Selasa, 21 Desember 2010

Revolusi Permanen



Teori revolusi permanen tidak hanya sekadar teori. Ini merupakan pondasi bagi perspektif Marxis untuk revolusi di negara-negara terbelakang seperti Rusia pada jamannya Lenin dan Trotsky, dan masih relevan hingga hari ini. Sebuah teori akan berarti jika teori tersebut membantu untuk menaksir arah perkembangan dan mempengaruhinya secara berguna. Teori revolusi permanen terbukti telah dikonfirmasi dalam Revolusi 1917 di Rusia.

Teori revolusi permanen juga bukan suatu spekulasi metafisik, tetapi sebagai usaha untuk menanggapi persoalan yang paling dramatik di jaman ini: bagaimana negara ketiga bisa memecahkan masalah-masalah sosial yang mengerikan akibat dominasi ekonomi dan politik dari negara-negara kapitalis, dan bagaimana caranya bisa lepas dari kemiskinan, kediktatoran, rezim oligarkis, dan dominasi asing?

Gagasan revolusi permanen muncul untuk pertama kali dalam tulisan-tulisan Trotsky mengenai gelombang revolusioner dari 1905 -1906 di Rusia. Tesis-tesis Trotsky mengenai sifat dari revolusi ini mengangkat perpecahan radikal dengan ide-ide dominan dalam Internasional Kedua mengenai pelaku utama yang akan membentuk masa depan Rusia. Dalam pandangan politik kaum Marxis "ortodoks" di Rusia dan Eropa, masa depan untuk revolusi Rusia, secara tak terelakkan akan mengambil karakter demokratik borjuis: menghancurkan Tsarisme, mendirikan sebuah republik yang demokratis, melenyapkan sisa-sisa feodal di daerah pedesaan, dan distribusi tanah untuk kaum tani. Semua faksi dari Sosial Demokrasi Rusia menggunakan presuposisi sebagai pijakan yang tak dapat dibantah. Tetapi, kemudian pertanyaannya, kelas manakah yang akan memimpin penyelesaian tugas-tugas demokratik ini?

Trotsky adalah yang pertama dan satu-satunya seorang Marxis yang selama bertahun-tahun mempertanyakan dogma suci Marxis ini. Trotsky, sebelum tahun 1917, sendirian dalam melihat jauh ke depan tidak hanya peran kepemimpinan dari gerakan buruh dalam revolusi Rusia, tetapi juga kemungkinan prospek perkembangan dari revolusi demokratik ke revolusi sosialis.

Sepanjang tahun 1905, Trotsky di sejumlah artikelnya, merumuskan teori revolusi permanen ini. Kemudian teori ini disistematisasi dalam sebuah pamflet Hasil dan Prospek (1906). Dalam artikel itu, Trotsky menjelaskan bahwa kaum buruh elemen paling progresif yang mampu memimpin revolusi di Rusia dan hanya kaum buruh lah yang mampu memainkan peran kepemimpinan di dalam revolusi.

Berkenaan dengan tugas-tugasnya yang segera, Revolusi Rusia adalah sebuah revolusi borjuis. Tetapi kaum borjuis Rusia merupakan kelompok yang kontra-revolusioner. Oleh karena itu, menurut Trotsky, kemenangan revolusi hanya mungkin bila dipimpin oleh kelas buruh dengan dukungan kaum tani. Kaum proletar yang telah naik ke tampuk kekuasaan sebagai pemimpin revolusi demokratik secara tak terelakkan dan dengan segera dihadapkan pada tugas-tugas, yang pemenuhannya terikat sangat dalam dengan hak kepemilikan pribadi borjuis. Revolusi demokratik berkembang menjadi revolusi sosialis dan oleh karena itu menjadi sebuah revolusi yang permanen. Inilah gagasan inti dari teori revolusi permanen yang diformulasikan oleh Trotsky pada tahun 1905. Dan sejak itu diekspos di bawah nama "Trotskyisme" dan menjadi perdebatan panjang di kalangan kaum Marxis.

Di dalam perjuangan kaum revolusioner di negera-negara terbelakang, seperti Indonesia, dalam melawan globalisasi neo-liberal, melawan institusi-institusi finansial dunia (Bank Dunia, IMF, ADB), teori revolusi permanen menjadi sangat relevan. Lambaian ilusi-ilusi dari kaum nasionalis mengenai kemungkinan membangun industri nasional yang kuat, membangun aliansi strategis dengan kaum militer nasionalis, membangun koalisi yang luas dengan semua kelas yang mendukung pembangunan ekonomi madiri, membangun pasar internal, harus segera ditinggalkan. Teori revolusi permanen memberikan pemahaman kualitatif bagi kita untuk keluar dari ilusi-ilusi tersebut dan menyelesaikan persoalan-persoalan nasional dengan jalan revolusi.

Revolusi bisa diartikan sebagai pergantian tatanan sosial. Revolusi memindahkan kekuasaan dari tangan kelas yang kalah karena kehabisan tenaga kepada kelas yang menang yang berada di atas kekuasaan. Pemberontakan merupakan saat yang paling tajam dan kritis dalam sebuah pertarungan untuk merebut kekuasaan. Pemberontakan dapat mencapai kemenangan yang sesungguhnya hanya ketika pemberontakan tersebut berbasis pada sebuah kelas yang progresif yang mampu menggerakkan kekuatan seluruh rakyat untuk berkumpul, dan di era sekarang ini hanya kelas buruh lah yang mampu melakukan ini karena posisi sosial dan ekonominya. Kelas borjuis nasional, karena terikat dengan kapitalis asing dan feodalisme, bahkan tidak bisa menyelesaikan revolusi demokratik yang notabene seharusnya menjadi tugas historis mereka.

Menurut Trotsky, revolusi bisa terjadi dengan dua cara: oleh sebuah bangsa yang bersatu seperti seekor singa yang siap menerkam, atau oleh perjuangan kelas yang kuat yang berusaha untuk membebaskan dirinya. Bangkitnya massa adalah hal yang utama dalam sebuah revolusi. Tetapi kebangkitan massa bukanlah tindakan yang serta merta, yang bisa diciptakan hanya dalam waktu sehari atau sebulan, tapi butuh waktu yang cukup untuk mengungkitnya.Kebangkitan massa juga mempresentasikan sebuah elemen yang terkondisi secara objektif dalam perkembangan sebuah revolusi, sebagaimana sebuah revolusi mempresentasikan sebuah proses terkondisi secara objektif dalam perkembangan masyarakat. Tetapi jika kondisi-kondisi untuk kebangkitan diperlukan, massa tidak begitu saja menunggu secara pasif, tetapi cepat bertindak dan bergerak di kancah pertarungan revolusioner, seperti yang tengah terjadi di Venezuela.

Terkait dengan teori revolusi permanen, pernyatan-pernyataan sinis mengenai kebangkitan kaum proletar dalam sebuah negara yang secara historis terbelakang akan segera bisa ditanggalkan. Sebagaimana yang ditulis Trotsky pada tahun 1905, bahwa di dalam sebuah negara yang ekonominya terbelakang, kaum proletar dapat mencapai kekuasaan lebih awal dari pada negara kapitalis yang maju. Dan untuk sampai pada sosialisme, kekuatan-kekuatan progresif yang ada harus melampaui batas-batas nasionalnya. Sebuah masyarakat sosialis tidak mudah dikerjakan dalam ruang lingkup perbatasan-perbatasan nasional. Karena “sosialisme di dalam satu negara" adalah utopia dari kaum borjuis kecil.

Teori revolusi permanen seringkali dipahami dengan sangat dangkal – suatu kondisi yang kacau, penuh dengan pergolakan, dan tidak berujung – dan sering dianggap sebagai utopia dari kaum Trotskyis. Padahal, teori ini merupakan upaya untuk melengkapi tulisan-tulisan dari Marx dan Engels, dan suatu teori yang akan memberi petunjuk kaum revolusioner guna mewujudkan cita-cita sosialisme yang sejati.

Kaum revolusioner di berbagai negara, termasuk Indonesia, seringkali terjebak pada perjuangan dengan tuntutan-tuntutan yang artifisial, parsial dan pragmatis. Seperti terjebak pada program-program klise nasionalisme kelas borjuis: berjuang untuk demokrasi dan penegakan hukum; berjuang untuk kemandirian bangsa; berjuang untuk hak-hak atas tanah, dan lain-lain.

Dengung perjuangan dari kaum “kiri” Indonesia untuk pembebasan nasional, pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan, revolusi agraria, dan semacamnya, tidak akan membawa ke arah sosialisme kalau tidak dilengkapi dengan perspektif pengambilalihan kekuasaan oleh rakyat pekerja dengan dukungan kaum tani. Kemenangan sejati bagi rakyat Indonesia akan tercapai dengan mengambil alih kepemilikan imperialis beserta kroni-kroninya melalui jalan revolusi.

Gerakan-gerakan revolusioner untuk sosialisme sering dirintangi oleh gerakan-gerakan reformis. Fakta obyektif hari ini, kaum sosialis revolusioner tengah dibayang-bayangi oleh cara-cara berpikir reformis: membangun aliansi bersama untuk perjuangan anti-imperialis tanpa harus membangkitkan tuntutan sosialis; berjuang hanya di wilayah mereka masing-masing; mendengungkan jargon-jargon “demokrasi” (baca demokrasi borjuis); berjuang dengan menyelinap di dalam gedung parlemen atau istana.

Perbedaan orientasi politik antara kaum reformis dan kaum revolusioner akan terlihat di sini. Perbedaan ini juga akan membawa kepada perbedaan format perjuangannya. Kaum reformis akan menyerukan demonstrasi massa besar-besaran, dan kalau perlu menciptakan kekacauan dalam aksi besar tersebut. Tetapi mereka akan berpikir seribu kali untuk meneriakkan pemogokan, pendudukan pabrik oleh buruh, perampasan tanah oleh petani, dan revolusi sosialis. Dan mereka akan, jika revolusi terjadi, dengan cepat menghadang kekuatan dari organisasi-organisasi buruh atau petani.Akhirnya, masalah pembebasan dan tugas-tugas revolusi tidak bisa dibebankan di atas pundak kaum borjuis ataupun kaum reformis. Kapitalisme tetap menjadi sistem dunia. Kapitalisme telah berhenti memenuhi fungsi esensialnya; meningkatkan level kekuatan dan kesejahteraan manusia. Kemanusiaan tidak dapat bartahan dalam keadaan stagnan pada level yang telah dicapai. Hanya dengan organisasi produksi dan distribusi sosialis yang bisa memberi jaminan kemanusiaan sepenuhnya dan segera membebaskan diri dari kekuatan-kekuatan buta hukum-hukum pasar.

Dari penjabaran fakta-fakta di atas, teori revolusi permanen Totsky benar-benar mendapati ruangnya. Pertanyaan mengenai “kelas mana yang akan mendominasi pemerintahan sementara” dan “seberapa cepat kaum proletar mampu menyelesaikan tugas-tugas demokratik menuju langkah-langkah sosialis”, Trotsky menjawabnya dengan tegas: “Kaum proletar yang berkuasa akan berdiri di depan kaum tani sebagai sebuah kelas yang telah membebaskan mereka.... Kaum proletar akan memulai reformasi-reformasi ini yang terkandung di dalam apa yang disebut program minimum; dan langsung dari sini, logika posisinya akan mendorongnya ke kebijakan-kebijakan kolektivisme.” (Revolusi Permanen, hal 60, 91)

Trotsky, lewat teorinya telah menampilkan cara pandang yang maju dalam memahami arah dan proses perjuangan untuk cita-cita revolusi, di mana penyelesaikan tugas-tugas revolusi borjuis haruslah secara simultan memberi tempat bagi mulainya revolusi sosialis. Tidak ada kata “interupsi” dalam penyelesaian tugas-tugas demokratik dan tugas-tugas sosialis.

Dalam postulat-postulat dasar dari teori revolusi permanen yang ditulis Trotsky di bagian akhir karyanya (Revolusi Permanen), akan memberikan petunjuk penting dan merupakan teori yang masih relevan sangat bagi perjuangan kaum revolusioner masa depan dalam meraih kemenangan sosialis yang sejati. Postulat-postulat dasar tersebut secara ringkas bisa disimpulkan sebagai berikut:
1.      Revolusi sosialis memiliki karakter internasional. Revolusi sosialis dimulai di dalam arena nasional, kemudian menyebar dalam arena internasional, dan diselesaikan dalam arena dunia.
2.      Menghapus kategori negeri-negeri “belum matang” untuk sosialisme, tiap-tiap negeri yang berbeda akan melalui proses tersebut dalam tempo yang berbeda,
3.      Solusi utuh dan sejati dari tugas-tugas mereka untuk mencapai demokrasi dan emansipasi nasional hanya dapat dicapai melalui kepemimpinan proletariat sebagai pemimpin bangsa yang tertindas.
4.      Masalah distribusi tanah dan masalah kebangsaan memberikan kepada kaum tani sebuah posisi yang luar biasa dalam revolusi demokratik dalam aliansinya dengan kaum proletar.
5.      Aliansi revolusioner antara kaum proletar dan kaum tani hanya dapat terjadi di bawah kepemimpinan politik dari kaum pelopor proletariat yang terorganisir di dalam Partai Komunis.
6.      Revolusi demokratik akan berkembang secara langsung menjadi revolusi sosialis dan oleh karena itu menjadi sebuah revolusi permanen.
7.      Penaklukan kekuasaan oleh proletariat belum menyelesaikan revolusi, namun hanya membukanya.
Indonesia bukan Rusia

Sejak diterbitkannya buku Revolusi Permanen di Indonesia beberapa waktu lalu, beberapa tanggapan telah dilontarkan yang isinya adalah kurang lebih: Revolusi Permanen tidaklah cocok untuk Indonesia dan bahwa rumus baku Revolusi Permanen tidak memperhatikan kondisi objektif dan konteks politik Indonesia yang unik. Kawan Rudi Hartono dari Partai Rakyat Demokratik (PRD/PAPERNAS ) dan kawan Danial Indrakusuma dari Komite Rakyat Miskin-PRD, keduanya boleh dibilang ahli teori dari kedua organisasi tersebut, mengambil posisi yang serupa seperti tertera di atas tetapi dari sudut pandang yang agak berbeda. Artikel ini akan lebih mengfokuskan pada pendekatan kawan Rudi, terutama balasannya untuk “Pengantar Untuk Revolusi Permanen Edisi Bahasa Indonesia” tertanggal 5 Januari 2009 di milis sastra-pembebasan.

Masalah prospek revolusi Indonesia dan arah yang harus diambil adalah masalah yang serius dan artikel ini bukan dimaksudkan sebagai debat kusir saja, akan tetapi sebagai upaya untuk mengorientasikan arah gerakan Indonesia. Meminjam istilah yang digunakan oleh PRD/PAPERNAS, kita perlu banting stir. Tetapi sebelum banting stir, kita perlu menginjak rem, sejenak turun dari mobil supaya kita bisa melihat lebih jelas di mana kita berada, keluarkan peta kita dan rencanakan kembali bagaimana kita bisa mencapai tujuan kita: sosialisme.

Untuk mereka aktivis-aktivis yang sudah tidak percaya lagi bahwa sosialisme adalah jalan keluar satu-satunya dari kesengsaraan kapitalisme, apalagi di hadapan krisis kapitalisme sekarang ini, mungkin ada baiknya kita tinggalkan mereka untuk sementara di pinggir jalan supaya tidak menjadi halangan bagi kita yang sekarang ingin maju dan memilih jalan perjuangan.

Indonesia bukanlah Rusia. Ini adalah titik tolak yang juga harus kita ambil. Akan tetapi, tidak seperti mereka yang lalu mengagung-agungkan keunikan Indonesia sebagai alasan untuk mengajukan proposal “strategi revolusi ala Indonesia” atau “sosialisme ala Indonesia”, kita justru harus melihat keunikan ini sebagai bagian dari perkembangan kapitalisme di dunia. Dari spesifik ke umum dan kembali lagi ke spesifik.

Rudi benar dalam eksposisinya bahwa kapitalisme di Indonesia tidaklah lahir dari perjuangan kelas borjuis nasional dalam menumbangkan feodalisme. Kelas borjuis Indonesia tiba terlambat di dalam sejarah (karena kolonialisme Belanda di Indonesia), dan oleh karena itu tidak pernah memainkan peran historisnya yang progresif. Corak feodalisme masih mendominasi budaya Indonesia walaupun corak produksi dominan di Indonesia adalah kapitalisme.

Tetapi analisa Rudi berhenti di sini. Ini Rudi gunakan hanya untuk menunjukkan keunikan Indonesia (yang sebenarnya secara umum juga terjadi di banyak negara-negara ketiga dalam takaran dan tahapan yang berbeda, ini termasuk Rusia pada jamannya Lenin dan Trotsky). Rudi dengan telaten mengatakan bahwa “hal ini, terutama sekali sedikit banyak mempengaruhi kesadaran kelas pekerjanya” tetapi tidak menyebutkan bagaimana ini mempengaruhi karakter kelas borjuis nasional Indonesia.

Karena sejarah Indonesia yang “unik” ini, kelas borjuis nasional Indonesia lahir di dalam periode imperialisme, dan oleh karena itu secara ekonomi tergantung pada kapital asing. Selain itu, kaum borjuis nasional lebih terikat pada feodalisme dibandingkan dengan “seorang pekerja di pabrik [yang] punya sawah di kampung” karena kepentingan ekonominya. Kaum borjuis di Indonesia biasanya juga adalah pemilik tanah di desa-desa dan berhubungan dekat dengan para tuan tanah. Keterikatannya pada kapital asing dan feodalisme membuatnya tidak mampu memainkan peran historisnya: menghancurkan feodalisme dan melakukan pembebasan nasional.

Kita mulai saja dengan sejarah “unik” kaum borjuis nasional Indonesia. Dari permulaan saja, sejak masih bayi mereka sudah mencoba menjual Indonesia ke Belanda lewat perjanjian Linggar Jati, Renville, dan akhirnya Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949 di mana seluruh perusahaan Belanda dikembalikan dan Indonesia harus membayar 4.9 Milyar Guilders ke Belanda. Lalu pada tahun 1950an di bawah pemerintahan Soekarno terjadi nasionalisasi terhadap perusahaan milik Belanda dan Amerika Serikat, tetapi ini adalah karena tekanan dari massa rakyat pekerja dan tani dan bukan karena inisiatif kaum borjuis nasional Indonesia. Mereka terlalu lemah. Pada saat kudeta Soeharto, apa yang dilakukan oleh kaum borjuis nasional? Mereka berbaris di belakang Soeharto dengan rapi dan menjadi office-boy kaum imperialis. Selama 32 tahun, kekuatan yang secara konsisten melawan Soeharto bukanlah kaum borjuis nasional. Mereka sibuk mengeruk keuntungan yang besar di atas darah jutaan rakyat Indonesia.

Rudi mengatakan bahwa kaum borjuis nasional adalah korban dari imperialisme neo-liberal dan oleh karena itu harus dirangkul. Ini adalah pragmatisme yang utopis. Dalam merangkul seorang kawan dan sekutu, kita harus melihat latar belakang mereka. Kaum borjuis nasional secara keseluruhan wataknya lemah dan secara historis sudah tidak progresif. Mereka hanya menggerutu terhadap tuan imperialisnya karena mereka tidak kebagian kue yang lebih besar, dan lalu menggunakan sentimen-sentimen pembebasan nasional hanya untuk menegosiasikan pendapatan penjarahan yang lebih besar.

Rudi mengajukan beberapa proposal:

1.Pabrik-pabrik, maskapai penerbangan, perkebunan, pengangkutan, dan lain lain harus diambil alih/nasionalisasi
Diambil oleh siapa? oleh negara di bawah kendali siapa? Kalau oleh negara di bawah kendali kaum borjuis nasional, maka nasionalisasi ini tidak akan menguntungkan rakyat sama sekali. Kita hanya menggantikan majikan yang hidungnya mancung dengan majikan yang hidungnya pesek. Tetapi mungkin kapitalis hidung pesek adalah “unik” dan akan memperhatikan kesejahteraan buruhnya lebih baik, bahwa kapitalis Indonesia yang progresif tidak ingin membuat laba yang terlalu besar. Sungguh suatu khayalan.

2.Pekerja harus dilepaskan dari sistem kontrak
Kaum borjuis nasional yang progresif dalam skema Rudi adalah majikan yang baik karena mereka akan memperkerjakan buruhnya dengan tetap.

3.Upah yang lebih tinggi
Karena kaum borjuis Indonesia yang progresif itu murah hati dan mengerti ekonomi, maka mereka akan membayar buruhnya gaji yang lebih tinggi Dari ketiga hal di atas saja sudah terlihat bahwa adalah utopis untuk bisa bekerja sama dengan kaum borjuis nasional. Satu-satunya cara untuk bisa bekerjasama dengan mereka adalah dengan mengubur dalam-dalam tuntutan-tuntutan buruh dan tani atau membuatnya sedemikian impoten sehingga tuntutan-tuntutan tersebut tidak ada lagi nilainya sama sekali di dalam realitas.

Kelas borjuis nasional terikat dengan kapital asing dan tuan-tuan tanah. Kepentingan mereka bukan hanya berseberangan dengan buruh, tetapi juga dengan tani dan borjuis kecil Indonesia yang merupakan sekutu terbesar dari buruh. Kerangka program anti-neoliberalisme yang ingin ditawarkan Rudi ke kaum borjuis nasional adalah program yang sudah diompongkan, yang ketika dikonkritkan akan hancur berkeping-keping karena kepentingan buruh dan tani berseberangan secara fundamental dengan kepentingan kaum borjuis, asing maupun domestik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar