya punya nasionalisme berlainan dengan nasionalismenya nasionalis Indonesia yang lain, dan Marxisme itulah yang membuat saya dari dulu mula benci kepada fasisme.....Dulu saya cinta kepada Marxisme; kini menjadilah ia sebagian dari sayapunya kepuasan jiwa. Tetapi bagaimanakah akurnya Marxisme itu dengan Islam yang juga mengisi sayapunya jiwa? Tidakkah orang berkata, bahwa agama dan Marxisme itu seteru-bebuyutan satu sama lain, mengingkari satu sama lain dan membantah satu sama lain? Buat orang lain, barangkali begitu! Tetap buat saya, maka Marxisme dan Islam dapatlah berjabatan tangan satu sama lain didalam satu sintese yang lebih tinggi. Buat saya Islam satu agama yang rasionil , satu agama yang bersandar kepada kemerdekaan akal , yang berbeda setinggi langit dengan agama-agama yang lain. .... Saya punya faham tentang Islam itu adalah satu faham yang merdeka, -- begitu merdeka, sehingga sering tabrakan dengan fahamnya orang-orang Islam yang lain !! (Cetak tebal dari penulis).[13]

Apakah Marxisme itu? Orang mengatakan Marxisme adalah seolah-olah ‘satu agama sendiri’, orang mengatakan dia satu star systeem pula, orang malah mengatakan dia semacam satu hocus-pocus yang dikira bisa dipakai buat menyelami semua dalam-dalamnya rokh dan jiwa, -- pada hal dia hanyalah satu metode sahaja untuk memecahkan soal-soal ekonomi, sejarah, politik, dan kemasyarakatan, atau ilmu–perjoangan didalam hal ekonomi, politik, kemasyarakatan. Suatu metode berfikir dan sesuatu ilmu – perjoangan tidak musti harus bertentangan dengan sesuatu agama, apalagi kalau agama itu adalah agama rasionil seperti yang saya visikan itu.[14]

Bung Karno sangat memperhatikan perkembangan peristiwa di Uni Sovyet, termasuk perbedaan dan pertikaian antara Stalin dan Trotski. Bung Karno menulis:

Apakah fatsal pertikaian ini? Marilah saya terangkan kepada Tuan garis-garis-besarnya seperti pertikaian Stalin-Trotzky seluruhnya lebih dulu. ....Stalin beranggapan bahwa dapat dan mungkin didirikan sosialisme didalam satu negeri sahaja (yakni di Rusia saja), tetapi Trotzky menamakan anggapannya Stalin itu anggapan orang gila: Sosialisme tak dapat didirikan tegak, tak mungkin, tak bisa, manakala internationaal kapitalisme tidak diruntuhkan lebih dulu sama sekali. ..... Sebab internationaal kapitalisme itu adalah berhubungan satu dengan yang lain, ‘organisch verbonden’ satu dengan yang lain. ...Bukankah gila pula mau mendirikan sosialisme di satu negeri pertanian seperti Rusia, dimana kaum buruhnya kalau tidak mendapat bantuan kaum buruh negeri luaran, mungkin bisa dikalahkan oleh kaum-kaum tani yang masih kolot dan besar jumlahnya itu ? Tidak ! kata Trotzky revolusi yang telah menyala di negeri Rusia itu tidak boleh berhenti dimuka pagar-pagarnya negeri-negeri yang mengelilinginya, revolusi itu harus menjalar terus menjadi satu internationale wereldrevolutie, dan dinegeri Rusia serta masing-masing negeri lain itu, revolusi ini tidak boleh bersifat satu kejadian yang ‘sekali jadi, sudah’ , tetapi haruslah bersifat satu revolusi terus menerus yang mengerjakan semua etappe–etappenya, dari a sampai z. Maka faham internationale wereldrevolutie yang melalui semua etappe-etappenya terus menerus dari a sampai z ini oleh Trotzky dinamakanlah faham ‘permanente revolutie’.

Stalin pada hakekatnya tidak anti perjoangan melawan kapitalisme internationaal itu. Ia pada hakekatnya tidak anti wereldrevolutie, ia pro aksi kaum proletar di mana-mana. Dapatkah orang menunjukkan seorang komunis yang anti wereldrevolutie itu ? Tetapi Stalin katanya tidak mau melupakan satu kenyataan yang sudah ada -- satu realiteit. Apakah realiteit ini ? Realiteit ini ialah, kata Stalin,.bahwa pada dewasa ini perlu dijaga keselamatan ‘benteng Rusia’. Pada dewasa ini kaum proletar seluruh dunia hanyalah mempunyai satu benteng sahaja, satu citadel, ‘satu pusat-kekuasaan’, yakni Sovyet Rusia. Perkuatlah pusat-kekuasaan ini, jagalah keselamatannya. Perkuatlah negara Sovyet Rusia, haibatkanlah ia punya industrialisasi, haibatkanlah ia punya tenaga militer, haibatkanlah ia punya barisan dalam, haibatkanlah ia punya barisan luar. Seluruh dunia kapitalisme dari Barat dan Timur, dari dekat dan dari jauh, mau menjatuhkan satu-satunya citadel kaum proletar ini, -- jagalah jangan ia jatuh. Haibatkanlah negara Soyet Rusia ini menjadi satu negara yang kerasnya seperti baja, supaya tiap-tiap musuh yang menyerangnya akan hancur menjadi debu dimuka pintu-pintu-gerbangnya dan dimuka meriam-meriamnya ...Nah, kata Stalin, satu negeri yang demikian luasnya, satu benua, yang penduduknya ratusan milyun, yang tradisi pergerakan kaum buruh telah langsung berpuluh-puluh tahun, dapatlah mendirikan sosialisme didalam pagarnya sendiri! ... Asal sahaja negara Rusia itu tidak dirusakkan orang dari luar , asal saja dia mampu menangkis tiap-tiap serangan musuh dari luar, maka pekerjaan mendirikan sosialisme itu bisa langsung dan berhasil.” ...... “Kini, kini datanglah ujiannya sejarah. Pelor-pelornya Hitler dan dinamit-dinamitnya Hitler menghantam kepada tembok-temboknya benteng Russia itu. Bumi bergoncang, udara laksana akan terbelah, karena haibatnya hantaman ini. Kini malaekatnya sejarah mengkilatkan pedangnya dan menggunturkan suaranya. Kini Stalin dibawa oleh malaekat sejarah itu kehadapan Mahkamatnya, diuji kebenarannya ia punya ‘teori benteng’. Akan kuatkah benteng Stalin menahan serangan musuh?... Stalin kini berdiri dimuka Mahkamat itu. Dengan tandas ia akan mengulangi apa yang berkali-kali ia telah katakan: Ini , serangan dari luar inilah , yang ia khawatirkan dan jagakan dari dulu![15]. Stalin benar atau Stalin salah, Trotzky benar atau Trotzky salah, -- pada saat ini soal itu menjadikanlah satu soal akademis, yang terdorong ke belakang oleh soal mati-hidup yang baru timbul, yakni soal: akan mampukan Stalin menghantam Hitler ini terjungkel patah sehingga tidak bisa berdiri lagi?[16] Tulisan Bung Karno ini dimuat dalam Pemandangan pada tahun 1941, pada saat berkecamuknya serangan militer Nazi Jerman terhadap Uni Sovyet.. Sejarah menunjukkan, bekerjasama dengan pasukan Sekutu dalam Perang Dunia kedua, Tentara Merah Uni Sovyet dibawah pimpinan Stalin berhasil memukul mundur serangan Hitler, sampai Nazi bertekuk lutut.

Sebagai penganut Marxisme, Bung Karno tegas sejak semula sudah bercita-cita membangun sosialisme di Indonesia. Tapi, Bung Karno menyatakan:

Sekarang memang belum tiba saatnya buat kita untuk mengadakan sosialisme, -- belum tiba kemungkinanya buat kita untuk mengadakan sosialisme --, sekarang Revolusi kita masih Revolusi Nasional, tetapi itu tidak berarti bahwa Negara Nasional yang hendak kita dirikan dus satu negara yang burgerlijk. .... Negara Nasional Indonesia yang hendak kita dirikan itupun tidak bersifat burgerlijk dan juga belum bersifat sosialis, melainkan bolehlah diibaratkan satu ‘fase-peralihan’ antara fase burgerlijk dan fase sosialis ... Negara kita adalah satu ‘negara peralihan’ , satu negara yang dengan sedar memperjuangkan peralihan, -- satu negara yang revolusioner. Untuk itu Bung Karno sadar bahwa musuh yang dihadapi adalah imperialisme internasional.
Selanjutnya Bung Karno menyatakan:

Perjoangan kita adalah satu bagian dari perjoangan besar di seluruh dunia menentang imperialisme; saru perjoangan yang hasil-akibatnya ialah melemahkan imperialisme; satu perjoangan yang revulusioner. Perjoangan-kemerdekaan sesuatu rakyat-jajahan atau setengah-jajahan janganlah ditinjau dalam ‘keadaannya sendiri’, tetapi haruslah ditinjau dalam hubungan-sedunia. Jangan ditinjau terlepas dari hubungan itu, tetapi harus ditinjau dalam hubungan itu: Harus ditinjau di atas gelanggang perjoangan anti-imperialisme sedunia... Perjoangan kemerdekaan rakyat-jajahan atau setengah-jajahan melemahkan imperialisme-internasional, lemahnya imperialisme-internasional melemahkan kapitalisme-internasional; tiap-tiap perjoangan-kemerdekaan rakyat-jajahan atau setengah jajahan adalah dus revolusioner dan pantas dibantu, wajib dibantu oleh semua tenaga anti-kapitalis di seluruh dunia. Golongan-golongan yang membenarkan dan membantu perjoangan-kemerdekaan rakyat-rakyat jajahan atau setengah jajahan, mereka adalah pula golongan-golongan yang revolusioner. Sebaliknya, golongan-golongan apapun, yang tidak membantu, tidak membenarkan perjoangan-kemerdekaan sesuatu bangsa jajahan atau setengah-jajahan, -- meski dengan memakai alasan-alasan demokrasi formil, meski ia menamakan diri ‘progresif’, atau ‘demokrat’, atau ‘sosialis --, ia adalah reaksioner. Ia hakekatnya mempertahankan imperialisme, ia dus mempertahankan kapitalisme. Ia terang reaksioner, dan kalau ia ‘sosialis’, maka ia ‘sosialis’ yang terang-terang mendurhakai sosialisme! ..... – ya, dinegeri Belanda sendiripun ada golongan-golongan sosialis (bukan dari Partij van den Arbeid !) yang membela kita. Apa sebab golongan-golongan ini membela kita ? Mereka yakin akan kebenaran ajaran Marx yang berbunyi: ‘ Een volk dat een ander volk onderdrukt, kan niet vrij zijn ‘. -- Satu rakyat yang menindas rakyat lain, tak mungkin merdek.[17]

Mengenai masalah membangun sosialisme, Bung Karno menulis:

Karl Marx sendiri didalam salah satu tulisannya menyatakan dengan tegas, bahwa runtuhnya kapitalisme itu tidak automatis berarti berdirinya sosialisme. Sosialisme hanyakah berdiri jikalau didirikan. Ji kalau tidak ada tenaga-tenaga yang mendirikan sosialisme itu, maka runtuhnya kapitalisme yang tidak boleh tidak pasti akan terjadi itu, (historisch noodwendig), niscayalah akan diikuti oleh khaos yang tiada hingganya dan tiada taranya berpuluh-puluh tahun ! Memang banyak orang yang mengira bahwa perkataan ‘keharusan sosial-historis’ mengandung arti, bahwa (pada suatu tingkatan evolusi) kapitalisme pasti dengan sendirinya diganti oleh sosialisme. Pada hal sebagai dinyatakan oleh Marx tadi tidak demikian ! Kapitalisme (pada suatu tingkatan evolusi) pasti diganti oleh sosialisme, bilamana rakyat-jelata bertindak untuk menggantinya dengan sosialisme. Yang ‘pasti’ itu hanyalah adanya anasir-anasir objektif pada suatu tingkatan evolusi: anasir-anasir objektif guna runtuhnya kapitalisme, anasir-anasir objektif guna berdirinya sosialisme.[18]

Bung Karno memahami adanya dua tingkat revolusi, yaitu revolusi nasional dan revolusi sosialis. Disamping itu, juga memahami bahwa sosialisme adalah teori, adalah ilmu. Bung Karno sangat menilai tinggi arti penting ‘teori sosialisme’. Dia menuls:
Saya bercita-cita sosialis, maka saya menulis buku ini. Justru oleh karena saya mengidam-idamkan masyarakat sosialis, maka kita harus mengetahui bagaimana caranya kita dapat sampai dimasyarakat sosialis itu. Justru oleh karena kita ingin menuju kepada masyarakat sosialis, maka kita harus dari sekarang berfikir dan bertindak dengan tuntutan teori sosialis itu. Sosialisme bukan saja satu sistim masyarakat, sosialisme adalah pula satu teori, satu ilmu, satu tuntunan-perjoangan, satu cara-berfikir, satu denkmethode. Teori sosialisme lah yang membawa kita kepada pengertian tentang keadaan-keadaan objektif didalam masyarakat Indonesia sekarang dan masyarakat-dunia Teori sosialisme lah yang memberi pengetahuan kepada kita bahwa tingkatan Revolusi kita sekarang tak mungkin lain daripada tingkatan Nasional. Teori sosialisme lah dan bukan teori burjuis, yang menunjukkan, bahwa bagi kita sekarang belum datang kemungkinan untuk melaksanakan sosialisme .... Itulah ‘jasa’ teori sosialisme kepada kita. Apa sebab kita sekarang nasionalis? Justru karena sosialisme itulah, maka kita sekarang nasionalis, dan nasionalisme kita terangkat naik ketingkatan yang bernama sosio-nasionalisme. Justru karena sosialisme itulah, maka kita menjalankan perjoangan kita itu secara yang sekarang ini; memusatkan, membulatkan, mengkonsentrasikan segenap tenaga rakyat kepada perjoangan Nasional, menghantamkan segenap tenaga-perjoangan daripada segenap rakyat itu kepada benteng kolonialisme asing untuk memerdekakan Indonesia dari penjajahan -- mempraktekkan satu Persatuan Nasional-Revolusioner untuk mendirikan satu Negara Nasional, yang didalamnya bukan saja berkembang sesegar-segarnya satu Demokrasi yang Sosio-Demokrasi, tetapi pula terbangun syarat-syarat-tehnis minimum untuk nanti menelorkan satu pergaulan-hidup yang sosialis. Semua itu berkat ‘jasa’ teori sosialisme, sesuai dengan kebenaran bahwa ‘tiada gerakan revolusioner dengan tiada teori revolusioner.[19] Oleh karena itu, janganlah kita sekedar berangan-angan sosialisme, -- meski sosialisme yang ‘okjektif’ sekalipun! – tetapi kita harus memfahami teori sosialisme, memfahami cara berfikir sosialisme, berilmu sosialisme. Berilmu sosialisme, agar supaya tahu caranya berjoang mencapai sosialisme! (Cetak tebal, penulis).[20]

Dalam perjuangan membangun sosialisme itu, Bung Karno mengakui bahwa Indonesia terlambat dalam perkembangan ideologi dan Konsepsi Nasional. Beliau menganalisis bahwa sebab musabab keterlambatan itu adalah:
Di dalam negeri disebabkan oleh dualisme dan kompromisme, di luar negeri disebabkan oleh apa? Beberapa tahun sesudah proklamasi Kemerdekaan kita, maka terjadilah diluar negeri—kemudian juga meniup diangkasa kita—apa yang dinamakan ‘perang dingin’. Perang dingin ini sangat memuncak pada kira-kira tahun 1950, malah hampir-hampir saja memanas menjadi perang panas. Ia amat menghambat pertumbuhan-pertumbuhan kekuatan progressif diberbagai negara. Tadinya, segera sesudah selesainya Perang Dunia yang ke-II, aliran-aliran progressif dimana-mana mulailah berjalan pesat. Tetapi pada kira-kira tahun 1950, sebagai salah satu penjelmaan daripada perang dingin yang menghebat itu, aliran-aliran progressif mudah sekali dicap ‘Komunis’. Anti kolonialisme – Komunis. Anti exploitation d l’homme par l’homme – Komunis. Anti feodalisme – Komunis. Anti kompromis – Komunis. Konseken revolusioner – Komunis. Ini banyak sekali mempengaruhi orang-orang, terutama sekali fikirannya orang-orang yang memang jiwanya kintel. Dan inipun terus dipergunakan (diambil manfaatnya) oleh orang-orang Indonesia yang memang jiwanya jiwa kapitalis, feodalis, federalis, kompromis, blandis, dan lain-lain sebagainya. Dus: Orang-orang yang jiwanya negatif menjadilah menderita penyakit ‘takut kalau-kalau disebut kiri’, ‘takut kalau-kalau disebut Komunis’. Kiri-phobi dan komunisto-phobi membuat mereka menjadi konservatif dan reaksioner dalam soal-soal politik dan soal-soal pembangunan sosial-ekonomis..[21]

Bung Karno yang tak henti-hentinya menggalakkan penggalangan persatuan nasional, mengobarkan semangat Gotong Royong. Bung Karno menyatakan:
Telah masyhur dimana-mana, sampai diluar negeri sekalipun, bahwa jiwa Gotong Royong adalah salah satu corak dari pada Kepribadian Indonesia. Tidak ada satu negeri dikolong langit ini yang disitu Gotong Royong adalah satu kenyatan hidup didesa-desa, satu living reality, seperti di Indonesia ini. Tidak ada satu bangsa yang didalam hidup-keigamaannya begitu toleran seperti bangsa Indonesia ini. Tetapi juga tidak ada satu bangsa yang didalam kehidupan politiknya kadang-kadang mendurhakai prinsip Gotong Royong itu, seperti bangsa Indonesia!” ... di lapangan perjoangan bangsa kita harus menggembleng dan menggempurkan persatuan daripada segala kekuatan-kekuatan revolusioner, -- menggembleng dan menggempurkan ‘de samenbundeling van alle revolutionnaire krachten in de natie’. ....Gotong Royong adalah juga satu keharusan dalam perjoangan melawan imperialisme dan kapitalisme, baik dizaman dulu maupun dizaman sekarang. Tanpa mempraktekkan samenbundeling van alle revolutionnaire krachten untuk digempurkan kepada imperialisme dan kapitalisme itu, janganlah ada harapan perjoangan bisa menang! Dan kita toh ingin menang? Dan kita toh harus menang ? Karena itu maka saya selalu menganjurkan Gotong Royong juga dilapangan politik. Karena itu Manifesto Politik-USDEK bersemangat ke Gotong Royongan – bulat dilapangan politik. Karena itu di Solo beberapa pekan yang lalu saya tegaskan perlunya persatuan dan ke Gotong Royongan antara golongan Islam, Nasional dan Komunis. Ini adalah konsekwensi-politik yang terpenting bagi semua pendukung Manifesto Politik dan USDEK, satu konsekwensi-politik yang tidak plintat-plintut atau plungkar-plungker bagi semua orang yang setia kepada Revolusi Agustus 1945.[22]
Selanjutnya Bung Karno menegaskan: bBukalah tulisan-tulisan saya dari zaman penjajahan. Bacalah tulisan saya panjang-lebar dalam majalah ‘Suluh Indonesia Muda’ tahun 1926, tahun gawat-gawatnya perjoangan menentang Belanda. Didalam tulisan itupun saya telah menganjurkan, dan membuktikan dapatnya, persatuan antara Islam, Nasionalisme, dan Marxisme. Saya membuka topi kepada Saudara Kiyai Haji Muslich, tokoh alim-ulama Islam yang terkemuka, yang menyatakan beberapa pekan yang lalu persetujuannya kepada persatuan Islam-Nasional-Komunis itu, oleh karena persatuan itu memang perlu, memang mungkin, memang dapat.[23] Persatuan tiga aliran itulah yang dinamakan Nasakom. Menghadapi kekuatan yang menentang gagasan Nasakom, Bung Karno menyatakan: sebetulnya, yang menjadi sumber anti-Nasakom itu ialah .... Komunisto-phobi, takut momok komunis! Sumber-sebab yang sebenarnya itu disembunyikan dibelakang macam-macam omongan tetapi sumbernya yang sebenarnya ialah .... takut momok komunis.[24]

Dengan menjadikan Manipol/USDEK sebagai Konsep Sosialisme Indonesia, mengenai pembangunan sosialisme Indonesia, Bung Karno menyatakan: Saya ulangi lagi: resapkanlah sosialisme Indonesia sampai kemana-mana. Camkanlah, bahwa tulang-punggung, darah daging sosialisme Indonesia ialah pelaksanaan didaerah. Disanalah harus bertumbuh percobaan sosialisme Indonesia, disanalah harus berkembang pengalaman sosialisme Indonesia. Disanalah kita akan melihat secara pragmatis prakteknya pelaksanaan sosialisme Indonesia, dan dari cara pemimpin didaerah-daerah, didesa-desa, diploksok-ploksok diminta segala kemampuan (vindingsrijkheid) untuk menemukan cara-cara yang baik dalam pelaksanaan Manipol/USDEK. Karena itu maka tiap kegiatan kita harus kita dasarkan atas Konsep Sosial kita yang jelas, yaitu Konsep Manipol/USDEK, Konsep Sosialisme Indonesia.[25]
Mengenai hubungan antara Angkatan Bersenjata dan Konsepsi Nasional Manipol/USDEK, Bung Karno
Mereka adalah alat Revolusi, mereka adalah Angkatan Bersenjataya Revolusi. Mereka harus mengabdi kepada Rakyat, mendahulukan kepentingan Rakyat daripada kepentingan lain-lain. Mereka tak boleh melukai perasaan dan hati Rakyat, mereka harus menjadi Angkatan Bersenjata yang disukai dan dicintai Rakyat. Sebagai dimuka sudah saya katakan, Rakyat sudah menerima Manipol sebagai pimpinan politiknya, maka Angkatan Bersenjatapun harus menerima Manipol juga, dan menerimanya dengan sepenuh-penuh hati. Rakyat sudah dipimpin oleh Manipol, maka Angkatan Bersenjatapun harus dipimpin oleh Manipol. Sekali lagi saya ulangi disini: bukan Angkatan Bersenjata atau bedil yang memimpin Manipol, tetapi Manipol yang memimpin Angkatan Bersenjata dan bedil!.... Ingat sekali lagi, kita semua dipimpin oleh Manipol, kita semua harus menuju kepada sosialisme ! Tentang pengertian sosialisme dan pelaksanaan sosialisme tak boleh ada antagonisme dan Konradiksi dikalangan pemimpin-pemimpin kita, baik pemimpin preman maupun pemimpin militer.[26].

Berkali-kali Bung Karno menyerukan penyatuan semua kekuatan revolusioner untuk kemenangan revolusi. Bung Karno menyatakan:
’Alle revolutionnaire krachten’ – ‘semua, sekali lagi semua, tenaga revolusioner didalam Bangsa’! Dus: segala penggolongan termasuk swasta (asal revolusioneer) dalam masyarakat kita persatukan. Dus: ‘Nasakom’. Sebab Nasakom adalah kenyataan-kenyataan-hidup yang tak dapat dibantah, living realities – didalam masyarakat Indonesia kita ini. Mau tidak mau, senang atau tidak senang, kita harus menerima kenyataan-kenyataan itu .... Janganlah kita masuk terjerumus dalam peang dingin. Jangan kita ikut-ikut perang-dingin itu ! Hal ini sudah saya peringatkan dalam salah satu pidato 17 Agustus yang terdahulu Kenapa masih saja ada golongan Rakyat Indonesia yang sadar atau tidak sadar masuk terjerumus dalam perang-dingin orang lain?[27
engenai hubungan antara Panca Sila dan Nasakom Bung Karno menyatakan:
Siapa yang setuju kepada Panca Sila, harus setuju kepada Nasakom; siapa yang tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Panca Sila ! Sekarang saya tambah: Siapa setuju kepada Undang-Undang Dasar ’45 harus setuju kepada Nasakom; siapa tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setujui kepada Undang-Undang Dasar ’45![28]
Tentang Marhaenisme Bung Karno menulis:

Saya sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Marxisme. Malahan ajarannya Karl Marx tentang historis-materialisme saya gemari dan saya setujui sepenuhnya dan saya gunakan, ya ..... saya ‘toepassen’, saya ‘trap’kan kepada situasi masyarakat Indonesia. Dan sebagai hasil daripada penggunaan, atau ‘toepassing’ atau pentrapan historis-materialisme Karl Marx dimasyarakat Indonesia dengan ia punya kondisi sendiri dengan ia punya situasi sendiri, dengan ia punya sejarah sendiri, dengan ia punya kebudayaan sendiri dan sebagainya lagi itu, maka saya datang kepada ajaran Marhaenisme. Maka dari itu saya selalu menganjur-anjurkan kepada seluruh Front Marhaenis, bahwa untuk dapat memahami Marhaenisme ajaran saya itu, kita minimal, paling sedikit harus menguasai dua pengetahuan: pertama: pengetahuan tentang situasi dan kondisi Indonesia, dan kedua pengetahuan tentang Marxisme. Siapa yang secara minimal tidak menguasai dua hal, tak akan dapat memahami Marhaenisme ajaran saya, apalagi meyakini kebenaran Marhaenisme ajaran saya.[29].

Menjawab berbagai pertanyaan tentang penggunaan kata ‘Nasakom’, Bung Karno berkata:
Kenapa ‘Kom’? Kenapa kok tidak seperti tahun duapuluh enam waktu Bung Karno buat pertama kali mencetuskan ide persatuan dari pada tenaga-tenaga revolusioner ini? Nasionalis, Islam, Marxisme atau Nasionalis, Agama, Marxis, kenapa Bung Karno tidak memakai perkataan Nasamarx? Kok pakai perkataan Nasakom? Kenapa ‘Kom’? Kenapa tidak ‘Sos’? Kenapa tidak ‘Marx’? Nasamarx atau Nasasos? Kok Bung Karno memakai perkataan Nasakom? Jelaslah di sini saudara-saudara, dengarkan, perkataan yang paling dicatut, dicatut oleh pencoleng-pencoleng politik, oleh coro-coro politik, perkataan yang paling dicatut pencoleng-pencoleng dan coro-coro ini yalah perkataan Marxisme saudara-saudara. Saudara-saudara mengetahui bahwa misalnya PSI, Partai Soslalis Indonesia yang sudah saya bubarkan itu, PSI itu selalu menepuk-nepuk dada: Kami Marxis, kami Marxis, Kami Marxis!~ Saya berkata mereka bukan Marxis! Mereka adalah pencoleng dari pada Marxisme. Karena itu aku tidak mau memakai perkataan Nasamarx. Kalau aku memakai perkataan Nasamarx, jangan-jangan nanti orang-orang PSI juga ikut-ikut di dalam Nasamarx itu saudara-saudara. Padahal mereka adalah kontra-revolusioner, padahal mereka adalah revisionis tulen, pada hal mereka adalah pencoleng Marxisme![30]
Bung Karno memeras Pancasila menjadi Trisila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasi.. Kebangsaan disatukan dengan Peri-kemanusiaan menjadi Sosio-nasionalisme, dan Kedaulatan Rakyat disatukan dengan Keadilan Sosial menjadi Sosio-demokrasi. Trisila bisa diperas menjadi Ekasila, eka artinya satu, Ekasila artinya Gotong Royong. Kemudian, Bung Karno berkata: Nah, Saudara-saudara, belakangan, belakangan aku juga berkata bahwa Pancasila ini bisa juga diperas lagi secara lain, bukan secara Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi, tetapi bisa diperas pula secara lain, dan perasan secara lain ini adalah Nasakom. Nasakom adalah pula perasan dari Pancasila, dan Nasakom adalah sebenarnya juga gotong-royong, adalah de totale perasan dari pada Pancasila. Jikalau Nasakom adalah perasan dari Pancasila, maka perasan Nasakom adalah gotong royong pula.[31].

Catatan:
[1] Ir. Sukarno: NASIONALISME, ISLAMISME DAN MARXISME, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, jilid pertama, hal. 3, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, 1959.
[2] Ibid, hal, 5
[3] Ibid, hal. 10.
[4] Ibid, hal. 15-16.
[5] Ibid, hal. 20.
[6] Ibid, hal 19.
[7] Ibid, hal 21
[8] Bung Karno: BERHUBUNG DENGAN TULISANNYA Ir. A.BAARS, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, jilid I, hal. 57-61, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, 1959
[9] Bung Karno: MEMPERINGATI 50 TAHUN WAFATNYA KARL MARX, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI jilid I, hal, 219-221
[10] Bung Karno: MARHAEN DAN PROLETAR, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, jilid I, hal. 255, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI 1959.
[11] Bung Karno: MENCAPAI INDONESIA MERDEKA, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI , hal. 297-298, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, 1959.
[12] Bung Karno: MENJADI PEMBANTU ‘PEMANDANGAN’ – Sukarno Oleh .... Sukarno Sendiri --, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, hal. 508, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI 1959.
[13] Ibid, hal. 511-512.
[14] Ibid, hal 512.
[15] Bung Karno: SATU UJIAN SEJARAH, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI JILID I, hal. 523-525, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, 1959
[16] Ibid, hal. 530.
[17] Bung Karno: SARINAH—Kewajiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia, tjetakan ketiga, hal. 279-292, Panitya Penerbit buku-buku Karangan Presiden Sukarno, 1963.
[18] Ibid, hal. 294.
[19] Ibid, hal. 297-298.
[20] Ibid, hal 300.
[21] Bung Karno: LAKSANA MALAEKAT YANG MENYERBU DARI LANGIT, JALANNYA REVOLUSI KITA !, dalam Buku DIBAWAH BEDNDERA REVOLUSI, jilid kedua, hal. 406, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, 1964.
[22] Ibid, hal. 413
[23] Ibid, hal. 414.
[24] Bung Karno: RE-SO-PIM, -- REVOLUSI—SOSIALISME INDONESIA—PIMPINAN NASIONAL, Amanat Presiden Sukarno pada ulang tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1961, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, jilid kedua, hal. 467, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI 1964.
[25] Bung Karno: RE-SO-PIM,-- REVOLUSI—SOSIALISME INDONESIA—PIMPINAN NASIONAL, Amanat Presiden Sukarno pada ulang tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1961, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, jilid kedua, hal. 459, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI 1964.
[26] Ibid, hal. 466
[27] Ibid, hal. 467.
[28] Ibid, hal.468
[29] Bung Karno: AMALKANLAH MARHAENISME !, Amanat kepada Front Marhaenis 4 Juli 1963, dalam brosur NYALAKAN TERUS API MARHAENISME!, Seri I, hal 40, Departemen Penerangan – Propaganda DPP Partai Nasional Indonesia.
[30] Bung Karno: SUBUR, SUBUR, SUBURLAH PKI, Pidato Presiden Sukarno pada rapat raksasa Ulangtahun ke-45 PKI, hal. 11-12, Jajasan PEMBARUAN , Djakarta, 1965.
[31] Bung Karno: PERTJAJALAH PADA BENARNYA NASAKOM !, Amanat-Indoktrinasi Presiden Sukarno Pada Pembukaan Kursus Kilat Kader Nasakom, tanggal 1 Juni 1965, di Istora Bung Karno, Senajan, Djakarta, hal. 13, Departemen Penerangan R.I. 1965.

Jumat, 21 Januari 2011

KEPEMIMPINAN DI MINANGKABAU


Pengertian Penghulu
Penghulu adalah seorang laki-laki yang dituakan pada sebuah suku di Minangkabau, yang membidangi tentang seluk beluk urusan adat. Penghulu dalam kehidupan sehari-hari dipanggil “Datuk” Fungsi seorang penghulu di Minangkabau adalah sebagai pemimpin suku dalam urusan adat.

Salah satu sifat dari seorang penghulu di Minangkabau adalah fathabah (cerdas dan cendekia) artinya penghulu haruslah cerdas dan cendekia yaitu kecerdasan yang didukung oleh pengetahuan luas dan mendalam. Seorang penghulu harus mendalami seluk beluk adat, ajaran Islam (syarak) serta ilmu pengetahuan lainnya.
 
Anggota kaum tidak boleh mengangkat penghulu yang tidak cerdas, karena bisa menghancurkan kemakmuran dan kesejahteraan kaumnya sesuai dengan kata-kata adat berbunyi:
Alang cadiak binaso adaik

Alang alim rusak agamo
Alang tukang binaso kayu
 
Artinya bila suatu pekerjaan diberikan bukan kepada ahlinya, maka kehancuran yang akan datang. Jadi penghulu bukanlah cadiak mambuang kawan, gapuak mambuang lamak. Tetapi kecerdasannya digunakan untuk melindungi dan mengayomi anak kemenakan dan masyarakat.


FUNGSI DAN KEDUDUKAN PENGHULU DI MINANGKABAU

 

Fungsi dan Peranan Penghulu Di Minangkabau 

Fungsi penghulu adalah pemimpin dalam urusan adat secara umum untuk memimpin anak kemenakannya dalam segala bidang dan menyelesaikan tiap sengketa atau perselisihan dan memelihara harta pusaka. Hal ini sesuai dengan ungkapan adat Minangkabau:
Kayu rindang di tangah koto
Ureknyo tampek baselo
Batangnyo tampek basanda
Dahannyo tampek bagantuang
Daunnyo perak suaso
Bungonyo ambiak kasuntiang
Buahnyo buliah di makan
Tampek bataduah katiko hujan
Tampek balinduang katiko paneh

Untuk menjalankan fungsinya, maka seorang penghulu pekerjaan sehari-hari adalah sebagai berikut:
  1. Mengendalikan pemerintahan menurut undang-undang adat.
  2. Membimbing anak kemenakan baik secara langsung maupun tidak langsung.
  3. Mengadakan rapat di balai adat untuk membicarakan kehidupan dan kemakmuran serta keadilan    masyarakat.
  4. Menerima tukup bubuang, misalnya menerima hasil bumi, pajak sawah, pajak tanah, dan lain-lain.

Fungsi penghulu tergambar dalam kewajiban adat disebut “utang”. Utang harus dibayar atau dilunasi, menurut kato adat ada empat macam yaitu sebagai berikut:
1. Manuruik alua nan luruih.
2. Manampuah jalan nan pasa.
3. Mamloharo anak kamanakan.
4. Mamaliharo harto pusako.

Penghulu wajib manuruik alua nan luruih ialah alua adat. Alua adat adalah  peraturan yang dibuat dengan kata mufakat oleh para penghulu dalam suatu nagari.

Alua terbagi dua yaitu: 

1. Alua adat adalah peraturan yang dibuat dengan kata mufakat, ia berubah sesuai dengan keadaan dan situasi.
2. Alua pusako adalah aturan pokok yang turun temurun dari Dt Perpatih nan Sabatang dan Dt Katumanggungan. Alua pusako tidak dirubah indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan, contohnya:
a. Hutang babaia, piutang batarimo.
b. Salah batimbang, mati bakubua.

Jadi kata nan luruih dilaksanakan menurut kato pusako, menurut kata mufakat di dalam adat dikatakan kato Dahulu Batapati Katro Kudian Dicari.


Perangai Buruk dan Larangan Atau Pantangan Penghulu Di Minangkabau

1. Enam Macam Perangai Buruk Penghulu di Minangkabau

a. Penghulu nan diujuang tanjuang.
Penghulu yang tidak memiliki prinsip dalam kehidupannya. Dalam ungkapan adat dikatakan:
Sapantun sipongang dalam quo
Urang mahariak inyo mahariak
Kalau diimbau bunyi ado
Kalau dicaliak indak basuo

b. Penghulu ayam gadang (penghulu ayam jago).
Penghulu berperangai seperti ayam jago, kokoknya merdu. Hal ini diungkapkan dalam kato adat:
Bakotek hilia jo mudiak
Bakukuak kiri jo kanan
Mananggakkan tuah kamanangan
Tiok ado kabaikan tumbuah
Inyo nan pokok pangkanyo
Bakotek indak batama
Tinggi lonjak gadang sajo
Gadang tungkai indak barisi
Elok bungkuih pangabek kurang

c. Penghulu buluah bamboo (penghulu buluh bambu).
Adalah penghulu kelihatan bagus dari luar, tetapi kosong di dalam, kurang ilmu, tetapi berlebih lagaknya. Hal ini diungkapkan dalam kato adat:
Batareh tampak kalua
Di dalam kosong sajo
Tampang elok takah balabiah
Lagak rancak aka tak ado
Ilmu jauah sakali
Awak datuak janyo awak

d. Penghulu katuak-katuak (penghulu ketuk-ketuk).
Penghulu yang bersifat seperti tong-tong di lading. Ia hanya berbunyi bila diketok. Hal ini diungkapkan dalam kato adat:
Iolah tong-tong urang diladang
Kalau diguguah inyo babunyi
Disaru baru basuaro
Ka mangecek takuik balabiah

e. Penghulu Tupai tuo (penghulu tupai tua).
Penghulu yang berperangai seperti tupai tua, ia tidak mau berusaha karena takut salah ia merasa dirinya tidak berarti. Dalam kato adat:
Elok nan tidak mengalua
Gadang nan indak mangatangah
Bagai karabang talua itiak
Rancaknyo tabuang sajo
Indak tatampuah ujuang dahan
Alek jamu indak tajalang
Alua tak ado nan taturuik
Jalan tak ado nan tatampuah
Banyak sagan dalam dirinyo

f. Penghulu busuak hariang (penghulu busuk hariang).
Penghulu yang sikapnya seperti bau kencing. Ia selalu membawa keresahan di dalam masyarakat. Hal ini diungkapkan dalam kato adat:
Itu penghulu nan jahanam
Hino bangso randah martabat
Hati ariang pahamnyo busuak
Budi anyia pikiran ariang
Panjang aka handak malilik


2. Enam Pantangan atau Larangan Penghulu Menurut Adat :

a. Memerahkan muka.
    Bersikap emosional dan tidak mampu mengendalikan diri.

b. Menghardik menghantam tanah.
    Adalah pemarah, pemaki, penggertak.

c. Menyinsingkan lengan baju.
    Adalah melakukan pekerjaan kasar seolah-olah tidak mempunyai sumber hidup yang layak.

d. Berlari-lari.
    Adalah sikap orang yang terlalu terburu-buru, pencemas tidak tabah, dan penakut.

e. Memanjat-manjat.
    Adalah bertingkah laku seperti anak-anak

f. Menjunjung dengan kepala.
   Adalah seolah-olah kepalanya tidak digunakan untuk berfikir, tetapi untuk membawa beban.

 

UNSUR PEMIMPIN ALIM ULAMA DI MINANGKABAU

 

A. Pengertian Alim Ulama di Minangkabau 

Alim ulama adalah pemimpin masyarakat Minangkabau dalam urusan agama, yaitu orang yang dianggap alim. Seorang yang alim adalah orang yang memiliki ilmu yang luas dan memiliki keimanan., keradaannya di masyarakat sangat dibutuhkan. Hal ini diungkapkan dalam adat Minangkabau adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Adanya alim ulama di dalam masyarakat Minangkabau membidangi agama islam/syarak. Penghulu atau ninik mamak membidangi adat.


B. Fungsi Aliam Ulama di Minangkabau

Fungsi alim ulama di Minangkabau adalah sebagai pembina dan pembimbing masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.

Di dalam adat dikatakan ulama adalah ikutan lahia jo batin,saluah bendang dalam nagari, ka penyuluah anak jo kamanakan, panarang jalan di dunia, penyuluah jalan ke akhirat, tampek batanyo halal haram sarato sah dengan batal.

Fungsi alim ulama dalam masyarakat menjadi ikutan lahia jo batin, alim ulama berfungsi sebagai contoh dan teladan bagi masyarakat. Ia selalu memperhatikan perbuatan baik, perbuatan yang berdasarkan kepada ajaran Islam dan ajaran adat. Ia menjadi contoh dalam berfikir, berbicara, dan bertindak. Jadi fungsi ulama adalah memberikan contoh kepada masyarakat hingga ia menjadi teladan lahir dan batin.

 
C. Kedudukan Alim Ulama dalam masyarakat Minangkabau

Kedudukan alim ulama adalah sebagai pemimpin, juga membuat keputusan, keputusan yang ia buat berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Ulama juga memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada penghulu untuk mengambil keputusan dalam bidang agama Islam. Pertimbangan itu biasanya diberikan, baik diminta maupun tidak diminta oleh penghulu. Justru disinilah ulama berfungsi sebagai pemimpin yang memiliki kedudukan sejajar dengan penghulu dan ninik mamak di dalam nagari.

Kedudukan alim ulama di Minangkabau sebagai berikut:
1. Sebagai pemimpin dalam urusan ibadah dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
2. Sebagai suluah dendang dalam nagari.
3. Sebagai pemberi petunjuk kepada masyarakat dan alim ulama, diharapkan dapat membawa umat Islam ke jalan yang benar yaitu jalan diridhoi oleh Alah SWT.
 

UNSUR PEMIMPIN CADIAK PANDAI DI MINANGKABAU

 

A. Pengertian Cadiak Pandai 

Cadiak Pandai adalah pemimpin masyarakat yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas serta pemikiran yang dapat mencari jalan keluar dari setiap masalah yang sedang dihadapi masyarakat Minangkabau. Jadi adalah merupakan kumpulan orang-orang pandai, tahu, cerdik, cendekiawan, dan orang yang cepat mengerti, pandai mencari pemecahan masalah dan berfikir yang luas.

 
B. Fungsi Cadiak Pandai di Minangkabau

Fungsi cadiak pandai di Minangkabau adalah sebagai berikut:
1. Pemberi petunjuk kepada seluruh masyarakat dan anak nagari dalam menjalankan kehidupan sehari-hari
2. Untuk memajukan pemikiran masyarakat supaya tidak ketinggalan zaman
3. Sebagai pemagar nagari di Minangkabau
4. Memberi pertimbangan kepada penghulu di dalam mengambil keputusan dalam hal-hal yang bersifat umum
5. Mampu menerapkan ilmu untuk kehidupan keluarga serta kepentingan masyarakat.

 
C. Kedudukan Cadiak Pandai di Minangkabau

Kedudukan cadiak pandai di Minangkabau adalah sebagai berikut:  
1. Cadiak pandai sebagai pemimpin di bidang undang-undang dan komunikasi serta pengaturan yang bersifat umum.  
2. Cadiak pandai sebagai pemimpin adalah karena mempunyai keindividuannya. yaitu kaya dengan ilmu pengetahuan dan wajib memberi petunjuk kepada masyarakat nagari di Minangkabau.  
3. Cadiak pandai sebagai pemimpin banyak pengetahuan dan banyak tahu, paham perkembangan dalam nagari atau luar nagari, karena itu dianggap sebagai pagaran tokoh.




KEPEMIMPINAN TUNGKU TIGO SAJARANGAN DI MINANGKABAU

 

A. Gabungan Unsur Pemimpin

Setiap nagari di Minangkabau memiliki tiga unsur pemimpin yaitu :
1. Penghulu
2. Alim Ulama
3. Cadiak Pandai


Gabungan ketiga unsur ini saling bahu membahu dan bekerja sama dalam meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Tiga unsur ini dikenal dengan Tungku Tigo Sajarangan, artinya ketiga pemimpin itu merupakan satu kesatuan.

Gabungan pemimpin itu terlihat di tingkat nagari, segala keputusan di nagari dikukuhkan oleh ketiga unsur tersebut. Suatu keputusan belum dijalankan, belum dianggap sah, kalau salah satu ketiga unsur itu belum sependapat.

B. Kepemimpinan Tungku Sajarangan di Minangkabau

Kekuasaan tertinggi dalam masyarakat Minangkabau adalah Tuha Sakato, yaitu hal-hal yang telah terjadi menjadi kesepakatan bersama, artinya segala sesuatu yang bersifat mengatur di dalam kehidupan masyarakat harus terlebih dahulu dimusyawarahkan.

Tiga unsur pemimpin inilah yang menyelesaikan permasalahan sesuai dengan kedudukannya masing-masing dan hasil musyawarah itu selanjutnya dikukuhkan dalam suatu rapat yang dihadiri seluruh wakil masyarakat, biasanya bertempat di balai adat.

Pada hakikatnya mereka sama-sama bertanggung jawab memimpin masyarakat ke arah kesejahteraan dan kemakmuran, inilah dikenal dengan sebutan Tungku Tigo Sajarangan, karena kekuatan tungku tigo sajarangan masyarakat tidak akan tersesat, kacau dan rusak. Jika ketiga tungku itu masih tetap bekerjasama menempatkan diri di posisinya masing-masing.

Di dalam adat minagkabau diungkapkan sebagai Adat Basandi Syarak, Syarak Basanndi Kitabulah. Adat dan agama tidak ada pertentangan, yaitu:
1. Syarak memberikan hukum atau syariat.
2. Adat melaksanakan seperti diungkapkan syarak mangato adat mamakai.
3. Undang-undang sebagai pengaturan.

Dengan demikian ada:
1. Adat.
2. Agama.
3. Undang-undang.

Adanya ketiga unsur pemimpin tersebut melahirkan Tali Tigo Sapilin. Ketiga-tiganya dibutuhkan oleh masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan dilengkapi oleh orang Ampek Jini yaitu:
1. Penghulu.
2. Malin.
3. Manti.
4. Dubalang.

Sejarah Sumatera Barat (Minangkabau)

Masa Prasejarah

Bukti-bukti arkeologis yang dite­mukan di atas bisa memberi indikasi bahwa daerah-daerah sekitar Kabu­paten Lima Puluh Kota merupakan daerah atau kawasan Minangkabau yang pertama dihuni oleh nenek moyang orang Su­matera Barat. Penafsiran ini rasanya ber­alasan, karena dari luhak Lima Puluh Kota ini mengalir beberapa sungai besar yang akhirnya bermuara di pantai timur pu­lau Sumatera. Sungai-sungai ini dapat dilayari dan memang menjadi sarana transportasi yang penting dari zaman dahulu hingga akhir abad yang lalu.

Nenek moyang orang Minang­kabau diduga datang melalui rute ini. Mereka berlayar dari daratan Asia (In­dochina) mengarungi Laut Cina Sela­tan, menyeberangi Selat Malaka dan kemudian melayari sungai Kampar, Sungai Siak, dan Sungai Inderagiri (atau Kuantan). Sebagian di antaranya tinggal dan mengembangkan kebudayaan serta per­adaban mereka di sekitar Kabupaten 50 Kota sekarang.

Percampuran dengan para penda­tang pada masa-masa berikutnya me­nyebabkan tingkat kebudayaan mere­ka jadi berubah dan jumlah mereka ja­di
bertambah. Lokasi pemukiman mereka menjadi semakin sempit dan akhirnya mereka menyebar ke berba­gai bagian Sumatera Barat yang lainnya. Sebagian pergi ke daerah Kabupaten Agam dan sebagian lagi sampai ke Kabupaten Tanah Datar sekarang. Dari sini penyebaran dilanjutkan lagi, ada yang sampai ke utara daerah Agam, terutama ke daerah Lubuk Sikaping, Rao, dan Ophir. Banyak di antara me­reka menyebar ke bagian barat teruta­ma ke daerah pesisir dan tidak sedikit pula yang menyebar ke daerah selatan, ke daerah Solok, Selayo, sekitar Muara, dan sekitar daerah Sijunjung.

 

Kerajaan Dharmasraya

Kerajaan Melayu diperkirakan menjadi kerajaan pertama yang didirikan oleh orang Minangkabau. Beberapa sejarawan mengatakan bahwa kata Minangkabau sendiri berarti dua sungai, merujuk pada sebuah kerajaan yang berdiri diantara dua buah sungai, yakni kerajaan Melayu yang terletak di tepian sungai Batang Hari. Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit, kerajaan ini dihancurkan oleh pasukan dari Sriwijaya pada tahun 683. Dari reruntuhan kerajaan ini, berdirilah kerajaan Dharmasraya yang beribukota di daerah Kabupaten Dharmasraya saat ini. Ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275 di bawah pimpinan Kebo Anabrang dari Kerajaan Singasari, membawa dua putri Minangkabau yaitu Dara Petak dan Dara Jingga. Kedua putri tersebut dinikahkan dengan pewaris kerajaan Singasari. Dara Petak dinikahkan dengan Raden Wijaya sedangkan Dara Jingga dengan Adwaya Brahman. Dari kedua pasangan itu lahirlah Jayanagara, yang menjadi raja kedua Majapahit dan Raja Adityawarman yang menjadi raja Pagaruyung.

 

 

Kerajaan Pagaruyung

Sejarah propinsi Sumatera Barat menjadi lebih terbuka sejak masa pemerintahan Adityawarman. Ra­ja ini cukup banyak meninggalkan prasasti mengenai dirinya, walaupun dia tidak pernah mengatakan dirinya sebagai Raja Minangkabau. Aditya­warman memang pernah memerintah di Pagaruyung, suatu negeri yang di­percayai warga Minangkabau sebagai pusat kerajaannya.

Adityawarman adalah tokoh pen­ting dalam sejarah Minangkabau. Di samping memperkenalkan sistem pe­merintahan dalam bentuk kerajaan, dia juga membawa suatu sumbangan yang besar bagi alam Minangkabau. Kon­tribusinya yang cukup penting itu adalah penyebaran agama Buddha. Agama ini pernah punya pengaruh yang cukup kuat di Minangkabau. Ter­bukti dari nama beberapa nagari di Sumatera Barat dewasa ini yang berbau Budaya atau Jawa seperti Saruaso, Pa­riangan, Padang Barhalo, Candi, Bia­ro, Sumpur, dan Selo.

Sejarah Sumatera Barat sepe­ninggal Adityawarman hingga perte­ngahan abad ke-17 terlihat semakin kompleks. Pada masa ini hubungan Su­matera Barat dengan dunia luar, ter­utama Aceh semakin intensif. Sumate­ra Barat waktu itu berada dalam dominasi politik Aceh yang juga memo­nopoli kegiatan perekonomian di dae­rah ini. Seiring dengan semakin inten­sifnya hubungan tersebut, suatu nilai baru mulai dimasukkan ke Sumatera Barat. Nilai baru itu akhimya menjadi suatu fundamen yang begitu kukuh melandasi kehidupan sosial-budaya masyarakat Sumatera Barat. Nilai baru tersebut adalah agama Islam.

Syekh Burhanuddin dianggap sebagai pe­nyebar pertama Islam di Sumatera Barat. Sebelum mengembangkan aga­ma Islam di Sumatera Barat, ulama ini pernah menuntut ilmu di Aceh.

 

Masuknya Bangsa Eropa

Pengaruh politik dan ekonomi A­ceh yang demikian dominan membuat warga Sumatera Barat tidak senang kepada Aceh. Rasa ketidak­puasan ini akhirnya diungkapkan de­ngan menerima kedatangan orang Belanda. Namun kehadiran Belanda ini juga membuka lembaran baru sejarah Sumatera Barat. Kedatangan Belanda ke daerah ini menjadikan Sumatera Ba­rat memasuki era kolonialisme dalam arti yang sesungguhnya.

Orang Barat pertama yang datang ke Sumatera Barat adalah seorang pelan­cong berkebangsaan Perancis yang ber­nama Jean Parmentier yang datang sekitar tahun 1529. Namun bangsa Ba­rat yang pertama datang dengan tu­juan ekonomis dan politis adalah bang­sa Belanda. Armada-armada dagang Belanda telah mulai kelihatan di pan­tai barat Sumatera Barat sejak tahun 1595-1598, di samping bangsa Belan­da, bangsa Eropa lainnya yang datang ke Sumatera Barat pada waktu itu ju­ga terdiri dari bangsa Portugis dan Inggris.

 

Perang Padri

Perang Paderi meletus di Minangkabau antara sejak tahun 1821 hingga 1837. Kaum Paderi dipimpin Tuanku Imam Bonjol melawan penjajah Hindia Belanda.

Gerakan Paderi menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di masyarakat Minang, seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau, sirih, juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan dan umumnya pelaksanaan longgar kewajiban ritual formal agama Islam.

Perang ini dipicu oleh perpecahan antara kaum Paderi pimpinan Datuk Bandaro dan Kaum Adat pimpinan Datuk Sati. Pihak Belanda kemudian membantu kaum adat menindas kaum Padri. Datuk Bandaro kemudian diganti Tuanku Imam Bonjol.

Perang melawan Belanda baru berhenti tahun 1838 setelah seluruh bumi Minang ditawan oleh Belanda dan setahun sebelumnya, 1837, Imam Bonjol ditangkap.

Meskipun secara resmi Perang Paderi berakhir pada tahun kejatuhan benteng Bonjol, tetapi benteng terakhir Paderi, Dalu-Dalu, di bawah pimpinan Tuanku Tambusai, barulah jatuh pada tahun 1838.

 

Dari Perang Padri sampai Perang Belasting

Berakhirnya perang Padri menandai perubahan besar di Minangkabau. Kerajaan Pagaruyung runtuh dan di tempatnya berdiri pemerintahan Hindia Belanda.
Belanda memerintah diatur oleh perjanjian Plakat Panjang (1833). Di dalamnya Belanda berjanji untuk tidak mencampuri masalah adat dan agama nagari-nagari di Minangkabau. Belanda juga menyatakan tidak akan memungut pajak langsung. Hal ini menyebabkan para pemimpin Minangkabau membayangkan dirinya sebagai mitra bukannya bawahan Belanda.

Sebagaimana di daerah lain di Hindia Belanda pemerintah kolonial memberlakukan Tanam Paksa (cultuurstelsel) di Sumatera Barat. Sistem ini menjadikan para pemimpin adat sebagai agen kolonial Belanda.

Penjajahan Belanda berpengaruh besar pada tatanan tradisional masyarakat Minangkabau. Di Sumatera Barat Belanda membuat jabatan baru, seperti penghulu rodi. Kerapatan Nagari dijadikan sebagai lembaga pemerintahan terendah, dan kepemimpinan kolektif para penghulu ditekan dengan keharusan memilih salah seorang penghulu menjadi Kepala Nagari. Serikat nagari-nagari (laras, Bahasa Minang: lareh) yang sebenarnya merupakan persekutuan longgar atas asas saling menguntungkan, dijadikan sebagai lembaga pemerintahan yang setara dengan kecamatan.

Belanda juga berusaha mematikan jalur perdagangan tradisional Minangkabau ke pantai timur Sumatera yang menyusuri sungai-sungai besar yang bermuara di Selat Malaka, dan mengalihkannya ke pelabuhan di pantai Barat seperti Pariaman dan Padang. Pada tahun 1908 Belanda menghapus sistem Tanam Paksa dan memberlakukan pajak langsung. Perang Belasting pun meletus.

 

Gerakan Islam Modernis di Minangkabau

Perlawanan terhadap Belanda di Sumatera Barat pada awal abad ke-20 memiliki warna Islam yang pekat. Dalam hal ini gerakan Islam modernis atau yang lebih dikenal sebagai Kaum Muda sangat besar peranannya.

Ulama-ulama Kaum Muda mendapat pengaruh besar dari modernis Islam di Kairo, yaitu Muhammad Abduh dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan juga senior mereka Jamaluddin Al-Afghani. Para pemikir ini punya kecenderungan berpolitik, namun karena pengaruh Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang menjadi guru ulama Kaum Muda generasi pertama mereka umumnya hanya memusatkan perhatian pada dakwah dan pendidikan. Abdullah Ahmad mendirikan majalah Al-Munir (1911-1916), dan beberapa ulama kaum Muda lain seperti H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Muhammad Thaib ikut menulis di dalamnya.

Dari majalah ini pemikiran kaum muda semakin disebarkan. Ulama Kaum Muda menantang konsep agama tradisional yang sudah mapan, menentang taqlid buta, dan merangsang sikap kebebasan berpikir. Tulisan dan pidato mereka memicu pertentangan dan perdebatan sengit di ranah Minang.

Tahun 1918 sebagai kelanjutan perguruan agama tradisional Surau Jembatan Besi berdirilah sekolah Sumatera Thawalib. Selain pendirinya H. Abdul Karim Amrullah guru lain yang berpengaruh di sekolah ini adalah Zainuddin Labai el-Yunusiah yang juga mendirikan sekolah Diniyah. Berbeda dengan Sumatera Thawalib yang terutama adalah perguruan agama sekolah Diniyah menekankan pada pengetahuan umum, seperti matematika, ilmu falak, ilmu bumi, kesehatan dan pendidikan. Kedua sekolah ini berhubungan erat.

Banyak tokoh pergerakan atau ulama seperti Ahmad Rasyid Sutan Mansur, Djamaluddin Tamin, H. Dt. Batuah, H.R. Rasuna Said dan Hamka merupakan murid atau pernah mengajar di perguruan di Padang Panjang ini.

Di kedua perguruan ini berkembang berbagai gagasan radikal. Pada dasawarsa 1920-an sebuah gagasan baru mulai menarik hati para murid sekolah Padang Panjang: komunisme. Di Padang Panjang pentolan komunis ini terutama Djamaluddin Tamin dan H. Datuk Batuah. Gagasan baru ini ditentang habis-habisan Haji Rasul yang saat itu menjadi guru besar Sumatera Thawalib.

Gerakan Islam Modernis ini tidak didiamkan saja oleh ulama tradisional. Tahun 1930 ulama tradisional mendirikan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) untuk mewadahi sekolah Islam Tradisional.

 

Gerakan Partai Komunis Indonesia

Djamaluddin Tamin sudah bergabung dengan PKI pada 1922. Dalam perjalanan singkat ke Aceh dan Jawa pada tahun 1923 Datuk Batuah bertemu dengan Natar Zainuddin dan Haji Misbach. Agaknya ia terkesan dengan pendapat Haji Misbach yang menyatakan komunisme sesuai dengan Islam. Bersama Djamaluddin Tamin ia menyebarkan pandangan ini dalam koran Pemandangan Islam. Natar Zainuddin kemudian kembali dari Aceh dan menerbitkan koran sendiri bernama Djago-djago. Akhir tahun itu juga Djamaluddin Tamin, Natar Zainuddin dan Dt. Batuah ditangkap Belanda.

Setelah penangkapan tersebut pergerakan komunis malah menjadi-jadi. Tahun 1924 Sekolah Rakyat didirikan di Padang Panjang, meniru model sekolah Tan Malaka di Semarang. Organisasi pemuda Sarikat Rakyat, Barisan Muda, menyebar ke seluruh Sumatera Barat. Dua pusat gerakan komunis lain adalah Silungkang dan Padang. Bila di Padang Panjang gerakan berakar dari sekolah-sekolah di Silungkang pendukung komunis berasal dari kalangan saudagar dan buruh tambang.

Sulaiman Labai, seorang saudagar, mendirikan cabang Sarekat Islam di Silungkang, Sawahlunto pada 1915. Pada tahun 1924 cabang ini diubah menjadi Sarekat Rakyat. Selain itu berdiri juga cabang organisasi pemuda komunis, IPO.

Di Padang basis PKI berasal dari saudagar besar pribumi. Salah satu pendiri PKI cabang Padang adalah Sutan Said Ali, yang sebelumnya menjadi pengurus Sarikat Usaha Padang. Di bawah kepemimpinannya mulai tahun 1923 PKI seksi padang meningkat anggotanya dari hanya 20 orang menjadi 200 orang pada akhir 1925.

Pertumbuhan gerakan komunisme terhenti setelah pemberontakan di Silungkang 1927. Para aktivis komunis ditangkap, baik yang terlibat pemberontakan ataupun tidak. Banyak di antaranya yang dibuang ke Digul.

 

Sumatera Barat: 1930-an

 

Merebaknya partai-partai politik

 

                                       HR Rasuna Said, aktivis Permi


Meskipun komunisme menjadi sangat populer pada dasawarsa 1920-an kaum agama yang tak setuju dengan ideologi baru itu pun tetap berkembang. Awal tahun 1920 berdiri PGAI (Persatuan Guru Agama Islam) dengan tujuan mengumpulkan ulama-ulama di Sumatera Barat. Atas prakarsa H. Abdullah Ahmad tahun 1924 berdirilah sekolah Normal Islam di Padang. Sekolah ini dimaksudkan sebagai sekolah lanjutan, lebih tinggi daripada Sumatera Thawalib yang merupakan sekolah rendah.

Setelah melawat ke Jawa tahun 1925 dan bertemu pemimpin-pemimpin Muhammadiyah di sana Haji Rasul turut mendirikan cabang Muhammadiyah. Pertama di Sungai Batang dan kemudian di Padang Panjang. Organisasi ini dengan cepat menjalar ke seluruh Sumatera Barat.

Muhammadiyah berperan penting dalam menentang pemberlakuan Ordonansi Guru di Sumatera Barat tahun 1928. Dengan ordonansi ini guru agama diwajibkan melapor kepada pemerintah sebelum mengajar. Peraturan ini dipandang mengancam kemerdekaan menyiarkan agama. Sebelumnya Muhammadiyah di Jawa sudah memutuskan meminta ordonansi ini dicabut. Pada tanggal 18 Agustus 1928 diadakanlah rapat umum yang kemudian memutuskan menolak pemberlakuan ordonansi guru.

Meskipun terlibat dalam penolakan Ordonansi Guru, berbeda dengan organisasi komunis seperti Sarikat Rakyat, pada umumnya Muhammadiyah menghindari kegiatan politik. Penumpasan gerakan komunis tahun 1927 menyebabkan banyak anggota Sarekat Rakyat atau simpatisannya berpaling ke Muhammadiyah mencari perlindungan. Para anggota yang lebih radikal ini tidak puas dan kemudian banyak yang keluar untuk aktif dalam Persatuan Sumatra Thawalib. 

Organisasi ini pada tahun 1930 menjelma menjadi partai politik bernama Persatuan Muslim Indonesia, disingkat Permi. Dengan asas Islam dan kebangsaan (nasionalisme) Permi dengan cepat menjadi partai politik terkuat di Sumatera Barat, dan menyebar ke Aceh, Tapanuli, Riau, Jambi dan Bengkulu. Partai ini menjadi wadah utama paham Islam modernis. Tokoh-tokoh Permi yang terkenal antara lain Rasuna Said, Iljas Jacub, Muchtar Lutfi dan Djalaluddin Thaib.

Partai lain yang juga penting adalah PSII cabang Sumatera Barat yang berdiri tahun 1928, dan PNI Baru. PSII Sumatera Barat seperti Permi sangat kuat sikap anti-penjajahannya. Namun tidak seperti Permi yang berakar dari perguruan agama tokoh-tokoh PSII umumnya berasal dari pemimpin adat.

Cabang PNI Baru di Bukittinggi diresmikan Hatta tak lama setelah kepulangannya dari Belanda tahun 1932. Sebelumnya cabang Padang Panjang sudah didirikan oleh Khatib Sulaiman.

PARI pimpinan Tan Malaka (didirikan di Bangkok 1929) punya pengaruh cukup besar, meskipun anggotanya sendiri tidak banyak. Pengaruh PARI terutama lewat tulisan Tan Malaka yang disebarkan sampai tahun 1936.

 

Penumpasan

Pada pertengahan 1933 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan larangan berkumpul. Yang menjadi sasaran utama di Sumatera Barat adalah Permi dan PSII. Sementara itu Rasuna Said sudah ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Jawa. Tokoh-tokoh Permi dan PSII awalnya dilarang bepergian, kemudian kedua partai dikenai larangan terbatas dalam mengadakan rapat umum. Pada akhirnya tokoh-tokoh Permi dan PSII ditangkap dan dibuang ke Digul. Permi akhirnya bubar pada 18 Oktober 1937.

Pada saat yang sama di Batavia tokoh-tokoh Partindo dan PNI Baru juga ditangkap. Sukarno diasingkan ke Flores, Hatta dan Sjahrir ke Digul. Pimpinan PNI Baru cabang Sumatera Barat sendiri dibiarkan bebas karena mereka membatasi kegiatan politik partai. Sementara itu tokoh-tokoh PARI berhasil ditahan Belanda yang bekerja sama dengan dinas Intelijen Inggris. Tan Malaka, pimpinannya, lolos.

 

Pendudukan Jepang

Jepang memasuki Padang pada 17 Maret 1942. Sukarno yang pada saat itu berada di Padang berhasil meyakinkan sebagian besar tokoh-tokoh nasionalis di Sumatera Barat agar mau bekerja sama dengan Jepang.

Tahun 1943 Jepang memerintahkan pendirian Gyu Gun untuk membantu pertahanan. Gyu Gun di Sumatera Barat dipimpin oleh Chatib Sulaiman yang memilih dan merekrut calon perwira dari Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Gyu Gun merupakan satu-satunya satuan ketentaraan yang dibentuk Jepang di Sumatera Barat. Tentara Sukarela ini kemudian menjadi inti Divisi Banteng.

 

Zaman Kemerdekaan

Pada awal kemerdekaan Indonesia, wilayah Sumatera Barat tergabung dalam provinsi Sumatera yang berpusat di Medan. Provinsi Sumatera kemudian dipecah menjadi tiga, yakni Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Sumatera Barat merupakan residensi didalam provinsi Sumatera Tengah beserta residensi Riau dan Jambi.

Berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1957, Sumatera Tengah kemudian dipecah lagi menjadi Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Wilayah Kerinci yang sebelumnya tergabung dalam Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci, residensi Sumatera Barat, digabungkan dalam provinsi Jambi sebagai kabupaten tersendiri. Pada awalnya ibukota provinsi baru ini adalah Bukittinggi, namun kemudian dipindahkan ke Padang.

 

Daftar pustaka sejarah Minangkabau:

  • Buku Alam Takambang jadi Guru, AA.Navis, 1984
  • Historiografi Minangkabau
  • Buku Sejarah Minangkabau, MD. Mansoer, Bharata, 1970