Sabtu, 26 Maret 2011

Pledoi Socrates: Antara Etika Politik dan Hukum

Suatu  ketika di tahun 399 SM ada seorang yang sangat terkenal dengan  kepandaiannya tentang filsafat dan ilmu politik yang dijebloskan ke  penjara dan akan dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Heliast (Court of  Heliast). Dia adalah Socrates, yang merupakan Bapak Filsafat Yunani Kuno. Tuduhan  yang dikenakan kepada Socrates ada dua. Pertama. Socrates menolak menyembah dewa resmi yunani, dan Kedua, Dia dianggap meracuni pikiran anak muda

Menariknya  Socrates diadili oleh seluruh warga Athena yang terdiri dari 501 orang.  Angka ganjil tersebut harus selalu ada untuk memastikan bahwa terdapat  kepastian hukum yang jelas. Selanjutnya orang yang merasa mempunyai  bukti bahwa orang lain melakukan kesalahan dapat dituntut maka dia dapat  menjadi jaksa. Pendek kata Setiap warga dimungkinkan untuk menjadi  hakim dan jaksa. Hal ini sangatlah wajar mengingat jumlah penduduk suatu  negara pada waktu itu hanya berjumlah ratusan.

Dari  awal Socrates sudah tahu bahwa dia tidak mempunyai peluang untuk lolos  dari pengadilan Heliast artinya dia pasti akan mati karena sebagian  besar hakim dan jaksa adalah musuh Socrates. Jika para jaksa menuntut  atas tuduhan “tidak beragama”, Socrates dengan mudah menangkisnya  karena hal ini tidak berhubungan dengan pribadi mereka. Mereka kemudian  menuduh Socrates dengan “merusak pikiran anak muda” karena anak-anak mereka suka membantah bila diberi nasehat.

Kemudian  ditambah lagi fakta dari ramalan kuil apollo yang menyatakan bahwa  Socrates adalah orang terpandai di Athena yang menjelaskan bahwa Socrates  adalah hadiah dari Dewa untuk penduduk Athena. Kontan saja orang-orang  yang menjadi hakim sudah tidak bisa menilai lagi secara obyektif. Asas Presumption of innocences dihilangkan dan etika hukum dan politik diabaikan. Keadaan di Yunani pada waktu itu sama seperti di Indonesia dewasa ini.

Mungkin  karena adanya persamaan inilah seorang Gayus Halomoan bisa dengan leluasa keluar  masuk penjara tanpa izin sama sekali padahal seperti kita ketahui rumah  tahanan yang ditempati Gayus Halomoan adalah salah satu tempat tersulit yang  dapat ditembus oleh wartawan. Rumah tahanan tersebut difungsikan  biasanya menyangkut perkara yang sifatnya massive dalam konsumsi publik  sehingga tidak aneh jika penjagaanya diperketat dan kehadiran wartawan  di rutan tersebut sebisa mungkin diminimalisir.

Akan  tetapi, karena etika politik yang tidak ada dan moral yang tergadaikan  dengan uang senilai 300 juta maka sah-sah saja Rutan itu sebagi tempat  formalitas bagi seorang Gayus. Heran saya malah sejak awal!  ketika  ditangkap oleh aparat penegak hukum (sebelum kasus kabur tanpa izin  dari rutan) mengapa dia begitu tenang dan selalu tersenyum ketika akan  dijebloskan penjara. Idealnya menurut Feurbach bahwa orang akan merasa  terintimidasi dengan yang namanya teks hukum (dalam hal ini KUHP). Jadi  logika yang seharusnya berjalan adalah Gayus setidak-tidaknya  memperlihatkan wajah sedih atau suram ketika akan dibawa ke sidang  pengadilan

Gayus  bisa melawan aparat penegak hukum dengan uangnya akan tetapi bagaimana  dengan Socrates?. Apakah Socrates akan menggunakan uangnya dengan  menyuap 50%+1 hakim yang berada di Heliast? ternyata tidak, bahkan dia  membiarkan dirinya mati. Bukan karena dia tidak memiliki uang akan  tetapi dia ingin mempertahankan ajaran tentang kebenaran yang selalu  diajarkannya. Pertanyaan yang menggelitik adalah benarkah Socrates mati konyol?

Untuk menjawabnya kita perlu menafsirkan beberapa sudut pandang yang berada dalam persidangan.

Tafsiran Pertama, Etika Socrates yang tidak takut mati, bahkan kata Socrates kepada jaksa yang secara ngawur menuduhnya… ”A  man should take courage when about to die, and be of good hope, after  leaving this life, he will attain to the greatest good younder“ (Orang harus tabah ketika menghadapi kematian, dan patut mempunyai  harapan baik, bahwa setelah meninggalkan dunia ini dia akan memperoleh  kebaikan terbesar di dunia lain).

Tafsiran Kedua,  yang menurut saya sangat bermanfaat dijadikan contoh adalah ketika  Socrates sedang dipenjara dan salah seorang anak muridnya bermaksud  membantu agar socrates bisa kabur dari penjara dengan menyuap para  penjaga. Akan tetapi, niat itu diketahui Socrates kemudian dia menolak  untuk kabur meski dia tahu bahwa tuduhan yang dilancarkan kepadanya  palsu.

Socrates menolak untuk menggunakan uang hanya untuk “survive”, padahal lawan-lawan Socrates  juga telah menggunakan uang di pengadilan  tapi dia lebih memilih mempertahankan moral yang dianggapnya benar.  Socrates rela mati untuk mendidik elite politik dan para penegak hukum  bahwa dalam melaksanakan proses politik di alam demokrasi perlu  ditekankan keterbukaan yang jujur bukan keterbukaan yang sarat  kepentingan golongan. Etika politik itu dipegang teguh oleh Socrates  meskipun dengan mengorbankan nyawanya.

Mungkin  ramalan yang menyatakan Socrates adalah orang terpintar di Athena adalah  benar. Socrates mengajukan pledoi (pembelaan) yang mengagetkan semua  pihak “Saya tidak akan mengemis agar saya diberi pengampunan, tetapi  saya akan memberikan pencerahan kepada anda tentang tugas hakim  sesungguhnya dan berusaha meyakinkan anda untuk tugas ini”.


Dari  uraian diatas sudah jelas bahwa Socrates adalah salah satu peletak  dasar etika politik di negara yang sangat demokratis dimana semua orang  dapat menjadi aparat penegak hukum. Negara demokrasi yang dipelopori  Yunani ini membutuhkan proses yang panjang dan tanggung jawab yang  seutuhnya. Bahkan Obama dalam pidatonya di Indonesia menyatakan  demokrasi merupakan mekanisme yang paling tepat untuk memperjuangkan Hak  Asasi Manusia. Dan Tanggung jawab yang dimaksud adalah peraturan yang  dibuat untuk diaati bersama, yang mengutamakan “equality before the law”.

Sebagai  penutup saya akan kutipkan kata-kata Satjipto Rahardjo (Pakar Hukum  Progresif) dengan nada geram karena sudah kebingungan menghadapi hukum  indonesia “Apakah kita harus mengganti legislatif dengan cara rakyat  membuat sendiri undang-undang yang diperlukan? Apakah kita akan  mengganti jaksa, advokat, dan hakim dengan semua rakyat untuk dijadikan  hakim, jaksa, dan lainnya?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar