Sudah sepatutnya
kita menjauhi berbagai macam bid’ah mengingat dampak buruk yang ditimbulkan. Berikut
beberapa dampak buruk dari bid’ah.
Pertama,
amalan bid'ah tertolak
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa
membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka
perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)
Orang yang
berbuat bid’ah inilah yang amalannya merugi. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah:
Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam
kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya.”
(QS. Al Kahfi [18] : 103-104)
Kedua,
pelaku bid'ah terhalangi untuk bertaubat selama dia terus menerus dalam
bid'ahnya. Oleh karena itu, ditakutkan dia akan mengalami su'ul khotimah
Dari Anas bin
Malik, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ
“Allah
betul-betul akan menghalangi setiap pelaku bid’ah untuk bertaubat sampai dia
meninggalkan bid’ahnya.” (HR. Thabrani. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib
no. 54)
Ketiga,
pelaku bid'ah tidak akan minum dari telaga Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
dan tidak akan mendapatkan syafa'at beliau shallallahu 'alaihi wa sallam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Aku akan
mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang
di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al
haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah
umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang
mereka buat sesudahmu.’ “ (HR. Bukhari no. 7049)
Dalam riwayat
lain dikatakan,
إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى
“(Wahai
Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sebenarnya
engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu.”
Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang
yang telah mengganti ajaranku sesudahku.” (HR. Bukhari no. 7051)
Inilah do’a laknat untuk orang-orang yang mengganti
ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan berbuat bid’ah.
Ibnu Baththol
mengatakan, “Demikianlah, seluruh perkara bid’ah yang diada-adakan dalam
perkara agama tidak diridhoi oleh Allah karena hal ini telah menyelisihi jalan
kaum muslimin yang berada di atas kebenaran (al haq). Seluruh pelaku bid’ah
termasuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang
membuat-buat perkara baru dalam agama. Begitu pula orang yang berbuat zholim
dan yang menyelisihi kebenaran, mereka semua telah membuat sesuatu yang baru
dan telah mengganti dengan ajaran selain Islam. Oleh karena itu, mereka juga
termasuk dalam hadits ini.” (Lihat Syarh
Ibnu Baththol, 19/2, Asy Syamilah) -Semoga Allah menjauhkan kita
dari berbagai perkara bid’ah dan menjadikan kita sebagai umatnya yang akan
menikmati al haudh sehingga kita tidak akan merasakan dahaga yang
menyengsarakan di hari kiamat, Amin Ya Mujibad Du’a-
Keempat,
pelaku bid'ah akan mendapatkan dosa jika amalan bid'ahnya diikuti orang lain
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa
melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan
dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan
sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya,
barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang
sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang
mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (HR. Muslim no. 1017)
Wahai saudaraku,
perhatikanlah hadits ini. Sungguh sangat merugi sekali orang yang melestarikan
bid’ah dan tradisi-tradisi yang menyelisihi syari’at. Bukan hanya dosa dirinya
yang akan dia tanggung, tetapi juga dosa orang yang mengikutinya. Padahal
bid’ah itu paling mudah menyebar. Lalu bagaimana yang mengikutinya sampai
ratusan bahkan ribuan orang? Berapa banyak dosa yang akan dia tanggung?
Seharusnya kita melestarikan ajaran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Kenapa harus melestarikan tradisi dan budaya
yang menyelisihi syari’at? Jika melestarikan ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
-seperti mentalqinkan mayit menjelang kematiannya bukan dengan talqin setelah
dimakamkan- kita akan mendapatkan ganjaran untuk diri kita dan juga dari orang lain
yang mengikuti kita. Sedangkan jika kita menyebarkan dan melestarikan tradisi
tahlilan, yasinan, maulidan, lalu diikuti oleh generasi setelah kita, apa
yang akan kita dapat? Malah hanya dosa dari yang mengikuti kita yang kita
peroleh.
Marilah
Bersatu di Atas Kebenaran
Saudaraku, penulis
menyinggung masalah bid’ah ini bukanlah maksud penulis untuk memecah belah kaum
muslimin sebagaimana disangka oleh sebagian orang jika penulis menyinggung
masalah ini. Yang hanya penulis inginkan adalah bagaimana umat ini bisa bersatu
di atas kebenaran dan di atas ajaran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang benar. Yang penulis inginkan adalah agar
saudara penulis mengetahui kebenaran dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagaimana yang kami ketahui. Penulis tidak ingin saudara penulis terjerumus
dalam kesalahan sebagaimana tidak penulis inginkan pada diri penulis. Semoga
maksud penulis ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib,
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak
bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan
tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada
Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud [11] : 88)
Inilah sedikit
pembahasan mengenai bid’ah, kerancuan-kerancuan di dalamnya dan dampak buruk
yang ditimbulkan. Semoga dengan tulisan yang singkat ini kita dapat semakin
mengenalinya dengan baik. Hal ini bukan berarti dengan mengetahuinya kita harus
melakukan bid’ah tersebut. Karena sebagaimana perkataan seorang penyair,
عَرَّفْتُ الشَّرَّ لاَ لِلشَّرِّ لَكِنْ لِتَوَقِّيْهِ …
وَمَنْ لاَ يَعْرِفُ الشَّرَّ مِنَ النَّاسِ يَقَعُ فِيْهِ
Aku mengenal
kejelekan, bukan berarti ingin melakukannya, tetapi ingin menjauhinya
Karena barangsiapa tidak mengenal
kejelekan, mungkin dia bisa terjatuh di dalamnya
Ya Hayyu, Ya
Qoyyum. Wahai Zat yang Maha Hidup lagi Maha Kekal. Dengan rahmat-Mu, kami
memohon kepada-Mu. Perbaikilah segala urusan kami dan janganlah Engkau
sandarkan urusan tersebut pada diri kami, walaupun hanya sekejap mata. Amin Yaa
Mujibbas Sa’ilin.
Semoga tulisan
ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang
bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud da’awaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala
nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Sebelumnya penulis
telah menyampaikan sanggahan mengenai bid’ah hasanah yang dasarnya adalah dari
perkataan Umar bahwa sebaik-baik bid’ah yaitu shalat tarawih ini. Berikut penulis
sajikan beberapa alasan lain dalam membela bid’ah dan jawabannya.
[1]
Mobil, HP dan Komputer termasuk Bid’ah
Setelah kita
mengetahui definisi bid’ah dan mengetahui bahwa setiap bid’ah adalah tercela
dan amalannya tertolak, masih ada suatu kerancuan di tengah-tengah masyarakat
bahwa berbagai kemajuan teknologi saat ini seperti mobil, komputer, HP dan
pesawat dianggap sebagai bid’ah yang tercela. Di antara mereka mengatakan, “Kalau memang bid’ah itu terlarang,
kita seharusnya memakai unta saja sebagaimana di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam”.
Menurut penulis,
perkataan ini muncul karena tidak memahami bid’ah dengan benar.
Perlu sekali ditegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan bid’ah yang tercela
sehingga membuat amalannya tertolak adalah bid’ah dalam agama dan bukanlah perkara baru
dalam urusan dunia yang tidak ada contoh sebelumnya seperti komputer dan
pesawat.
Suatu kaedah yang
perlu diketahui bahwa untuk perkara non ibadah (‘adat), hukum asalnya adalah
tidak terlarang (mubah) sampai terdapat larangan. Hal inilah yang dikatakan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (sebagaimana dalam Iqtidho’ Shirotil Mustaqim,
2/86) dan ulama lainnya.
Asy Syatibi juga
mengatakan, “Perkara non ibadah (‘adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka
dia bukanlah bid’ah. Namun jika perkara non ibadah tersebut dijadikan
ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka dia bisa termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348)
Para pembaca
dapat memperhatikan bahwa tatkala para sahabat ingin melakukan penyerbukan
silang pada kurma –yang merupakan perkara duniawi-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِذَا كَانَ شَىْءٌ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَأَنْتُمْ أَعْلَمُ بِهِ فَإِذَا كَانَ مِنْ أَمْر دِينِكُمْ فَإِلَىَّ
“Apabila itu
adalah perkara
dunia
kalian, kalian tentu lebih mengetahuinya. Namun, apabila itu adalah perkara
agama kalian, kembalikanlah padaku.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengomentari bahwa sanad hadits ini hasan)
Kesimpulannya:
Komputer, HP, pesawat, pabrik-pabrik kimia, berbagai macam kendaraan, dan
teknologi informasi yang berkembang pesat saat ini, itu semua adalah perkara
yang dibolehkan dan tidak termasuk dalam bid’ah yang tercela. Kalau mau kita
katakan bid’ah, itu hanyalah bid’ah secara bahasa yaitu perkara baru yang belum
ada contoh sebelumnya.
[2] Para
Sahabat Pernah Melakukan Bid’ah dengan Mengumpulkan Al Qur’an
Ada sebagian
kelompok dalam membela acara-acara bid’ahnya berdalil bahwa dulu para sahabat
-Abu Bakar, ‘Utsman bin ‘Affan, Zaid bin Tsabit- saja melakukan bid’ah. Mereka
mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak pernah melakukannya. Jika kita mengatakan bid’ah itu sesat, berarti para
sahabatlah yang akan pertama kali masuk neraka. Inilah sedikit kerancuan yang
sengaja penulis temukan di sebuah blog di internet.
Ingatlah bahwa
bid’ah bukanlah hanya sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bisa saja suatu amalan itu tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan baru dilakukan
setelah Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam wafat, dan ini tidak termasuk bid’ah. Perhatikanlah
penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya berikut.
“Bid’ah dalam
agama adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya yang
tidak diperintahkan dengan perintah wajib ataupun mustahab (dianjurkan).
Adapun jika
sesuatu tersebut diperintahkan dengan perintah wajib atau mustahab (dianjurkan)
dan diketahui dengan dalil syar’i maka hal tersebut merupakan perkara agama
yang telah Allah syari’atkan, … baik itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
atau tidak. Segala sesuatu yang terjadi setelah masa beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam namun berdasarkan perintah dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti membunuh
orang yang murtad, membunuh orang Khowarij, Persia, Turki dan Romawi,
mengeluarkan Yahudi dan Nashrani dari Jazirah Arab, dan semacamnya, itu
termasuk sunnah beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam.” (Majmu’
Fatawa, 4/107-108, Mawqi’ Al Islam-Asy Syamilah)
Pengumpulan
Al Qur’an dalam satu mushaf ada dalilnya dalam syari’at karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memerintahkan untuk menulis Al Qur’an, namun penulisannya masih terpisah-pisah.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil
Mustaqim, 2/97) mengatakan, “Sesuatu yang menghalangi untuk
dikumpulkannya Al Qur’an adalah karena pada saat itu wahyu masih terus turun.
Allah masih bisa mengubah dan menetapkan sesuatu yang Dia kehendaki. Apabila
tatkala itu Al Qur’an itu dikumpulkan dalam satu mushaf, maka tentu saja akan
menyulitkan karena adanya perubahan setiap saat. Tatkala Al Qur’an dan syari’at
telah paten setelah wafatnya beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam; begitu pula Al Qur’an tidak terdapat lagi
penambahan atau pengurangan; dan tidak ada lagi penambahan kewajiban dan
larangan, akhirnya kaum muslimin melaksanakan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
berdasarkan tuntutan (anjuran)-nya. Oleh karena itu, amalan mengumpulkan Al
Qur’an termasuk sunnahnya. Jika ingin disebut bid’ah, maka yang dimaksudkan
adalah bid’ah secara bahasa (yaitu tidak ada contoh sebelumnya, pen).”
Perlu diketahui
pula bahwa mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf merupakan bagian dari
maslahal mursalah. Apa itu maslahal mursalah?
Maslahal mursalah
adalah sesuatu yang didiamkan oleh syari’at, tidak ditentang dan tidak pula
dinihilkan, tidak pula memiliki nash (dalil tegas) yang semisal sehingga bisa
diqiyaskan. (Taysir Ilmu Ushul
Fiqh, hal. 184, 186, Abdullah bin Yusuf Al Judai’, Mu’assasah Ar
Royyan). Contohnya adalah maslahat ketika mengumpulkan Al Qur’an dalam rangka
menjaga agama. Contoh lainnya adalah penulisan dan pembukuan hadits. Semua ini
tidak ada dalil dalil khusus dari Nabi, namun hal ini terdapat suatu maslahat
yang sangat besar untuk menjaga agama.
Ada suatu catatan
penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan maslahah mursalah. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’
Shirotil Mustaqim, 2/101-103) mengatakan, “Setiap perkara yang
faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
itu ada dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah
maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.”
Contoh penerapan
kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika shalat ‘ied. Apakah faktor
pendorong untuk melakukan adzan pada zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya: Ada
(yaitu beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. Pada zaman beliau ketika
melakukan shalat ‘ied tidak ada adzan maupun iqomah. Oleh karena itu, adzan
ketika itu adalah bid’ah dan meninggalkannya adalah sunnah.
Begitu pula hal
ini kita terapkan pada kasus mengumpulkan Al Qur’an. Adakah faktor penghalang
tatkala itu? Jawabannya: Ada. Karena pada saat itu wahyu masih terus turun dan
masih terjadi perubahan hukum. Jadi, sangat sulit Al Qur’an dikumpulkan ketika
itu karena adanya faktor penghalang ini. Namun, faktor penghalang ini hilang
setelah wafatnya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam karena wahyu dan hukum sudah sempurna dan paten.
Jadi, mengumpulkan Al Qur’an pada saat itu adalah suatu maslahat.
Kaedah beliau ini
dapat pula diterapkan untuk kasus-kasus lainnya semacam perayaan Maulid Nabi,
yasinan, dan ritual lain yang telah membudaya di tengah umat Islam. –Semoga
Allah memberikan kita taufik agar memahami bid’ah dengan benar-
[3] Yang
Penting Kan Niatnya!
Ada pula sebagian
orang yang beralasan ketika diberikan sanggahan terhadap bid’ah yang dia
lakukan, “Menurut saya, segala
sesuatu itu kembali pada niatnya masing-masing.”
Penulis katakan
bahwa amalan itu bisa diterima tidak hanya dengan niat yang ikhlas, namun juga
harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Hal ini telah penulis jelaskan pada pembahasan
awal di atas. Jadi, syarat diterimanya amal itu ada dua yaitu [1] niatnya harus
ikhlas dan [2] harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu,
amal seseorang tidak akan diterima tatkala dia melaksanakan shalat shubuh empat
raka’at walaupun niatnya betul-betul ikhlas dan ingin mengharapkan ganjaran
melimpah dari Allah dengan banyaknya rukuk dan sujud. Di samping ikhlas, dia
harus melakukan shalat sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al Fudhail bin
‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah,
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Supaya Dia
menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk [67] : 2),
beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab (sesuai tuntunan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam).”
Lalu Al Fudhail
berkata, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak sesuai ajaran
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila
suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas,
amalan tersebut juga tidak akan diterima.” (Jami’ul
Ulum wal Hikam, hal. 19)
Sekelompok orang
yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
mereka beralasan di hadapan Ibnu Mas’ud,
وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.
“Demi Allah,
wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain
kebaikan.”
Lihatlah
orang-orang ini berniat baik, namun cara mereka beribadah tidak sesuai sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Ibnu Mas’ud
menyanggah perkataan mereka sembari berkata,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
“Betapa
banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan
oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)
Kesimpulan: Tidak
cukup seseorang melakukan ibadah dengan dasar karena niat baik, tetapi dia juga
harus melakukan ibadah dengan mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga kaedah
yang benar “Niat baik semata belum cukup.”
[4] Ini
Kan Sudah Jadi Tradisi di Tempat Kami…
Ini juga
perkataan yang muncul ketika seseorang disanggah mengenai bid’ah yang dia
lakukan. Ketika ditanya, “Kenapa
kamu masih merayakan 3 hari atau 40 hari setelah kematian?” Dia
menjawab, “Ini kan sudah jadi
tradisi kami…”
Jawaban seperti
ini sama halnya jawaban orang musyrik terdahulu ketika membela kesyirikan yang
mereka lakukan. Mereka tidak memiliki argumen yang kuat berdasarkan dalil dari
Allah dan Rasul-Nya. Mereka hanya bisa beralasan,
إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ
“Sesungguhnya
kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami
adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (QS. Az Zukhruf [43] : 22)
Saudaraku yang
semoga selalu dirahmati Allah, setiap tradisi itu hukum asalnya boleh dilakukan
selama tidak bertentangan dengan hukum syari’at dan selama tidak ada unsur
ibadah di dalamnya. Misalnya, santun ketika berbincang-bincang dengan yang
lebih tua, ini adalah tradisi yang bagus dan tidak bertentangan dengan
syari’at. Namun, jika ada tradisi dzikir atau do’a tertentu pada hari ketiga,
ketujuh, atau keempat puluh setelah kematian, maka ini adalah bid’ah karena
telah mencampurkan ibadah dalam tradisi dan mengkhususkannya pada waktu
tertentu tanpa dalil.
Jadi, bid’ah juga
bisa terdapat dalam tradisi (adat) sebagaimana perkataan Asy Syatibi, “Perkara
non ibadah (‘adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah.
Namun jika perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan
sebagai ibadah, maka bisa termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348)
Dan sedikit
tambahan bahwa tradisi yang diposisikan sebagai ibadah sebenarnya malah akan
menyusahkan umat Islam. Misalnya saja tradisi selamatan kematian pada hari
ke-7, 40, 100, atau 1000 hari. Syari’at sebenarnya ingin meringankan beban pada
hambanya. Namun, karena melakukan bid’ah semacam ini, beban hamba tersebut
bertambah. Sebenarnya melakukan semacam ini tidak ada tuntunannya, malah
dijadikan sebagai sesuatu yang wajib sehingga membebani hamba.
Bahkan kadang penulis
menyaksikan sendiri di sebuah desa yang masih laris di sana tradisi selamatan
kematian. Padahal kehidupan kebanyakan warga di desa tersebut adalah ekonomi
menengah ke bawah. Lihatlah bukannya dengan meninggalnya keluarga, dia
diringankan bebannya oleh tetangga sekitar. Malah tatkala kerabatnya meninggal,
dia harus mencari utang di sana-sini agar bisa melaksanakan selamatan kematian
yang sebenarnya tidak ada tuntunannya. Akhirnya karena kematian kerabat
bertambahlah kesedihan dan beban kehidupan. Penulis memohon kepada Allah,
semoga Allah memperbaiki kondisi bangsa ini dengan menjauhkan kita dari
berbagai amalan yang tidak ada tuntunannya.
[5] Semua
Umat Islam Indonesia bahkan para Kyai dan Ustadz Melakukan Hal Ini
Ada juga yang
berargumen ketika ritual bid’ah –seperti Maulid Nabi- yang ia lakukan dibantah
sembari mengatakan, “Perayaan
(atau ritual) ini kan juga dilakukan oleh seluruh umat Islam Indonesia bahkan
oleh para Kyai dan Ustadz. Kok hal ini dilarang?!”
Alasan ini justru
adalah alasan orang yang tidak pandai berdalil. Suatu hukum dalam agama ini
seharusnya dibangun berdasarkan Al Kitab, As Sunnah dan Ijma’ (kesepakatan kaum
muslimin). Adapun adat (tradisi) di sebagian negeri, perkataan sebagian
Kyai/Ustadz atau ahlu ibadah, maka ini tidak bisa menjadi dalil untuk
menyanggah perkataan Allah dan Rasul-Nya.
Barangsiapa
meyakini bahwa adat (tradisi) yang menyelisihi sunnah ini telah disepakati
karena umat telah menyetujuinya dan tidak mengingkarinya, maka keyakinan
semacam ini jelas salah dan keliru. Ingatlah, akan selalu ada dalam umat ini di
setiap waktu yang melarang berbagai bentuk perkara bid’ah yang menyelisihi
sunnah seperti perayaan maulid ataupun tahlilan. Lalu bagaimana mungkin
kesepakatan sebagian negeri muslim dikatakan sebagai ijma’ (kesepakatan umat
Islam), apalagi dengan amalan sebagian kelompok?
Ketahuilah
saudaraku semoga Allah selalu memberi taufik padamu, mayoritas ulama tidak mau
menggunakan amalan penduduk Madinah (di masa Imam Malik) –tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berhijrah- sebagai dalil dalam beragama. Mereka menganggap bahwa amalan
penduduk Madinah bukanlah sandaran hukum dalam beragama tetapi yang menjadi
sandaran hukum adalah sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Lalu bagaimana mungkin kita berdalil dengan
kebiasaan sebagian negeri muslim yang tidak memiliki keutamaan sama sekali
dibanding dengan kota Nabawi Madinah?! (Disarikan dari Iqtidho’ Shirothil Mustaqim,
2/89 dan Al Bid’ah wa Atsaruha
Asy Syai’ fil Ummah, Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali, 49-50, Darul
Hijroh)
Perlu
diperhatikan pula, tersebarnya suatu perkara atau banyaknya pengikut bukan
dasar bahwa perkara yang dilakukan adalah benar. Bahkan apabila kita mengikuti
kebanyakan manusia maka mereka akan menyesatkan kita dari jalan Allah dan ini
berarti kebenaran itu bukanlah diukur dari banyaknya orang yang melakukannya.
Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan jika
kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al An’am [6] : 116)
Semoga Allah
Ta’ala senantiasa memberi kita taufik untuk mengikuti kebenaran bukan mengikuti
kebanyakan orang.
[6] Baca
Al Qur’an kok dilarang?!
Ini juga di
antara argumen dari pelaku bid’ah ketika diberitahu
mengenai bid’ah yang dilakukan, “Saudaraku,
perbuatan seperti ini kan bid’ah.” Lalu dia bergumam, “Masa baca Al Qur’an saja dilarang?!”
Atau ada pula yang berkata, “Masa
baca dzikir saja dilarang?!”
Untuk menyanggah
perkataan di atas, perlu sekali kita ketahui mengenai dua macam bid’ah yaitu
bid’ah hakikiyah dan idhofiyah.
Bid’ah hakikiyah
adalah setiap bid’ah yang tidak ada dasarnya sama sekali baik dari Al Qur’an,
As Sunnah, ijma’ kaum muslimin, dan bukan pula dari penggalian hukum yang benar
menurut para ulama baik secara global maupun terperinci. (Al I’tishom, 1/219)
Di antara contoh
bid’ah hakikiyah adalah puasa mutih (dilakukan untuk mencari ilmu sakti),
mendekatkan diri pada Allah dengan kerahiban (hidup membujang seperti para
biarawati), dan mengharamkan yang Allah halalkan dalam rangka beribadah kepada
Allah. Ini semua tidak ada contohnya dalam syari’at.
Bid’ah idhofiyah
adalah setiap bid’ah yang memiliki 2 sisi yaitu [1] dari satu sisi memiliki
dalil, maka dari sisi ini bukanlah bid’ah dan [2] di sisi lain tidak memiliki
dalil maka ini sama dengan bid’ah hakikiyah. (Al I’tishom, 1/219)
Jadi bid’ah
idhofiyah dilihat dari satu sisi adalah perkara yang disyari’atkan. Namun
ditinjau dari sisi lain yaitu dilihat dari enam aspek adalah bid’ah. Enam aspek
tersebut adalah waktu, tempat, tatacara (kaifiyah), sebab, jumlah, dan jenis.
Contohnya bid’ah
idhofiyah adalah dzikir setelah shalat atau di berbagai waktu secara berjama’ah
dengan satu suara. Dzikir adalah suatu yang masyru’ (disyari’atkan), namun
pelaksanaannya dengan tatacara semacam ini tidak disyari’atkan dan termasuk
bid’ah yang menyelisihi sunnah.
Contoh lainnya
adalah puasa atau shalat malam hari nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban).
Begitu pula shalat rogho’ib pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab. Kedua
contoh ini termasuk bid’ah idhofiyah. Shalat dan puasa adalah ibadah yang
disyari’atkan, namun terdapat bid’ah dari sisi pengkhususan zaman, tempat dan
tatacara. Tidak ada dalil dari Al Kitab dan As Sunnah yang mengkhususkan ketiga
hal tadi.
Begitu juga hal
ini dalam acara yasinan dan tahlilan. Bacaan tahlil adalah bacaan yang
disyari’atkan. Bahkan barangsiapa mengucapkan bacaan tahlil dengan memenuhi
konsekuensinya maka dia akan masuk surga. Namun, yang dipermasalahkan adalah
pengkhususan waktu, tatacara dan jenisnya. Perlu kita tanyakan manakah dalil
yang mengkhususkan pembacaan tahlil pada hari ke-3, 7, dan 40 setelah kematian.
Juga manakah dalil yang menunjukkan harus dibaca secara berjama’ah dengan satu
suara. Mana pula dalil yang menunjukkan bahwa yang harus dibaca adalah bacaan
laa ilaha illallah, bukan bacaan tasbih, tahmid atau takbir. Dalam acara
yasinan juga demikian. Kenapa yang dikhususkan hanya surat Yasin, bukan surat
Al Kahfi, As Sajdah atau yang lainnya? Apa memang yang teristimewa dalam Al
Qur’an hanyalah surat Yasin bukan surat lainnya? Lalu apa dalil yang
mengharuskan baca surat Yasin setelah kematian? Perlu diketahui bahwa
kebanyakan dalil yang menyebutkan keutamaan (fadhilah) surat Yasin adalah
dalil-dalil yang lemah bahkan sebagian palsu.
Jadi, yang penulis
permasalahkan adalah bukan puasa, shalat, bacaan Al Qur’an maupun bacaan dzikir
yang ada. Akan tetapi, yang kami permasalahkan adalah pengkhususan waktu,
tempat, tatacara, dan lain sebagainya. Manakah dalil yang menunjukkan hal ini?
Semoga
sanggahan-sanggahan di atas dapat memuaskan pembaca sekalian. Penulis hanya
bermaksud mendatangkan perbaikan selama kami masih berkesanggupan. Tidak ada
yang dapat memberi taufik kepada kita sekalian kecuali Allah. Semoga kita
selalu mendapatkan rahmat dan taufik-Nya ke jalan yang lurus.