Oleh Ulil Abshar-Abdalla
Problem pokok dalam
pemahaman Islam skarang ini adalah adanya pandangan yang dominan tentang teks
sebagai sesuatu yang “supreme”, sehingga pemahaman atas teks itu kerapkali
mengabaikan kenyataan dan pengalaman manusia yang kongkrit. Akibatnya adalah
pengasingan manusia dari pengalamannya sendiri, karena supremasi teks yang
berlebihan.
Sirrul Qur’ani wa lubabuhul Ashfa, wa maqshaduhul aqsha
da’watul ‘ibadi ilal Jabbaril A’la.
—Imam
Al Ghazali, Jawahirul Qur’an
Wherever bibliolatry has prevailed, bigotry and cruelty have
accompanied it.
—T.H.
Huxley, Science and Hebrew Tradition
I. Inter-Tekstualitas
Qur’an dan wahyu yang hidup
Salah
satu masalah yang selalu menghantui umat Islam sepanjang sejarahnya adalah:
bagaimana kita bisa hidup sesuai dengan tuntutan teks agama di satu pihak,
tetapi di pihak lain kita juga bisa menempatkan diri secara kongruen dengan
perkembangan-perkembangan kemanusiaan. Bagaimana, di satu pihak, kita bisa
terus menyesuaikan diri dengan perubahan, tetapi, di pihak lain, tetap menjadi
Muslim yang baik? Dirumuskan dengan kalimat lain yang agak sedikit “keren”,
bagaimana menjadi otentik, sekaligus menjadi modern? Bagaimana berubah, tetapi
tetap berpegang pada asas-asas pokok yang ditetapkan oleh agama? Bagaimana
menjada keseimbangan antara “ashalah” dan “hadatsah”, dalam kalimat yang
populer di kalangan intelekual Arab mutakhir?
Seorang
penulis Mesir, Prof. Nasr Hamid Abu Zaid, pernah mengutarakan sebuah statemen
yang penting untuk kita pertimbangkan di sini, yaitu bahwa “wa laisa min
qabilit tabsith an nashifal hadlaratl ‘arabiyyatal Islamiyyah bi annaha
hadlaratun ‘nash’”[2].
Bukan buat-buatan kalau kita katakan bahwa peradaban Islam dan Arab
sesungguhnya adalah peradaban yang berpusing-pusing di sekiat “teks”. Kedudukan
teks begitu sentralnya, sehingga teks menjadi semacam “paradigma” atau cetakan
yang mengkerangkakan hampir seluruh kehidupan umat Islam dalam seluruh
bentangan sejarahnya. Sudah tentu, pernyataan Prof. Abu Zeid ini agak sedikit
berlebihan, tetapi, seperti akan saya tunjukkan nanti, bahwa teks memang
menempati kedudukan yang penting dalam seluruh kehidupan umat Islam. Saya
katakan bahwa pernyataan Prof. Nasr sebagai berlebihan, karena sesungguhnya
yang kita saksikan dalam praktek nyata adalah interaksi antara teks agama
dengan kenyataan-kenyataan sosial yang terus berubah. Teks dan konteks, dalam
praktek kehidupan riil, selalu saling mengandaikan, begitu rupa sehingga
kadang-kadang konteks bisa membatalkan ketentuan dalam teks itu sendiri.
Kedudukan konteks sebagai sesuatu yang penting telah di-endorse oleh kaidah
hukum fiqh sendiri: al ‘aadah muhakkamah; adat kebiasaan masyarakat bisa
menjadi sumber hukum. Dalam kenyataannya, teks kemudian juga ditafsirkan secara
lentur sesuai dengan perkembangan masyarakat yang begitu dinamis. Meskipun
kedudukan konteks sebagai sesuatu yang menjadi syarat penting dalam memahami
teks telah diakui oleh tradisi penafsiran kita, tetapi pada ujungnya tetaplah
harus kita akui bahwa teks menempati supremasi yang begitu tinggi. Dengan
demikian, benarlah apa yang dikatakan oleh Prof. Nasr, bahwa peradaban Islam
(dan pada instansi peratama tak bisa lain adalah peradaban Arab) adalah
peradaban teks.
Saya
bahkan lebih jauh lagi ingin menarik pengamatan Prof. Nasr ini dengan
mengatakan bahwa peradaban Islam adalah peradaban yang landasan pokoknya adalah
“kata” atau “lafaz”, bukan sekedar teks. Secara ringkas bisa dikatakan bahwa
supremasi teks atau “lafaz” adalah kaidah dasar dalam ajaran Islam. Kenapa teks
menempati supremasi yang begitu tinggi dalam agama kita, jelas ini berkaitan
dengan suatu “wawasan teologis” yang tidak remeh dan untuk membongkarnya
diperlukan keberanian yang besar; suatu wawasan teologis yang menganggap bahwa
Tuhan berbicara langsung kepada manusia via Nabi; bahwa Sabda Tuhan adalah
superior terhadap sabda manusia; bahwa Sabda Tuhan, sejauh tidak ada
alasan-alasan yang kuat dan kokoh, harus dimengerti dalam pengertiannya yang
harafiah. Wawasan teologis yang melandasi pandangan “skripturalisme” ini juga
tegak atas suatu asumsi yang agak lucu: semakin harafiah kita memahami Sabda
Tuhan, semakin dekat kita kepada kehendak-Nya; semakian kita asyik dan sembrono
dalam “ta’wil” atau penafsiran non-literal, maka semakin jauh kita dari
kehendak-Nya yang benar. Teks adalah semacam aksis atau “poros” tempat seluruh
tindakan orang beriman berkisar. Semakin dekat kepada kepada titik pusat
poros itu, maka makin besar kemungkinannya kita untuk mendekati esensi agama;
makin jauh kita dari poros itu, makin jauhlah kit dari esensi agama. Kedekatan
dan kejauhan, dalam hal ini, semata-mata diukur melalui “lafaz” atau teks.
Wawasan teologis yang bersifat “ultra-teosentris” semacam inilah yang
menerangkan kenapa teks begitu ditempatkan dalam kedudukan yang sentral,
sementara pengalaman manusia yang riil dan kontekstual diletakkan dalam
kedudukan yang inferior, rendah, sekunder, atau bahkan tak berarti sama sekali.
Kalau
kita hendak melakukan “sesuatu” yang kita harapkan berguna bagi penyegaran pemikiran
Islam, maka pertama-pertama yang harus kita hadapi adalah jelas sekali:
bagaimana kita menempatkan diri di hadapan teks ini? Kalau kita sadar bahwa
Qur’an dan Sunnah tidak lain adalah juga sekumpulan teks, maka pertanyaannya
menjadi jelas dan gamblang: mau kita apakan dua Teks Agung ini? Bagaimana sikap
yang tepat terhadap keduanya? Pertanyaan yang saya lontarkan di awal tulisan
ini menyangkut tuntutan untuk berdiri seimbang antara “taat ajaran” dengan
“berubah sesuai dengan perkembangan”, antara menjadi otentik dan modern
sekaligus, dengan demikian juga berkaitan dengan pertanyaan lain: apakah demi
mengikuti perkembangan yang terus berubah, kita boleh meninggalkan makna
lahiriah teks atau tidak. Sejauh mana teks agama bisa tetap dipertahankan dalam
pengertiannya yang lahiriah? Pada batas mana kita bisa mengatakan “selamat
tinggal” kepada makna lahiriah teks itu? Di manakah persisnya kita dengan hati
yang tenang bisa mengatakan bahwa makna literal dari Teks Agung (Qur’an dan
Sunnah) bisa kita tinggalkan, digantikan makna lain yang non-literal, yang
lebih sesuai dengan kebutuhan manusia?
