Setiap bid’ah adalah
tercela.
Inilah yang masih diragukan oleh sebagian orang. Ada yang mengatakan bahwa
tidak semua bid’ah itu sesat, ada pula bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Untuk
menjawab sedikit kerancuan ini, marilah kita menyimak berbagai dalil yang
menjelaskan hal ini.
Dalil dari As Sunnah
Diriwayatkan dari
Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Jika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah matanya memerah,
suaranya begitu keras, dan kelihatan begitu marah, seolah-olah beliau adalah seorang
panglima yang meneriaki pasukan ‘Hati-hati dengan serangan musuh di waktu pagi
dan waktu sore’. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jarak
antara pengutusanku dan hari kiamat adalah bagaikan dua jari ini. [Beliau shallallahu
'alaihi wa sallam berisyarat dengan jari tengah dan jari telunjuknya]. Lalu
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَّا
بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ
الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى
مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du.
Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek
perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An
Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى
النَّارِ
“Setiap kesesatan
tempatnya di neraka.”
(HR. An Nasa’i no. 1578. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani di Shohih
wa Dho’if Sunan An Nasa’i)
Diriwayatkan dari Al
‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami shalat
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari.
Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat yang begitu menyentuh,
yang membuat air mata ini bercucuran, dan membuat hati ini bergemetar (takut).”
Lalu ada yang mengatakan,
يَا
رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ
مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا
“Wahai Rasulullah,
sepertinya ini adalah nasehat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan
pada kami?”
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ
يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada
kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang
memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara
kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena
itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang
mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi
geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap
perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no.
4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani
dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan
Tirmidzi)
Dalil dari Perkataan
Sahabat
Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma berkata,
مَا
أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ إِلا أَحْدَثُوا فِيهِ بِدْعَةً، وَأَمَاتُوا فِيهِ سُنَّةً، حَتَّى
تَحْيَى الْبِدَعُ، وَتَمُوتَ السُّنَنُ
“Setiap tahun ada
saja orang yang membuat bid’ah dan mematikan sunnah, sehingga yang hidup adalah
bid’ah dan sunnah pun mati.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam
Al Mu’jam Al Kabir no. 10610. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’
Zawa’id bahwa para perowinya tsiqoh/terpercaya)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ
كُفِيتُمْ، كُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah)
itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh
Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan
dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai
dalam kitab shohih)
Itulah berbagai dalil
yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat.
KERANCUAN: BID’AH ADA
YANG TERPUJI ?
Inilah kerancuan yang
sering didengung-dengungkan oleh sebagian orang bahwa tidak semua bid’ah itu
sesat namun ada sebagian yang terpuji yaitu bid’ah hasanah.
Memang kami akui
bahwa sebagian ulama ada yang mendefinisikan bid’ah (secara istilah) dengan
mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang tercela dan ada yang terpuji karena bid’ah
menurut beliau-beliau adalah segala sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana hal ini
dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i dari Harmalah bin Yahya. Beliau rahimahullah
berkata,
الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة
“Bid’ah itu ada dua
macam yaitu bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela.” (Lihat Hilyatul
Awliya’, 9/113, Darul Kitab Al ‘Arobiy Beirut-Asy Syamilah dan lihat Fathul
Bari, 20/330, Asy Syamilah)
Beliau rahimahullah
berdalil dengan perkataan Umar bin Al Khothob tatkala mengumpulkan orang-orang
untuk melaksanakan shalat Tarawih. Umar berkata,
نِعْمَ
الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah
adalah ini.”
(HR. Bukhari no. 2010)
Pembagian bid’ah
semacam ini membuat sebagian orang rancu dan salah paham. Akhirnya sebagian
orang mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang baik (bid’ah hasanah) dan ada yang
tercela (bid’ah sayyi’ah). Sehingga untuk sebagian perkara bid’ah seperti
merayakan maulid Nabi atau shalat nisfu Sya’ban yang tidak ada dalilnya atau
pendalilannya kurang tepat, mereka membela bid’ah mereka ini dengan mengatakan
‘Ini kan bid’ah yang baik (bid’ah hasanah)’. Padahal kalau kita melihat kembali
dalil-dalil yang telah disebutkan di atas baik dari sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam maupun perkataan sahabat, semua riwayat yang ada
menunjukkan bahwa bid’ah itu tercela dan sesat. Oleh karena itu, perlu sekali
pembaca sekalian mengetahui sedikit kerancuan ini dan jawabannya agar dapat
mengetahui hakikat bid’ah yang sebenarnya.
SANGGAHAN TERHADAP
KERANCUAN:
Ketahuilah Bahwa
Semua Bid’ah Itu Sesat.
Perlu diketahui
bersama bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘sesungguhnya
sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama, pen)’,
‘setiap bid’ah adalah sesat’, dan ‘setiap kesesatan adalah di neraka’ serta
peringatan beliau terhadap perkara yang diada-adakan dalam agama, semua ini
adalah dalil tegas dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka tidak
boleh seorang pun menolak kandungan makna berbagai hadits yang mencela setiap
bid’ah. Barangsiapa menentang kandungan makna hadits tersebut maka dia adalah
orang yang hina. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/88, Ta’liq Dr. Nashir
Abdul Karim Al ‘Aql)
Tidak boleh bagi
seorang pun menolak sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, lalu mengatakan
‘tidak semua bid’ah itu sesat’. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93)
Perlu pembaca
sekalian pahami bahwa lafazh ‘kullu’ (artinya: semua) pada hadits,
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Setiap bid’ah adalah
sesat”,
dan hadits semacamnya dalam bahasa Arab dikenal dengan lafazh umum.
Asy Syatibhi
mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya,
tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam
hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah yang baik.” (Dinukil dari Ilmu
Ushul Bida’, hal. 91, Darul Ar Royah)
Inilah pula yang
dipahami oleh para sahabat generasi terbaik umat ini. Mereka menganggap bahwa
setiap bid’ah itu sesat walaupun sebagian orang menganggapnya baik. Abdullah
bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا
النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah
sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li
Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
Juga terdapat kisah
yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau
melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk
membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang
tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,
فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ
لاَ يَضِيعَ مِنْ
حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ
، وَيْحَكُمْ يَا
أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى
الله عليه وسلم-
مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ
تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ
تُكْسَرْ ،
وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ
مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ.
“Hitunglah dosa-dosa
kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak
akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan
kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku
berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari
agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?”
قَالُوا : وَاللَّهِ يَا
أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ
الْخَيْرَ. قَالَ
: وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ
يُصِيبَهُ
Mereka menjawab,
“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan
selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa
banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR.
Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)
Lihatlah kedua
sahabat ini -yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud- memaknai bid’ah dengan
keumumannya tanpa membedakan adanya bid’ah yang baik (hasanah) dan bid’ah yang
jelek (sayyi’ah).
BERALASAN DENGAN
SHALAT TARAWIH YANG DILAKUKAN OLEH UMAR
Sanggahan pertama
Adapun shalat tarawih
(yang dihidupkan kembali oleh Umar) maka dia bukanlah bid’ah secara syar’i.
Bahkan shalat tarawih adalah sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
dilihat dari perkataan dan perbuatan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah melakukan shalat tarawih secara berjama’ah pada awal
Ramadhan selama dua atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara
berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat tarawih
bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang dimaksudkan bid’ah dari perkataan
Umar bahwa ‘sebaik-baik bid’ah adalah ini’ yaitu bid’ah secara bahasa dan bukan
bid’ah secara syar’i. Bid’ah secara bahasa itu lebih umum (termasuk kebaikan
dan kejelekan) karena mencakup segala yang ada contoh sebelumnya.
Perlu diperhatikan,
apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan
dianjurkan atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat, atau
menunjukkannya secara mutlak, namun hal ini tidak dilakukan kecuali setelah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat (maksudnya dilakukan oleh
orang sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), maka boleh
kita menyebut hal-hal semacam ini sebagai bid’ah secara bahasa. Begitu pula
agama Islam ini disebut dengan muhdats/bid’ah (sesuatu yang baru yang
diada-adakan) –sebagaimana perkataan utusan Quraisy kepada raja An Najasiy
mengenai orang-orang Muhajirin-. Namun yang dimaksudkan dengan muhdats/bid’ah
di sini adalah muhdats secara bahasa karena setiap agama yang dibawa oleh para
Rasul adalah agama baru. (Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim,
2/93-96)
Sanggahan Kedua
Baiklah kalau kita
mau menerima perkataan Umar bahwa ada bid’ah yang baik. Maka kami sanggah bahwa
perkataan sahabat jika menyelisihi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak bisa menjadi hujah (pembela). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sedangkan Umar menyatakan bahwa ada
bid’ah yang baik. Sikap yang tepat adalah kita tidak boleh mempertentangkan
perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan sahabat.
Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencela bid’ah secara
umum tetap harus didahulukan dari perkataan yang lainnya. (Faedah dari Iqtidho’
Shirotil Mustaqim)
Sanggahan Ketiga
Anggap saja kita
katakan bahwa perbuatan Umar adalah pengkhususan dari hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu
sesat. Jadi perbuatan Umar dengan mengerjakan shalat tarawih terus menerus
adalah bid’ah yang baik (hasanah). Namun, ingat bahwa untuk menyatakan bahwa
suatu amalan adalah bid’ah hasanah harus ada dalil lagi baik dari Al Qur’an, As
Sunnah atau ijma’ kaum muslimin. Karena ingatlah –berdasarkan kaedah ushul
fiqih- bahwa sesuatu yang tidak termasuk dalam pengkhususan dalil tetap kembali
pada dalil yang bersifat umum.
Misalnya mengenai
acara selamatan kematian. Jika kita ingin memasukkan amalan ini dalam bid’ah
hasanah maka harus ada dalil dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’. Kalau tidak
ada dalil yang menunjukkan benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke keumuman
dalil bahwa setiap perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca : setiap
bid’ah) adalah sesat dan tertolak.
Namun yang lebih
tepat, lafazh umum yang dimaksudkan dalam hadits ‘setiap bid’ah adalah sesat’
adalah termasuk lafazh umum yang tetap dalam keumumannya (‘aam baqiya ‘ala
umumiyatihi) dan tidak memerlukan takhsis (pengkhususan). Inilah
yang tepat berdasarkan berbagai hadits dan pemahaman sahabat mengenai bid’ah.
Lalu pantaskah kita
orang-orang saat ini memakai istilah sebagaimana yang dipakai oleh sahabat
Umar?
Ingatlah bahwa umat
Islam saat ini tidaklah seperti umat Islam di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu.
Umat Islam saat ini tidak seperti umat Islam di generasi awal dahulu yang
memahami maksud perkataan Umar. Maka tidak sepantasnya kita saat ini
menggunakan istilah bid’ah (tanpa memahamkan apa bid’ah yang dimaksudkan)
sehingga menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat. Jika memang kita mau
menggunakan istilah bid’ah namun yang dimaksudkan adalah definisi secara
bahasa, maka selayaknya kita menyebutkan maksud dari perkataan tersebut.
Misalnya HP ini
termasuk bid’ah secara bahasa. Tidaklah boleh kita hanya menyebut bahwa HP ini
termasuk bid’ah karena hal ini bisa menimbulkan kerancuan di tengah-tengah
umat.
Kesimpulan:
Berdasarkan berbagai dalil dari As Sunnah maupun perkataan sahabat, setiap
bid’ah itu sesat. Tidak ada bid’ah yang baik (hasanah). Tidak tepat pula
membagi bid’ah menjadi lima: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram karena
pembagian semacam ini dapat menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.
HUKUM BID’AH DALAM
ISLAM
Hukum semua bid’ah
adalah terlarang. Namun, hukum tersebut bertingkat-tingkat.
Tingkatan Pertama: Bid’ah yang
menyebabkan kekafiran sebagaimana bid’ah orang-orang Jahiliyah yang telah
diperingatkan oleh Al Qur’an. Contohnya adalah pada ayat,
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا
ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا
لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا
“Dan mereka
memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah
diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini
untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”.” (QS. Al An’am [6]:
36)
Tingkatan Kedua : Bid’ah yang
termasuk maksiat yang tidak menyebabkan kafir atau dipersilisihkan
kekafirannya. Seperti bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang Khowarij,
Qodariyah (penolak takdir) dan Murji’ah (yang tidak memasukkan amal dalam
definisi iman secara istilah).
Tingkatan Ketiga: Bid’ah yang
termasuk maksiat seperti bid’ah hidup membujang (kerahiban) dan berpuasa
diterik matahari.
Tingkatan Keempat: Bid’ah yang makruh
seperti berkumpulnya manusia di masjid-masjid untuk berdo’a pada sore hari saat
hari Arofah.
Jadi setiap bid’ah
tidak berada dalam satu tingkatan. Ada bid’ah yang besar dan ada bid’ah yang
kecil (ringan).
Namun bid’ah itu
dikatakan bid’ah yang ringan jika memenuhi beberapa syarat sebagaimana
disebutkan oleh Asy Syatibi, yaitu:
1.
Tidak
dilakukan terus menerus.
2.
Orang
yang berbuat bid’ah (mubtadi’) tidak mengajak pada bid’ahnya.
3.
Tidak
dilakukan di tempat yang dilihat oleh orang banyak sehingga orang awam
mengikutinya.
4.
Tidak
menganggap remeh bid’ah yang dilakukan.
Apabila syarat di
atas terpenuhi, maka bid’ah yang semula disangka ringan lama kelamaan akan
menumpuk sedikit demi sedikit sehingga jadilah bid’ah yang besar. Sebagaimana
maksiat juga demikian. (Pembahasan pada point ini disarikan dari Al Bida’ Al
Hawliyah, Abdullah At Tuwaijiri, www.islamspirit.com)
Pembahasan berikut
adalah jawaban dari beberapa alasan dalam membela bid’ah. Semoga kita selalu
mendapatkan petunjuk Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar