Kerusuhan
atau bentrokan yang terjadi di tanah air kita selama beberapa tahun sajak
kerusuhan mei 1998, ini sungguh peristiwa yang sungguh menyedihkan. Puluhan,
ratusan bahkan ribuan nyawa melayang, dan sebagian -insya Allah- orang-orang
yang tidak berdosa. Ngeri. Bahkan pelaku atau perusuh yang menemui ajalnya
dalam kerusuhan yang diciptakannya sendiri itu tentu ditangisi juga oleh sanak
keluarganya, terutama oleh anak-anaknya yang masih menginginkan belaian kasih
sayangnya.
Namun,
peristiwa-peristiwa itu sudah terlanjur terjadi. Orang yang melihat langsung
atau menyaksikan lewat layar televisi tak mungkin melupakannya untuk kemudian
menyatakan hal itu tidak pernah terjadi. Kita tidak mungkin menghapus ingatan
pada tubuh-tubuh yang hangus akibat terpanggang api yang melalap plaza-plaza,
gedung-gedung atau rumah-rumah, wanita-wanita yang diperkosa bahkan ada yang
sampai mengandung anak yang tidak diinginkannya, mayat-mayat yang
bergelimpangan di sembarangan tempat dengan tubuh yang tercabik-cabik dan
dikerumuni lalat atau belatung. Kita tidak mudah menyetop angan-angan kita
sendiri ketika berimajinasi atau membayangkan penderitaan mereka. Betapa panas
dan menggelepar tubuh-tubuh malang itu ketika api menyulut kulit dan daging serta
kemudian merengut nyawanya. Wanita-wanita yang diperkosa secara beramai-ramai
di depan orang tuanya, anaknya, kakak atau adiknya, pacar atau suaminya dengan
jeritan atau rintihan mohon ampun yang akhirnya mengalami trauma atau
penderitaan seumur hidup. Juga betapa tersiksanya tubuh-tubuh malang itu
dihujami senjata tajam atau senjata api.
Bayangkan,
bagaimana kalau di antara korban-korban itu kebetulan keluarga atau saudara
kita sendiri? Hanya bahasa air mata yang bisa menampung sakitnya nurani. Seorang
anak yang pamit untuk pergi bermain dengan ucapan yang renyah lincah kemudian
pulang ke rumah dalam keadaan menjadi mayat atau arang. Karena itu, meskipun
mereka yang menjadi korban itu bukan sanak famili kita, sebagai manusia yang
punya hati nurani, seyogyanya tuduk dan bersedih, karena ada sembilu yang
menyayat rasa kemanusiaan kita.
Dengan
peristiwa yang sangat tidak kita kehendaki itu, agaknya menjadi pertanda bahwa
di negeri ini masih ada orang-orang yang tidak menghargai kemanusiaan. Mereka
sebenarnya masih bangsa kita sendiri, bukan orang asing bangsa penjajah,
seperti yang diperangi oleh Fatahillah tiga abad yang lalu. Karena itu,
peristiwa yang mengharukan itu pantas dan layak untuk direnungkan. Paling
tidak, kita merenungkan dengan hati yang dalam, syaraf-syaraf afeksi kita jadi
terketuk dan semakin peka untuk menghargai hidup dan kehidupan. Jika manusia
menghargai hidupnya sendiri, ia harus menghargai hidup orang lain. Indahnya
hidup ini karena adanya rasa saling menghargai. Minusnya penghargaan kepada
orang lain, pertanda rendahnya rasa kemanusiaan seseorang. Rendahnya rasa
kemanusiaan itulah yang bisa membat manusia berlagak tidak seperti layaknya
manusia lagi, dimana kemuliaan, persaudaraan, moral, akal sehat, dan agama
sudah tidak diindahkan lagi. Jika banyak orang seperti itu, chaos dan anarki
bisa terjadi, yang buntutnya tidak lain adalah kerugian dan penyesalan.
Dengan
peristiwa sedih itu, maka sangat terpuji kalau kita intropeksi dengan kembali
kepada hati nurani dan akal sehat, di samping mendekatkan diri kepada Tuhan
YME. Hanya dengan hati nurani dan akal sehat, kita bisa melihat semua persoalan
secara jernih. Untuk kemudian muncul kebersamaan agar segera bisa menyembuhkan
situasi yang sakit itu untuk normal dalam arti yang sesungguhnya. Dengan
membebaskan masyarakat dari kekhawatiran dan kecemasan, tidak kalah pentingnya
dari upaya menyehatkan rupiah kita yang terpuruk. Kita punya tugas memulihkan
suasana, agar ibu-ibu merasa aman saat mendekap bayinya yang sedang menyusu dan
kemudian bermimpi indah-indah tentang hari esok yang lebih cerah. Anak-anak
sekolah yang merasakan damai sambil melompat-lompat di tepi jalan dengan sorot
mata yang ceria. Para pedagang -dari yang punya plaza sampai yang berjualan di
kaki lima- merasa tak dihantui oleh ulangan peristiwa-peristiwa kerusuhan yang
pernah terjadi di tanah air kita tercinta ini.
Ahlak
mulia yang diajarkan nenek moyang kita, yang mengatakan “hidup tanpa hati
nurani adalah bagai berjalan”, kiranya perlu dikaji ulang, apakah masih relevan
dengan jaman yang serba modern ini. Namun, kalau direnungkan dengan jiwa yang
dalam, hati nurani itu tak lain adalah mata kehidupan yang paling jernih dalam
melihat semua persoalan. Hati nurani adalah yang paling inti dari kemanusiaan.
Dalam hati nurani pula, iman kita kepada Tuhan YME menemukan tempat yang
hakiki. Tanpa hati nurani, iman mudah goyah diombang-ambingkan keinginan hawa
nafsu yang bisa merugikan diri sendiri dan orang lain. Dengan hati nurani,
penderitaan dan kesakitan hati orang lain bisa dirasakan secara intens dan
menimbulkan kesedihan hakiki, yang kemudian solidaritas yang sublim bisa
dikembangkan menjadi suatu persaudaraan sebangsa setanah air.
Maka,
untuk segera bisa menangkis bangsa ini dari kemelut, banyak sektor perlu diisi
oleh setiap warga negara sesuai dengan keahlian dan profesinya masing-masing.
Para birokrat, politikus, tentara, bankir, ulama, pedagang, mahasiswa, dan
lain-lain, bisa menyumbangkan pengabdiannya demi atau untuk mengembalikan
harkat dan martabat bangsa ini, untuk segera bebas dari hal-hal yang tidak kita
sukai, atau aneka krisis yang betul-betul memprihatinkan itu. Bahkan, seorang
penganggur yang tak ikut dan tak ingin berbuat kerusuhan bisa dinilai turut
menyumbang di bidang keamanan. Sumbangan bisa dinilai sejati apabila ada usaha
sehat berdasarkan kejernihan nurani. Sumbangan yang ikhlas itu yang akan
membuat wajah tanah air tercinta ini menjadi cerah, karena sumbangan itu akan
menjadi simbol saling menghargai sesama bangsa Indonesia. Dari stadium yang
nyaman itulah, yang bernama keadilan dan kearifan berbangsa bisa diupayakan
sebagai manifestasi dari cita-cita para pahlawan yang tidak diragukan lagi
pengabdiaan dan kesetiaan kepada tanah air dan bangsa ini. Kita adalah ahli
waris yang sah dari para pahlawan, karena itu Republik Indonesia ini adalah
milik kita semua. Kita adalah satu keutuhan. Jika ada perbedaan pandangan di
antara kita, kita punya bahasa Indonesia yang telah terbukti bisa mempersatukan
bangsa ini. Marilah kita gunakan bahasa persatuan ini untuk berdialog atau temu
wicara. Dialog yang dilakukan dengan bertumpu di atas nurani, di samping adanya
itikad baik untuk saling mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain, tak
pelak lagi pendekatan demi pendekatan semakin menghilangkan jarak. Dari situlah
formula persaudaraan yang lebih segar akan muncul.
Dampak
dari formula itu, kita semakin mudah untuk mengajak masyarakat awam melihat
kedalam dirinya, dan kemudian menampilkan tindakan-tindakan nyata yang lebih
menguntungkan. Dan sebenarnya, masyarakat kita mudah ditentramkan bila
nuraninya diketuk dengan diperlakukan sebagai saudara. Persaudaraan itu
tentunya harus terbit dari hati nurani. Persaudaraan yang tumbuh dari hati
nurani itulah yang akan membuat kita senasib seperjuangan, maka pemerataan hasil
pembangunan di tanah air ini bisa melahirkan senyum pada bibir lebih 200 juta
rakyat indonesia.