Pertanyaan
lain yang segera mengemuka adalah: jika wawasan teologi yang “ultra-teosentris”
telah bertanggungjawab sepenuhnya terhadap supremasi teks yang begitu hebat,
apakah kita bisa merumuskan wawasan teologi lain yang lebih berpusat pada
manusia? Agak aneh, bahwa konsepsi Islam yang begitu cerah, optimistis, dan
maju tentang manusia (manusia diperlakukan sebagai khalifah, misalnya, seperti
dalam QS 2:30, dan QS 17:70 yang berbicara tentang konsep “takrim” atau
pemuliaan manusia) ternyat tidak tercermin dalam cara sebagian umat Islam
memandang kedudukan manusia dalam menafsir teks; yakni bahwa “agensi” manusia
untuk menafsir teks kurang begitu diperhitungkan; atau kalau diperhitungkan,
maka agensi itu tetap berada di bawah kontrol teks. Itulah sebabnya, dalam
maksim hukum Islam klasik dikatakan bahwa “al ‘ibrah bi’umuil lafz, la
bikhususis sabab,” yang menjadi pegangan pokok adalah universalitas teks, bukan
partikularitas konteks. Kaidah ini, secara langsung atau tidak, menempatkan
partikularitas pengalaman riil kehidupan manusia sebagai sesuatu yang berada di
bawah supremasi teks Qur’an atau Sunnah. Konsepsi semacam ini, secara tidak langsung,
berlawanan dengan prinsip dasar dalam Qur’an di mana manusia diletakkan pada
posisi yang begitu tinggi. Tadi saya sudah katakan, bahwa Qur’an mempunyai
konsepsi yang cerah dan optimistis mengenai manusia (konsep takrim). Dalam
pemahaman saya, manusia di sini tentu saja bukan suatu “wujud abstrak” yang
diidealisasikan, tetapi adalah manusia yang riil dengan seluruh pengalaman
kongkrit yang dimilikinya. Pemuliaan atas manusia juga berari mengakui
kompleksitas pengalamannya yang tidak bisa begitu saja ditundukkan kepada teks
yang dianggap sebagai “universal’. Wawasan teologi yang “ultra-teosentris” dan
kemudian berujung pada supremasi teks, dengan demikian mengakibatkan suatu efek
alienasi atau pengasingan, yaitu manusia diasingkan dari pengalamannya sendiri,
dan diperintahkan begitu saja untuk tunduk kepada kesakralan teks yang dianggap
mengatasi dan “mengabstraksikan” seluruh pengalaman kongkrit manusia.
Acapkali
kita dengar bahwa suatu ketentuan hukum tertentu dalam Islam (misalnya hukum
qishash atau waris, contoh yang paling banyak dikutip dalam setiap perdebatan
mengenai pokok soal ini) dianggap sebagai sesuatu yang final dan sudah demikian
adanya, semata-mata berdasarkan suatu paham sederhana bahwa itu adalah sabda
Allah atau perintah Allah. Sebuah ayat dalam Qur’an (33:36) seringkali dikutip
sebagai landasan utama: jika Allah dan Rasul-Nya memutuskan sesuatu, maka
tidaklah boleh bagi orang beriman, laki atau perempuan, untuk menolak keputusan
itu; tak ada pilihan bagi mereka kecuali mena’atinya. Apakah benar ayat ini
menunjuk kepada makna yang sering dipahami oleh sebagian umat Islam saat ini,
yaitu ketundukan kepada teks tanpa reserve, tanpa memperhitungkan bagaimana
perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia sendiri? Dengan kata
lain, apa benar bahwa ayat tersebut merupakan argumen kokoh untuk mendukung
supremasi teks yang asasnya adalah: makin tekstual pemahaman anda, maka anda
akan semakin dekat kepada makna teks itu, dan dengan demikian makin taat anda
kepada keputusan Allah dan Rasul-Nya, dan juga sebaliknya? Saya meragukan bahwa
ayat itu menghendaki pengertian yang semacam itu. Berdasarkan konsep “takrim”
atau pemuliaan yang bahkan dikenalkan oleh Qur’an sendiri, manusia dengan
seluruh pengalamannya merupakan dasar yang penting dalam ketundukan kita kepada
Allah.
Makna
dasar Islam adalah “ketundukan”. Apakah ketundukan kepada Allah harus berarti
menundukkan pengalaman sejarah manusia yang kongkrit kepada kehendak Allah
begitu saja? Ini pertanyaan penting yang harus diungkap terus-menerus, agar
kita tidak terjebak dalam pemaknaan yang sempit atas sejumlah ayat dalam Quran
seperti ayat 36 dalam surah Al Ahzab yang saya kutipkan di atas itu. Sebab,
jika ketundukan dimaknai dalam kerangka wawasan teologi yang
“ultra-teosentris”, maka ketundukan di situ berarti pengabaian pengalaman
kehidupan manusia yang riil demi memelihara kemuliaan teks Qur’an, karena
pengalaman itu dianggap hanyalah sesuatu yang sifatnya relatif, sesuatu yang
inferior. Saya lebih cenderung memandang bahwa ketundukan di situ adalah
ketundukan yang tetap dalam kerangka pemuliaan kehidupan manusia, sesuai dengan
konsep takrim yang dikenalkan oleh Qur’an sendiri. Ketaatan kepada hukum-hukum
Allah tetaplah tidak bisa dimutlakkan begitu rupa sehingga mengorbankan pengalaman
kehidupan manusia itu sendiri. Cara yang tepat untuk memandang Islam adalah
dengan melihat dua dimensi sekaligus: dimensi “islam/istislam” sebagai
ketundukan, dan dimensi “takrim” sebagai pemuliaan martabat manusia. Dalam
retorika populer umat Islam, dimensi “ketundukan” dan dimensi “kehambaan”
(‘ubudiyyah) lebih banyak ditekankan ketimbang dimensi pemuliaan manusia dan
pengalamannya. Karena hukum dan kehendak Allah tidak bisa dipahami kecuali
melalui –meminjam bahasa ushul fiqh klasik—“khithab” atau ujaran-Nya yang
disampaikan via Nabi, maka makna Islam yang berarti ketundukan itu dimerosotkan
nilainya menjadi sekedar tunduk kepada teks-teks yang ada dalam Qur’an, tentu
ketundukan dalam pengertian yang harafiah. Islam, dengan demikian, menjadi aneh
maknanya: yaitu tunduk dan berserah diri kepada teks. Islam merosot nilainya
menjadi “penyembahan kepada teks”, atau, dalam bahasa Huxley yang saya kutip
dalam pembukaan tulisan ini, “bibliolatry”.
Suka
atau tak suka, semua umat beragama yang mendasarkan diri pada Holy Scripture,
atau Kitab Suci yang tertulis, sangat rentan terhadap kecenderungan semacam
ini: menempatkan teks dalam kedudukan yang begitu “supreme”, begitu tinggi,
sehingga mengalahkan kenyataan hidup manusia yang terus berubah. Kalau mau
menggunakan istilah yang agak sedikit seram, “rejim teks” akan selalu menjadi
bayang-bayang yang terus menghantui masyarakat Kitab Suci, atau –dalam bahasa
Qur’an—“ahlul kitab”. Fenomena sosial yang kita lihat akhir-akhir ini, yaitu
fundamentalisme, sebetulnya merupakan wujud modern dari kecenderungan yang
sudah berurat berakar lama dalam agama-agama Kitab-Suci-Tertulis, yaitu
kecenderungan untuk meninggikan teks di atas pengalaman kongkrit manusia. Dasar
pokok dalam fundamentalisme agama (termasuk di dalamnya adalah fundamentalisme
Islam) adalah kehendak untuk mengukuhkan teks. Teks selalu memanggil-manggil
umat beriman untuk kembali ke pangkuannya, karena di sanalah kehendak Tuhan
akan mereka temukan. Itulah sebabnya panggilan untuk kembali kepada teks
(dalam yargon yang selama ini kita kenal: ruju’ ilal kitab was sunnah, kembali
kepada Kitab yang tertulis [yaitu Qur’an] dan tradisi Nabi [Sunnah]) selalu
menyimpan daya tarik yang hebat bagi umat Islam. Amat mengherankan bahwa teks
mempunyai “gravitasi” yang begitu hebat di kalangan umat.
Sudah
tentu gravitasi teks ini bukan semata-mata lahir karena konsepsi tentang teks
yang berlandaskan wawasan teologi yang “ultra-teosentris”. Ada sebab-sebab yang
lebih bersifat sosial politik yang melatari itu semua. Mengutip kembali Prof.
Nasr, dalam sejarah Islam, supremasi teks yang begitu sentral sebenarnya
tidak bisa dipisahkan dari konteks politik pada zaman itu. Sebagaimana kita
tahu, proses pemantapan mazhab-mazhab dalam Islam berlangsung sekitar abad 3-4
Hijriyah. Inilah masa yang dalam sejarah tasyri’ Islam disebut sebagai periode
taqnin, atau kodifikasi mazhab. Pada periode itulah mulai muncul ancaman
disintegrasi “polity” atau kepolitikan umat. Dinasti Abbasiyah di Baghdad mulai
terancam karena munculnya “duwailah” atau kerajaan-kerajaan kecil di wilayah
pinggiran imperium Islam. Perasaan “insecurity” mulai muncul. Pada saat seperti
itu, umat merasakan perlunya suatu rasa aman, dan salah satu mekanisme
pencarian rasa aman itu adalah dengan cara menegakkan otoritas teks sebagai
pedoman yang dianggap absolut[3].
Warisan inilah yang terus kita langgengkan hingga sekarang, yaitu warisan akan
pentingnya ketaatan pada teks karena kekhawatiran akan munculnya disintegrasi
umat yang disebabkan oleh kekacauan penafsiran. Kata “fitnah” yang berarti
kekekacauan sosial selalu merupakan hantu yang membayangi sejarah sosial umat
Islam. Penegakan supremasi teks adalah semacam usaha untuk mengkompensasi
(‘amaliyyah ta’widhliyyah, istilah Prof. Nasr) kekacauan itu dengan cara
mengokohkan otoritas teks. Dalam cara yang sama, Roxanne L. Euben, dalam “Enemy
in the Mirror”, menjelaskan kemunculan fundamentalisme modern. Dalam
fundamentalisme modern, “discourse of authenticity” begitu kuat dan menonjol.
Sudah tentu, keotentikan di situ diukur pertama-tama melalui ketaatan seseorang
kepada bunyi dan ketentuan teks dalam Kitab Suci. Wacana tentang keaslian
berdasarkan teks ini, seperti diulas oleh Euben, adalah lahir karena perasaan
kecemasan yang mendalam dalam umat Islam berhadapan dengan hegemoni
negara-negara Barat yang dipandang melukai “harga diri” mereka; dalam usaha
mengatasi kecemasan itu, sesuatu yang bersifat pasti dan kokoh diperlukan. Teks
dikokohkan kembali untuk mengkompensasi perasaan cemas ini[4].
Singkatnya, dalam situasi krisis di mana umat Islam mencari pegangan yang kokoh
untuk tambatan agar tidak mengalami disintegrasi atau “fitnah”, seringkali
seruan untuk kembali berpegang kokoh kepada teks digembar-gemborkan secara
reguler. Kita masih ingat observasi yang dulu, di abad 19, pernah dikemukakan
oleh seorang intelektual Muslim masa kekhalifahan Usmani, Muhammad Syakib
Arsalan: kemajuan bangsa Barat terjadi karena mereka meninggalkan Kitab Suci
mereka; tetapi kemajuan umat Islam hanya akan terjadi kalau mereka kembali
berpegang teguh kepada Qur’an. Kitab Suci atau teks, dalam pengamatan Arsalan,
dipandang sebagai sumber penyelesaian masalah umat.
Tetapi,
pertanyaan saya adalah: kenapa teks begitu mudah menarik perhatian umat Islam,
dan kenapa dalam situasi krisis (identitas), teks lah yang selalu “dipanggil”
ke depan untuk menjadi pelindung dari ancaman kekacauan? Ini semua tidak
mungkin terjadi seandainya teks sendiri tidak menempati kedudukan yang sentral
dalam wawasan keagamaan umat. Dalam istilah Prof. Nasr, Qur’an dan Sunnah
sebagai teks telah menjadi suatu “konsep aksial” (mafhum mihwary) atau gagasan
poros yang begitu pentingnya sehingga bolak-balik umat selalu menoleh ke sana
dari waktu ke waktu. Jika tidak ada suatu upaya untuk membongkar wawasan
teologis yang menempatan teks dalam posisi yang begitu sentral semacam itu,
maka lingkaran setan pemahaman keagamaan yang “alkitabiah” atau skripturalistik
tidak akan bisa diatasi. Bibliolatri akan terus membayang sebagai ancaman yang
tidak bisa dihindarkan. Bahaya dari bibliolatri adalah “hilangnya dimensi
manusia” (“ghayabul insan”, istilah Hassan Hanafi) dalam modus keberagamaan.
Pengalaman manusia menjadi remeh dan tidak diperhitungkan. Manusia menjadi
tidak da harganya, entah sebagai pribadi atau sebagai kolektivitas sosial yang
kaya akan pengalaman-pengalaman historis yang kongkrit.
Ada
sekurang-kurangnya dua asumsi dasar dalam pemahaman keislaman yang
tekstualistik:
Pertama,
Adanya praanggapan bahwa teks adalah sesuatu yang dengan sendirinya tembus
pandang, transparan. Seorang pembaca teks bisa dengan langsung menembus dan
menggali isi dan kandungan dalam teks itu tanpa ada hambatan apapun. Inilah
yang menjelaskan kenapa retorika agama populer selalu bertaburan dengan ayat
dan hadis; kedua sumber itu dikutip begitu saja, seolah-olah tidak ada hambatan
apapun; seolah ayat yang turun untuk sahabat Nabi di abad 7 Masehi dengan
begitu saja bisa dikutip untuk zaman sekarang tanpa adanya kesulitan yang
timbul karena adanya “jarak epistemologis” yang berarti. Maksud saya: jarak yang
terbentang karena konteks tempat ayat itu turun jelas berbeda dengan konteks
kita sekarang ini. Asumsi ini tidak bisa diterima karena satu alasan yang
sebenarnya sangat sederhana: setiap teks selalu mengandung lapisan-lapisan
penafsiran yang bertingkat-tingkat. Teks juga tidak bisa bicara dengan
sendirinya kepada masyarakat yang menerimanya. Qur’an, misalnya, tidak bisa
berbicara sendiri atas nama Tuhan tanpa adanya “masyarakat tafsir” (ahlut
ta’wil sebagai imbangan ahlul kitab) yang membuat Kitab Suci itu berbicara
kepada mereka. “Innama yunthiquhur rijal,” kata Sayyidina Ali r.a,;
sesungguhnya yang membuat mushaf atau Qur’an itu berbunyi adalah orang-orang
(tentu kata “rijal” yang artinya laki-laki di sini sangatlah bias gender;
seolah-olah yang bisa “membunyikan” Qur’an hanyalah kaum laki-laki, dan
perempuan hanya bisa diam pasif mendengarkan “suara” kaum laki-laki itu).
Artinya, teks agama tidak bisa hadir sebagai sesuatu yang bermakna bagi manusia
tanpa adanya suatu “perantara” atau “makelar”. Saya mempunyai hipotesis:
semakin jauh jarak kita dari suatu teks, semakin banyak kita membutuhkan
“perantara” untuk menjembatani antara kita yang hidup di abad 21 ini dengan
teks Qur’an yang lahir dalam konteks sosial abad 7. Artinya: semakin jauh jarak
kita dari suatu teks, maka media atau jembatan yang perlu kita bangun jelas
makin panjang. Sebabnya tentu sangatlah sederhana: kita tidak pernah tahu
persis, bagaimana sebetulnya gambaran dari masyarakat zaman Nabi dahulu saat
menerima wahyu itu, bagaimana situasi dan konteksnya, bagaimana
hubungn-hubungan sosial yang ada zaman itu, dst. Kita hanya bisa mereka-reka
saja, merekonstruksi peristiwa kewahyuan yang ada zaman itu. Pengetahuan
tentang konteks pewahyuan yang lebih dari sekedar ilmu asbabun nuzul dalam
pengertian klasik merupakan syarat mutlak untuk memahami suatu ayat.
Kedua,
asumsi lain adalah: seolah-olah yang disebut sengan Qur’an hanyalah ayat-ayat
yang tertera dalam mushaf saja. Asumsi ini juga tidak bisa kita terima.
Mengandaikan bahwa Qur’an adalah hanya sekedar teks yang tercantum dalam
mushaf, sama saja dengan mengandaikan bahwa Qur’an hanya teks yang mati belaka.
Lagi-lagi mengutip Prof. Nasr, proses pewahyuan sejatinya adalah “’amaliyyat
ittishal”, proses komunikasi yang mengandaikan adanya dua pihak: pihak yang
mengirimkan pesan (Allah) dan pihak yang menerima pesan (Nabi Muhammad). Karena
Nabi bukanlah seseorang yang terisolasi dari konteks, tetapi orang yang hidup
dalam suatu komunitas “makna” yang sungguh-sungguh kongkrit, maka sebetulnya
wahyu yang kemudian bernama Qur’an itu sebenarnya bukan sekedar merupakan
deretan teks mati, tetapi teks yang hidup dalam suatu konteks yang benar-benar
nyata. Kalau boleh, saya hendak mengajukan suatu konsep tentang “wahyu yang
hidup”, yaitu wahyu yang terdiri dari teks dan konteksnya sekaligus. Teks yang
kita baca dalam Qur’an sekarang ini adalah “sebagian” dari wahyu yang harus
dilengkapi dengan pemahaman atas konteks kongkret tempat wahyu itu dahulu
turun. Prof. Arkoun mempunyai suatu analisa yang baik mengenai hal ini. Dia
mengajukan suatu istilah “tajribatul Madinah”, atau pengalaman Madinah. Wahyu
yang diterima oleh Nabi adalah wahyu yang turun dalam suatu konteks “pengalaman
yang kongkret”. Kita juga tidak bisa memandang Nabi hanya sebagai individu
belaka, sebab Nabi adalah bagian dari suatu komunitas yang nyata. Ketika Qur’an
dibukukan dan diresmikan dalam “mushaf”, dalam lembaran-lembaran, maka yang
tercatat sebagian besar hanyalah teks Qur’an, tetapi konteks yang melekat pada
wahyu saat turun tidak ikut tercatat di dalamnya. Proses penulisan Qur’an,
dengan sendirinya, “mereduksikan” Qur’an hanya sebagai sebuah teks mati belaka.
Gerakan-gerakan Islam yang memperjuangkan agar umat kembali kepada “teks”, sama
sekali tidak menyadari bahwa mereka sedang mengajak umat merujuk kepada suatu
dokumen wahyu yang sudah kehilangan konteksnya. Di sinilah letak sulitnya kita
menerima pemahaman “naif” atas ayat yang sering dikutip oleh kaum skripturalis
(QS 4:59): fa in tanaza’tum fi syai’in farud duhu ilal Lahi wa rasulih. Jika
kalian berselisih mengenai suatu perkara, maka kembalilah kepada Allah dan
Rasul-Nya. Dengan “kenaifan” yang polos, ayat ini bisa menjebak kepada
pemahaman sederhana bahwa kembali kepada teks Qur’an adalah makna yang
dikehendaki oleh ayat itu. Bagi saya, pokok soalnya adalah: bagaimana kita bisa
kembali, kalau kita hanya mewarisi dokumen Qur’an tertulis yang tidak
menyertakan rekaman yang detil mengenai konteksnya. Dan sesungguhnya, jika kita
mau jujur, tidak ada Kitab Suci di dunia ini yang dibukukan dan menyertakan
konteksnya sekaligus. Sebab jika demikian halnya, Kitab Suci akan sangat tebal,
dan membuat malas umatnya untuk menyimak dan menghafal. Benarlah kata Sayyidina
Ali seperti yang telah dikutip di atas: sesungguhnya Qur’an itu adalah teks mati
(karena dikodifikasi dengan tanpa menyertakan dokumen tentang konteksnya),
hanya orang-oranglah yang membuatnya hidup dan bisa “berbicara” kepada
manusia.
Dengan
kata lain, diperlukan suatu “mediasi” atau perantaraan, suatu penafsiran. Dan
di sinilah letak pentingnya “masyarakat penafsir”. Yang jarang diingat oleh
mereka yang menganjurkan kembali kepada teks Kitab Suci adalah bahwa bahkan
Kitab Suci itu sendiri sejak menit pertama hadir dalam sejarah masyarakat
manusia, dia sesungguhnya hadir di tengah-tengah masyarakat penafsir. Sahabat
Nabi, bahkan juga Nabi sendiri, bukanlah merupakan penerima pasif wahyu, tetapi
adalah masyarakat yang aktif menafsirkan wahyu itu sendiri. Bahkan Az Zarkasyi,
dalam Al Burhan fi ‘Ulumil Qur’an, mengutip suatu pendapat (meskipun kurang
dominan) di lingkungan penafsir Qur’an klasik, bahwa Qur’an turun kepada Nabi
hanyalah berupa gumpalan gagasan-gagasan, sementara “wording” atau
pengkalimatan gagasan itu dalam konteks masyarakat Makkah dan Madinah saat itu
dilakukan oleh Nabi sendiri (sebagian pendapat yang lain mengatakan: Jibril lah
yang memberikan “baju” atas gagasan-gagasan kewahyuan)[5].
Jika kita ikuti pendapat ini, maka akan gamblang sekali bahwa bahkan sejak
menit pertama, wahyu adalah merupakan proses yang sifatnya “partisipatif”,
suatu medan makna di mana di dalamnya terlibat aktif para aktor-aktor historis
yang hidup dalam konteks yang kongkret, termasuk Nabi sendiri dan para
sahabatnya. Konon, menurut Fazlur Rahman, sahabat Umar boleh disebut sebagai
“co-author” atau orang yang ikut “menciptakan” Qur’an, karena banyak sekali
ayat-ayat Qur’an yang turun membenarkan pendapat Umar, dan menyalahkan keputusan
Nabi[6].
Saya hendak melangkah lebih jauh lagi dengan mengatakan bahwa sebenarnya
seluruh sahabat dan komunitas di Madinah saat itu adalah, secara tidak
langsung, merupakan “co-author” dari Qur’an. Dalam pengertian inilah kita bisa
memahami konsepsi Mohamed Arkoun tentang “pengalaman Madinah” di atas: suatu
pergulatan antara wahyu dengan masyarakat yang menerimanya, di mana keduanya
adalah merupakan dua pihak yang saling mengandaikan. Pengalaman itu juga
bersifat partisipatif, di mana masyarakat sahabat terlibat secara aktif dalam
“an act of co-authorship”, dalam tindak “penciptaan” dan pemaknaan Qur’an.
Gagasan
tentang “mediasi” atau adanya perantara antara kita dengan Kitab Suci menolak
anggapan bahwa Qur’an adalah teks yang tembus pandang, teks yang bisa diakses
tanpa mengandaikan pengetahuan yang memadai tentang konteks ayat itu turun.
Gagasan itu juga menolak anggapan bahwa teks saja adalah memadai. Teks Qur’an
tidaklah sesuatu yang “self sufficient”, mencukupi dirinya sendiri. Kenapa
Qur’an tidak mencukupi dalam dirinya sendiri, karena teks Qur’an sebetulnya
adalah teks yang tali-temali, kait berkelindan dengan teks-teks lain. Teks
Qur’an adalah teks yang sifatnya intertekstual. Teks-teks lain yang
mengelilingi Qur’an, antara lain, adalah sejarah sosial masyarakat Arab,
tradisi literer yang sangat kaya dan maju pada zaman itu, konteks politik dan
hubungan-hubungan kekuasaan pada masa turunnya wahyu, tradisi-tradisi
kepercayaan dan keagamaan yang hidup pada saat tersebut, dan sebagainya.
Secara
ringkas dapat dikatakan kembali, bahwa problem pokok dalam pemahaman Islam
skarang ini adalah adanya pandangan yang dominan tentang teks sebagai sesuatu
yang “supreme”, sehingga pemahaman atas teks itu kerapkali mengabaikan
kenyataan dan pengalaman manusia yang kongkrit. Akibatnya adalah pengasingan
manusia dari pengalamannya sendiri, karena supremasi teks yang berlebihan.
Diperlukan suatu pandangan yang lebih seimbang tentang teks, yaitu teks atau
wahyu yang hidup dalam konteks yang nyata, di mana masyarakat terlibat aktif
dalam pemaknaan teks itu. Pengalaman manusia dan wahyu adalah dua hal yang
saling mengandaikan, dan tidak bisa dipisahkan satu dari yang lain. Dengan kata
lain, wahyu dan pengalaman manusia (termasuk di dalamnya adalah akal) adalah
sama kedudukan dan status “epistemologis”-nya dalam tindakan penafsiran. Kalau
kita mengikuti hirarki klasik mengenai sumber-sumber hukum dalam Islam, kita akan
mengenal empat sumber: Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas/Ijtihad. Kalau saya
diperkenankan untuk melihat ulang kembali sumber-sumber hukum itu dalam terang
wawasan penafsiran seperti yang telah dikemukakan di atas, maka saya akan
menyebutkan dua sumber saja: wahyu dan pengalaman historis manusia. Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas adalah cerminan dari pengalaman masyarakat (Madinah) dalam
pergulatannya dengan wahyu. Kedua sumber itu, seperti telah ditegaskan tadi,
adalah setara kedudukannya. Sesuai dengan konsepsi Qur’an tentang “takrim”,
maka sudah sewajarnya kita mengangkat pengalaman historis masyarakat sebagai
sumber yang setara dengan wahyu itu sendiri. Yang saya maksudkan dengan
“pengalaman” di sini adalah perkembangan-perkembangan situasi dalam kehidupan
setiap masyarakat. Dengan kata lain: wahyu bukan saya maknai sebagai “teks”
yang sepenuhnya terpisah dari kehidupan manusia yang terus berkembang,
sebagaimana pemahaman yang secara implisit sekarang ini berlaku dalam
masyarakat kita. Wahyu, dalam pandangan yang selama ini kita jumpai, dipandang
sebagai “eksternal” terhadap kenyataan hidup manusia, dan dengan demikian juga
berada di “atas”-nya, mengatasinya, superior terhadap yang terakhir itu.
Jika kenyataan hidup berlawanan atau menyimpang dari wahyu, maka jawabannya
adalah sudah pasti: sesuaikan kenyataan itu dengan wahyu. Sebab, mengutip
kata-kata da’i “sejuta umat” kita, Zainuddin MZ, Qur’an adalah “imam”,
sementara kita adalah “makmum”. Sebaliknya, yang saya kehendaki adalah wahyu
yang bersama dengan pengalaman dan realitas kehidupan manusia bekerja secara
dialektik dalam merumuskn kebenaran ajaran agama.
II Pembacaan
“baru” atas Qur’an: go beyond text
Setelah
“tour” panjang dalam meletakkan hubungan antara wahyu dan pengalaman serta
realitas kehidupan manusia sebagai dua hal yang saling memprasyarati,
pertanyaan berikutnya yang muncul adalah: bagaimana sikap kita terhadap
teks Qur’an sendiri; apakah kita harus ta’at berkukuh kepada makna literal dari
ayat itu, atau kita diperbolehkan untuk meninggalkannya sama sekali jika makna
literal tersebut tidak lagi bisa dipertahankan? Apa patokannya?
Salah
satu kaidah klasik yang menjadi “aturan main” dalam proses penalaran hukum
adalah la ijitihada fi muqabalatin nash, tidak dimungkinkan adanya ijtihad atau
penalaran hukum dalam bidang-bidang di mana ada teks yang menerangkan dengan
jelas ketentuan hukumnya. Ketentuan dalam masalah itu disebut sebagai ketentuan
yang sudah pasti dan mengikat, qath’i. Prof. Ibrahim Hosen pernah mengemukakan
pandangannya mengenai masalah ini. Menurut dia, ketentuan-ketentuan dalam
Qur’an yang dapat disebut sebagai qath’i (pasti dan mengikat) sangatlah
terbatas jumlahnya, dan untuk sampai kepada status itu dibutuhkan syarat yang
tidak ringan. Dia menyebut, misalnya, ketentuan-ketentuan itu harus “menafikan
dengan dasar mutawatir segala macam bentuk ihtimal (kebolehjadian). Misalnya,
nash (teks –UAA) itu tidak mengandung ihtimal majaz, kinayah, idlmar,
takhshish, taqdim dan ta’khir, naskh, atau ta’arudl ‘aqli.[7]
Pandangan Prof. Hosen ini jelas kurang populer di kalangan sebagian besar
ulama, terutama pendapatnya yang mensyaratkan suatu teks qath’i agar tidak
mengandung kontradiksi secara akliah (ta’arudl qath’i). Pandangan Prof. Hosen
ini saya anggap sangat maju dan cukup berani. Atas dasar patokan ini, kita bisa
dengan mudah menilai sejumlah ayat dalam Qur’an yang selama ini sudah dianggap
sebagai qath’i, padahal di dalamnya terdapat ihtimah (kemungkinan makna) yang
lain di luar makna literal yang sering dipahami dari ayat-ayat itu. Meskipun
sudah klise, kita sering mendengar perdebatan klasik yang terakhir dipicu oleh
Munawir Syadzali melalui isu reaktualisasi ajaran Islam, atau oleh Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) melalui gagasannya tentang pribumisasi Islam. Masalah yang
muncul ketika itu adalah soal pembagian warisan. Pola lama 2:1 di mana anak
laki-laki mendapatkan dua kali lebih dari pembagian yang diperoleh anak
perempuan, dianggap oleh Munawir sebagai ketentuan yang tidak qath’i, meskipun
terdapat ketentuan yang jelas dalam Qur’an (QS 4:11) mengenai itu. Ihtimal atau
keberatan yang diajukan oleh Munawir, antara lain, bahwa pembagian itu tidak
adil dalam konteks kehidupan sekarang di mana beban penyelenggaraan rumah
tangga dipikul secara bersama oleh laki-laki dan perempuan secara ekual.
Keadilan yang sudah jelas dan gamblang adalah salah satu fondasi seluruh agama
Islam, menjadi pertimbangan pokok untuk menilai ulang ketentuan tentang hukum
waris ini.
Saat ini kita berhadapan dengan isu sentral tentang
tuntutan pelaksanaan syari’at Islam. Kita dihadapkan lagi dengan persoalan lama
yang belum tuntas perdebatannya: apakah yang disebut dengan syari’at? Mana saja
lingkupnya? Apakah mungkin syari’at dijadikan landasan pengelolaan kehidupan
masyarakat Muslim di masa modern ini? Apakah syari’at merupakan ketentuan yang
begitu saja harus kita anggap mengikat semua umat Islam karena dia adalah
“hukum Tuhan”? Saya mengajukan pertanyaan dan sekaligus jawaban baru dalam
artikel di Kompas yang menimbulkan kontroversi itu[8]:
apakah benar ada yang disebut “hukum Tuhan” (dalam artian “Divine law”) dalam
pemamahan yang selama ini dilekatkan sebagian besar orang modern terhadap kata
“hukum”, yaitu hukum positif yang berlaku secara menyeluruh kepada subyek hukum
tanpa melihat latar belakang agama, suku, warna kulit dsb., serta ditegakkan melalui
wewenang negara? Saya, dalam artikel itu, mengatakan: tidak ada! Sebab yang ada
adalah nilai-nilai pokok yang sering disebut sebagai “maqashidusy syari’ah”
atau tujuan-tujuan umum syari’at Islam. Saya tidak akan membahas masalah ini
sekarang. Saya akan mencoba menjawab masalah pokok yang menjadi bahan
perdebatan lama: apakah yang disebut dengan qath’i, apa yang disebut dengan
zhanni; manakah ayat-ayat dalam Qur’an (juga Sunnah) yang bisa kita masukkan ke
dalam status qath’i, sehingga tidak boleh lagi diganggu gugat, dan manakah yang
zanni dan mengandul –istilah Prof. Hosen—“ihtimal” sehingga bisa dinegosiasikan
berdasarkan perkembangan waktu dan tempat?
Dua
kata itu, qath’i dan zanni, dalam tradisi ushul fiqh klasik dan modern,
didefinisikan dalam cara yang, bagi saya, kurang tepat. Qath’i artinya
adalah suatu dalil hukum yang dikemukakan dalam suatu redaksi atau “kata” yang
tidak mengandung makna ganda (la yahtamilu ma’nayain). Dalil yang zanni adalah
dalil yang sebaliknya, yaitu dalil hukum yang redaksinya mengandung ambiguitas.
Dalil qath’i dibagi kedalam dua kategori: qath’iyyul wurud (yaitu dalil yang
transmisinya valid, sehingga tidak mengandung keraguan lagi [Qur’an, dalam
pandangan fuqaha dan seluruh umat Islam adalah qath’iyyul wurud, sementara
hadis hanya sebagian yang qath’yyul wurud, sebagian yanglain adalah zanniyyul
wurud]), dan qathi’yud dilalah (yaitu dalil yang menunjukkan makna yang pasti,
univok, tidak ambigu). Begitu juga dalil zanni dibagi kedalam dua kategori:
zanniyyul wurud (yaitu dalil yang transmisinya mengandung keraguan, apakah
benar dalil itu diucapkan oleh Nabi atau tidak, misalnya), dan zanniyyud
dilalah (dalil yang menunjukkan makna ganda, sehingga kita tidak bisa
memastikan mana makna yang tepat).
Defisini
qath’i dan zanni dalam tradisi hukum kita lebih didasarkan pada pertimbangan
“redaksi” atau kalimat. Suatu dalil atau teks dianggap qath’i manakalah ia
disampaikan dalam suatu redaksi atau kalimat yang begitu rupa sehingga tidak
mengandung ambiguitas. Redaksi atau lafaz yang demikian itu disebut sebagai “an
nash”. Begitu juga, suatu dalil akan dianggap sebagai zanni manakala
disampaikan dalam redaksi atau lafaz yang ambigu, bermakna ganda, ekuivok. Saya
paham, bahwa pada akhirnya suatu ajaran dalam masyarakat yang mengenai Kitab
Suci Tertulis mau tidak mau mesti dilandaskan pada teks tertulis dalam Kitab
Suci itu. Dalam hal ini, teori tentang “kata” memegang peran penting. Itulah
sebabnya, dalam ushul fiqh klasik dikenal suatu pembahasan panjang mengenai
“Bab al Alfaz”, bab tentang kata. Sebab “kata” adalah fondasi paling asasi
dalam penalaran hukum yang berlandasakan Kitab Suci Tertulis. Tetapi justru di
sinilah saya hendak mengemukakan pandangan lain, yaitu keharusan melakukan
“paradigm shift”, atau pembalikan paradigma. Bagi saya, teori tentang qath’i
dan zanni tidak bisa lagi dipertahankan lagi sebagai sekedar teori tentang
“kata”, tetapi harus menjadi teori tentang nilai. Diskursus mengenai nilai dan
teori nilai tampaknya kurang dikembangkan dengan serius oleh sarjana Muslim,
baik klasik atau modern. Atau tepatnya: filsafat etika kurang menempati posisi
sentral dalam pemikiran Islam klasik dan modern. Sebagian besar energi
intelektual umat Islam terserap kedalam penalaran fiqh dengan pusatnya yang
paling penting adalah “teks”. Lagi-lagi, mengutip kalimat Prof. Nasr, tradisi
pemikiran Islam memang benar-benar tradisi yang berikisar di sekitar “Teks”,
yakni teks Qur’an dan Sunnah.
Sejumlah
intelektual Muslim modern mulai mengajukan alternatif terhadap cara pandangan
lama tentang qath’i dan zanni ini. Fazlur Rahman, misalnya, dalam Major Themes
in Qur’an, mencoba memulai suatu tradisi baru dengan menggali apa yang dia
sebut sebagai konsep-konsep etiko-religius, yakni konsep-konsep etis Qur’ani
yang merupakan landasan dari “pandangan dunia Islam”. Dalam bukunya yang
seminal, Toward An Islamic Reformation, Abdullahi Ahmed An Na’im, mengikuti
contoh yang ditinggalkan gurunya, Muhammad Mahmud Taha, merumuskan ulang
defenisi qath’i dan zanni. Dia membagi ayat-ayat dalam Qur’an dalam cara yang
ditempuh oleh ulama klasik tetapi dengan pemaknaan yang baru, yaitu ayat-ayat
Makkiyyah dan Madaniyyah. Ayat-ayat Makkiyah lebih relevan dijadikan sebagai
usaha merumuskan hirarki nilai baru dalam Islam, sebab umumnya ayat-ayat
Makkiyyah berisi konsep-konsep etis universal yang berisfat umum, sementara
ayat-ayat Madaniyyah lebih banyak berkaitan dengan cara penerjemahan
konsep-konsep etis itu kedalam konteks yang spesifik di Madinah. Dengan ini
hendak dikatakan bahwa derajat universalitas ayat-ayat Makkiyyah lebih tinggi
dibanding dengan ayat-ayat Madaniyyah. Ayat-ayat yang qath’i, dengan demikian,
adalah ayat-ayat yang turun di Makkah, sementara ayat-ayat zanni adalah yang
turun di Madinah. Masdar F. Mas’udi, dalam Agama Keadilan, mencoba meninjau
ulang kedua konsep itu (qath’i dan zanni). Masdar merumuskan ayat-ayat
qath’iyyah sebagai ayat-ayat yang mengandung ketentuan nilai-nilai etis yang
universal, yang tidak berubah karena perkembangan waktu dan perbedaan tempat.
Sementara ayat-ayat dzanniyah adalah ayat-ayat yang berurusan dengan cara
penerjemahan nilai-nilai etis universal itu ke dalam konteks tertentu[9].
Saya
kira, “batu-batu bata” argumen yang telah dimulai oleh pemikir-pemikir Muslim
modern itu sudah cukup membawa kita semua untuk meninjau ulang cara kita
“membaca” ayat-ayat Qur’an atau Sunnah. Seperti saya kemukakan di bagian
terdahulu, teks Kitab Suci bukanlah teks yang tembus pandang begitu saja, yang
transparan. Sebab, ada jarak historis dan epistemologis yang cukup panjang
antara kita dengan teks itu, jarak yang begitu lebarnya sehingga untuk
“menyeberanginya” kita membutuhkan “piranti penalaran” yang tidak remeh. Itulah
yang saya sebut sebagai “mediasi akal”. Dalam bagian terdahulu, saya sudah
mengemukakan bahwa kedudukan wahyu dan pengalaman kongkret manusia dalam
kehidupan sehari-hari haruslah diletakkan dalam posisi yang sejajar, sebab
wahyu tanpa konteks tidaklah bisa “berbunyi”. Wahyu yang tertulis adalah –ini
bukan istilah akademis—“wahyu eksplisit”, sementara konteks yang meliputi
turunnya wahyu, konteks di mana manusia dengan seluruh pengalamannya bergulat
dengan wahyu tersebut, boleh disebut –lagi-lagi ini bukan istilah
akademis—sebagai “wahyu implisit’. Dalam penggunaan yang lebih populer, dikenal
dua istilah: ayat-ayat qauliyyah dan ayat-ayat kauniyyah. Saya pernah
menggunakan istilah “wahyu verbal” dan “wahyu non-verbal”. Keduanya harus
saling mengandaikan dan mensyaratkan.
Berdasatkan
itu, saya ingin mengajukan cara pandang baru dalam “membaca” Qur’an. Harus
diakui, ini bukanlah sesuatu yang “baru” sama sekali, sebab- preseden ke arah
itu sudah terdapat dalam pemikiran para sarjana Muslim terdahulu. Saya hanya
mencoba merumuskan masalahnya secara “lain” dalam konteks tantangan baru yang
kita hadapi sekarang ini. Suatu cara pandang baru yang radikal memang
benar-benar harus diajukan untuk mengubah cara pandang yang dominan selama ini
di kalangan umat sekarang ini, yaitu sudut pandang yang kalau boleh ingin saya
sebut sebagai “bibliolatristik”. Kita harus membangunkan kembali kesadaran umat
Islam mengenai apa yang dalam tradisi fiqh disebut sebagai “hikmatut tasyri’”,
filosofi di balik legislasi hukum. Dengan kata lain, aspek-aspek etis dari
ajaran agama Islam harus dikemukakan lagi secara lebih persisten dan vokal
untuk menandingi kecenderungan-kecenderungan fundamentalisme modern yang hendak
mendangkalkan pemahaman Islam sebatas atau sebagai “ideologi politik” atau
sekumpulan ajaran yang harus diikuti begitu saja karena ia merupakan perintah
Tuhan. Teori tentang nilai atau visi etis dari agama juga harus ditampilkan
lagi lebih gamblang.
Dalam
wawasan seperti itu, cara baru membaca Qur’an didasarkan bukan pada asumsi
lama: bahwa segala ketentuan yang secara “harafiah” ada dalam Qur’an (atau
Sunnah), maka ia adalah bersifat mengikat, permanen, dan berlaku sepanjang masa
dan tempat. Ini, dalam pandangan saya, adalah cara membaca Qur’an yang
“bibliolatristik”, pembacaan yang hanya berhenti pada teksnya saja. Tiga ayat
dalam Surah Al Maidah (QS 5:44-47) yang seringkali dipakai untuk mendukung
sikap “bibliolatrisme”, bahwa barang siapa tidak berhukum kepada hukum Allah,
maka dia adalah kafir, zalim dan fasik, haruslah dibaca ulang bukan dalam
kerangka yang tekstualistik semacam itu. Kita harus membaca Qur’an dalam
sinaran konsep-konsep etis yang diderivasikan sendiri dari Qur’an tersebut.
Rahman telah merintis suatu “ijtihad” yang sangat bermanfaat dalam bidang ini.
Tetapi pembacaan baru atas Qur’an juga harus didasarkan pada pertimbangan bahwa
konteks kehidupan manusia yang kongkrit juga merupakan sesuatu yang
“konstitutif” dalam “pembentukan” wahyu Qur’an. Pengalaman umat Islam dalam
periode yang oleh Abdullahi A. An Na’im sebagai “periode paska-kolonial’ juga
harus dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Pembacaan Qur’an yang berlaku
selama ini masih tetap dalam semacam “complacency” bahwa tak ada sesuatu yang
berubah pada umat Islam setelah memasuki abad modern, dengan ciri-ciri pokok,
antara lain: pengalaman kolonialisme moder, pengalaman negara bangsa,
perjumpaan dan perkenalan dengan hukum positif Barat yang kemudian menjadi
kenyataan sehari-hari dalam kehidupan umat Islam, integrasi ekonomi global,
berkembangnya sistem demokrasi sebagai bentuk “polity” baru yang dominan di
seluruh dunia, dst. Pembacaan Qur’an yang “revivalistik” dan “bibliolatristik”
masih tetap saja mengandaikan bahwa seolah-olah umat Islam bisa dengan mudah
ditarik mundur ke zaman Nabi, dan bahwa sejarah “kesadaran” umat Islam
seolah-olah tidak mengalami diskontinuitas yang berarti setelah memasuki abad
industri. Ini semua adalah kenyataan-kenyataan hidup umat Islam yang harus
dipertimbangkan dalam pembacaan Qur’an.
Kesimpulannya:
meletakkan Qur’an semata-mata sebagai teks yang terisolasi dari kenyataan di
sekitarnya, dan atas dasar itu kemudian ditarik kesimpulan bahwa ajaran-ajaran
tertentu adalah bersifat mengikat dan permanen hanya karena ada ketentuan
harafiahnya dalam Qur’an, tidak bisa lagi diterima. Pandangan semacam ini harus
ditolak. Kutipan dari Imam Ghazali dalam pembukaan tulisan ini layak kita
pertimbangkan. Rahasia Qur’an adalah undangan atau ajakan agar hamba-hamba
Tuhan kembali kepada-Nya. Kalimat ini sangat radikal efeknya jika kita maknai
sebagai berikut: rahasia Qur’an bukanlah ajakan agar umat Islam dan hamba-hamba
Tuhan kembali kepada teks Qur’an itu sendiri, tetapi kembali kepada “esensi
transendental” yang ada di balik teks itu. Situasi yang kita hadapi sekarang
ini sungguh amat berbeda: umat Islam kembali kepada teks, kepada “scripture”,
bukan kepada visi etis yang melandasi teks-teks itu. Karena teks menjadi
sandaran utama dalam visi keagamaan yang dominan, maka pembaharuan-pembaharuan
pemikiran dalam Islam selalu berhadapan dengan pertanyaan pokok yang selalu
berulang dari waktu ke waktu: pandangan anda sesuai tidak dengan Qur’an dan
Sunnah? Mana dalilnya? Pertanyaan itu mengandung kelemahan dasar dan salah
sejak dari awalnya: sebab kesesuaian dengan Qur’an dan Sunnah semata-mata
dinilai berdasarkan keesuaian yang sifatnya tekstual. Kenyataan bahwa wahyu
sejak dari awalnya adalah teks yang pemaknaannya terkait secara erat dengan
komunitas sahabat yang menerimanya saat itu, dan bahwa wahyu tekstual adalah
“separoh” saja dari wahyu Qur’an yang sesungguhnya (yang lain adalah “wahyu
implisit” dalam bentuk konteks sosial), sama sekali diabaikan. Kita harus
berani “menyeberang” di balik teks, dengan menengok kembali visi etis Qur’an
yang bersifat universal, serta lingkungan sosial umat Islam yang terus berubah.
Go beyond text, itu tantangannya.
Visi
etis Islam sebetulnya sudah dirumuskan untuk sebagian oleh juris klasik Islam,
yaitu dalam apa yang disebut sebagai “al kulliyyatul khamsah” (lima pilar
utama) atau “al kulliyyatul kubra” (pilar-pilar agung). Visi itu dirumuskan
sebagai “perlindungan”. Yaitu perlindungan atas (1) akal, (2) agama, (3) nyawa,
(4) harta, dan (5) kehormatan atau keluarga. Ayat-ayat Qur’an sudah semestinya
dibaca dalam terang visi etis ini, di satu pihak, serta didialogkan dengan
pengalaman umat Islam modern di pihak lain. Dengan mengecualikan ayat-ayat yang
berkaitan dengan ritual murni seperti salat, puasa dan haji, dan ketentuan sial
makanan dan minuman (math’umat dan masyrubat), maka seluruh “ayatul ahkam” atau
ayat-ayat hukum yang keseluruhannya turun di Madinah itu, harus dianggap
sebagai ayat yang hanya berlaku temporer, kontekstual, dan terbatas pada
pengalaman sosial bangsa Arab di abad 7 M. Ayat-ayat itu mencakup ketentuan
tentang kewarisan, pernikahan, kedudukan perempuan, jilbab, qishash, jilid,
potong tangan, untuk menyebut beberapa contoh saja. Tidak ada kekeliruan yang
lebih fatal dari cara pandang yang melihat bahwa Qur’an adalah kitab yang
mengandung ketentuan yang seluruhnya bersifat permanen, universal, dan abadi.
Kleim yang selalu dikemukakan bahwa Qur’an adalah “shalihun likulli zamanin wa
makan,” tepat dan relevan untuk segala tempat dan wahyu, dan bahwa Qur’an
adalah kitab yang sempurna, mengandung seluruh kata kunci penyelesaian atas
semua masalah (Qur’an sebagai “panacea”, pandangan yang sekarang mudah dipakai
untuk menipu umat Islam awam), perlu dilihat ulang. Yargon-yargon itu lebih
mempunyai makna “politis”, yaitu sebagai “yel politik” yang dipakai oleh
partai-partai atau golongan-golongan Islam tertentu melawan golongan dan partai
lain, semata-mata untuk mencapai pengaruh politik dengan cara yang murah,
ketimbang merupakan doktrin teologis[10].
Dalam Qur’an ada ajaran-ajaran yang sifatnya permanen, dan ada yang sifatnya
temporer dan kontekstual.
Menyuguhkan
pandangan yang seolah-olah Islami bahwa seluruh hal dalam Qur’an adalah
bersifat permanen, atas dasar yang sangat sederhana bahwa ketentuan yang secara
harafiah terdapat dalam Qur’an adalah bersifat mengikat dan universal, jelas
keliru besar. Itulah bentuk “bibliolatri” yang harus ditentang. Kita harus
melampaui bibliolatrisme, menyeberangi teks, dan menangkap visi etis Qur’an kembali,
meletakkannya dalam “perjumpaan yang dialogis” dengan kenyataan-kenyataan hidup
umat Islam di zaman modern ini, zaman yang dari segi manapun sudah tidak bisa
lagi diukur secara sederhana dengan “paradigma” Madinah. Kita perlu mengangkat
kembali posisi manusia kedalam martabat yang diberikan Qur’an sendiri
kepadanya, dengan memperhitungkan kemaslahatan manusia sebagai “partner” dari
wahyu.
Harap
jangan lupa: wahyu verbal dalam Qur’an hanyalah separo wahyu yang harus
dilengkap dengan wahyu non-verbal. Dengan cara itulah kita bisa menghindari
sikap bibliolatristik.*****
————————————————————————————————————————
[1]
Teks ceramah di Paramadina, tanggal 8 Februari 2003. Kata “bibliolatry” di sini
secara harafiah berarti “penyembahan Bibel”. Secara umum, kata itu berarti
“pengagungan” Kitab Suci apapun secara berlebihan sehingga menyerupai
penyembahan. Dalam makalah ini, kata itu saya pakai sebagai padanan (dengan
pengertian yang jauh lebih mendalam) dari “skripturalisme” yang berlebihan.
Kata itu saya kutip dari buku T.H. Huxely, Science and Hebrew Tradition.
Kutipan lain saya ambil dari Imam Al Ghazali dalam bukunya Jawahirul Qur’an.
Terjemahannya: Rahasia Qur’an,dan intinya yang paling cemerlang, serta
tujuannya yang pokok adalah “undangan” untuk para hamba menuju kepada Tuhan.
[2]
Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhumun Nash: Dirasat fi ‘Ulumil Qur’an (Kairo: Al Hai’ah
al Mishriyyah al ‘Ammah lil Kitab, 1993), hal. 11.
[3]
Ibid, hal. 12.
[4]
Roxanne L. Euben, Enemy in the Mirror: Islamic Fundamentalism and the Limits of
Modern Rationalism (Princeton: Princeton University Press, 1999).
[5]
Badruddin Muhammad bin Abdullah Az Zarkasyi, Al Burhan fi ‘Ulumil Qur’an
(Bairut: Darul Ma’rifah, 1972), jilid I, hal. 17.
[6]
Dalam kasus tawanan perang Badar, Umar berpendapat bahwa mereka harus dibunuh,
sementara Abu Bakar berpendapat lain: mereka dibebaskan saja dengan tebusan.
Nabi mengikuti pendapat Abu Bakar, kemudian turun ayat dalam surah Al Anfal
yang menyalahkan keputusan Nabi, dan membenarkan keputusan Umar (QS 8:67-68).
[7]
Ibrahim Hosen, “Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam,” dalam
Reaktualisasi Ajaran Islam: 70 tahun Prof. Dr. H. Munawir Syadzali, MA
(Jakarta: IPHI&Paramadina, 1995), hal. 251-284.
[8]
Ulil Abshar-Abdalla, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, Kompas, 18 November
2002.
[9]
Untuk survei kritis mengenai kesulitan-kesulitan penerapan syari’at Islam dalam
konteks modern, terutama berkaitan dengan hokum keluarga, dapat dibaca
observasi yang sangat bagus dari Abdullahi A. An Na’im. Baca. Abdullahi A. An
Na’im, “Shari’a and Islamic Family Law: Transition and Transformation” dalam
Abdullahi A. An Na’im, Islamic Family Law In a Changing World: A Global
Resource Book ( London: Z Book, 2002), hal. 1-36.
[10]
Asghar Ali Engeneer baru-baru ini menulis artikel pendek dalam seri Newsletter
Secular Perspective berjudul “Islam and Secularism”. Artikel tidak
dipublikasi, hanya disebarkan via internet kepada sejumlah pelangga. Dalam
artikel itu, dia menekankan pentingnya pembedaan antara “yang politis” dan
“yang teologis”. Mencampuradukkan antara kedua hal itu hanya akan menguntungkan
kaum demagog dan politisi yang berwawasan pendek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar