Di
photo album akun FB seorang kawan saya temukan photo yang menarik, sekumpulan
orang yg bergaya seperti orang pedalaman. Dan jauh sebelumnya saya juga pernah
menonton berita di salah satu stasiun tv swasta nasional tentang Suku Dayak di Indramayu Jawa Barat. Di photo kawan saya itu,
dia dan kawan-kawannya berpose dengan sekelompok orang yang cukup nyentrik. Sekelompok
orang itu bertelanjang dada, memakai banyak aksesoris, memakai celana pendek
dan bertelanjang kaki. Beberapa orang lengannya penuh tattoo. Penampilan
mereka agak sangar dan nyentrik. Mereka memperkenalkan diri sebagai Dayak
Indramayu.
Berhubung
penasaran saya googling mengenai ‘dayak indramayu’ dan mendapatkan cukup banyak
informasi dari situs Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
Lengkapnya
komunitas ini menamakan diri mereka Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu,
Indramayu. Komunitas ini berpusat tidak jauh dari Pantai Eretan Wetan, di
sepanjang lajur sebelah kanan jalan by pass dari arah Jakarta ke Cirebon (jalur
Pantura), di Kampung Segandu, Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten
Indramayu.
Mereka
tidak ada hubungannya dengan suku Dayak di Kalimantan. Jadi penyebutan kata
“suku” pada komunitas ini bukan dalam konteks terminologi suku bangsa /etnik
dalam pengertian antropologis, melainkan penyebutan istilah yang diambil dari
makna kata-kata dalam bahasa daerah. Suku disini artinya ‘suku’ dalam bahasa
sunda yang artinya ‘kaki’. Demikian pula dengan kata “dayak”, bukan dalam
pengertian sukubangsa Dayak yang berada di daerah Kalimantan, kendati pun dari
sisi penampilan mungkin ada kesamaan, yakni para prianya sama-sama tidak
mengenakan baju, serta mengenakan asesoris berupa kalung dan gelang (tangan dan
kaki). Dayak disini dari asal kata “ayak” atau “ngayak” yang artinya memilih
atau menyaring. Makna kata “dayak” di sini adalah menyaring, memilah dan
memilih mana yang benar dan mana yang salah. Selanjutnya mengenai penjelasan
kata Hindu Budha Bumi Segandu bisa dibaca disitus budpar tersebut.
Asal
mula kelompok Suku Dayak Indramayu ini terkait erat dengan perjalanan hidup
pendirinya, yaitu Takmad Diningrat, yang oleh para pengikutnya disebut dengan
panggilan Pak Tua. Ia adalah asli orang Indramayu yang berasal dari sebuah desa
yang bernama Desa Segandu. Dia buta huruf dan hanya bisa berbahasa Jawa
Indramayu. Tamad ini belajar silat dan pernah bekerja sebagai kuli pelabuhan.
Ia pun kemudian mengembangkan ilmu yang dimilikinya, baik ilmu kebathinan
maupun ilmu kanuragan. Semula hanya istri dan anak-anaknya saja yang menjadi
pengikutnya, akan tetapi kemudian ada juga beberapa warga masyarakat terdekat
yang menjadi anggota perguruannya. Takmad, memperdalam ilmunya, khususnya ilmu
kebathinannya dengan berguru pada alam, Setelah sekian lama memperdalam ilmu
kebathinannya, ia pun merasa mendapat pemurnian diri. Dari hasil pengkajian
ilmu kebathinannya ini, akhirnya ia menemukan falsafah hidup tentang
‘kebenaran’ yang ia yakini bersumber dari ‘nur alam’ atau cahaya alam yaitu bumi
dan langit.
Ajarannya
Takmad tampaknya banyak dipengaruhi konsep kejawen (Hindu-Jawa). Sebagaimana
kita tahu, pada pemahaman masyarakat kejawen Pulau Jawa itu dikuasai oleh
Dewi-dewi, itu pula kenapa semua penguasa alam di Jawa selalu disimbolkan
dengan wanita seperti Nyi Roro Kidul (Penguasa Laut Kidul), Nyi Blorong
(Penguasa Gunung Bromo), Dewi Sri (Dewi Padi) dan lain-lain. Akibatnya
Komunitas ini sangat menghargai perempuan. Bagi para pengikut yang telah
menikah, suami harus sepenuhnya mengabdikan diri pada keluarga. Suami tidak
boleh menghardik, memarahi, atau berlaku kasar terhadap anak dan isterinya.
Oleh karena itu, perceraian merupakan sesuatu yang dianggap pantang terjadi.
Demikian juga, hubungan di luar pernikahan sangat ditentang. “Jangan coba-coba
berzinah apabila tidak ingin terkena kutuk sang guru,” demikian salah seorang
pengikut Pak Takmad mengungkapkan.
Ada
suara kontra mengenai keberadaan komunitas ini. Ada fatwa mengenai kesesatan
komunitas ini dari MUI Indramayu. Tetapi Keluarnya fatwa dan keputusan sesat
oleh MUI dan Bakor Pakem Indramayu ini tidak berpengaruh terhadap kehidupan
komunitas Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu. Mereka tetap menjalankan
aktivitas sehari-hari seperti berkebun dan bertani di perkampungan Desa Krimun
Losarang. Sebagian lagi membuat kerajinan ukiran kayu untuk dijual. Beberapa
warga desa yang bukan anggota komunitas dayak juga terlihat berbaur. Warga
mengaku tidak terganggu meski berbeda kepercayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar