Jumat, 25 Februari 2011
Selasa, 22 Februari 2011
Ushul Fikih Kaum Liberal, Memangnya Ada?
Apakah
kaum liberal, seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), mempunyai ushul fiqih?
Pertanyaan ini harus dijawab dulu. Jangan-jangan setelah capek-capek
mengkritik secara serius, ternyata mereka tidak memilikinya. Ini sama saja
dengan memasak pepesan kosong.
Untuk itu, patut diketahui dulu pengertian ushul fikih serta apa saja yang menjadi cakupan studi ushul fikih. Menurut ulama ushul fikih mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, ushul fikih adalah kaidah-kaidah (qawâ’id) yang dapat mengantarkan pada penggalian (istinbâth) hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci (asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 3; Wahbah az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jld. I, hlm. 23-24). Sedangkan menurut ulama mazhab Syafii, ushul fikih adalah pengetahuan mengenai dalil-dalil fikih yang bersifat global, tatacara pengambilan hukum dari dalil-dalil itu, serta keadaan orang yang mengambil hukum (al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, jld. I, hlm. 10).
Dari berbagai definisi itu, topik (mawdhû’) ushul fikih menurut Muhammad Husain Abdullah (Abdullah, Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh, hlm. 29), meliputi 4 (empat) kajian, yaitu:
(1) Kajian tentang dalil-dalil hukum yang bersifat global (al-adillah al-ijmâliyyah), misalnya al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma, Qiyas, dan seterusnya.
(2) Kajian tentang hukum syariat (al-hukm asy-syar’î) dan hal-hal yang terkait dengannya, seperti definisi hukum syariat dan macam-macamnya.
(3) Kajian tentang cara memahami dalil (fahm al-dalîl) atau pengertian kata (dalâlah al-alfâzh), misalnya tentang manthûq (makna eksplisit) dan mafhûm (makna implisit).
(4) Kajian tentang ijtihad dan taklid, termasuk tatacara melakukan tarjîh (analisis) untuk memilih yang terkuat dari sekian dalil yang tampak bertentangan (ta’ârudh).
Nah, kalau definisi ushul fikih dan cakupan kajiannya itu diterapkan pada ide-ide ushul fikih kaum liberal, apakah mereka memang punya ushul fikih sendiri?
Seorang pakar dan kritikus ide liberal, Dr. Busthami Muhammad Said, menyimpulkan, ijtihad dalam ushul fikih di kalangan kaum liberal —mulai dari Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, Thaha Husain, dan lainnya— tidak lebih dari sekadar teori belaka, tanpa kenyataan (Said, Mafhûm Tajdîd ad-Dîn (terj.), hlm. 268). Jadi, kaum liberal sebenarnya tidak mempunyai ushul fikih, dalam definisi yang sesungguhnya.
Karya mereka tidak pernah menerangkan dengan jelas, apa sebenarnya dalil syariat (sumber hukum) itu. Buktinya, perilaku pejabat yang suka menghadiri perayaan hari raya non-Islam dijadikan dalil bagi bolehnya merayakan hari raya agama selain Islam (Madjid dkk., 2004: 85-88). Mereka juga tidak pernah menerangkan dengan tuntas, bagaimana metode penggalian hukum dari dalilnya, selain mengklaim bahwa metodenya adalah hermeneutika (Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, hlm. 35). Padahal metode ini aslinya adalah untuk menafsirkan Bible (Perjanjian Lama dan Baru); tentu tidak cocok untuk menafsirkan al-Qur’an, karena Bible dan al-Qur’an sangat jauh berbeda, seperti bumi dan langit. Tidak aneh jika Norman Daniel (Daniel, Islam and The West: The Making of an Image, hlm. 53) menegaskan, “The Quran has no parallel outside Islam (Al-Qur’an tidak mempunyai kesejajaran dengan [kitab lainnya] di luar Islam).” (Adian Husaini, “Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal”).
Walhasil, ushul fikih kaum liberal sangat diragukan eksistensinya. Akan tetapi, barangkali ada yang bertanya, bukankah mereka kadang menyampaikan gagasan seputar ushul fikih? Hasan at-Turabi, misalnya, dikenal menyerukan pembaruan (tajdîd) di bidang ushul fikih (At-Turabi, Fiqih Demokratis, Bandung: Mizan, 2003). Jauh sebelum itu, pada 70-an, Jamaluddin Athiyah dalam Majalah Al-Muslim al-Mu’âshir edisi Nopember 1974, juga Ahmad Kamal Abul Majid, tokoh liberal lainnya, dalam majalah Al-‘Arabi edisi Mei 1977, telah mengajak umat Islam untuk berijtihad dalam ushul fikih, bukan hanya dalam fikh (Said, 1995: 266).
Kaum liberal Indonesia pun kadang menggembar-gemborkan ushul fikih baru. Nurcholish Madjid dkk, misalnya, pernah mengklaim mengikuti metode ushul fiqih Imam asy-Syatibi dalam kitabnya, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm, ketika menggagas bukunya yang gagal, Fiqih Lintas Agama (2004). Abdul Moqsith Ghazali (aktivis JIL) mencetuskan beberapa kaidah ushul fikih ‘baru’, semisal:
(1) Al-‘Ibrah bi al-maqâshid lâ bi al-alfâzh (Yang menjadi patokan hukum adalah maksud/tujuan syariat, bukan ungkapannya [dalam teks]);
(2) Jawâz naskh nushûsh bi al-mashlahah (Boleh menghapus nash dengan maslahat);
(3) Tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama’ (Boleh mengoreksi teks dengan akal [pendapat] publik).
Bukankah ini adalah ushul fikih karya kaum liberal?
Jawabnya tegas: tidak. Sebab, meskipun dalam beberapa hal mereka seolah-olah membahas ushul fikih —seperti kaidah-kaidah ushul di atas— sebenarnya tujuannya sangat tendensius, yaitu menundukkan fikih Islam pada nilai-nilai peradaban Barat yang kufur; bukan untuk melahirkan fikih yang sahih agar bisa menjadi pedoman hidup masyarakat Islam, sebagaimana tujuan para ahli ushul fikih yang sesungguhnya. Jadi, kalau pun bisa disebut ushul fikih, karya kaum liberal itu bukanlah ushul fikih sejati, melainkan pseudo ushul fikih, alias ushul fikih palsu.
Paradigma Ushul Fikih Liberal
Mengapa ushul fikih mereka palsu? Sebab, paradigmanya bukan Islam, melainkan sekularisme, yang menjadi pangkal peradaban Barat; peradaban kaum penjajah. Ini tampak dalam upaya mereka menjadikan ushul fikih tunduk di bawah nilai-nilai peradaban Barat. Jadi, secara sengaja, ushul fikih diletakkan sebagai subordinat dari peradaban Barat yang sekular.
Karenanya, tidak aneh, Hasan at-Turabi menyerukan fikih demokratis, sebagai hasil dari adaptasi ushul fikih dengan nilai-nilai demokrasi. Abdul Moqsith Ghazali juga begitu. Kaidah baru yang diusulkannya, seperti tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama’ (Boleh mengoreksi nash dengan akal [pendapat] publik), tidak lain berarti bahwa demokrasi (suara publik), harus menjadi standar bagi teks-teks ajaran Islam. Kalau suatu ayat atau hadis cocok dengan selera publik (baca: demokrasi), bolehlah diamalkan, tetapi kalau tidak cocok, bisa dibuang ke selokan.
Paradigma sekular ini memiliki akar sejarah panjang, bermula dari kondisi umat Islam yang memuncak kemundurannya pada abad ke-18 M lalu. Karena sangat mundur, Khilafah Utsmaniyah dan umat Islam saat itu mendapat julukan The Sick Man of Europe. Di sisi lain, Barat mengalami kebangkitan dengan sekularismenya.
Nah, untuk mengobati ‘si sakit’ itu, lalu muncul 2 (dua) macam upaya ‘penyembuhan’ dengan dua paradigma yang sangat berbeda:
Pertama, paradigma sekular, yaitu mengambil ‘obat’ dari peradaban Barat yang sekular. Itulah yang dilakukan oleh mereka yang disebut dengan kaum modernis atau kaum liberal, seperti Sayyid Ahmad Khan, Ameer Ali, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, dan sebagainya (Busthami M. Said, 1995: 127-161). Mereka berpendapat, umat Islam akan bangkit dan sehat kembali jika meminum ‘obat’ peradaban Barat dan mengikuti nilai-nilainya, seperti sekularisme, liberalisme, demokrasi, dan nasionalisme (Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir, 2004: 19-dan seterusnya). Ajaran-ajaran Islam harus ditundukkan dan disesuaikan dengan nilai-nilai peradaban Barat (William Montgomery Watt, 1997: 147-256).
Kedua, paradigma Islam, yaitu mengambil ‘obat’ dari peradaban Islam. Itulah yang dilakukan oleh para aktivis kebangkitan dan revivalis Islam, seperti Hasan al-Banna, Abul A’la al-Maududi, Taqiyuddin an-Nabhani, Sayyid Quthb, Baqir ash-Shadr, dan sebagainya (Hafizh M. al-Jabari, Gerakan Kebangkitan Islam, 1996: 115-dan seterusnya). Menurut mereka, kebangkitan umat Islam berarti kembali secara murni pada ideologi Islam, serta lepas dari ideologi Barat yang kufur. Dari pemetaan ini, tampak bahwa paradigma kaum liberal adalah paradigma sekular tersebut. Tujuannya sangat jelas, yaitu bagaimana agar Islam dapat diubah, diedit, dikoreksi, dan diadaptasikan agar tunduk di bawah hegemoni peradaban Barat sekular. Sekularisme dan ide-ide Barat lainnya seperti demokrasi, HAM, pluralisme, dan jender, dianggap mutlak benar dan dijadikan standar; tidak boleh diubah. Justru Islamlah yang harus diubah dan dihancurkan.
Sebenarnya, ini modus yang sangat jahat. Akan tetapi, kaum liberal sangat lihai menutupinya dan tidak menyampaikan dengan terus terang kepada umat, bahwa mereka ingin menghancurkan Islam. Agar umat terkelabui, modus mereka dikemas dengan berbagai istilah yang keren dan terkesan hebat, seperti reinterpretasi, dekonstruksi, reaktualisasi, dan bahkan ijtihad. Ketua Tim Pengarusutamaan Gender Depag, Siti Musdah Mulia, tanpa malu berani mengklaim bahwa draft CLD KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam) adalah hasil ijtihad (Tempo, 7/11/ 2004, hlm. 47).
Padahal draft tersebut —yang konon menggunakan ushul fikih alternatif— telah melahirkan sejumlah pasal yang justru bertentangan dengan Islam; misalnya mengharamkan poligami (pasal 3 ayat 2), menyamakan bagian waris pria dan wanita (pasal 8 ayat 3), menghalalkan perkawinan dalam jangka waktu tertentu (pasal 28), menghalalkan perkawinan antaragama secara bebas (pasal 54), dan sebagainya. Ini semua terjadi karena para penyusun CLD KHI telah menundukkan ushul fikih di bawah nilai-nilai peradaban Barat, yaitu konsep jender, pluralisme, HAM, dan demokrasi. Mengapa semua itu terjadi? Karena ushul fikih kaum liberal adalah ushul fikih palsu yang didasarkan pada paradigma sekular, mengikuti kaum penjajah yang kafir. Mungkin niatnya baik, tetapi mereka pada dasarnya telah melakukan kejahatan intelektual dan penyesatan opini yang luar biasa. Maksudnya memberi ‘obat’, tetapi sebenarnya memberikan racun. Akibatnya, ‘si sakit’ jelas tidak akan sembuh, tetapi malah akan segera masuk ke lubang kubur. Itulah perilaku kaum liberal yang sangat jahat.
Penutup
Secara intelektual, perilaku itu jelas menunjukkan betapa miskinnya pemikiran kaum liberal. Sebab, mereka tak percaya diri dengan warisan intelektual ulama salaf yang sangat kaya sehingga mereka lalu mengemis-ngemis pemikiran secara hina kepada Barat. Kalau Amien Rais menyebut bangsa ini sebagai beggar nation (bangsa pengemis) karena gemar utang luar negeri; bolehlah kaum liberal (seperti JIL) kita sebut beggar intelectual (intelektual pengemis). [Majalah al-wa’ie, Edisi 56]
Sumber: M. Shiddiq al-Jawi
Untuk itu, patut diketahui dulu pengertian ushul fikih serta apa saja yang menjadi cakupan studi ushul fikih. Menurut ulama ushul fikih mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, ushul fikih adalah kaidah-kaidah (qawâ’id) yang dapat mengantarkan pada penggalian (istinbâth) hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci (asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 3; Wahbah az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jld. I, hlm. 23-24). Sedangkan menurut ulama mazhab Syafii, ushul fikih adalah pengetahuan mengenai dalil-dalil fikih yang bersifat global, tatacara pengambilan hukum dari dalil-dalil itu, serta keadaan orang yang mengambil hukum (al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, jld. I, hlm. 10).
Dari berbagai definisi itu, topik (mawdhû’) ushul fikih menurut Muhammad Husain Abdullah (Abdullah, Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh, hlm. 29), meliputi 4 (empat) kajian, yaitu:
(1) Kajian tentang dalil-dalil hukum yang bersifat global (al-adillah al-ijmâliyyah), misalnya al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma, Qiyas, dan seterusnya.
(2) Kajian tentang hukum syariat (al-hukm asy-syar’î) dan hal-hal yang terkait dengannya, seperti definisi hukum syariat dan macam-macamnya.
(3) Kajian tentang cara memahami dalil (fahm al-dalîl) atau pengertian kata (dalâlah al-alfâzh), misalnya tentang manthûq (makna eksplisit) dan mafhûm (makna implisit).
(4) Kajian tentang ijtihad dan taklid, termasuk tatacara melakukan tarjîh (analisis) untuk memilih yang terkuat dari sekian dalil yang tampak bertentangan (ta’ârudh).
Nah, kalau definisi ushul fikih dan cakupan kajiannya itu diterapkan pada ide-ide ushul fikih kaum liberal, apakah mereka memang punya ushul fikih sendiri?
Seorang pakar dan kritikus ide liberal, Dr. Busthami Muhammad Said, menyimpulkan, ijtihad dalam ushul fikih di kalangan kaum liberal —mulai dari Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, Thaha Husain, dan lainnya— tidak lebih dari sekadar teori belaka, tanpa kenyataan (Said, Mafhûm Tajdîd ad-Dîn (terj.), hlm. 268). Jadi, kaum liberal sebenarnya tidak mempunyai ushul fikih, dalam definisi yang sesungguhnya.
Karya mereka tidak pernah menerangkan dengan jelas, apa sebenarnya dalil syariat (sumber hukum) itu. Buktinya, perilaku pejabat yang suka menghadiri perayaan hari raya non-Islam dijadikan dalil bagi bolehnya merayakan hari raya agama selain Islam (Madjid dkk., 2004: 85-88). Mereka juga tidak pernah menerangkan dengan tuntas, bagaimana metode penggalian hukum dari dalilnya, selain mengklaim bahwa metodenya adalah hermeneutika (Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, hlm. 35). Padahal metode ini aslinya adalah untuk menafsirkan Bible (Perjanjian Lama dan Baru); tentu tidak cocok untuk menafsirkan al-Qur’an, karena Bible dan al-Qur’an sangat jauh berbeda, seperti bumi dan langit. Tidak aneh jika Norman Daniel (Daniel, Islam and The West: The Making of an Image, hlm. 53) menegaskan, “The Quran has no parallel outside Islam (Al-Qur’an tidak mempunyai kesejajaran dengan [kitab lainnya] di luar Islam).” (Adian Husaini, “Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal”).
Walhasil, ushul fikih kaum liberal sangat diragukan eksistensinya. Akan tetapi, barangkali ada yang bertanya, bukankah mereka kadang menyampaikan gagasan seputar ushul fikih? Hasan at-Turabi, misalnya, dikenal menyerukan pembaruan (tajdîd) di bidang ushul fikih (At-Turabi, Fiqih Demokratis, Bandung: Mizan, 2003). Jauh sebelum itu, pada 70-an, Jamaluddin Athiyah dalam Majalah Al-Muslim al-Mu’âshir edisi Nopember 1974, juga Ahmad Kamal Abul Majid, tokoh liberal lainnya, dalam majalah Al-‘Arabi edisi Mei 1977, telah mengajak umat Islam untuk berijtihad dalam ushul fikih, bukan hanya dalam fikh (Said, 1995: 266).
Kaum liberal Indonesia pun kadang menggembar-gemborkan ushul fikih baru. Nurcholish Madjid dkk, misalnya, pernah mengklaim mengikuti metode ushul fiqih Imam asy-Syatibi dalam kitabnya, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm, ketika menggagas bukunya yang gagal, Fiqih Lintas Agama (2004). Abdul Moqsith Ghazali (aktivis JIL) mencetuskan beberapa kaidah ushul fikih ‘baru’, semisal:
(1) Al-‘Ibrah bi al-maqâshid lâ bi al-alfâzh (Yang menjadi patokan hukum adalah maksud/tujuan syariat, bukan ungkapannya [dalam teks]);
(2) Jawâz naskh nushûsh bi al-mashlahah (Boleh menghapus nash dengan maslahat);
(3) Tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama’ (Boleh mengoreksi teks dengan akal [pendapat] publik).
Bukankah ini adalah ushul fikih karya kaum liberal?
Jawabnya tegas: tidak. Sebab, meskipun dalam beberapa hal mereka seolah-olah membahas ushul fikih —seperti kaidah-kaidah ushul di atas— sebenarnya tujuannya sangat tendensius, yaitu menundukkan fikih Islam pada nilai-nilai peradaban Barat yang kufur; bukan untuk melahirkan fikih yang sahih agar bisa menjadi pedoman hidup masyarakat Islam, sebagaimana tujuan para ahli ushul fikih yang sesungguhnya. Jadi, kalau pun bisa disebut ushul fikih, karya kaum liberal itu bukanlah ushul fikih sejati, melainkan pseudo ushul fikih, alias ushul fikih palsu.
Paradigma Ushul Fikih Liberal
Mengapa ushul fikih mereka palsu? Sebab, paradigmanya bukan Islam, melainkan sekularisme, yang menjadi pangkal peradaban Barat; peradaban kaum penjajah. Ini tampak dalam upaya mereka menjadikan ushul fikih tunduk di bawah nilai-nilai peradaban Barat. Jadi, secara sengaja, ushul fikih diletakkan sebagai subordinat dari peradaban Barat yang sekular.
Karenanya, tidak aneh, Hasan at-Turabi menyerukan fikih demokratis, sebagai hasil dari adaptasi ushul fikih dengan nilai-nilai demokrasi. Abdul Moqsith Ghazali juga begitu. Kaidah baru yang diusulkannya, seperti tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama’ (Boleh mengoreksi nash dengan akal [pendapat] publik), tidak lain berarti bahwa demokrasi (suara publik), harus menjadi standar bagi teks-teks ajaran Islam. Kalau suatu ayat atau hadis cocok dengan selera publik (baca: demokrasi), bolehlah diamalkan, tetapi kalau tidak cocok, bisa dibuang ke selokan.
Paradigma sekular ini memiliki akar sejarah panjang, bermula dari kondisi umat Islam yang memuncak kemundurannya pada abad ke-18 M lalu. Karena sangat mundur, Khilafah Utsmaniyah dan umat Islam saat itu mendapat julukan The Sick Man of Europe. Di sisi lain, Barat mengalami kebangkitan dengan sekularismenya.
Nah, untuk mengobati ‘si sakit’ itu, lalu muncul 2 (dua) macam upaya ‘penyembuhan’ dengan dua paradigma yang sangat berbeda:
Pertama, paradigma sekular, yaitu mengambil ‘obat’ dari peradaban Barat yang sekular. Itulah yang dilakukan oleh mereka yang disebut dengan kaum modernis atau kaum liberal, seperti Sayyid Ahmad Khan, Ameer Ali, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, dan sebagainya (Busthami M. Said, 1995: 127-161). Mereka berpendapat, umat Islam akan bangkit dan sehat kembali jika meminum ‘obat’ peradaban Barat dan mengikuti nilai-nilainya, seperti sekularisme, liberalisme, demokrasi, dan nasionalisme (Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir, 2004: 19-dan seterusnya). Ajaran-ajaran Islam harus ditundukkan dan disesuaikan dengan nilai-nilai peradaban Barat (William Montgomery Watt, 1997: 147-256).
Kedua, paradigma Islam, yaitu mengambil ‘obat’ dari peradaban Islam. Itulah yang dilakukan oleh para aktivis kebangkitan dan revivalis Islam, seperti Hasan al-Banna, Abul A’la al-Maududi, Taqiyuddin an-Nabhani, Sayyid Quthb, Baqir ash-Shadr, dan sebagainya (Hafizh M. al-Jabari, Gerakan Kebangkitan Islam, 1996: 115-dan seterusnya). Menurut mereka, kebangkitan umat Islam berarti kembali secara murni pada ideologi Islam, serta lepas dari ideologi Barat yang kufur. Dari pemetaan ini, tampak bahwa paradigma kaum liberal adalah paradigma sekular tersebut. Tujuannya sangat jelas, yaitu bagaimana agar Islam dapat diubah, diedit, dikoreksi, dan diadaptasikan agar tunduk di bawah hegemoni peradaban Barat sekular. Sekularisme dan ide-ide Barat lainnya seperti demokrasi, HAM, pluralisme, dan jender, dianggap mutlak benar dan dijadikan standar; tidak boleh diubah. Justru Islamlah yang harus diubah dan dihancurkan.
Sebenarnya, ini modus yang sangat jahat. Akan tetapi, kaum liberal sangat lihai menutupinya dan tidak menyampaikan dengan terus terang kepada umat, bahwa mereka ingin menghancurkan Islam. Agar umat terkelabui, modus mereka dikemas dengan berbagai istilah yang keren dan terkesan hebat, seperti reinterpretasi, dekonstruksi, reaktualisasi, dan bahkan ijtihad. Ketua Tim Pengarusutamaan Gender Depag, Siti Musdah Mulia, tanpa malu berani mengklaim bahwa draft CLD KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam) adalah hasil ijtihad (Tempo, 7/11/ 2004, hlm. 47).
Padahal draft tersebut —yang konon menggunakan ushul fikih alternatif— telah melahirkan sejumlah pasal yang justru bertentangan dengan Islam; misalnya mengharamkan poligami (pasal 3 ayat 2), menyamakan bagian waris pria dan wanita (pasal 8 ayat 3), menghalalkan perkawinan dalam jangka waktu tertentu (pasal 28), menghalalkan perkawinan antaragama secara bebas (pasal 54), dan sebagainya. Ini semua terjadi karena para penyusun CLD KHI telah menundukkan ushul fikih di bawah nilai-nilai peradaban Barat, yaitu konsep jender, pluralisme, HAM, dan demokrasi. Mengapa semua itu terjadi? Karena ushul fikih kaum liberal adalah ushul fikih palsu yang didasarkan pada paradigma sekular, mengikuti kaum penjajah yang kafir. Mungkin niatnya baik, tetapi mereka pada dasarnya telah melakukan kejahatan intelektual dan penyesatan opini yang luar biasa. Maksudnya memberi ‘obat’, tetapi sebenarnya memberikan racun. Akibatnya, ‘si sakit’ jelas tidak akan sembuh, tetapi malah akan segera masuk ke lubang kubur. Itulah perilaku kaum liberal yang sangat jahat.
Penutup
Secara intelektual, perilaku itu jelas menunjukkan betapa miskinnya pemikiran kaum liberal. Sebab, mereka tak percaya diri dengan warisan intelektual ulama salaf yang sangat kaya sehingga mereka lalu mengemis-ngemis pemikiran secara hina kepada Barat. Kalau Amien Rais menyebut bangsa ini sebagai beggar nation (bangsa pengemis) karena gemar utang luar negeri; bolehlah kaum liberal (seperti JIL) kita sebut beggar intelectual (intelektual pengemis). [Majalah al-wa’ie, Edisi 56]
Sumber: M. Shiddiq al-Jawi
Daftar Pustaka
1. Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh. Beirut: Darul Bayariq.
2. Adams, Ian. 2004. Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya (Political Ideology Today). Terjemahan oleh Ali Noerzaman. Yogyakarta: Qalam.
3. Al-Amidi, Saifuddin. 1996. Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. Juz I. Beirut: Darul Fikr.
4. Al-Ja’bary, Hafizh M. 1996. Gerakan Kebangkitan Islam (Harakah Al-Ba’ts Al-Islami). Terjemahan oleh Abu Ayyub Al-Anshari. Solo: Duta Rohmah.
5. Al-Turabi, Hasan. 2003. Fiqih Demokratis. Bandung: Mizan
6. Armas, Adnin. 2003. Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal. Jakarta: Gema Insani Press.
7. Asy-Syaukani. Tanpa Tahun. Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushûl. Beirut: Darul Fikr.
8. Az-Zuhaili, Wahbah. 1998. Ushûl al-Fiqh al-Islâmî. Juz I. Damaskus: Darul Fikr.
9. Ghazali, Abdul Moqsith. 2003. “Membangun Ushul Fiqih Alternatif.”
10. Husaini, Adian. 2004. “Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal.”
11. Madjid, Nurcholish dkk. 2004. Fiqih Lintas Agama. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina & The Asia Foundation.
12. Said, Busthami M. 1995. Gerakan Pembaruan Agama Antara Modernisme dan Tajdiduddin (Mafhûm Tajdîduddîn). Terjemahan oleh Ibn Marjan dan Ibadurrahman. Bekasi: Wacanalazuardi Amanah.
13. Watt, William Montgomery.1997. Fundamentalisme Islam dan Modernitas (Islamic Fundamentalism and Modernity). Terjemahan oleh Taufik Adnan Amal. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Bahaya Firqah Liberal
Mereka tidak menyuarakan Islam yang
diridhai oleh Allah , tetapi menyuarakan
pemikiran-pemikiran yang diridhai oleh Iblis, Barat dan pan Thaghut lainnya.
Mereka lebih menyukai atribut-atribut
fasik dari pada gelar-gelar keimanan karena itu mereka benci
kepada kata-kata jihad, sunnah, salaf dan lain-lainnya dan mereka rela menyebut
Islamnya dengan Islam Liberal.
Allah berfirman:
"Seburuk-buruk panggilan ialah
(panggilan) yang buruk sesudah iman". (QS. Al-Hujurat 11)
Mereka beriman kepada sebagian
kandungan al-Qur'an dan meragukan kemudian menolak sebagian yang lain,
supaya penolakan mereka terkesan sopan dan ilmiyah mereka menciptakan
"jalan baru" dalam menafsiri al-Qur'an.
Mereka menyebutnya dengan Tafsir
Kontekstual, Tafsir Hermeneutik, Tafsir Kritis dan Tafsir Liberal Sebagai
contoh, Musthofa Mahmud dalam kitabnya al-Tafsir al-Ashri 1i alQur'an menafsiri
ayat ( -Faq tho 'u aidiyahumaa- ) dengan "maka putuslah usaha mencuri
mereka dengan memberi santunan dan mencukupi kebutuhannya." (Syeikh
Mansyhur Hasan Salman, di Surabaya, Senin 4 Muharram 1423).
Dan tafsir seperti ini juga diikuti
juga di Indonesia. Maka pantaslah mengapa rasulullah bersabda:
"Yang paling saya khawatirkan atas
adaalah orang munafik yang pandai bicara. Dia membantah dengan Al-Qur'an."
Orang-orang yang seperti inilah yang
merusak agama ini. Mereka mengklaim diri mereka sebagai pembaharu Islam padahal
merekalah perusak Islam, mereka mengajak kepada kepada Al-Qur'an padahal
merekalah yang mencampakkan Al-Qur'an. Mengapa demikian ? Karena mereka
bodoh terhadap sunnah. (Lihat Ahmad Thn Umar al-Mahmashani: 388-389)
Mereka menolak paradigma keilmuwan dan
syarat-syarat ijtihad yang ada dalam Islam, karena mereka merasa
rendah berhadapan dengan budaya barat, maka mereka melihat Islam dengan hati
dan otak orang Barat.
Mereka tidak mengikuti jalan yang
ditempuh oleh Nabi , para sahabatnya dan seluruh orang-orang mukmin.
Bagi mereka pemahaman yang hanya mengandalkan pada ketentuan teks-teks normatif
agama serta pada bentuk-bentuk Formalisme Sejarah Islam paling awal adalah
kurang memadai dan agama ini akan menjadi agama yang ahistoris dan eksklusif
(Syamsul Arifin; Menakar Otentitas Islam LiberaL .Jawa Pos 1-2-2002).
Mereka lupa bahwa sikap seperti inilah
yang diancam oleh Allah: "Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah
jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat
kembali." (QS. An-Nisaa' 115).
Mereka tidak memiliki ulama dan tidak
percaya kepada ilmu ulama. Mereka lebih percaya kepada nafsunya
sendiri, sebab mereka mengaku sebagai "pembaharu" bahkan "super
pembaharu" yaitu neo modernis.
Allah berfirman: Dan bila dikatakan
kepada mereka, "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,"
mereka menjawab, "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan
perbaikan." Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat
kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. Apabila dikatakan kepada mereka,
"Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman," mereka
menjawab, "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang bodoh itu telah
beriman." Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi
mereka tidak tahu.(QS. Al-Baqarah 11-13).
Kesamaan cita-cita mereka dengan
cita-cita Amerika, yaitu menjadikan Turki sebagai model
bagi seluruh negara Islam. Prof. Dr. John L. Esposito menegaskan bahwa Amerika
tidak akan rela sebelum seluruh negara-negara Islam tampil seperti Turki.
Mereka memecah belah umat Islam karena gagasan mereka adalah bid'ah dan setiap
bid'ah pasti memecah belah.
Mereka memiliki basis pendidikan yang
banyak melahirkan pemikir-pemikir liberal, memiliki media yang cukup dan
jaringan internasional dan dana yang cukup.
Mereka tidak memiliki manhaj yang jelas
sehingga gagasannya terkesan "asbun" dan asal "comot" Lihat
saja buku Charless Kurzman, Rasyid Ridha yang salafi (revivalis) itupun
dimasukkan kedalam kelompok liberal, begitu pula Muhammad Nashir (tokoh
Masyumi) dan Yusuf Qardhawi (tokoh Ikhwan al-Muslimin). Bahayanya adalah mereka
tidak bisa diam, padahal diam mereka adalah emas, memang begitu berat jihad
menahan lisan. Tidak akan mampu melakukannya kecuali seorang yang mukmin.
"Barangsiapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir maka hendaklah ia mengucapkan yang baik atau hendaklah ia
diam." (HR. Bukhari dan Muslim) (Lihat Husain al-Uwaisyah: 9 dan
seterusnya). Ahlul batil selain menghimpun kekuatan untuk memusuhi ahlul haq.
Allah ta'ala berfirman:
"Adapun orang-orang yang kafir,
sebagian mereka pelindung bagisebagian yang lain. JIka kamu (hai para muslimin)
tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi
kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar." (QS. Al-Anfaal 73).
Para liberalis itu
"sederhana" tidak memiliki landasan keilmuwan yang kuat dan tidak
memiliki aqidah yang mapan.
Batasan Toleransi
Perbedaan
dan perselisihan adalah perkara yang tercela dalam Islam. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
“Yang demikian itu
adalah karena Allah telah menurunkan Al Kitab dengan membawa kebenaran, dan
sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al Kitab itu,
benar-benar dalam penyimpangan yang jauh.” (Al-Baqarah: 176)
“Manusia itu umat
yang satu, (setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus para nabi, sebagai
pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan Allah menurunkan bersama
mereka kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang
perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu
melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah
datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara
mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada
kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan
Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang
lurus.”
(Al-Baqarah: 213)
“Dan Kami berikan
kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan (agama). Maka
tidaklah mereka berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka pengetahuan
karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Sesungguhnya Tuhanmu akan
memutuskan antara mereka pada hari kiamat terhadap apa yang mereka selalu
berselisih padanya.”
(Al-Jatsiyah: 17)
Dan ayat-ayat lainnya teramat banyak
untuk disebutkan.
Meski demikian, perbedaan dan
perselisihan adalah tabiat manusia, di samping keduanya adalah perkara yang
telah ditaqdirkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
“Tetapi mereka
senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh
Tuhanmu.”
(Hud: 118-119)
Hanya saja kaum muslimin dibebani
secara syar’i untuk meluruskan dan menghilangkannya. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
“Dan Kami tidak
menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) ini, melainkan agar kamu dapat
menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (An-Nahl: 64)
Menghadapi kenyataan demikian ini,
manusia berbeda-beda di dalam menyikapinya. Ada yang tidak menaruh respek
sedikit pun, serta ada yang tidak peduli sama sekali dengan anggapan bahwa
“perbedaan dan perselisihan itu adalah rahmat.” Anggapan ini jelas salah,
karena di antara perbedaan dan perselisihan itu ada yang menyebabkan pelakunya
tercela dan mendapat murka Allah Subhanahu wa Ta'ala, seperti perbedaan dan
perselisihan dalam hal aqidah, manhaj, bahkan agama – wal ‘iyadzubillah - dan pokok-pokok Islam lainnya.
Ada pula yang berusaha untuk
menyembunyikan perbedaan dan perselisihan internal di tengah-tengah kaum
muslimin, dengan dalih “itu hanya akan memperkuat posisi musuh”. Tak heran bila
kemudian didapati orang-orangnya sangat gemar menyerukan agar saling
menghormati, saling memberikan toleransi, mendiamkan penyimpangan-penyimpangan,
demi mencapai sebuah persatuan dan kesatuan, sampai-sampai muncul pernyataan
bahwa “madzhab-madzhab itu adalah partai dalam fiqih, sedang partai-partai itu
adalah madzhab dalam politik.”
Propaganda semacam ini sangat
berbahaya, sebab menyembunyikan perbedaan dan perselisihan dengan menampakkan
wajah persatuan dan kesatuan adalah cara-cara yang ditempuh kaum al-maghdhubi
‘alaihim wadh dhalliin, di mana Allah telah mensifati mereka dalam firman-Nya:
“Kamu kira mereka itu
bersatu sedang hati mereka berpecah-belah.” (Al-Hasyr: 14)
Propaganda ini jelas-jelas ajakan untuk
menempuh jalan mereka, yang padahal Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita agar
menyelisihinya, tidak menyerupainya, dan tidak mengikuti jejak-jejaknya.
Para pembaca, tidak diragukan lagi
bahwa persatuan adalah hal yang terpuji, bahkan banyak ayat yang
memerintahkan bersatu dan melarang berselisih. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
“Dan berpeganglah
kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
“Dan janganlah kamu
menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang
keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat
siksa yang berat.”
(Ali ‘Imran: 105)
“Sesungguhnya
orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa
golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka.” (Al-An’am: 159)
“Dia telah
mensyariatkan bagi kamu tentang agama dan apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa dan ‘Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah-belah tentangnya.” (Asy-Syura: 13)
Perlu untuk diperhatikan, tidaklah
Allah memerintahkan kaum muslimin agar bersatu dengan perintah yang mutlak.
Bukanlah maksud bersatu itu memperbanyak jumlah muslimin, namun maksudnya
adalah berpegang teguh kepada tali Allah yang kokoh.
Jumlah yang banyak tidaklah bermanfaat
bila tidak berpegang teguh kepada tali Allah yang kokoh, bahkan keberadaannya
hanya akan memudharatkan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Dan jika kamu
menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Al-An’am: 116)
“Dan sebahagian besar
manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya.” (Yusuf: 103)
Perbedaan dan perselisihan memang
hal yang tidak bisa kita hindari. Namun bukan berarti kemudian kita
meninggalkan sikap saling menasehati, memerintah kepada yang ma’ruf, dan
mencegah dari yang mungkar. Karena, kaum muslimin diwajibkan secara syariat
untuk mengusahakan segala hal yang menjadi ketetapan atasnya. Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman:
“Sesungguhnya (agama
tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu,
maka bertakwalah kepada-Ku.” (Al-Mu’minun: 52)
“Sesungguhnya (agama
tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu,
maka sembahlah Aku.” (Al-Anbiya:
92)
Bahkan perbedaan dan perselisihan yang
timbul akibat dari menegakkan nasehat, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar,
membela Al-Kitab dan As-Sunnah, penyelisihan terhadap ahlil bid’ah serta
orang-orang yang sesat dan menyesatkan, merupakan perbedaan dan perselisihan
yang terpuji, tidak tercela sedikitpun karena Allah dan Rasul-Nya memerintahkan
untuk memisahkan diri dari mereka itu.
Sebaliknya, adalah kedzaliman yang
besar serta pelanggaran yang fatal terhadap agama, bila menyerukan persatuan
dalam keadaan berbeda-beda manhaj dan aqidah di mana setiap orang dituntut
saling menghormati, mentolerir, dan membiarkan kebid’ahan serta
penyimpangan-penyimpangan dengan cara menutup mata dan berpura-pura tidak tahu.
Wallahul musta’an.
Inilah sebenarnya yang akan melenyapkan
agama dan menghapus kemuliaannya serta kedudukannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
“Orang-orang kafir
Bani Israil telah dilaknati dengan lisan Dawud dan ‘Isa putera Maryam. Yang
demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu
sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat.
Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (Al-Maidah: 78-79)
Maka perbedaan dan perselisihan adalah
dua hal yang tercela dalam agama secara umum namun tidak secara mutlak. Dengan
demikian sangatlah penting bagi kita untuk mengetahui batasan-batasan perbedaan
dan perselisihan yang boleh dan yang tidak, serta batasan-batasan toleransi di
dalamnya.
Perbedaan dan perselisihan ada beberapa
macam, di antaranya:
Pertama, perbedaan dan perselisihan
dalam pokok-pokok agama, seperti dalam ibadah dan aqidah. Perkara aqidah adalah
tauqifiyyah, bukan tempatnya ijtihad, di mana kita wajib berpegang kepada
perkara aqidah yang telah Allah syariatkan, tidak boleh mengikutsertakan ra’yu
(hasil pemikiran akal, red) dan ijtihad-ijtihad kita.
Begitupun ibadah adalah perkara
tauqifiyyah. Perkara
ibadah yang terdapat dalilnya maka kita amalkan dan yang tidak ada dalilnya
maka ia adalah bid’ah yang wajib untuk kita meninggalkannya berdasarkan hadits:
“Barangsiapa
mengadakan suatu yang baru dalam urusan (agama) kami yang bukan berasal darinya
maka tertolak.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Juga hadits:
“Jauhilah oleh kalian
perkara-perkara baru (dalam agama), karena tiap perkara baru itu adalah bid’ah
dan tiap-tiap bid’ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan di neraka.” (HR. At-Tirmidzi,
An-Nasai, dan lainnya)
Maka perkara aqidah, ibadah, dan
perkara agama secara umum tidak ada tempat untuk berbeda dan berselisih di
dalamnya selama-lamanya, akan tetapi mesti mengikuti nash-nash dari Al-Kitab
dan As-Sunnah serta apa yang ada pada salaful ummah, generasi terbaik umat ini.
Perbedaan dan perselisihan dalam hal
ini tercela dan diharamkan, tidak boleh saling menghormati dan memberikan
toleransi, karena pokok-pokok agama bukan tempatnya berijtihad bukan pula
tempatnya untuk memunculkan ra’yu.
Kedua, perbedaan dan perselisihan dalam
perkara yang mendapat kelapangan untuk berijtihad dari masalah-masalah fiqih
dan mengambil kesimpulan hukum dari suatu dalil. Dalam hal ini, perbedaan dan
perselisihan terjadi dalam hal ijtihad dan bukan dalam hal aqidah, tidak ada
pengingkaran di dalamnya dengan syarat setiap orang menjauhi ta’ashshub dan
menjauhkan diri mengikuti hawa nafsu. Namun jika telah nampak suatu dalil, maka
wajib untuk mengikutinya dan meninggalkan apa-apa yang tidak dibangun di atas
dalil.
Ketiga, perbedaan dan perselisihan
sebagian fuqaha dalam hal furu’ yang telah dijelaskan dan didatangkan semuanya
oleh syariat. Perbedaan dan perselisihan dalam hal ini tidaklah membahayakan,
bahkan merupakan bagian dari agama, seperti perbedaan dalam sifat adzan,
jenis-jenis doa istiftah, dan yang lainnya.
Perbedaan dan perselisihan inilah yang
tidak tercela. Dalam perbedaan ini, setiap orang mendapat kelapangan dan dapat
saling memberikan toleransi kepada yang lainnya.
Wal ‘ilmu ‘indallah.
Sumber bacaan:
- Syarh Al-Ushul As-Sittah
- Syarh Masail Al-Jahiliyyah
-
Sumber-sumber lainnya
Langganan:
Postingan (Atom)