Sabtu, 25 Desember 2010

Krisis Total dan Keresahan Masyarakat

Mengapa Indonesia terpuruk berat? Akarnya amat jelas, yaitu terjadinya pengkhianatan dan pengingkaran terhadap cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, terhadap cita-cita para pendiri bangsa, terhadap cita-cita Revolusi Indonesia. Mengapa pengingkaran itu bisa terjadi? Tak lain, karena bertemunya kepentingan antara kekuatan eksternal (asing) dengan oknum-oknum dalam negeri yang dimanfaatkan oleh kekuatan eksternal tersebut dalam situasi politik dunia yang kondusif bagi pertemuan itu.

Setelah lengsernya Orde Baru, maka lahirlah “Era Reformasi” (ER) yang semula menjadi harapan akan datangnya suasana baru yang lebih baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sampai saat ini, ER telah berlangsung selama kurang lebih 12 tahun, dengan beberapa kali terjadi pergantian pemimpin nasional. Namun ternyata, yang terjadi tidak seperti yang diharapkan, melainkan justru semakin menambah kesemrawutan di berbagai bidang. Lahirlah istilah “Krisis Multidimensi” (KM). Masyarakat pada umumnya merasakan suasana “ketidakpastian”. Resah dan prihatin.

Menanggapi kondisi yang demikian itu, sekarang ini mulai banyak lingkaran-lingkaran diskusi, kelompok-kelomok sarasehan dan sebagainya yang terdiri baik generasi muda maupun mereka yang lebih tua, yang merasa peduli terhadap kondisi kita dewasa ini. Tentu saja, motif dan warna kelompok-kelompok tersebut berbeda-beda, dan fokus perhatiannya pun berbeda-beda. Namun, pada umumnya mereka membahas tiga pertanyaan pokok yang jawabannya memang belum pernah tuntas, yaitu: pertama, mengapa bangsa Indonesia mengalami keterpurukan seperti sekarang? Kedua, bagaimana solusinya? Ketiga, apakah “reformasi” kita ini gagal atau berhasil?

Sesuai dengan cerminan dari istilah yang dipakai, yaitu “KM”, maka yang diresahkan oleh masyarakat itu mencakup berbagai bidang, berbagai dimensi. Hukum semrawut, garis politik tidak jelas, konflik sosial dimana-mana degan “bungkus” yang bermacam-macam (konflik etnis, konflik agama dan lain-lain), kesenjangan ekonomi makin menganga, budaya “hedonisme” merajalela, pendidikan dikomersialkan dan seterusnya. Daftar kebobrokan itu bisa sangat panjang. Tetapi semua itu tidak berdiri sendiri, melainkan saling terkait. Oleh karena itu, saya tidak menggunakan istilah “KM” (Krisis Multidimensi), melainkan “KT” (Krisis Total)! Bangsa Indonesia sebagai totalitas sedang mengalami bencana alam yang dahsyat (trunami Aceh dan gempa Yogya). Menjadi “total”-lah krisis yang kita alami.

Dengan pengantar ringkas di atas, marilah kita mencoba menjawab tiga pertanyaan pokok yang disebutkan tadi. Pertanyaan yang pertama memang tidak mudah untuk dijawab, dan memerlukan penjelasan panjang lebar. Tidak mudah, karena hal itu juga sangat tergantung dari visi kita masing-masing, yang bisa berbeda-beda. Sedangkan pertanyaan yang kedua, tentu saja tergantung dari jawaban kita terhadap pertanyaan pertama. Pertanyaan ketiga, itu sampingan yang berkaitan erat dengan pertanyaan pertama.


Mengapa Kita Terpuruk Berat?

Akarnya amat jelas, yaitu terjadinya pengkhianatan dan pengingkaran terhadap cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, terhadap cita-cita para pendiri bangsa, terhadap cita-cita Revolusi Indonesia. Mengapa pengingkaran itu bisa terjadi? Tak lain karena bertemunya kepentingan antara kekuatan eksternal (asing) dengan oknum-oknum dalam negeri yang dimanfaatkan oleh kekuatan eksternal tersebut dalam situasi politik dunia yang kondusif bagi pertemuan itu. Oknum-oknum dalam negeri itu terdiri dari tiga kelompok, yakni: pertama, mereka yang, dengan alasan apapun, secara a’priori berpihak kepada kepentingan asing. Kedua, mereka yang, apapun alasannya, dapat disebut sebagai opportunis, karena kerjasamanya dengan kekuatan asing itu dianggap sebagai peluang bagi kepentingan pribadinya, baik secara politis maupun ekonomi. Ketiga, mereka yang secara tidak sadar terkecoh. Karena lemah dalam kesadaran sejarah, dan miskin “cita rasa” politik, mereka terjerumus. Celakanya, mereka inilah yang mayoritas, termasuk profesor-profesor. Sekarang ini, di antara mereka ada yang mengaku salah, tapi banyak juga yang (karena gengsi) tidak merasa bersalah, dan tidak merasa terkecoh.

Sebelum kita masuk lebih dalam membahas bentuk-bentuk konkret pengingkaran terhadap cita-cita Revolusi, dan mengapa kelompok ketiga itu mayoritas, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa “potret” sebuah masyarakat pada hakikatnya merupakan produk dari bekerjanya empat faktor yang saling berinteraksi, yaitu: pertama, budaya dan dinamika internal masyarakat tersebut; kedua, kebijakan pemerintah; ketiga, warisan sejarah; dan keempat, intervensi asing. (Karena keterbatasan waktu, tak semua faktor tersebut sempat ditulis/diuraikan di sini).

Di antara empat aktor itu, satu saja yang ada baiknya dicatat (dan inipun hanya menyentuh satu aspeknya saja), yaitu faktor budaya dan dinamika internal. Masyarakat kita ini mengidap suatu “penyakit” yang oleh Francis Bacon pada pertengahan abad ke-16 disebut “the idol of the market place”, dan “the idol of the theatre”. Dengan bahasa sederhana, yang pertama itu artinya budaya “latah”. Belum memahami benar makna suatu istilah sudah turut lantang berteriak. (Istilah-istilah “good governance”, “civil society”, “social capital”, globalisasi, demokrasi, transparansi, akuntabilitas, “stakeholder”, “rule of the game”, dan banyak lagi lainnya adalah contoh-contohnya). Termasuk istilah “reformasi”. Akibat “latah” itu, maka timbul kerancuan dalam memberikan makna. Perbedaan pemahaman itu pada gilirannya menimbulkan perbedaan harapan. Inilah yang membuat orang mudah terkecoh. “The Idol” yang kedua artinya orang mudah bangga untuk merujuk/mengutip pernyataan orang-orang terkenal, terutama orang asing, dengan bahasa asing. Budaya inilah yang turut berkontribusi dalam membentuk “potret” masyarakat kita dewasa ini.

Kembali pada akar masalah yang dikemukakan di depan. Penggulingan Bung Karno (BK) pada hakikatnya merupakan skenario besar kekuatan asing dalam konteks Perang Dingin. Pada tahun 1965 itu, satuan-satuan inteligent dari 7 (tujuh) negara gentayangan di Jakarta. Mereka saling bertarung. Hanya beberapa minggu setelah BK menyampaikan Pidato TAKARI (Tahun Berdikari) pada 17 agustus 1965, terjadilah tragedi G 30 S. Itulah saat yang dipilih sebagai momentum untuk menjatuhkan BK, karena seolah-olah berbagai kekuatan asing itu tidak rela jika Indonesia yang kaya akan sumberdaya alam itu “berdikari” (non-blok). Salah satu blok (di antara tiga blok pertarungan intel) itu memenangkan pertarungan. BK jatuh, dan lahirlah Orde Baru. Epilog G 30 S, dan dalam masa-masa selanjutnya, nampak jelas terjadinya interaksi empat faktor pembentuk “potret” kita ini, yang menjurus ke arah pengingkaran terhadap cita-cita para pendiri bangsa kita. Kebijakan pemerintah mulai didominasi oleh pikiran-ikiran luar. Secara sistematis, muslihat dan manipulasi politik dilakukan dengan memanfaatkan budaya internal masyarakat. Sejarah bangsa mulai digelapkan dan dibengkokkan. Generasi muda mulai diputus kesadaran sejarahnya.

Wujud konkrit dari adanya pengingkaran terhadap cita-cira revolusi antara lain adalah: pertama, dalam hal semboyan: “Berdaulat dalam politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan” diganti dengan semboyan: “Politik no, ekonomi yes!” Kedua, dilakukan gerakan “de-Soekarnoisasi”. Membicarakan konsep “marhaenisme” saja dilarang secara resmi (apalagi “Marxisme”). Ketiga, pada tahun 1967 lahir tiga Undang-Undang sektoral yang bertentangan dengan UUPA-1960. Keempat, secara diam-diam matakuliah “agraria” dihapus dari kurikulum perguruan tinggi (kecuali di Fakultas Hukum).

Memang tidak begitu sederhana untuk mengungkap akar masalah itu. Dengan selesainya perang dingin, maka satu kekuatan besar secara sepihak menjadi merajalela mendominasi di mana-mana. Siapa yang menjatuhkan Orde Baru? Tidak lain adalah “majikannya” sendiri! Karena “binekanya”nya dianggap tak berguna lagi, atau bahkan dianggap akan mengganggu tujuan utamanya. Setelah dijebak melalui hutang, melalui keterikatan terhadap perjanjian-perjanjian internasional yang menjerat, melalui jebakan korupsi, dan jebakan-jebakan lainnya, maka kemudian melalui isu HAM, isu supremasi hukum, isu demokratisasi, isu kekejaman militer dan sebagainya. Dijatuhkanlah Orde Baru. Namun, tujuan utamanya adalah “mengkerdilkan peran negara” untuk melancarkan jalan menuju “globalisasi ekonomi” versi neo-liberal yang tak lain adalah “imperialisme baru” (Lihat John Perkins, 2004).


Menjernihkan Pengertian beberapa Istilah

Kehidupan masyarakat kita dewasa ini sedang dalam kesemrawutan. Kita sedang kehilangan arah, mengalami “disorientasi”. Secara totalitas, perilaku masyarakat sedang berputar-putar, “lir gabah den interi”. Kelompok-kelompok masyarakat sedang berseliweran. Di satu sisi, kampanye privatisasi, deregulasi, “pasarisasi”, liberalisasi, desentralisasi, demokrasi dan sebagainya menggebu-gebu digalakkan. Tapi di sisi lain, diteriakkan “supremasi hukum”, yang dalam praktiknya berupa meningkatkan produksi Undang-Undang. Ibaratnya, sekaran ini orang mau “kentut” pun (maaf) perlu undang-undang. Jadi, di satu sisi ingin mengkerdilkan peran negar (jangan banyak mengatur!), namun di lain sisi, semua hal harus diatur. Bukankah ini suatu cara berpikir yang simpang-siur? Kelompok-kelompok masyarakat belum secara jelas menampakkan pandangan orientasinya. Masih banyak “bajing loncat”. Belum menyadari siapa kawan siapa lawan. Belum “mengkristal”. Itulah makna “lir gabah den interi”.

Salah satu faktor yang turut membenuk kesemrawutan itu adalah rancunya penggunaan berbagai istilah sebagaimana disinginggung di depan. Istilah-istilah yang salah kaprah itu seharusnya dijernihkan. Tapi di sini dipilih dua saja yang relevan, yaitu istilah “reformasi” dan istilah “krisis”.

Kita semua pasti masih ingat bahwa istilah “reformasi” itu mulai bergulir secara populer di Indonesia stelah Direktur IMF, Michael Camdesseaus—saat itu melakukan perundingan dengan Presiden Soeharto—menuntut adanya “refomasi politik” sebagai syarat diberikannya bantuan IMF untuk mengatasi krisis. Istilah tersebut kemudian diambil oper oleh gerakan mahasiswa dan rakyat untuk menumbangkan Soeharto. Setelah Soeharto lengser, berkembanglah bermacam tafsiran makna dalam masyarakat. Paling tidak ada tiga versi yang dapat dicatat. Pertama, Habibie, yang menyatakan “reformasi adalah proses perubahan yang gradual, bertahap, evolusioner, dan konstitusional”. Kedua, Soebadio yang menyebut “reformasi adalah revolusi!”. Ketiga Roeslan yang menerjermahkan “reformasi bukan revolusi, tetapi mengandung nuansa revolusioner. Yang mana yang tepat? Tidak ada!

Menurut perbendaharaan istilah ilmiah, “reformasi itu upaya perubahan untuk memperbaiki fungsi dari sejumlah lembaga tertentu dalam aspek-aspek tertentu, karena di situ terdapat masalah yang membuat lembaga tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya dalam tata-sosial-ekonomi-politik yang ada”. (Cf. Modern Dictionary of Sociology, karangan Teodorson & Theodorson, 1969). Artinya, reformasi itu tidak mengubah struktur dan tidak mengubah nilai dasar dari tata yang ada. Inilah yang membedakan reformasi dari revolusi. Sekalipun demikian, reformasi tidak harus “evolusioner”. Dalam istilah ilmiah, “reformis” yaitu rekayasa sosial untuk mempertahankan” status quo dengan kedok pembaruan. Tokoh-tokoh pelakunya disebut “reformist”. Jadi, sebenarnya istilah reformist itu konotasinya jelek. Tapi di Indonesia, orang bangga disebut reformis. Salah kaprah!

Dengan penjelasan tersebut di atas itu, kita menjawab pertanyaan yang ketiga. Jika versi Habibie yang dipakai, maka reformasi kita berhasil! Status quo Orde Baru (sekalipun dihujat bertubi-tubi) berhasil dipertahankan. Bukankah kondisi sekarang ini dapat disebut sebagai Orde Baru Jilid II? Jika versi Roeslan Abdul Gani yang dipakai, maka reformasi kita gagal! Atau setengah gagal. Sebab, versi Reoslan itu sebenarnya juga kurang tepat. Suatu pembaruan yang bernuansa revolusioner itu istilah ilmiahnya adalah “reform”, atau “reforma” (tanpa “si”).

Ada yang mengatakan: setelah sekian tahun berjalan, mengapa reformasi belum selesai, karena reformasi itu memerlukan masa transisi! Namun ini menimbulkan pertanyaan: “transisi itu ke arah mana, menuju apa?” Sampai sekarang belum ada yang menjawab dengan tegas. Pada titik inilah terletak relevansinya untuk menjernihkan istilah “krisis”.

Definisi “krisis” itu ada bermacam-macam tergantung dari kubu teori mana yang dianut. Tapi ada satu definisi yang secara umum diterima, yaitu: “krisis adalah suatu gangguan yang abnormal terhadap kehidupan seseorang, atau suatu kelompok, atau masyarakat, sebagai akibat terjadinya situasi yang tak terduga, yang untuk menghadapinya, seseorang, suatu kelompok, atau masyarakat tersebut, tidak siap, sehingga menimbulkan masalah-masalah yang untuk mengatasinya tidak dapat dilakukan atas dasar dalil-dalil konvensional. Solusi krisis memerlukan pengembangan pikiran baru (“terobosan”). (Theodorson & Theodorson, 1969, op.cit).

Yang lebih jelas, tegas, dan mudah dipahami adalah definisi dari kubu “teori kritis”, yaitu bahwa “suatu krisis pada hakikatnya adalah adanya situasi “unresolvable steering problem”. Selama “sang sopir” tidak mampu memecahkan masalah ke mana “mobil” bangsa ini hendak diarahkan, selama itu situasi tersebut “krisis”. Singkatnya, krisis kepemimpinan, karena sang pemimpin belum mampu membuat langkah terobosan.


Faktor Lain Penyebab Keterpurukan

Dari uraian ringkas (tapi agak panjang) tersebut di atas, rasanya jelas bahwa akar masalah yang akhirnya bermuara pada keterpurukan masyarakat kita ini berawal dari pengkhianatan politik dan ekonomi di sekitar tahun 1965. Dalam proses lanjutannya, selama Orde Baru, budaya latah dimanfaatkan untuk mengecoh. Ada semacam “politik bahasa”, membangun “euphemisme imitasi”. Ditangkap disebut “diamankan”. Harga naik disebut “disesuaikan”. Hasil proyek jelek disebut “sudah baik tapi perlu ditingkatkan”. Banyak idiom bahasa Jawa yang sebenarnya “luhur”, diplintir sehingga sering terhadi distorsi makna.

Masa 32 tahun bukanlah sebentar, karena itu setapak demi setapak sepak terjang Orde Baru itu berdampak luas terhadap perilaku masyarakat secara keseluruhan. Akhirnya di dalam masyarakat terbangun sikap dan perilaku yang oleh Mahatma Gandhi disebut sebagai “dosa sosial”. Menurutnya, masyarakat terpuruk hebat karena berlangsungnya 7 (tujuh) macam “dosa sosial”, yaitu: politics without principle; wealth without work; commerce without morality; education without character; pleasure without conscience; science without humanity; dan workship without sacriifice. Apakah dalam masyarakat kita sekarang ini “dosa-dosa” sosial tersebut masih ada? Saya kira masih! Bahkan mungkin lebih merajalela.


Bagaimana Solusinya?

Semua orang bertanya seperti itu, dan semua orang merasa sukar mencari jawabannya. Itu sebabnya resah! Dari uraian di atas tersebut jelas, bahwa kristal itu ujungnya adalah krisis kepemimpinan, Pemimpin harus mampu membuat langkah “terobosan”. Langkah terobosan itu tak bisa diwacanakan, sebab jika diwacanakan akan berubah menjadi bukan terobosan lagi. Jadi, langkah itu bersifat semacam “shock theraphy (BK dan SHT sangat mahir membuat langkah ini. Itu sebabnya beliau-beliau itu bisa bertahan lama. Tetapi pertama-tama harus dilandasi dengan visi, arah, dan “grand policy” yang jelas dan tegas.

Di samping itu, gejala tujuh dosa sosial itu harus dikikis melalui pembangkitan semangat tertentu. Menurut Max Weber, suatu krisis tidak mungkin diatasi dengan semangat “profesionalisme”. Nah, ini juga suatu istilah yang perlu dijernihkan. Citranya sekarang ini (karena juga dipromosikan secara menggebu), seolah-olah seorang profesional itu adalah orang yang serba hebat, sempurna, terampil, bertanggungjawab dan seterusnya. Dalam pendidikan profesionalisme, seorang profesional itu diajarkan dan dilatih untuk tidak emosional, menjaga obyektivitas, rasional, yang pikirannya harus terpusat hanya pada obyek garapannya. Diatas segala-galanya ia dituntut kesetiannya kepada gagasan, etika, dan aturan baku bidang keterampilannya, dan bukan kesetiaan kepada majikan ataupun lembaga tempat dia bekerja. Harus “netral” dan tidak “berpihak”. (Lihat Morse, 1961; Hpult, 1969). Karena itu tidak relevan untuk berbicara tentan keberpihakan. Di balik citra yang serba hebat itu, pada hakikatnya seorang profesional adalah “tenaga bayaran”. Landasan untuk berpikir, berbuat dan bertindak adalah “nilai bayarannya”, atau untung/ruginya, bukan atas dasar sentuhan hati nuraninya.

Bukan semangat seperti itu yang diperlukan untuk mengatasi krisis, kata Max Weber, melainkan semangat “vokasionalisme”. Seorang vokasional berpikir, berbuat, dan bertindak bukan atas dasar “nilai bayaran”, melainkan atas dasar prinsip yang diyakininya. Seorang vokasional adalah orang yang tak mudah tergoda oleh bayaran yang menggiurkan, yang bukan saja mampu membentengi dirinya dengan semangat baja, tapi bahkan mampu membangkitkan mereka yang harapannya hampir runtuh sama sekali. Seorang vokasional tak mungkin “dibeli”, seorang profesional selalu dapat “dibeli”.

Membangkitkan semangat vokasionalisme inilah salah satu jalan menuju solusi, walaupun hal ini merupakan jalan panjang yang memerlukan waktu. Apalagi dalam suasana sekarang ini ketika justru semangat “profesionalisme”-lah yang setiap detik digembar-gemborkan. 


Sumber:  http://www.facebook.com/note.php?note_id=445501179582

1 komentar: