Selasa, 21 Desember 2010

Revolusi yang Dikompromikan

Oleh: Samsir Mohamad, bekas anggota Konstituante

Kita bernama Indonesia itu belum lama yaitu tahun 1850. Nama itu pun bukan kita (bangsa Indonesia-ed) yang membuat, tapi orang lain. Sumpah Pemuda saya sebut sebagai peristiwa monumental. Rendra pernah menulis bahwa Sumpah Pemuda itu lebih agung, lebih besar daripada Borobudur. Sebelum Sumpah Pemuda lahir, barangkali karena posisi geografis kita tercerai-berai dalam kepulauan, organisasi pemuda yang ada ketika itu mengikuti posisi geografisnya: Jong Ambon, Jong Sumatera, Jong Selebes.

Di Surabaya lahir sebuah perkumpulan pemuda yang tujuannya memperluas pengetahuan umum, mempelajari kebudayaan, dan bahasa. Perkumpulan itu diberi nama Trikoro Darmo. Perkumpulan itulah yang kemudian tumbuh menjadi Jong Java. Perkumpulan-perkumpulan pemuda yang ada—atas inisiatif Jong Java dan Jong Sumatera—itulah yang merintis ke arah penyatuan berbagai organisasi pemuda yang ada. Puncaknya pada Kongres Pemuda Kedua yang melahirkan Sumpah Pemuda. Satu hal perlu dicatat di sini: di dalam membidani lahirnya Sumpah Pemuda partai-partai politik yang sudah ada ketika itu tidak terdengar muncul, apalagi berperan. Bahwa dikemudian hari orang-orang dari kalangan Indonesia Muda itu menyebar ke berbagai partai politik, itu benar, tetapi ketika membidani Sumpah Pemuda—sejauh yang saya ketahui dari berbagai literatur—tidak ada. Hal itu berulang kembali, yakni ketika membidani Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus. Tidak ada satupun partai politik yang muncul. Bahwa waktu itu dilarang oleh Jepang, itu benar, tetapi dalam momen seperti itu yang menentukan nasib bangsa, toh tidak muncul juga.

Dua peristiwa terulang. Siapa yang berperan di situ? Ini bukan untuk mengistimewakan kawan muda, tapi memang anak mudalah yang berperan. Ketika Sumpah Pemuda, jelas para pemuda yang berperan. Ketika Proklamasi, pemuda lagi dengan mahasiwa yang berperan. Berulang lagi ketika menurunkan Soekarno dengan cara-cara yang aneh, itu juga pemuda dan mahasiswa. Ketika menurunkan Soeharto, kembali lagi pemuda dan mahasiswa. Apakah itu saja? Cukup di situ saja peranan paramuda: menaikkan dan melengserkan, kemudian setelah itu ciserasera? Itu berpulang pada kalian yang muda-muda. Saya tidak akan mengatakan harus begini, harus begitu, tidak. Tapi, pengalaman itu mengatakan kepada kita, bahwa semua kejadian itu telah membawa kita pada hari ini di mana kita merasa tidak betah. Terus terang, saya sendiri tidak betah pada keadaan yang saya hadapi, yang saya alami dan yang saya jalani sekarang ini. Orang usaha sendiri dengan modal sendiri, susah payah sendiri diobrak-abrik. Petani bekerja keras, menanam, memelihara tanaman, dibiarkan saja dimangsa tengkulak. Bank-bank kita, bank perkreditan kita ratusan jumlahnya, tetapi tidak menyentuh jelata. Kaum jelata tetap saja menjadi korban bank keliling yang bunganya tidak kira-kira.

Kembali ke Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda itu yang mengerucutkan organisasi-organisasi pemuda menjadi terhimpun dan melahirkan Indonesia Muda. Indonesia Muda itu awalnya diperbolehkan oleh pemerintah kolonial, dengan syarat tidak berpolitik. Tapi dalam praktiknya, mereka berpolitik juga sampai akhirnya digerebek, digeledah kantornya dan ditahan pengurusnya. Pemerintah kolonial waktu itu melarang anak-anak amtenar-amtenar (pegawai negeri) untuk menjadi anggota Indonesia Muda. Meskipun demikian Indonesia Muda tidak surut, malah berkembang. Semakin ditekan dia semakin keras melawan.

Pengukuhan kita sebagai satu bangsa dilakukan oleh pemuda lewat Sumpah Pemuda. Sejak itulah kita menganggap diri kita satu bangsa. Tetapi, bagaimana itu terjadi, asal mulanya dan seperti apa, tampaknya kebanyakan dari kita merasa tidak perlu untuk menelitinya. Saya sendiri mengetahui itu sebagian dari literatur yang ditulis orang asing sebagaimana saya mengetahui misalnya Sarekat Islam merupakan organisasi setelah Budi Utomo terbesar yang pernah ada sampai hari ini. Pengetahuan itu saya peroleh dari literatur orang. Mengapa sejawaran-sejarawan kita tidak menulis itu? Dengan begitu kita bisa belajar dari bangsa dan negeri sendiri. Saya tidak mengatakan tidak perlu belajar dari bangsa lain, dari revolusi-revolusi negara lain. Belajar dari bangsa lain, itu baik, tetapi belajarlah dari bangsa dan negeri sendiri, supaya kita tahu apa kita ini, bagaimana kita ini, apa perjalanan yang sudah kita tempuh, mana yang baik, mana yang salah, supaya tidak mengulangi kesalahan.

Jika sekarang banyak pelajar kita yang tidak tahu kapan dan siapa yang membuat nama Indonesia, itu tidak berarti mereka bodoh, karena mereka itu adalah korban. Korban dari pendidikan kita yang tidak sehat. Contoh yang mudah saja, Diponegoro itu tahun 1830 tamat riwayatnya, lalu bagaimana asal-usulnya dia menjadi pahlawan nasional, sementara nama Indonesia saja baru ada 20 tahun kemudian. Namun demikian, tidak perlu kita mencari siapa yang bersalah, lebih baik kita perbaiki. Jadi, sejarah Indonesia itu baru bisa dikatakan sebagai sejarah Indonesia yang sebenarnya adalah sejak 1850. Sebelum itu adalah pra Indonesia.

Kita memiliki MSI (Masyarakat Sejarah Indonesia), perkara ada kata PKI dibelakang G30S saja ribut. Mengapa itu yang diributkan? Apa dikira kalau ada kata PKI dunia Indonesia ini kiamat? Lihatlah, hitunglah dari tahun 1966, berapa lama? 41 tahun. Apakah ada orang-orang bekas PKI yang membuat huru-hara? Tanya pada polisi, apakah ada orang-orang PKI yang merampok? Apakah ada yang menjadi penyelundup? Mereka sudah finish. Saya jadi teringat kepada formulasi Yuyun Sumasumantri. Ada empat kategori manusia. Pertama, yang tahu ditahunya, itu bagus; kedua, yang tidak tahu ditahunya, itu aneh; ketika, yang tahu ditidaktahunya, itu juga bagus. Paling sial yang keempat, orang yang tidak tahu ditidaktahunya. Kita ini masuk yang mana? Kalian bisa menilai sendiri-sendiri.

Perjalanan kita sejak Sumpah Pemuda hingga hari ini itu apa saja dan bagaimana? Sebelum Sumpah Pemuda, Soekarno mendirikan partai politik di Bandung, namanya PNI (Partai Politik Nasional). Tujuannya jelas, untuk mencapai kemerdekaan. Sikapnya juga jelas, non koorperatif terhadap pemerintah kolonial. Sebelumnya, tahun 1920 PKI muncul dan berdiri. Dalam kongresnya tahun itu di Semarang mengambil dua keputusan. Pertama, bergabung dengan Komintern (Komunis Internasional); dan kedua, bersikap kooperatif terhadap pemerintah kolonial. Itulah yang terjadi. Silahkan kalian menilainya. Saya ini bukan orang yang suka menjelek-jelekkan atau membagus-baguskan. Saya suka lurus dan benar. Lurus itu tidak selingkuh, benar itu seperti yang terjadi. Kita tahu PKI enam tahun kemudian—meskipun resmi mengambil sikap kooperatif—dia memberontak pada tahun 1926. Digulung oleh Belanda: dihukum digantung, dihukum ke Digul, dan dipenjara. Ketika Soekarno ditangkap untuk kesekian kalinya dan penjara, pemimpin PNI yang lain ini beranggapan bahwa keputusan pengadilan Belanda itu membuka kemungkinan menangkapi pemimpin-pemimpin PNI yang lain. Pada waktu itu mereka menyimpulkan, bubarkan saja PNI. Ada dua orang yang tidak setuju pada sikap itu, yaitu Hatta dan Sjahrir. Oleh sebab itulah mereka mendirikan partai lagi dengan singkatan PNI juga, yaitu Pendidikan Nasional Indonesia. Belanda tidak bodoh, karena mengtahui tujuan organisasi itu, sehingga Hattan dan Sjahrir pun dibuang ke Digul. Soekarno keluar dari penjara setelah berdiri Partindo, dan kemudian Soekarno pun aktif di Partindo. Belanda menangkap lagi Soekarno dan diasingkan ke Ende. Dari Enda dipindahkan ke Bengkulu. Itu perjalanan sampai akhirnya Jepang mendarat di Indonesia.

Jepang mendarat di Banten pada 4 Maret 1942. Empat hari kemudian tentara Belanda menyerah tanpa syarat, tanpa membalas tembakan sekalipun, tanpa bertempur. Sebuah tentara di manapun jika berhadapan dengan musuh yang menyerbunya tidak melawan dan hanya kabur terbirit-birit, menyerah, menurut saya itu tentara yang hina dina secara universal. Ada satu masalah yang sampai sekarang ini tidak pernah dipersoalkan—bukan untuk mencari siapa salah siapa benar, tapi untuk mencari yang terjadi seperti apa—yaitu sejarah. Sejarah itu ialah pencatatan tentang peristiwa-peristiwa penting yang menyangkut orang banyak, ditulis secara lurus dan benar. Lurus, tidak boleh selingkuh; benar, seperti yang terjadi. Tentang penilaian, terserah yang hadir. Apakah mau disukai, tidak disukai, mau disalahkan, mau dibenarkan, terserah. Perwira-perwira tentara KNIL itu menjadi petinggi-petinggi di Indonesia. Kenapa orang Jepang tidak menangkap mereka, itu aneh. Dikatakan aneh, karena tentara Jepang adalah tentara kekuatan musuhnya. Tapi itu tidak terjadi, malah mereka mendapatkan jabatan pada jaman Jepang. Nah, mengapa itu terjadi, saya sendiri tidak tahu. Itu pekerjaan rumah kalian jika mau tahu. Cari tahu mengapa. Itu petinggi-petinggi, tidak main-main: Urip Sumodiharjo, jenderal; Nasution, jenderal (lulusan PMA, militer di Bandung), dan sejumlah perwira lainnya. Itu penting diungkap, bukan untuk mengungkit-ungkit, menggugat-gugat, tapi untuk mencari tahu mengapa itu terjadi. Kalau ada manfaat di situ kita tangguk, tapi kalau ada masalah di situ jangan diulangi. Kalau saya mengatakan orang yang menandatangani prolamasi pada 17 Agustus 1945 dini hari, lalu sekitar empat tahun kemudian dia menerima penyerahan kedaulatan dari Kerjaan Belanda, dari Ratu Belanda, katakan apa itu namanya: baguskah, tidak baguskan, terserah kalian menilainya. Bagi saya, tidak bagus! Buat apa saya tanda tangani proklamasi kalau ujung-ujungnya saya mau tanda tangan lagi menerima kedaulatan dari Kerajaan Belanda. Itu kenyataan.

Saya berharap, ke depan kita mulai membaca kenyataan seperti kenyataan itu sendiri, jangan diselingkuhkan, jangan dipelinyir-pelintir demi apapun, sebab kebenaran adalah kebenaran. Barangkali karena keselingkuhan-keselingkuhan di masa lalu itulah kita jadi terpuruk ke dalam suatu keadaan seperti sekarang yang nyaris apapun buntu. Pembangunan buntu, moneter buntu, industri buntu. Mencari gas dan minyak, yang keluar malah lumpur hingga merendam desa-desa orang. Kemana-mana buntu. Kalau mau menolong orang miskin dengan raskin (beras miskin) sebanyak 20 kilogram satu bulan, dengan harga seribu per kilogram, dalam kenyataannya tidak sebanyak dua puluh kilogram. Saya katakan begitu, karena saya memperoleh raskin. Kenyataannya hanya lima kilogram. Paling tinggi tujuh kilogram. Subsidi 300 ribu per keluarga miskin, orang yang mendapat jatah bicara pada saya: “iya, tanda tangannya 300 ribu, tetapi yang saya terima hanya 150 ribu.” Kemana yang lainnya? “Dipotong.” Buat apa? “Biaya-biaya,” katanya. Mengapa masyarakat mau? Nah, di sini persoalan.

Ada hal yang elementer, barangkali saya ditertawakan kalau mengatakan ini, tapi tak apa-apa. Kalian semua diwajibkan membuat KTP bukan? Kalau tidak membuat, ada sanksinya. Ada razia, ditangkap. Si A menyuruh si B membuat sesuatu, kemudian si A mengatakan jika tidak awas kamu, dan bayar oleh kamu! Nah, yang menyuruh membuat KTP, menyuruh membayar juga. Harganya pun bukan harga yang sebenarnya, karena berlipat-lipat. Apa namanya yang seperti itu? Kalau kau menyuruh orang menggosok sepatu atau sepeda motormu, kan kamu yang bayar orang itu. Tapi ini tidak, kamu dirusuh sekaligus diminta membayar. Itulah berlangsung. Masyarakat-bangsa ini mau diperlakukan seperti itu.

Di era kolonial para pemimpin kita itu hebat. Saya menghormati mereka. Siapa mereka itu? Kihajar Dewantara, Tan Malaka, Setiabudi, berturut-turut pada generasi berikutnya sampai ke Soekarno, Hatta, Sjahrir, Amir Syarifudin, Mohamad Yamin, Samratulangi, Dr. Mansur dan lain-lain. Orang-orang itu kalau hanya mau hidup senang dengan Belanda, mereka cukup dan mudah. Gaji besar, minimum 300 Gulden satu bulan ketika harga beras 4 sen satu liter. Kalau ekuivalen dengan beras, berapa itu, bisa dihitung sendiri. Itu belum termasuk fasilitas. Ibrahim (Tan Malaka) itu bekerja dengan gaji 300 Gulden dengan fasilitas-fasilitas dan hak-haknya dipersamakan dengan orang Belanda. Tapi mereka tidak memilih itu. Mereka menepiskan itu dan terjun ke dalam pergerakan nasional, berlanjut dengan perjuangan. Itulah mereka. Nah, saya menamakan mereka itu kaum terpelajar yang sehat dan patriotik. Itu saya hormati.

Tetapi, setelah Jepang datang; fasis Jepang menduduki Hindia Belanda, mereka bekerjasama dengan Jepang. Tidak semua. Sutan Sjahrir tadinya tidak mau bekerjasama dengan Jepang, walaupun ujung-ujungnya dia juga mengajar di sebuah badan (lembaga) buatan Jepang dengan dalih karena Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia. Dalam nalar saya ketika itu, lho kemerdekaan kok diberi oleh Jepang? Bukankah kemerdekaan itu milik sendiri, harus diambil sendiri? Kalau kemerdekaan pemberian, kedengaran aneh buat saya waktu itu. Yang namanya diberi itu di bawah tangan. Tidak ada yang diberi itu tangannya di atas. Yang menerima itu tangannya di bawah. Itulah perselisihan yang timbul ketika itu: antara para senior dengan paramuda—yang isinya adalah pemuda dan mahasiswa. Saya terlibat di situ. Saya masih “anak bawang”ketika itu. Usia saya masih 19-an tahun. Setelah berdebat soal proklamasi, akhirnya kelompok senior mau memprolamirkan kemerdekaan. Sehari setelah itu UUD disahkan, pemerintahan dibentuk. Kabinet waktu itu terdiri dari 8 menteri. Kita tidak tahu lagi apa yang dilakukan oleh pemerintah. Saya dengan kawan-kawan waktu itu menyerbu Jepang, mengambil alih stasiun kota, stasiun trem. Di Kramat Raya diambil alih, Manggarai diambil alih. Ada komite van aksi waktu itu. Dulu memakai istilah “van”, karena kebanyakan adalah lulusan sekolah Belanda. Komite dari aksi: komite van aksi. Ketuanya adalah Chairul Saleh, wakil ketuanya Johar Noer. Nah, kita yang bertindak ketika itu, sampai-sampai si paramuda itulah yang berpikir kita sudah merdeka dengan proklamasi, sudah punya UUD 1945, sudah punya kabinet—yaitu pemerintahan—kok tidak memiliki tentara?

Tiga orang di antara paramuda itu—pemuda Menteng 31—menghadap Menteri Pertahanan Amir Syarifudin di jalan Cilacap untuk mendesak supaya segera dibentuk tentara Indonesia, karena kita sudah merdeka. Itu terjadi bulan September tahun 1945, sekitar sebulan setelah proklamasi. Kita tidak tahu apa yang dipikirkan oleh senior-senior yang sudah jadi presiden, wakil presiden, menteri—apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka rencanakan—ketika itu. Kita hanya melihat bahwa kita sudah memiliki negara, sudah merdeka, maka harus memiliki tentara. Kita desak, disampaikan pada Amir Syarifudin. Setelah itu pada tanggal 5 Oktober 1945 keluarlah Dekrit Presiden: membentuk Barisan Keamanan Rakyat (BKR), bukan tentara. Ketika itu saya tidak tahu apa alasannya. Belakangan ada justifikasi supaya kita tidak dianggap agresor, tidak dianggap agresif oleh sekutu. Dimana-mana negara itu memiliki tentara, kecuali Monako barangkali. Kami mulai kecewa waktu itu. Kecewa terhadap para pemimpin senior. Lalu datanglah perintah-perintah yang menyusul kemudian—kebetulan waktu itu saya ada di Bandung, tapi bulannya lupa—kami disuruh mundur, meninggalkan kota Bandung. Kita itu bukan kalah dalam pertempuran oleh tentara Belanda. Mereka (tentara Belanda-ed) duduk-duduk di sana, minum kopi, kita disuruh mundur. Siapa yang menyuruh? Pemerintah kita sendiri.

Setelah Proklamasi, kelompok Menteng 31, di mana saya bergabung menjelma menjadi API (Angkatan Pemuda Indonesia). Selanjutnya API menjelama menjadi Laskar Rakyat Jakarta Raya, yang kemudian melebar lagi menjadi Laskar Rakyat Jawa Barat. Itu proses dalam masyarakat. Dalam pemerintahan yang terjadi dari perundingan ke perundingan, mundur ke mundur. Mengapa begitu? Ini revolusi! Kenapa saya katakan revolusi? Ketika kita diperintah mundur dari Bandung, pemerintah sendiri, pemerintah kita—bukan diperintah oleh Belanda—yang mundur itu bukan pasukan-pasukan bersenjata, tapi rakyat. Mereka ikut mundur, ikut pergi, tidak mau hidup di bawah kekuasaan Belanda. Itu salah satu indikator penting bahwa rakyat bangkit membela kemerdekaan, bangkit membela proklamasi. Kebangkitan itu oleh pemimpin-pemimpin kita diredam, disuruh mundur, toh menurut: mundur berbondong-bondong penduduk Bandung menyeberangi sungai Citarum, meninggalkan harta kekayaan. Bayangkan itu! Harta benda yang mereka kumpulkan semumur-umur ditinggalkan saja, karena memihak kemerdekaan, memihak Nagara Republik Indonesia. Tidak mau di bawah Belanda. Tapi pemimpin kita tidak membaca itu. Itu bukan hanya di Bandung, di Semarang, Surabaya, Makasar, Medan, Menado, dimana-mana seperti itu. Bukankah itu suatu kebangkitan dari masyarakat?

Nah, pertanyaannya, mengapa masyarakat bisa bangkit seperti itu? Apa datang wahyu dari langit, atau bagaimana? Saya berpendapat, itulah hasil, buah kerja para pemimpin kita di era kolonial. Kalau dihitung dari 1912 sampai 1942, 30 tahun tidak henti-hentinya mereka—walaupun bermacam-macam partai dan organisasinya—tapi satu arah melawan penjajahan. Caranya beragam: ada yang keras brontak, tegas, serta yang lunak dan lembek pun ada. Tapi semua itu satu arah. Umar Said Tjokroaminoto dari Sarekat Islam menyatakan: tidak boleh lama lagi kita menjadi sapi perah yang hanya diambil susunya dan diberi makan oleh Belanda yang jauhnya ribuan kilometer. Itu satu. Beberapa tahun kemudian kongres Sarekat Islam membuat keputusan: berjuang melawan kapitalisme yang zalim. Itu kongres Sarekat Islam di tahun 1920-an.

Nah, kalau sekarang, yang saya dengar dan membaca koran, gerakan Islam berjuang melawan komunis. Sampai-sampai dihalalkan darahnya. Saya jadi berpikir, mengapa bangsaku ini bisa begitu? Siapa yang mengajari seperti itu? Dulu tahun 1945 itu rukun saja semua. Entah dia Hisbullah, Sabililah, BPRI (Barisan Pemberontak Republik Indonesia), pasukan Istimewa, API, Laskar Rakyat, RIS, rukun melawan penjajah. Jadi, satu garis, satu benang merah, bahwa kebangkitan masyarakat itu digugah oleh para pendahulu kita dulu. Ada formulasi bagus dari seorang pemimpin kita waktu itu: rakyat Indonesia bagaikan ayam yang mati di lumbung padi. Negeri ini subur, kaya sumber-sumbernya, kita melarat. Itu pemimpin-pemimpin kita dulu. Itu ucapan Soekarno dulu, di era kolonial. Tapi belakangan, ketika musim tari lenso—dipopulerkan oleh Soeharno—sampai orang-orang dari ormas, tokoh-tokoh politik dianjurkan untuk berlenso. Ada lirik lagu: “di Indonesia banyak makanan”. Itu saya plesetkan: “di restoran banyak makanan”. Dipanggil saya karena itu, dimarahi: “bikin kacau kamu, ya!” Memang betul. Di restoran yang banyak makanan. Di kampung-kampung susah, orang harus bekerja dulu: terima upah, baru beli beras.

Pemimpin kita yang begitu hebat ketika melawan kolonial, mengapa menjadi begitu jinak ketika menghadapi tentara Belanda yang dibantu oleh sekutu setelah merdeka? Mengapa itu, mengapa? Tidak pantas itu. Kehebatan, ketahanujian, pengorbanan ketika melawan kolonial begitu hebat. Tapi setelah menjadi presiden, menteri, kok menjadi jinak? Sutan Sjahrir itu menandatangani Perjanjian Linggarjati, tahun 1946. Isinya pasal pertama yang saya ingat: “wilayah kekuasaan de facto—tanpa kekuasaan de jure—Republik Indonesia: Jawa, Madura dan Sumatera. Itu yang ditandangani. Itu yang diterima. Padahal sebelum Sjahrir itu ke Digul. Mengapa mendadak sontak jadi jinak seperti itu? Saya ketika itu berada di pihak yang menolak perjanjian itu. Jadi, apa boleh buat, saya jadi buronan republik. Menyusul setelah itu Perjanjian Renville juga begitu. Kekuatan tentara kita di kantung-kantung gerilya di pulau Jawa ini harus keluar dari kantung-kantung gerilya, berkumpul ke Yogyakarta semua. Saya termasuk dalam kelompok yang menolak itu. Kalau mau bukan kita yang keluar, tapi itu Belanda yang pergi dari ini. Nah, mengapa pemimpin kita sampai begitu? Why? Mengapa mereka yang dulu begitu perkasa di era kolonial menjadi jinak seperti tidak punya tulang punggung? Haah-heeh saja pada Belanda. Ketika itu saya masih muda, jengkel sekali. Apalagi ketika KMB. Coba kalian pikir, kau tandatangani sebuah perjanjian, terus kautandatangani sesuatu yang menganulir yang ditandatangan pertama, apa itu namanya?

Nah, sejarah tentang itu tidak diungkap. Saya tidak mempersalahkan orang-orang yang sampai sekarang memuja-muja Hatta, memuja-muja Sjahrir, silahkan. Akupun memujanya, tapi Sjahrir yang mana, Hatta yang mana? Hatta yang ketika sekolah di Belanda aktif dalam Liga Anti-Kolonial. Itu Hatta yang hebat. Tapi Hatta yang menandangani KMB, maaf. No way! I do not respect it! Jadi saya itu proporsional. Saya tidak mau berpikir absolut. Kalau bagus itu bagus saja dari ujung sampai ujung. Tidak ada di dunia yang seperti itu. Kalau baca perjanjian KMB, yang saya ingat saja: itu utang-utang Belanda selama menyerang kita bertahun-tahun harus dibayar oleh kita. Terus tentara kita, TNI harus dicampur aduk dengan KNIL. Karena itu saya tidak suka, dan saya letakan. Saya bersedia menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia), tapi tentara RIS (Republik Indonesia Serikat-ed) sama sekali tidak. Saya mundur. Nah, itu perjalanan kita.

Saya sendiri sudah lama minta tolong beberapa kawan untuk dicarikan naskah-nasakah perjanjian itu: Linggarjati, Renville, KMB yang otentik, supaya bisa dibaca, bisa dipelajari, bisa ditangguk pengalaman dari situ. Kalau ada yang baik bisa diambil, kalau ada yang buruk kita tinggalkan, jangan diulangi. Hanya untuk itu! Tadi saya berkata seperti itu bukan saya menjelekan Hatta. Saya hanya bertanya, mengapa kamu yang begitu hebat dulu di negeri Belanda sampai ditangkap oleh Belanda karena anti-kolonial, di Indonesia gara-gara menentang kolonialisme ditangkap dan dibuang ke Digul, tapi mengapa sekarang loyo begitu, main tanda tangan saja perjanjian yang menguntungkan Belanda. Itu pertanyaan besar. Apa sebabnya, saya sendiri belum bisa jawab. Tapi, terjadilah seperti itu. It was happen like that?

Nah, itu perjalanan. Tanpa mempelajari perjanjian ini (Perjanjian Linggarjati, Renville, dan KMB) omong kosong kita mempelajari pemerintahan negara Indonesia. Apa yang mau dipelajari: puji-memuji, hebat-menghebat, puja-memuja, gitu-gituan saja? Itu sama dengan “si buta dan si gagu”. Menurut saya itu tidak baik. Kalian harus lebih mengerti dan lebih tahu mengapa semua itu terjadi, bagaimana sampai terjadi. Kalau kita membuat perbandingan sedikit, kita ambil contoh negeri yang kecil: luasnya lebih kecil, jumlah penduduknya juga lebih kecil dari kita—jauh lebih kecil—dijajah oleh Prancis, Prancis dia lawan. Dia tidak menempuh jalan kompromi, tapi dia menempuh jalan perjuangan. Rakyatnya bangkit, melawan, kalah Prancis. Benteng yang dibangga-banggakan Prancis Dien-dien Fu itu direbut oleh mereka, dan jenderalnya ditangkap di situ. Karena wilayah itu strategis menurut pandangan tuan-tuan modal, tidak bileh lepas itu. Datanglah tentara Amerika ke sana. Enam sampai tujuh ratus ribu jumlahnya dikirim ke tempat itu, ke negeri itu untuk menghancurkan gerakan kemerdekaan. Apa yang terjadi? Karena mereka menempuh jalan perjuangan, mereka membaca kesadaran rakyat, kebangkitan rakyat, serdadu Amerika itu terbirit-birit kabur dari situ walaupun jumlahnya 700 ribu orang. Nah, kita sebesar ini, seluas ini, 70 juta waktu itu kita punya penduduk, hanya dengan 100 ribu tentara Belanda diem. Kok kita mendek-mendek. Mengapa pemimpin-pemimpin jadi begitu? Aneh sekali. Saya serahkan pada kalianlah untuk mencari jawabnya. Mereka yang begitu hebat terus mendek-mendek hanya dengan 100 ribu tentara Belanda. Total itu yang bule dan kulit hitam—KNIL dan KL. Sedangkan mereka di sana 700 ribu tentara Amerika yang persenjataannya jauh lebih hebat dari tentara Belanda toh mereka bisa atasi.

Nah, dari sana saya mencoba-coba untuk membuat sebuah hipotesis: suatu revolusi kalau dikompromikan, maka revolusi itu bunuh diri. Itulah yang terjadi. Itu yang terjadi di Prancis, revolusinya dikompromikan, habislah: Montesque, Dante digueletin semua. Padahal mereka itu adalah pencetus revolusi. Kalau di sini tidak sampai digueletin, karena tidak ada digueletin, tapi ditembaki. Gara-gara menolak perjanjian Linggarjati diserbu dan ditembak. Gara-gara menolah Perjanjian Renville diserbu, ditangkap, dan ditembak di tempat. Jadi, main tembak mati di tempat itu bukan Soeharto saja, sudah ada jauh sebelumnya.

Itu perjalanan. Untuk apa itu semua? Supaya kita tahu di mana benarnya di mana salahnya. Salahnya jangan diulangi, benarnya bisa diteruskan. Seperti yang ditulis oleh Utuy Tatang Sontani tentang Sangkuriang: ketika Sangkuriang mati, Dayang Sumbi mati, semua menangis, maka datanglah lengser dan berkata, “sudahlah, jangan ditangisi lagi, tidak hidup lagi yang mati”. Sekarang tinggal yang jeleknya kita tunda, yang baiknya tuluy keneun sarerea (tinggal diteruskan oleh semua). Nah, itu formulanya. Jadi saya hanya mengemukakan fakta-fakta, kejadian-kejadian dan proses berlangsungnya.

Terakhir, kita punya Undang-Undang Dasar. Saya bertanya kepada diri saya sendiri: mengapa kalangan terpelajar kita hari ini tidak membahas Undang-Undang Dasar? Sekalinya dibahas untuk diobok-obok. Mengapa timbul kemalasan di situ? Saya tidak tahu itu mengapa. Padahal isinya itu—berulang-ulang harus saya sitir, harus diulangi lagi mentang-mentang saya duduk di Dewan Konstituante, badan perancang konstitusi negara—semua orang bisa baca kalau mau. Kok saya tidak pernah dengar ada kelompok diskusi membahas apa Undang-Undang Dasar kita itu. Baca, diskusikan, apa ini artinya ini, dan apa itu artinya. Akibat kelalaian—kalau boleh disebut kelalaian—sekarang ini sudah 3600 lebih undang-undang dan perda-perda yang dibuat tidak sesuai dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Karena kalian tidak mau membahas Undang-Undang Dasar, ya sudah, dilangkah-langkahi, dibiarkan saja, diam-diam saja. Itu persoalan kita sekarang. Kalau memang betah seperti itu saya tidak apa-apa, up to you, up to all of you.

Catatan: Tulisan ini merupakan transkrip presentasi yang disampaikan Samsir Mohamad dalam diskusi "Sumpah Pemuda dan Nasionalisme Indonesia" yang diselelenggarakan pada tanggal 05

Tidak ada komentar:

Posting Komentar