Sabtu, 01 Januari 2011

Jalan Buntu Rezim SBY

Evaluasi akhir tahun 2010


Pudarnya Citra di Tahap Awal

Memasuki tahun 2010, pemerintahan SBY  menghadapi isu 100 hari yang dianggap gagal dalam semua bidang. Masyarakat resah dan melakukan gerakan merespons  berbagai kasus di akhir tahun 2009, yakni kriminalisasi pimpinan KPK, kasus bailout Century, kasus Gayus, dan sebagainya.

Namun, yang terpenting adalah munculnya kecurigaan publik dan juga diantara koalisi partai pemerintah, bahwa SBY tidak jujur dalam kasus-kasus besar yang muncul di penghujung tahun 2009 tersebut. Kasus-kasus tersebut, khususnya Century dan kriminalisasi KPK, yang menunjukkan bahwa SBY berbeda dari masa kepemimpinan 5 tahun pertama, yakni pemimpin dalam menciptakan Indonesia bersih. SBY selama ini ditengarai bermain peran yang cukup lihai, sehingga mampu membungkus kepemimpinannya seolah-olah ia pemimpin yang bersih, jujur dan demokratis.

Perasaan terluka dari rakyat yang menghendaki SBY muncul sebagai pemimpin sejati, semakin membara ketika informasi keterlibatan Budiono dan Sri Mulyani dalam Centurygate tidak dijawab dengan rasa malu dari kedua mereka ini. Mereka berdua diketahui sebagai orang kepercayaannya. Bahkan Presiden SBY  sendiri membela kedua orang tersebut secara terbuka.

Alhasil, berbagai gerakan radikal menjalar di semua kota-kota besar di Indonesia, yang mengusung simbol rezim SBY adalah rezim neoliberal.  Klaim kemenangan SBY dalam pemilu sebesar 60 persen dalam satu kali putaran yang selalu didengungkan seketika sirna. Rakyat memperlihatkan kebencian, baik di dunia nyata, maupun di dunia maya


Koalisi Setengah Hati: Kekuasaan Ubber Alles

Skandal Century tentu sebagai titik kritis bagi sebuah arti koalisi bagi rezim SBY. 

Ancaman SBY mengenai masalah pajak Group Bakrie, untuk meredam gerakan Century, ternyata semakin memperuncing suasana. Akhirnya Pansus Century yang memutuskan opsi C, yakni intinya menyatakan bahwa terjadi kejahatan (kriminal) yang dilakukan Budiono dan Sri Mulyani serta pejabat lainnya dalam kasus ini serta dana FPJP dan PMS yang dikucurkan ke Bank Century adalah keuangan negara.

Kasus ini menunjukkan perlawanan terbuka dari Golkar, PPP dan PKS terhadap SBY, yang mana dia didukung oleh PAN dan PKB.

Sayangnya, respons SBY atas hal ini adalah membentuk Satgab. Satgab ini tentu saja mempunyai  maksud yang diragukan, baik dari kelompok koalisi yang melawan SBY (kelompok kritis) dalam kasus Century, maupun dari kelompok pendukung SBY (kelompok loyalis). Dari sisi pendukung loyalis SBY, seperti PAN dan PKB, pemberian jabatan ketua harian Satgab kepada Aburizal, secara simbolik menghina adanya koalisi pemenangan Pemilu, yang dipimpin oleh Hatta Rajasa. Kelompok ini tentu kecewa, karena SBY tidak menghormati apa yang sudah dikorbankan mereka dalam mengantarkan SBY sebagai Presiden.


Di sisi lain, kelompok pendukung kritis menganggap ini bisa jadi sebuah jebakan untuk membungkam kelanjutan kasus Century, dengan transaksi politik yang tidak jelas. Hal ini terkait pula dengan penangkapan tokoh-tokoh seperti  Bachtiar Chamzah, Endin Sofihara dari PPP dan di-tersangka-kannya anggota DPR PKS, Misbakhun.

Keinginan SBY untuk mereformat koalisi pemerintahan terjebak dengan permusuhannya dengan Megawati, sebuah partai besar di luar pemerintahan. SBY sejak awal tidak menginginkan adanya oposisi.

Namun, ketika SBY berusaha menawarkan beberapa menteri kepada petinggi PDIP dalam pembentukan kabinetnya, Megawati malah merespons dengan menggeser  kelompok pragmatis dalam tubuh partainya, meskipun Taufik Kiemas mendapat keuntungan menjadi Ketua MPR,  atas manuver di seputar ini.

Bahkan dalam kasus Century, SBY merasakan hantaman politik yang sangat keras dari partai PDIP. SBY tentu tidak yakin juga bisa seperti gaya Soekarno yang mampu memindah-mindahkan basis dukungan dari Masyumi/PSI ke NU/PKI  di masa lalu. SBY tidak yakin dapat membujuk Megawati untuk mendukungnya lagi, meskipun jika dia kembali menawarkan jabatan beberapa menteri untuk PDIP, termasuk misalnya untuk Puan Maharani.  Atau bahkan menduetkan Ani Yudhoyono dengan Puan Maharani pada Capres 2014, sebagai ikatan kekuasaan. Rencana ini  merupakan fantasi belaka. Tanpa format baru, pada akhirnya SBY menjalani suatu kondisi pemerintahan yang tidak solid sepanjang tahun 2010.

Selain itu terlalu seringnya kelompok SBY melemparkan ancaman reshuffle kabinet, membuat kejengkelan bertambah, baik dari kelompok pendukung kritis, maupun loyalis. Ditambah pula, pendukung seperti  PAN, yang memiliki menteri di bidang hukum, merasa tertandingi, ditelanjangi dan diteror dengan munculnya Satgas Anti Mafia yang merepresentasikan diri seolah-olah lebih berkuasa dibandingkan level menteri (seperti Opsus di masa Soeharto). Begitu pula para staf khusus yang melebihi menteri-menteri lainnya dari elemen koalisi.

Keributan dalam koalisi juga semakin parah dengan maraknya pembicaraan Capres 2014 untuk Indonesia, yang mempunyai masa kepresidenan lima tahun. Sebelumnya, isu ini dirasakan terlalu cepat. Isu Ani Yudhoyono yang akan menggantikan  SBY pada periode mendatang, isu yang sama untuk Hatta Rajasa yang dilansir Amin Rais serta juga untuk Aburizal Bakri oleh Golkar membuat permainan kekuasaan dalam rezim SBY semakin dominan. Hal ini terlihat dari sistem bargaining peserta koalisi atas portofolio kementerian yang mereka kuasai.

PKS juga “memaksa” SBY tetap memberikan kekuasaan penuh pada Kementerian Pertanian. Hal ini sebagai instrumen penguasaan massa tani dan pedesaan bagi kepentingan PKS ke depan. Begitu juga PKB yang menuntut totalitas atas kekuasaan di bidang buruh dan TKI. Demikian pula Golkar dan PAN. Golkar dalam suatu kesempatan rapat pimpinannya meminta menteri-menterinya berpikir untuk memajukan partainya.

Alhasil rezim SBY saat ini kehilangan fokus dalam mengurusi rakyatnya. Kekuasaan ubber alles.


Kemampuan Leadership SBY Menurun Tajam

Memudarnya citra SBY sebagai tokoh anti korupsi telah melemahkan leadership SBY dalam mengontrol koalisi. Sepanjang tahun 2010, berbagai isu-isu kritis dan sangat penting direspons dengan cepat, gagal dilakukan SBY.

Pertama, SBY tidak mempunyai sikap yang pasti dalam merespons adanya penolakan rakyat dan pengusaha kita dalam ACFTA (Asean China Free Trade Area). Suatu ketika SBY mendukung kelompok menteri yang meminta Mendag Mari Pangestu menunda realisasi ACFTA sampai negosiasi 228 pos tarif selesai. Di waktu lainnya SBY mendukung Mari Pangestu untuk menjalankan ACFTA.

Kedua, SBY mengalami keragu-raguan dalam menyingkirkan Sri Mulyani dari kabinetnya. Suatu waktu, SBY memuji-muji Sri Mulyani yang dianggap mengambil kebijakan yang tepat dalam kasus Century, namun, pada kesempatan lain, SBY menyatakan rela dan mendukung Sri Mulayni berkarir di World Bank.

Ketiga, SBY mengalami keraguan-raguan dalam kasus merebaknya ledakan tabung gas 3 kg. SBY membiarkan tidak satupun menterinya menyatakan bertanggung jawab atas masalah ini, bahkan ketika korban tewas sudah mencapai ratusan orang. SBY akhirnya mamanggil Jusuf Kalla ke Istana untuk hal ini. Jusuf Kalla yang mengaku diminta SBY menegur menteri-menterinya bahkan bingung, karena dia sudah tidak Wapres lagi.

Keempat, SBY mengalami keragu-raguan dalam kasus konflik Indonesia melawan Malaysia, terkait penahanan petugas Kementerian Kelautan. Ketika rakyat mengharapkan SBY tampil lantang mengecam Malaysia, SBY  yang berpidato di  Markas TNI, malah mengapresiasi  hubungan persahabatan dan dagang yang sudah baik dengan negeri jiran tersebut.

Kelima,SBY mengalami keragu-raguan dalam memutuskan pemberhentian Jaksa Agung Hendarman Supandji terkait status hukumnya yang meragukan. Bahkan, setelah MK memutuskan bahwa status Jaksa Agung cacat hukum, SBY masih tampak ragu mengambil tindakan.

Berbeda pada masa lima tahun sebelumnya, SBY mempunyai pendamping Wapres Jusuf Kalla, yang mampu mengimbangi dan bersinergi dalam mengendalikan pemerintahan. Dalam setahun pertama pemerintahannya, SBY praktis tidak terbantu oleh kehadiran Wapresnya, atau malah menjadi lebih buruk, karena citra Wapresnya yang dianggap bersalah oleh DPR.


Pembangunan Rezim SBY Bukan untuk Rakyat

Dalam banyak kesempatan berpidato, SBY selalu menekankan bahwa pembangunan yang diketengahkannya menganut strategi  pertumbuhan dan sekaligus pemerataan; membangun dengan dimensi kewilayahan, membangun integrasi ekonomi nasional, membangun ekonomi lokal dan membangun sumberdaya manusia.

Selain itu, SBY juga mengetengahkan Pro Growth, Pro Job dan Pro Poor, serta ditambahkan Pro Environment.

Semakin banyaknya pidato SBY yang menyejukkan, semakin bertolak belakang realitas yang terjadi di masyarakat. Klaim keberhasilan sektor pangan hancur dengan impor beras yang sudah dilakukan beberapa bulan lalu. Sementara tingkat kesejahteraan petani tidak membaik. Pemilikan lahan petani semakin buruk.

Di sektor perburuhan, nasib buruh semakin mengenaskan. Membanjirnya produk-produk Cina dengan harga yang sangat murah menghancurkan industri manufaktur Indonesia. Menteri Perdagangan juga gagal menunda berlakunya 228 pos tarif.

Rezim SBY sendiri mengklaim bahwa terjadi penurunan kemiskinan dari 14,1 persen (2009) menjadi 13,3 persen (2010) serta meningkatnya pendapatan perkapita mencapai 3.000 dolar AS.

Fenomena ini tentu dapat kita pahami sebagai berikut:

Pertama, garis kemiskinan kita di ukur dalam satuan yang terlalu kecil, misalnya di Jakarta Rp. 331.169 perbulan perorang (36, 80 dolar AS dengan kurs dollar Rp. 9.000) tahun 2010 (naik Rp 14.233 atau 4,49 persen dari tahun lalu). Artinya penduduk Jakarta yang berpenghasilan Rp 1 (satu rupiah) di atas garis itu sudah dianggap tidak miskin. Dalam satu tahun garis kemiskinan di Jakarta adalah (441.55 dolar AS). Bandingkan pula dengan Jawa Tengah yang garis kemiskinannya Rp 192.435 perkapita perbulan (21,38 dolar AS) atau 256.58 dolar AS per tahun.

Kedua, klaim pendapatan perkapita nasional sebesar 3.000 dolar AS perkapita telah tercapai. Hal ini tentu menjelaskan bahwa kesenjangan pendapatan antara lapisan masyarakat terjadi semakin menganga. Artinya kontrol kemakmuran atas udara, tanah, air dan segala isinya tidak berpihak pada kaum miskin negeri ini.

Sebagai catatan lainnya, kesenjangan tingkat kemiskinan antar provinsi di Indonesia masih besar. Dari 33 provinsi, 17 provinsi memiliki tingkat kemiskinan di bawah rata-rata nasional. Provinsi yang masih memiliki tingkat kemiskinan dua kali lipat lebih dari rata-rata nasional (13,33 persen), adalah Papua (36,80 persen), Papua Barat (34,88 persen) dan Maluku (27,74 persen).

Untuk Pulau Sumatera, provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan di atas rata-rata nasional adalah Provinsi Aceh, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung. Di Pulau Jawa dan Bali, Provinsi Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur juga memiliki tingkat kemiskinan di atas rata-rata nasional. Di Pulau Sulawesi, provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Gorontalo juga tercatat memiliki tingkat kemiskinan lebih tinggi dari tingkat nasional, begitu pula yang berlaku untuk provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Tiga provinsi dengan tingkat kemiskinan terendah pada tahun 2010 hanya Jakarta (3,48 persen), Kalimantan Selatan (5,21 persen) dan Bali (4,88 persen).  Kesenjangan antar wilayah ini juga menguatkan arah pembangunan rezim SBY melupakan wawasan keindonesiaan.

Menurut catatan lembaga negara LIPI yang dilansir penelitinya Latief, rezim sebelum SBY lebih baik dalam pengentasan kemiskinan. Pada periode 2000-2005 setiap kenaikan anggaran kemiskinan sebesar 1 persen berpotensi menurunkan angka kemiskinan 0,4 persen. Tetapi, dalam periode 2005-2009, didapatkan setiap kenaikan anggaran kemiskinan 1 persen, hanya menekan angka kemiskinan 0,06 persen.  

Artinya pengentasan kemiskinan semakin tidak efektif. LIPI memperkirakan angka kemiskinan tahun 2014 berada pada kisaran 11,6 persen, jauh di atas target rezim SBY yakni 8-10 persen.


Akhirnya, SBY Harus Jujur dan Insaf

Penyelesaian masalah bangsa harus dilakukan dengan nasionalisme yang tinggi.

SBY harus jujur dan insaf dalam membangun koalisi, sehingga kenegarawan dari berbagai pihak bisa keluar melebihi nafsu politik mereka. Kesadaran ini akan terjadi jika pemahaman kita untuk membangun bangsa sangat terbatas waktunya, yakni sampai di masa konsolidasi rezim kapitalisme Amerika dan Barat keluar dari krisis.

Saat ini Indonesia mempunyai peluang emas untuk membangun dengan bargain yang lebih baik terhadap Barat. Apalagi geopolik dunia menunjukkan adanya kebangkitan ekonomi Asia, adanya polarisasi politik dunia dengan munculnya kekuatan ketiga BRIC: Brazil, Rusia, India, China. Indonesia juga bisa melakukan negosiasi dagang dengan Korea Selatan, China dan Jepang.

Dalam jangka pendek SBY harus memformat koalisinya secara benar. Aturan-aturan koalisi harus menjelaskan adanya orientasi pada perjuangan nasib rakyat sebagai misi utama dan kemudian pemberian sharing kekuasaan secara tepat merujuk pada pemenangan SBY sebagai Presiden tahap kedua.

Selain itu, SBY juga harus mengurangi atau meredam ide-ide Capres 2014 buat istrinya maupun keluarganya. Karena hal itu terasa terlalu cepat untuk partai yang sedang berkuasa, yang masih harus bergulat pada persoalan-persoalan riil membangun demokrasi dan kesejahteraan rakyat.


*Syahganda Nainggolan, Ketua Dewan Direktur Sabang Merauke Circle (SMC)

1 komentar: