Sabtu, 19 Maret 2011

Tentang Pentingnya Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam


Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Problem pokok dalam pemahaman Islam skarang ini adalah adanya pandangan yang dominan tentang teks sebagai sesuatu yang “supreme”, sehingga pemahaman atas teks itu kerapkali mengabaikan kenyataan dan pengalaman manusia yang kongkrit. Akibatnya adalah pengasingan manusia dari pengalamannya sendiri, karena supremasi teks yang berlebihan.

Sirrul Qur’ani wa lubabuhul Ashfa, wa maqshaduhul aqsha da’watul ‘ibadi ilal Jabbaril A’la.
—Imam Al Ghazali, Jawahirul Qur’an

Wherever bibliolatry has prevailed, bigotry and cruelty have accompanied it.
—T.H. Huxley, Science and Hebrew Tradition

I. Inter-Tekstualitas Qur’an dan wahyu yang hidup

Salah satu masalah yang selalu menghantui umat Islam sepanjang sejarahnya adalah: bagaimana kita bisa hidup sesuai dengan tuntutan teks agama di satu pihak, tetapi di pihak lain kita juga bisa menempatkan diri secara kongruen dengan perkembangan-perkembangan kemanusiaan. Bagaimana, di satu pihak, kita bisa terus menyesuaikan diri dengan perubahan, tetapi, di pihak lain, tetap menjadi Muslim yang baik? Dirumuskan dengan kalimat lain yang agak sedikit “keren”, bagaimana menjadi otentik, sekaligus menjadi modern? Bagaimana berubah, tetapi tetap berpegang pada asas-asas pokok yang ditetapkan oleh agama? Bagaimana menjada keseimbangan antara “ashalah” dan “hadatsah”, dalam kalimat yang populer di kalangan intelekual Arab mutakhir?

Seorang penulis Mesir, Prof. Nasr Hamid Abu Zaid, pernah mengutarakan sebuah statemen yang penting untuk kita pertimbangkan di sini, yaitu bahwa “wa laisa min qabilit tabsith an nashifal hadlaratl ‘arabiyyatal Islamiyyah bi annaha hadlaratun ‘nash’”[2]. Bukan buat-buatan kalau kita katakan bahwa peradaban Islam dan Arab sesungguhnya adalah peradaban yang berpusing-pusing di sekiat “teks”. Kedudukan teks begitu sentralnya, sehingga teks menjadi semacam “paradigma” atau cetakan yang mengkerangkakan hampir seluruh kehidupan umat Islam dalam seluruh bentangan sejarahnya. Sudah tentu, pernyataan Prof. Abu Zeid ini agak sedikit berlebihan, tetapi, seperti akan saya tunjukkan nanti, bahwa teks memang menempati kedudukan yang penting dalam seluruh kehidupan umat Islam. Saya katakan bahwa pernyataan Prof. Nasr sebagai berlebihan, karena sesungguhnya yang kita saksikan dalam praktek nyata adalah interaksi antara teks agama dengan kenyataan-kenyataan sosial yang terus berubah. Teks dan konteks, dalam praktek kehidupan riil, selalu saling mengandaikan, begitu rupa sehingga kadang-kadang konteks bisa membatalkan ketentuan dalam teks itu sendiri. Kedudukan konteks sebagai sesuatu yang penting telah di-endorse oleh kaidah hukum fiqh sendiri: al ‘aadah muhakkamah; adat kebiasaan masyarakat bisa menjadi sumber hukum. Dalam kenyataannya, teks kemudian juga ditafsirkan secara lentur sesuai dengan perkembangan masyarakat yang begitu dinamis. Meskipun kedudukan konteks sebagai sesuatu yang menjadi syarat penting dalam memahami teks telah diakui oleh tradisi penafsiran kita, tetapi pada ujungnya tetaplah harus kita akui bahwa teks menempati supremasi yang begitu tinggi. Dengan demikian, benarlah apa yang dikatakan oleh Prof. Nasr, bahwa peradaban Islam (dan pada instansi peratama tak bisa lain adalah peradaban Arab) adalah peradaban teks.

Saya bahkan lebih jauh lagi ingin menarik pengamatan Prof. Nasr ini dengan mengatakan bahwa peradaban Islam adalah peradaban yang landasan pokoknya adalah “kata” atau “lafaz”, bukan sekedar teks. Secara ringkas bisa dikatakan bahwa supremasi teks atau “lafaz” adalah kaidah dasar dalam ajaran Islam. Kenapa teks menempati supremasi yang begitu tinggi dalam agama kita, jelas ini berkaitan dengan suatu “wawasan teologis” yang tidak remeh dan untuk membongkarnya diperlukan keberanian yang besar; suatu wawasan teologis yang menganggap bahwa Tuhan berbicara langsung kepada manusia via Nabi; bahwa Sabda Tuhan adalah superior terhadap sabda manusia; bahwa Sabda Tuhan, sejauh tidak ada alasan-alasan yang kuat dan kokoh, harus dimengerti dalam pengertiannya yang harafiah. Wawasan teologis yang melandasi pandangan “skripturalisme” ini juga tegak atas suatu asumsi yang agak lucu: semakin harafiah kita memahami Sabda Tuhan, semakin dekat kita kepada kehendak-Nya; semakian kita asyik dan sembrono dalam “ta’wil” atau penafsiran non-literal, maka semakin jauh kita dari kehendak-Nya yang benar. Teks adalah semacam aksis atau “poros” tempat seluruh tindakan orang beriman berkisar.  Semakin dekat kepada kepada titik pusat poros itu, maka makin besar kemungkinannya kita untuk mendekati esensi agama; makin jauh kita dari poros itu, makin jauhlah kit dari esensi agama. Kedekatan dan kejauhan, dalam hal ini, semata-mata diukur melalui “lafaz” atau teks. Wawasan teologis yang bersifat “ultra-teosentris” semacam inilah yang menerangkan kenapa teks begitu ditempatkan dalam kedudukan yang sentral, sementara pengalaman manusia yang riil dan kontekstual diletakkan dalam kedudukan yang inferior, rendah, sekunder, atau bahkan tak berarti sama sekali.

Kalau kita hendak melakukan “sesuatu” yang kita harapkan berguna bagi penyegaran pemikiran Islam, maka pertama-pertama yang harus kita hadapi adalah jelas sekali: bagaimana kita menempatkan diri di hadapan teks ini? Kalau kita sadar bahwa Qur’an dan Sunnah tidak lain adalah juga sekumpulan teks, maka pertanyaannya menjadi jelas dan gamblang: mau kita apakan dua Teks Agung ini? Bagaimana sikap yang tepat terhadap keduanya? Pertanyaan yang saya lontarkan di awal tulisan ini menyangkut tuntutan untuk berdiri seimbang antara “taat ajaran” dengan “berubah sesuai dengan perkembangan”, antara menjadi otentik dan modern sekaligus, dengan demikian juga berkaitan dengan pertanyaan lain: apakah demi mengikuti perkembangan yang terus berubah, kita boleh meninggalkan makna lahiriah teks atau tidak. Sejauh mana teks agama bisa tetap dipertahankan dalam pengertiannya yang lahiriah? Pada batas mana kita bisa mengatakan “selamat tinggal” kepada makna lahiriah teks itu? Di manakah persisnya kita dengan hati yang tenang bisa mengatakan bahwa makna literal dari Teks Agung (Qur’an dan Sunnah) bisa kita tinggalkan, digantikan makna lain yang non-literal, yang lebih sesuai dengan kebutuhan manusia?
Pertanyaan lain yang segera mengemuka adalah: jika wawasan teologi yang “ultra-teosentris” telah bertanggungjawab sepenuhnya terhadap supremasi teks yang begitu hebat, apakah kita bisa merumuskan wawasan teologi lain yang lebih berpusat pada manusia? Agak aneh, bahwa konsepsi Islam yang begitu cerah, optimistis, dan maju tentang manusia (manusia diperlakukan sebagai khalifah, misalnya, seperti dalam QS 2:30, dan QS 17:70 yang berbicara tentang konsep “takrim” atau pemuliaan manusia) ternyat tidak tercermin dalam cara sebagian umat Islam memandang kedudukan manusia dalam menafsir teks; yakni bahwa “agensi” manusia untuk menafsir teks kurang begitu diperhitungkan; atau kalau diperhitungkan, maka agensi itu tetap berada di bawah kontrol teks. Itulah sebabnya, dalam maksim hukum Islam klasik dikatakan bahwa “al ‘ibrah bi’umuil lafz, la bikhususis sabab,” yang menjadi pegangan pokok adalah universalitas teks, bukan partikularitas konteks. Kaidah ini, secara langsung atau tidak, menempatkan partikularitas pengalaman riil kehidupan manusia sebagai sesuatu yang berada di bawah supremasi teks Qur’an atau Sunnah. Konsepsi semacam ini, secara tidak langsung, berlawanan dengan prinsip dasar dalam Qur’an di mana manusia diletakkan pada posisi yang begitu tinggi. Tadi saya sudah katakan, bahwa Qur’an mempunyai konsepsi yang cerah dan optimistis mengenai manusia (konsep takrim). Dalam pemahaman saya, manusia di sini tentu saja bukan suatu “wujud abstrak” yang diidealisasikan, tetapi adalah manusia yang riil dengan seluruh pengalaman kongkrit yang dimilikinya. Pemuliaan atas manusia juga berari mengakui kompleksitas pengalamannya yang tidak bisa begitu saja ditundukkan kepada teks yang dianggap sebagai “universal’. Wawasan teologi yang “ultra-teosentris” dan kemudian berujung pada supremasi teks, dengan demikian mengakibatkan suatu efek alienasi atau pengasingan, yaitu manusia diasingkan dari pengalamannya sendiri, dan diperintahkan begitu saja untuk tunduk kepada kesakralan teks yang dianggap mengatasi dan “mengabstraksikan” seluruh pengalaman kongkrit manusia.

Acapkali kita dengar bahwa suatu ketentuan hukum tertentu dalam Islam (misalnya hukum qishash atau waris, contoh yang paling banyak dikutip dalam setiap perdebatan mengenai pokok soal ini) dianggap sebagai sesuatu yang final dan sudah demikian adanya, semata-mata berdasarkan suatu paham sederhana bahwa itu adalah sabda Allah atau perintah Allah. Sebuah ayat dalam Qur’an (33:36) seringkali dikutip sebagai landasan utama: jika Allah dan Rasul-Nya memutuskan sesuatu, maka tidaklah boleh bagi orang beriman, laki atau perempuan, untuk menolak keputusan itu; tak ada pilihan bagi mereka kecuali mena’atinya. Apakah benar ayat ini menunjuk kepada makna yang sering dipahami oleh sebagian umat Islam saat ini, yaitu ketundukan kepada teks tanpa reserve, tanpa memperhitungkan bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia sendiri? Dengan kata lain, apa benar bahwa ayat tersebut merupakan argumen kokoh untuk mendukung supremasi teks yang asasnya adalah: makin tekstual pemahaman anda, maka anda akan semakin dekat kepada makna teks itu, dan dengan demikian makin taat anda kepada keputusan Allah dan Rasul-Nya, dan juga sebaliknya? Saya meragukan bahwa ayat itu menghendaki pengertian yang semacam itu. Berdasarkan konsep “takrim” atau pemuliaan yang bahkan dikenalkan oleh Qur’an sendiri, manusia dengan seluruh pengalamannya merupakan dasar yang penting dalam ketundukan kita kepada Allah.

Makna dasar Islam adalah “ketundukan”. Apakah ketundukan kepada Allah harus berarti menundukkan pengalaman sejarah manusia yang kongkrit kepada kehendak Allah begitu saja? Ini pertanyaan penting yang harus diungkap terus-menerus, agar kita tidak terjebak dalam pemaknaan yang sempit atas sejumlah ayat dalam Quran seperti ayat 36 dalam surah Al Ahzab yang saya kutipkan di atas itu. Sebab, jika ketundukan dimaknai dalam kerangka wawasan teologi yang “ultra-teosentris”, maka ketundukan di situ berarti pengabaian pengalaman kehidupan manusia yang riil demi memelihara kemuliaan teks Qur’an, karena pengalaman itu dianggap hanyalah sesuatu yang sifatnya relatif, sesuatu yang inferior. Saya lebih cenderung memandang bahwa ketundukan di situ adalah ketundukan yang tetap dalam kerangka pemuliaan kehidupan manusia, sesuai dengan konsep takrim yang dikenalkan oleh Qur’an sendiri. Ketaatan kepada hukum-hukum Allah tetaplah tidak bisa dimutlakkan begitu rupa sehingga mengorbankan pengalaman kehidupan manusia itu sendiri. Cara yang tepat untuk memandang Islam adalah dengan melihat dua dimensi sekaligus: dimensi “islam/istislam” sebagai ketundukan, dan dimensi “takrim” sebagai pemuliaan martabat manusia. Dalam retorika populer umat Islam, dimensi “ketundukan” dan dimensi “kehambaan” (‘ubudiyyah) lebih banyak ditekankan ketimbang dimensi pemuliaan manusia dan pengalamannya. Karena hukum dan kehendak Allah tidak bisa dipahami kecuali melalui –meminjam bahasa ushul fiqh klasik—“khithab” atau ujaran-Nya yang disampaikan via Nabi, maka makna Islam yang berarti ketundukan itu dimerosotkan nilainya menjadi sekedar tunduk kepada teks-teks yang ada dalam Qur’an, tentu ketundukan dalam pengertian yang harafiah. Islam, dengan demikian, menjadi aneh maknanya: yaitu tunduk dan berserah diri kepada teks. Islam merosot nilainya menjadi “penyembahan kepada teks”, atau, dalam bahasa Huxley yang saya kutip dalam pembukaan tulisan ini, “bibliolatry”.

Suka atau tak suka, semua umat beragama yang mendasarkan diri pada Holy Scripture, atau Kitab Suci yang tertulis, sangat rentan terhadap kecenderungan semacam ini: menempatkan teks dalam kedudukan yang begitu “supreme”, begitu tinggi, sehingga mengalahkan kenyataan hidup manusia yang terus berubah. Kalau mau menggunakan istilah yang agak sedikit seram, “rejim teks” akan selalu menjadi bayang-bayang yang terus menghantui masyarakat Kitab Suci, atau –dalam bahasa Qur’an—“ahlul kitab”. Fenomena sosial yang kita lihat akhir-akhir ini, yaitu fundamentalisme, sebetulnya merupakan wujud modern dari kecenderungan yang sudah berurat berakar lama dalam agama-agama Kitab-Suci-Tertulis, yaitu kecenderungan untuk meninggikan teks di atas pengalaman kongkrit manusia. Dasar pokok dalam fundamentalisme agama (termasuk di dalamnya adalah fundamentalisme Islam) adalah kehendak untuk mengukuhkan teks. Teks selalu memanggil-manggil umat beriman untuk kembali ke pangkuannya, karena di sanalah kehendak Tuhan akan mereka temukan.  Itulah sebabnya panggilan untuk kembali kepada teks (dalam yargon yang selama ini kita kenal: ruju’ ilal kitab was sunnah, kembali kepada Kitab yang tertulis [yaitu Qur’an] dan tradisi Nabi [Sunnah]) selalu menyimpan daya tarik yang hebat bagi umat Islam. Amat mengherankan bahwa teks mempunyai “gravitasi” yang begitu hebat di kalangan umat.

Sudah tentu gravitasi teks ini bukan semata-mata lahir karena konsepsi tentang teks yang berlandaskan wawasan teologi yang “ultra-teosentris”. Ada sebab-sebab yang lebih bersifat sosial politik yang melatari itu semua. Mengutip kembali Prof. Nasr,  dalam sejarah Islam, supremasi teks yang begitu sentral sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari konteks politik pada zaman itu. Sebagaimana kita tahu, proses pemantapan mazhab-mazhab dalam Islam berlangsung sekitar abad 3-4 Hijriyah. Inilah masa yang dalam sejarah tasyri’ Islam disebut sebagai periode taqnin, atau kodifikasi mazhab. Pada periode itulah mulai muncul ancaman disintegrasi “polity” atau kepolitikan umat. Dinasti Abbasiyah di Baghdad mulai terancam karena munculnya “duwailah” atau kerajaan-kerajaan kecil di wilayah pinggiran imperium Islam. Perasaan “insecurity” mulai muncul. Pada saat seperti itu, umat merasakan perlunya suatu rasa aman, dan salah satu mekanisme pencarian rasa aman itu adalah dengan cara menegakkan otoritas teks sebagai pedoman yang dianggap absolut[3]. Warisan inilah yang terus kita langgengkan hingga sekarang, yaitu warisan akan pentingnya ketaatan pada teks karena kekhawatiran akan munculnya disintegrasi umat yang disebabkan oleh kekacauan penafsiran. Kata “fitnah” yang berarti kekekacauan sosial selalu merupakan hantu yang membayangi sejarah sosial umat Islam. Penegakan supremasi teks adalah semacam usaha untuk mengkompensasi (‘amaliyyah ta’widhliyyah, istilah Prof. Nasr) kekacauan itu dengan cara mengokohkan otoritas teks. Dalam cara yang sama, Roxanne L. Euben, dalam “Enemy in the Mirror”, menjelaskan kemunculan fundamentalisme modern. Dalam fundamentalisme modern, “discourse of authenticity” begitu kuat dan menonjol. Sudah tentu, keotentikan di situ diukur pertama-tama melalui ketaatan seseorang kepada bunyi dan ketentuan teks dalam Kitab Suci. Wacana tentang keaslian berdasarkan teks ini, seperti diulas oleh Euben, adalah lahir karena perasaan kecemasan yang mendalam dalam umat Islam berhadapan dengan hegemoni negara-negara Barat yang dipandang melukai “harga diri” mereka; dalam usaha mengatasi kecemasan itu, sesuatu yang bersifat pasti dan kokoh diperlukan. Teks dikokohkan kembali untuk mengkompensasi perasaan cemas ini[4]. Singkatnya, dalam situasi krisis di mana umat Islam mencari pegangan yang kokoh untuk tambatan agar tidak mengalami disintegrasi atau “fitnah”, seringkali seruan untuk kembali berpegang kokoh kepada teks digembar-gemborkan secara reguler. Kita masih ingat observasi yang dulu, di abad 19, pernah dikemukakan oleh seorang intelektual Muslim masa kekhalifahan Usmani, Muhammad Syakib Arsalan: kemajuan bangsa Barat terjadi karena mereka meninggalkan Kitab Suci mereka; tetapi kemajuan umat Islam hanya akan terjadi kalau mereka kembali berpegang teguh kepada Qur’an. Kitab Suci atau teks, dalam pengamatan Arsalan, dipandang sebagai sumber penyelesaian masalah umat.

Tetapi, pertanyaan saya adalah: kenapa teks begitu mudah menarik perhatian umat Islam, dan kenapa dalam situasi krisis (identitas), teks lah yang selalu “dipanggil” ke depan untuk menjadi pelindung dari ancaman kekacauan? Ini semua tidak mungkin terjadi seandainya teks sendiri tidak menempati kedudukan yang sentral dalam wawasan keagamaan umat. Dalam istilah Prof. Nasr, Qur’an dan Sunnah sebagai teks telah menjadi suatu “konsep aksial” (mafhum mihwary) atau gagasan poros yang begitu pentingnya sehingga bolak-balik umat selalu menoleh ke sana dari waktu ke waktu. Jika tidak ada suatu upaya untuk membongkar wawasan teologis yang menempatan teks dalam posisi yang begitu sentral semacam itu, maka lingkaran setan pemahaman keagamaan yang “alkitabiah” atau skripturalistik tidak akan bisa diatasi. Bibliolatri akan terus membayang sebagai ancaman yang tidak bisa dihindarkan. Bahaya dari bibliolatri adalah “hilangnya dimensi manusia” (“ghayabul insan”, istilah Hassan Hanafi) dalam modus keberagamaan. Pengalaman manusia menjadi remeh dan tidak diperhitungkan. Manusia menjadi tidak da harganya, entah sebagai pribadi atau sebagai kolektivitas sosial yang kaya akan pengalaman-pengalaman historis yang kongkrit.

Ada sekurang-kurangnya dua asumsi dasar dalam pemahaman keislaman yang tekstualistik:

Pertama, Adanya praanggapan bahwa teks adalah sesuatu yang dengan sendirinya tembus pandang, transparan. Seorang pembaca teks bisa dengan langsung menembus dan menggali isi dan kandungan dalam teks itu tanpa ada hambatan apapun. Inilah yang menjelaskan kenapa retorika agama populer selalu bertaburan dengan ayat dan hadis; kedua sumber itu dikutip begitu saja, seolah-olah tidak ada hambatan apapun; seolah ayat yang turun untuk sahabat Nabi di abad 7 Masehi dengan begitu saja bisa dikutip untuk zaman sekarang tanpa adanya kesulitan yang timbul karena adanya “jarak epistemologis” yang berarti. Maksud saya: jarak yang terbentang karena konteks tempat ayat itu turun jelas berbeda dengan konteks kita sekarang ini. Asumsi ini tidak bisa diterima karena satu alasan yang sebenarnya sangat sederhana: setiap teks selalu mengandung lapisan-lapisan penafsiran yang bertingkat-tingkat. Teks juga tidak bisa bicara dengan sendirinya kepada masyarakat yang menerimanya. Qur’an, misalnya, tidak bisa berbicara sendiri atas nama Tuhan tanpa adanya “masyarakat tafsir” (ahlut ta’wil sebagai imbangan ahlul kitab) yang membuat Kitab Suci itu berbicara kepada mereka. “Innama yunthiquhur rijal,” kata Sayyidina Ali r.a,; sesungguhnya yang membuat mushaf atau Qur’an itu berbunyi adalah orang-orang (tentu kata “rijal” yang artinya laki-laki di sini sangatlah bias gender; seolah-olah yang bisa “membunyikan” Qur’an hanyalah kaum laki-laki, dan perempuan hanya bisa diam pasif mendengarkan “suara” kaum laki-laki itu). Artinya, teks agama tidak bisa hadir sebagai sesuatu yang bermakna bagi manusia tanpa adanya suatu “perantara” atau “makelar”. Saya mempunyai hipotesis: semakin jauh jarak kita dari suatu teks, semakin banyak kita membutuhkan “perantara” untuk menjembatani antara kita yang hidup di abad 21 ini dengan teks Qur’an yang lahir dalam konteks sosial abad 7. Artinya: semakin jauh jarak kita dari suatu teks, maka media atau jembatan yang perlu kita bangun jelas makin panjang. Sebabnya tentu sangatlah sederhana: kita tidak pernah tahu persis, bagaimana sebetulnya gambaran dari masyarakat zaman Nabi dahulu saat menerima wahyu itu, bagaimana situasi dan konteksnya, bagaimana hubungn-hubungan sosial yang ada zaman itu, dst. Kita hanya bisa mereka-reka saja, merekonstruksi peristiwa kewahyuan yang ada zaman itu. Pengetahuan tentang konteks pewahyuan yang lebih dari sekedar ilmu asbabun nuzul dalam pengertian klasik merupakan syarat mutlak untuk memahami suatu ayat.

Kedua, asumsi lain adalah: seolah-olah yang disebut sengan Qur’an hanyalah ayat-ayat yang tertera dalam mushaf saja. Asumsi ini juga tidak bisa kita terima. Mengandaikan bahwa Qur’an adalah hanya sekedar teks yang tercantum dalam mushaf, sama saja dengan mengandaikan bahwa Qur’an hanya teks yang mati belaka. Lagi-lagi mengutip Prof. Nasr, proses pewahyuan sejatinya adalah “’amaliyyat ittishal”, proses komunikasi yang mengandaikan adanya dua pihak: pihak yang mengirimkan pesan (Allah) dan pihak yang menerima pesan (Nabi Muhammad). Karena Nabi bukanlah seseorang yang terisolasi dari konteks, tetapi orang yang hidup dalam suatu komunitas “makna” yang sungguh-sungguh kongkrit, maka sebetulnya wahyu yang kemudian bernama Qur’an itu sebenarnya bukan sekedar merupakan deretan teks mati, tetapi teks yang hidup dalam suatu konteks yang benar-benar nyata. Kalau boleh, saya hendak mengajukan suatu konsep tentang “wahyu yang hidup”, yaitu wahyu yang terdiri dari teks dan konteksnya sekaligus. Teks yang kita baca dalam Qur’an sekarang ini adalah “sebagian” dari wahyu yang harus dilengkapi dengan pemahaman atas konteks kongkret tempat wahyu itu dahulu turun. Prof. Arkoun mempunyai suatu analisa yang baik mengenai hal ini. Dia mengajukan suatu istilah “tajribatul Madinah”, atau pengalaman Madinah. Wahyu yang diterima oleh Nabi adalah wahyu yang turun dalam suatu konteks “pengalaman yang kongkret”. Kita juga tidak bisa memandang Nabi hanya sebagai individu belaka, sebab Nabi adalah bagian dari suatu komunitas yang nyata. Ketika Qur’an dibukukan dan diresmikan dalam “mushaf”, dalam lembaran-lembaran, maka yang tercatat sebagian besar hanyalah teks Qur’an, tetapi konteks yang melekat pada wahyu saat turun tidak ikut tercatat di dalamnya. Proses penulisan Qur’an, dengan sendirinya, “mereduksikan” Qur’an hanya sebagai sebuah teks mati belaka. Gerakan-gerakan Islam yang memperjuangkan agar umat kembali kepada “teks”, sama sekali tidak menyadari bahwa mereka sedang mengajak umat merujuk kepada suatu dokumen wahyu yang sudah kehilangan konteksnya. Di sinilah letak sulitnya kita menerima pemahaman “naif” atas ayat yang sering dikutip oleh kaum skripturalis (QS 4:59): fa in tanaza’tum fi syai’in farud duhu ilal Lahi wa rasulih. Jika kalian berselisih mengenai suatu perkara, maka kembalilah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan “kenaifan” yang polos, ayat ini bisa menjebak kepada pemahaman sederhana bahwa kembali kepada teks Qur’an adalah makna yang dikehendaki oleh ayat itu. Bagi saya, pokok soalnya adalah: bagaimana kita bisa kembali, kalau kita hanya mewarisi dokumen Qur’an tertulis yang tidak menyertakan rekaman yang detil mengenai konteksnya. Dan sesungguhnya, jika kita mau jujur, tidak ada Kitab Suci di dunia ini yang dibukukan dan menyertakan konteksnya sekaligus. Sebab jika demikian halnya, Kitab Suci akan sangat tebal, dan membuat malas umatnya untuk menyimak dan menghafal. Benarlah kata Sayyidina Ali seperti yang telah dikutip di atas: sesungguhnya Qur’an itu adalah teks mati (karena dikodifikasi dengan tanpa menyertakan dokumen tentang konteksnya), hanya orang-oranglah yang membuatnya hidup dan bisa “berbicara” kepada manusia. 

Dengan kata lain, diperlukan suatu “mediasi” atau perantaraan, suatu penafsiran. Dan di sinilah letak pentingnya “masyarakat penafsir”. Yang jarang diingat oleh mereka yang menganjurkan kembali kepada teks Kitab Suci adalah bahwa bahkan Kitab Suci itu sendiri sejak menit pertama hadir dalam sejarah masyarakat manusia, dia sesungguhnya hadir di tengah-tengah masyarakat penafsir. Sahabat Nabi, bahkan juga Nabi sendiri, bukanlah merupakan penerima pasif wahyu, tetapi adalah masyarakat yang aktif menafsirkan wahyu itu sendiri. Bahkan Az Zarkasyi, dalam Al Burhan fi ‘Ulumil Qur’an, mengutip suatu pendapat (meskipun kurang dominan) di lingkungan penafsir Qur’an klasik, bahwa Qur’an turun kepada Nabi hanyalah berupa gumpalan gagasan-gagasan, sementara “wording” atau pengkalimatan gagasan itu dalam konteks masyarakat Makkah dan Madinah saat itu dilakukan oleh Nabi sendiri (sebagian pendapat yang lain mengatakan: Jibril lah yang memberikan “baju” atas gagasan-gagasan kewahyuan)[5]. Jika kita ikuti pendapat ini, maka akan gamblang sekali bahwa bahkan sejak menit pertama, wahyu adalah merupakan proses yang sifatnya “partisipatif”, suatu medan makna di mana di dalamnya terlibat aktif para aktor-aktor historis yang hidup dalam konteks yang kongkret, termasuk Nabi sendiri dan para sahabatnya. Konon, menurut Fazlur Rahman, sahabat Umar boleh disebut sebagai “co-author” atau orang yang ikut “menciptakan” Qur’an, karena banyak sekali ayat-ayat Qur’an yang turun membenarkan pendapat Umar, dan menyalahkan keputusan Nabi[6]. Saya hendak melangkah lebih jauh lagi dengan mengatakan bahwa sebenarnya seluruh sahabat dan komunitas di Madinah saat itu adalah, secara tidak langsung, merupakan “co-author” dari Qur’an. Dalam pengertian inilah kita bisa memahami konsepsi Mohamed Arkoun tentang “pengalaman Madinah” di atas: suatu pergulatan antara wahyu dengan masyarakat yang menerimanya, di mana keduanya adalah merupakan dua pihak yang saling mengandaikan. Pengalaman itu juga bersifat partisipatif, di mana masyarakat sahabat terlibat secara aktif dalam “an act of co-authorship”, dalam tindak “penciptaan” dan pemaknaan Qur’an.

Gagasan tentang “mediasi” atau adanya perantara antara kita dengan Kitab Suci menolak anggapan bahwa Qur’an adalah teks yang tembus pandang, teks yang bisa diakses tanpa mengandaikan pengetahuan yang memadai tentang konteks ayat itu turun. Gagasan itu juga menolak anggapan bahwa teks saja adalah memadai. Teks Qur’an tidaklah sesuatu yang “self sufficient”, mencukupi dirinya sendiri. Kenapa Qur’an tidak mencukupi dalam dirinya sendiri, karena teks Qur’an sebetulnya adalah teks yang tali-temali, kait berkelindan dengan teks-teks lain. Teks Qur’an adalah teks yang sifatnya intertekstual. Teks-teks lain yang mengelilingi Qur’an, antara lain, adalah sejarah sosial masyarakat Arab, tradisi literer yang sangat kaya dan maju pada zaman itu, konteks politik dan hubungan-hubungan kekuasaan pada masa turunnya wahyu, tradisi-tradisi kepercayaan dan keagamaan yang hidup pada saat tersebut, dan sebagainya. 

Secara ringkas dapat dikatakan kembali, bahwa problem pokok dalam pemahaman Islam skarang ini adalah adanya pandangan yang dominan tentang teks sebagai sesuatu yang “supreme”, sehingga pemahaman atas teks itu kerapkali mengabaikan kenyataan dan pengalaman manusia yang kongkrit. Akibatnya adalah pengasingan manusia dari pengalamannya sendiri, karena supremasi teks yang berlebihan. Diperlukan suatu pandangan yang lebih seimbang tentang teks, yaitu teks atau wahyu yang hidup dalam konteks yang nyata, di mana masyarakat terlibat aktif dalam pemaknaan teks itu. Pengalaman manusia dan wahyu adalah dua hal yang saling mengandaikan, dan tidak bisa dipisahkan satu dari yang lain. Dengan kata lain, wahyu dan pengalaman manusia (termasuk di dalamnya adalah akal) adalah sama kedudukan dan status “epistemologis”-nya dalam tindakan penafsiran. Kalau kita mengikuti hirarki klasik mengenai sumber-sumber hukum dalam Islam, kita akan mengenal empat sumber: Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas/Ijtihad. Kalau saya diperkenankan untuk melihat ulang kembali sumber-sumber hukum itu dalam terang wawasan penafsiran seperti yang telah dikemukakan di atas, maka saya akan menyebutkan dua sumber saja: wahyu dan pengalaman historis manusia. Sunnah, Ijma’ dan Qiyas adalah cerminan dari pengalaman masyarakat (Madinah) dalam pergulatannya dengan wahyu. Kedua sumber itu, seperti telah ditegaskan tadi, adalah setara kedudukannya. Sesuai dengan konsepsi Qur’an tentang “takrim”, maka sudah sewajarnya kita mengangkat pengalaman historis masyarakat sebagai sumber yang setara dengan wahyu itu sendiri. Yang saya maksudkan dengan “pengalaman” di sini adalah perkembangan-perkembangan situasi dalam kehidupan setiap masyarakat. Dengan kata lain: wahyu bukan saya maknai sebagai “teks” yang sepenuhnya terpisah dari kehidupan manusia yang terus berkembang, sebagaimana pemahaman yang secara implisit sekarang ini berlaku dalam masyarakat kita. Wahyu, dalam pandangan yang selama ini kita jumpai, dipandang sebagai “eksternal” terhadap kenyataan hidup manusia, dan dengan demikian juga berada di “atas”-nya,  mengatasinya, superior terhadap yang terakhir itu. Jika kenyataan hidup berlawanan atau menyimpang dari wahyu, maka jawabannya adalah sudah pasti: sesuaikan kenyataan itu dengan wahyu. Sebab, mengutip kata-kata da’i “sejuta umat” kita, Zainuddin MZ, Qur’an adalah “imam”, sementara kita adalah “makmum”. Sebaliknya, yang saya kehendaki adalah wahyu yang bersama dengan pengalaman dan realitas kehidupan manusia bekerja secara dialektik dalam merumuskn kebenaran ajaran agama.

II Pembacaan “baru” atas Qur’an: go beyond text

Setelah “tour” panjang dalam meletakkan hubungan antara wahyu dan pengalaman serta realitas kehidupan manusia sebagai dua hal yang saling memprasyarati, pertanyaan berikutnya yang muncul adalah:  bagaimana sikap kita terhadap teks Qur’an sendiri; apakah kita harus ta’at berkukuh kepada makna literal dari ayat itu, atau kita diperbolehkan untuk meninggalkannya sama sekali jika makna literal tersebut tidak lagi bisa dipertahankan? Apa patokannya?

Salah satu kaidah klasik yang menjadi “aturan main” dalam proses penalaran hukum adalah la ijitihada fi muqabalatin nash, tidak dimungkinkan adanya ijtihad atau penalaran hukum dalam bidang-bidang di mana ada teks yang menerangkan dengan jelas ketentuan hukumnya. Ketentuan dalam masalah itu disebut sebagai ketentuan yang sudah pasti dan mengikat, qath’i. Prof. Ibrahim Hosen pernah mengemukakan pandangannya mengenai masalah ini. Menurut dia, ketentuan-ketentuan dalam Qur’an yang dapat disebut sebagai qath’i (pasti dan mengikat) sangatlah terbatas jumlahnya, dan untuk sampai kepada status itu dibutuhkan syarat yang tidak ringan. Dia menyebut, misalnya, ketentuan-ketentuan itu harus “menafikan dengan dasar mutawatir segala macam bentuk ihtimal (kebolehjadian). Misalnya, nash (teks –UAA) itu tidak mengandung ihtimal majaz, kinayah, idlmar, takhshish, taqdim dan ta’khir, naskh, atau ta’arudl ‘aqli.[7] Pandangan Prof. Hosen ini jelas kurang populer di kalangan sebagian besar ulama, terutama pendapatnya yang mensyaratkan suatu teks qath’i agar tidak mengandung kontradiksi secara akliah (ta’arudl qath’i). Pandangan Prof. Hosen ini saya anggap sangat maju dan cukup berani. Atas dasar patokan ini, kita bisa dengan mudah menilai sejumlah ayat dalam Qur’an yang selama ini sudah dianggap sebagai qath’i, padahal di dalamnya terdapat ihtimah (kemungkinan makna) yang lain di luar makna literal yang sering dipahami dari ayat-ayat itu. Meskipun sudah klise, kita sering mendengar perdebatan klasik yang terakhir dipicu oleh Munawir Syadzali melalui isu reaktualisasi ajaran Islam, atau oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui gagasannya tentang pribumisasi Islam. Masalah yang muncul ketika itu adalah soal pembagian warisan. Pola lama 2:1 di mana anak laki-laki mendapatkan dua kali lebih dari pembagian yang diperoleh anak perempuan, dianggap oleh Munawir sebagai ketentuan yang tidak qath’i, meskipun terdapat ketentuan yang jelas dalam Qur’an (QS 4:11) mengenai itu. Ihtimal atau keberatan yang diajukan oleh Munawir, antara lain, bahwa pembagian itu tidak adil dalam konteks kehidupan sekarang di mana beban penyelenggaraan rumah tangga dipikul secara bersama oleh laki-laki dan perempuan secara ekual. Keadilan yang sudah jelas dan gamblang adalah salah satu fondasi seluruh agama Islam, menjadi pertimbangan pokok untuk menilai ulang ketentuan tentang hukum waris ini.

Saat ini kita berhadapan dengan isu sentral tentang tuntutan pelaksanaan syari’at Islam. Kita dihadapkan lagi dengan persoalan lama yang belum tuntas perdebatannya: apakah yang disebut dengan syari’at? Mana saja lingkupnya? Apakah mungkin syari’at dijadikan landasan pengelolaan kehidupan masyarakat Muslim di masa modern ini? Apakah syari’at merupakan ketentuan yang begitu saja harus kita anggap mengikat semua umat Islam karena dia adalah “hukum Tuhan”? Saya mengajukan pertanyaan dan sekaligus jawaban baru dalam artikel di Kompas yang menimbulkan kontroversi itu[8]: apakah benar ada yang disebut “hukum Tuhan” (dalam artian “Divine law”) dalam pemamahan yang selama ini dilekatkan sebagian besar orang modern terhadap kata “hukum”, yaitu hukum positif yang berlaku secara menyeluruh kepada subyek hukum tanpa melihat latar belakang agama, suku, warna kulit dsb., serta ditegakkan melalui wewenang negara? Saya, dalam artikel itu, mengatakan: tidak ada! Sebab yang ada adalah nilai-nilai pokok yang sering disebut sebagai “maqashidusy syari’ah” atau tujuan-tujuan umum syari’at Islam. Saya tidak akan membahas masalah ini sekarang. Saya akan mencoba menjawab masalah pokok yang menjadi bahan perdebatan lama: apakah yang disebut dengan qath’i, apa yang disebut dengan zhanni; manakah ayat-ayat dalam Qur’an (juga Sunnah) yang bisa kita masukkan ke dalam status qath’i, sehingga tidak boleh lagi diganggu gugat, dan manakah yang zanni dan mengandul –istilah Prof. Hosen—“ihtimal” sehingga bisa dinegosiasikan berdasarkan perkembangan waktu dan tempat?

Dua kata itu, qath’i dan zanni, dalam tradisi ushul fiqh klasik dan modern, didefinisikan dalam cara yang, bagi saya, kurang tepat.  Qath’i artinya adalah suatu dalil hukum yang dikemukakan dalam suatu redaksi atau “kata” yang tidak mengandung makna ganda (la yahtamilu ma’nayain). Dalil yang zanni adalah dalil yang sebaliknya, yaitu dalil hukum yang redaksinya mengandung ambiguitas. Dalil qath’i dibagi kedalam dua kategori: qath’iyyul wurud (yaitu dalil yang transmisinya valid, sehingga tidak mengandung keraguan lagi [Qur’an, dalam pandangan fuqaha dan seluruh umat Islam adalah qath’iyyul wurud, sementara hadis hanya sebagian yang qath’yyul wurud, sebagian yanglain adalah zanniyyul wurud]), dan qathi’yud dilalah (yaitu dalil yang menunjukkan makna yang pasti, univok, tidak ambigu). Begitu juga dalil zanni dibagi kedalam dua kategori: zanniyyul wurud (yaitu dalil yang transmisinya mengandung keraguan, apakah benar dalil itu diucapkan oleh Nabi atau tidak, misalnya), dan zanniyyud dilalah (dalil yang menunjukkan makna ganda, sehingga kita tidak bisa memastikan mana makna yang tepat).

Defisini qath’i dan zanni dalam tradisi hukum kita lebih didasarkan pada pertimbangan “redaksi” atau kalimat. Suatu dalil atau teks dianggap qath’i manakalah ia disampaikan dalam suatu redaksi atau kalimat yang begitu rupa sehingga tidak mengandung ambiguitas. Redaksi atau lafaz yang demikian itu disebut sebagai “an nash”. Begitu juga, suatu dalil akan dianggap sebagai zanni manakala disampaikan dalam redaksi atau lafaz yang ambigu, bermakna ganda, ekuivok. Saya paham, bahwa pada akhirnya suatu ajaran dalam masyarakat yang mengenai Kitab Suci Tertulis mau tidak mau mesti dilandaskan pada teks tertulis dalam Kitab Suci itu. Dalam hal ini, teori tentang “kata” memegang peran penting. Itulah sebabnya, dalam ushul fiqh klasik dikenal suatu pembahasan panjang mengenai “Bab al Alfaz”, bab tentang kata. Sebab “kata” adalah fondasi paling asasi dalam penalaran hukum yang berlandasakan Kitab Suci Tertulis. Tetapi justru di sinilah saya hendak mengemukakan pandangan lain, yaitu keharusan melakukan “paradigm shift”, atau pembalikan paradigma. Bagi saya, teori tentang qath’i dan zanni tidak bisa lagi dipertahankan lagi sebagai sekedar teori tentang “kata”, tetapi harus menjadi teori tentang nilai. Diskursus mengenai nilai dan teori nilai tampaknya kurang dikembangkan dengan serius oleh sarjana Muslim, baik klasik atau modern. Atau tepatnya: filsafat etika kurang menempati posisi sentral dalam pemikiran Islam klasik dan modern. Sebagian besar energi intelektual umat Islam terserap kedalam penalaran fiqh dengan pusatnya yang paling penting adalah “teks”. Lagi-lagi, mengutip kalimat Prof. Nasr, tradisi pemikiran Islam memang benar-benar tradisi yang berikisar di sekitar “Teks”, yakni teks Qur’an dan Sunnah.

Sejumlah intelektual Muslim modern mulai mengajukan alternatif terhadap cara pandangan lama tentang qath’i dan zanni ini. Fazlur Rahman, misalnya, dalam Major Themes in Qur’an, mencoba memulai suatu tradisi baru dengan menggali apa yang dia sebut sebagai konsep-konsep etiko-religius, yakni konsep-konsep etis Qur’ani yang merupakan landasan dari “pandangan dunia Islam”. Dalam bukunya yang seminal, Toward An Islamic Reformation, Abdullahi Ahmed An Na’im, mengikuti contoh yang ditinggalkan gurunya, Muhammad Mahmud Taha, merumuskan ulang defenisi qath’i dan zanni. Dia membagi ayat-ayat dalam Qur’an dalam cara yang ditempuh oleh ulama klasik tetapi dengan pemaknaan yang baru, yaitu ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah. Ayat-ayat Makkiyah lebih relevan dijadikan sebagai usaha merumuskan hirarki nilai baru dalam Islam, sebab umumnya ayat-ayat Makkiyyah berisi konsep-konsep etis universal yang berisfat umum, sementara ayat-ayat Madaniyyah lebih banyak berkaitan dengan cara penerjemahan konsep-konsep etis itu kedalam konteks yang spesifik di Madinah. Dengan ini hendak dikatakan bahwa derajat universalitas ayat-ayat Makkiyyah lebih tinggi dibanding dengan ayat-ayat Madaniyyah. Ayat-ayat yang qath’i, dengan demikian, adalah ayat-ayat yang turun di Makkah, sementara ayat-ayat zanni adalah yang turun di Madinah. Masdar F. Mas’udi, dalam Agama Keadilan, mencoba meninjau ulang kedua konsep itu (qath’i dan zanni). Masdar merumuskan ayat-ayat qath’iyyah sebagai ayat-ayat yang mengandung ketentuan nilai-nilai etis yang universal, yang tidak berubah karena perkembangan waktu dan perbedaan tempat. Sementara ayat-ayat dzanniyah adalah ayat-ayat yang berurusan dengan cara penerjemahan nilai-nilai etis universal itu ke dalam konteks tertentu[9].
Saya kira, “batu-batu bata” argumen yang telah dimulai oleh pemikir-pemikir Muslim modern itu sudah cukup membawa kita semua untuk meninjau ulang cara kita “membaca” ayat-ayat Qur’an atau Sunnah. Seperti saya kemukakan di bagian terdahulu, teks Kitab Suci bukanlah teks yang tembus pandang begitu saja, yang transparan. Sebab, ada jarak historis dan epistemologis yang cukup panjang antara kita dengan teks itu, jarak yang begitu lebarnya sehingga untuk “menyeberanginya” kita membutuhkan “piranti penalaran” yang tidak remeh. Itulah yang saya sebut sebagai “mediasi akal”. Dalam bagian terdahulu, saya sudah mengemukakan bahwa kedudukan wahyu dan pengalaman kongkret manusia dalam kehidupan sehari-hari haruslah diletakkan dalam posisi yang sejajar, sebab wahyu tanpa konteks tidaklah bisa “berbunyi”. Wahyu yang tertulis adalah –ini bukan istilah akademis—“wahyu eksplisit”, sementara konteks yang meliputi turunnya wahyu, konteks di mana manusia dengan seluruh pengalamannya bergulat dengan wahyu tersebut, boleh disebut –lagi-lagi ini bukan istilah akademis—sebagai “wahyu implisit’. Dalam penggunaan yang lebih populer, dikenal dua istilah: ayat-ayat qauliyyah dan ayat-ayat kauniyyah. Saya pernah menggunakan istilah “wahyu verbal” dan “wahyu non-verbal”. Keduanya harus saling mengandaikan dan mensyaratkan.

Berdasatkan itu, saya ingin mengajukan cara pandang baru dalam “membaca” Qur’an. Harus diakui, ini bukanlah sesuatu yang “baru” sama sekali, sebab- preseden ke arah itu sudah terdapat dalam pemikiran para sarjana Muslim terdahulu. Saya hanya mencoba merumuskan masalahnya secara “lain” dalam konteks tantangan baru yang kita hadapi sekarang ini. Suatu cara pandang baru yang radikal memang benar-benar harus diajukan untuk mengubah cara pandang yang dominan selama ini di kalangan umat sekarang ini, yaitu sudut pandang yang kalau boleh ingin saya sebut sebagai “bibliolatristik”. Kita harus membangunkan kembali kesadaran umat Islam mengenai apa yang dalam tradisi fiqh disebut sebagai “hikmatut tasyri’”, filosofi di balik legislasi hukum. Dengan kata lain, aspek-aspek etis dari ajaran agama Islam harus dikemukakan lagi secara lebih persisten dan vokal untuk menandingi kecenderungan-kecenderungan fundamentalisme modern yang hendak mendangkalkan pemahaman Islam sebatas atau sebagai “ideologi politik” atau sekumpulan ajaran yang harus diikuti begitu saja karena ia merupakan perintah Tuhan. Teori tentang nilai atau visi etis dari agama juga harus ditampilkan lagi lebih gamblang.

Dalam wawasan seperti itu, cara baru membaca Qur’an didasarkan bukan pada asumsi lama: bahwa segala ketentuan yang secara “harafiah” ada dalam Qur’an (atau Sunnah), maka ia adalah bersifat mengikat, permanen, dan berlaku sepanjang masa dan tempat. Ini, dalam pandangan saya, adalah cara membaca Qur’an yang “bibliolatristik”, pembacaan yang hanya berhenti pada teksnya saja. Tiga ayat dalam Surah Al Maidah (QS 5:44-47) yang seringkali dipakai untuk mendukung sikap “bibliolatrisme”, bahwa barang siapa tidak berhukum kepada hukum Allah, maka dia adalah kafir, zalim dan fasik, haruslah dibaca ulang bukan dalam kerangka yang tekstualistik semacam itu. Kita harus membaca Qur’an dalam sinaran konsep-konsep etis yang diderivasikan sendiri dari Qur’an tersebut. Rahman telah merintis suatu “ijtihad” yang sangat bermanfaat dalam bidang ini. Tetapi pembacaan baru atas Qur’an juga harus didasarkan pada pertimbangan bahwa konteks kehidupan manusia yang kongkrit juga merupakan sesuatu yang “konstitutif” dalam “pembentukan” wahyu Qur’an. Pengalaman umat Islam dalam periode yang oleh Abdullahi A. An Na’im sebagai “periode paska-kolonial’ juga harus dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Pembacaan Qur’an yang berlaku selama ini masih tetap dalam semacam “complacency” bahwa tak ada sesuatu yang berubah pada umat Islam setelah memasuki abad modern, dengan ciri-ciri pokok, antara lain: pengalaman kolonialisme moder, pengalaman negara bangsa, perjumpaan dan perkenalan dengan hukum positif Barat yang kemudian menjadi kenyataan sehari-hari dalam kehidupan umat Islam, integrasi ekonomi global, berkembangnya sistem demokrasi sebagai bentuk “polity” baru yang dominan di seluruh dunia, dst. Pembacaan Qur’an yang “revivalistik” dan “bibliolatristik” masih tetap saja mengandaikan bahwa seolah-olah umat Islam bisa dengan mudah ditarik mundur ke zaman Nabi, dan bahwa sejarah “kesadaran” umat Islam seolah-olah tidak mengalami diskontinuitas yang berarti setelah memasuki abad industri. Ini semua adalah kenyataan-kenyataan hidup umat Islam yang harus dipertimbangkan dalam pembacaan Qur’an.

Kesimpulannya: meletakkan Qur’an semata-mata sebagai teks yang terisolasi dari kenyataan di sekitarnya, dan atas dasar itu kemudian ditarik kesimpulan bahwa ajaran-ajaran tertentu adalah bersifat mengikat dan permanen hanya karena ada ketentuan harafiahnya dalam Qur’an, tidak bisa lagi diterima. Pandangan semacam ini harus ditolak. Kutipan dari Imam Ghazali dalam pembukaan tulisan ini layak kita pertimbangkan. Rahasia Qur’an adalah undangan atau ajakan agar hamba-hamba Tuhan kembali kepada-Nya. Kalimat ini sangat radikal efeknya jika kita maknai sebagai berikut: rahasia Qur’an bukanlah ajakan agar umat Islam dan hamba-hamba Tuhan kembali kepada teks Qur’an itu sendiri, tetapi kembali kepada “esensi transendental” yang ada di balik teks itu. Situasi yang kita hadapi sekarang ini sungguh amat berbeda: umat Islam kembali kepada teks, kepada “scripture”, bukan kepada visi etis yang melandasi teks-teks itu. Karena teks menjadi sandaran utama dalam visi keagamaan yang dominan, maka pembaharuan-pembaharuan pemikiran dalam Islam selalu berhadapan dengan pertanyaan pokok yang selalu berulang dari waktu ke waktu: pandangan anda sesuai tidak dengan Qur’an dan Sunnah? Mana dalilnya? Pertanyaan itu mengandung kelemahan dasar dan salah sejak dari awalnya: sebab kesesuaian dengan Qur’an dan Sunnah semata-mata dinilai berdasarkan keesuaian yang sifatnya tekstual. Kenyataan bahwa wahyu sejak dari awalnya adalah teks yang pemaknaannya terkait secara erat dengan komunitas sahabat yang menerimanya saat itu, dan bahwa wahyu tekstual adalah “separoh” saja dari wahyu Qur’an yang sesungguhnya (yang lain adalah “wahyu implisit” dalam bentuk konteks sosial), sama sekali diabaikan. Kita harus berani “menyeberang” di balik teks, dengan menengok kembali visi etis Qur’an yang bersifat universal, serta lingkungan sosial umat Islam yang terus berubah. Go beyond text, itu tantangannya.

Visi etis Islam sebetulnya sudah dirumuskan untuk sebagian oleh juris klasik Islam, yaitu dalam apa yang disebut sebagai “al kulliyyatul khamsah” (lima pilar utama) atau “al kulliyyatul kubra” (pilar-pilar agung). Visi itu dirumuskan sebagai “perlindungan”. Yaitu perlindungan atas (1) akal, (2) agama, (3) nyawa, (4) harta, dan (5) kehormatan atau keluarga. Ayat-ayat Qur’an sudah semestinya dibaca dalam terang visi etis ini, di satu pihak, serta didialogkan dengan pengalaman umat Islam modern di pihak lain. Dengan mengecualikan ayat-ayat yang berkaitan dengan ritual murni seperti salat, puasa dan haji, dan ketentuan sial makanan dan minuman (math’umat dan masyrubat), maka seluruh “ayatul ahkam” atau ayat-ayat hukum yang keseluruhannya turun di Madinah itu, harus dianggap sebagai ayat yang hanya berlaku temporer, kontekstual, dan terbatas pada pengalaman sosial bangsa Arab di abad 7 M. Ayat-ayat itu mencakup ketentuan tentang kewarisan, pernikahan, kedudukan perempuan, jilbab, qishash, jilid, potong tangan, untuk menyebut beberapa contoh saja. Tidak ada kekeliruan yang lebih fatal dari cara pandang yang melihat bahwa Qur’an adalah kitab yang mengandung ketentuan yang seluruhnya bersifat permanen, universal, dan abadi. Kleim yang selalu dikemukakan bahwa Qur’an adalah “shalihun likulli zamanin wa makan,” tepat dan relevan untuk segala tempat dan wahyu, dan bahwa Qur’an adalah kitab yang sempurna, mengandung seluruh kata kunci penyelesaian atas semua masalah (Qur’an sebagai “panacea”, pandangan yang sekarang mudah dipakai untuk menipu umat Islam awam), perlu dilihat ulang. Yargon-yargon itu lebih mempunyai makna “politis”, yaitu sebagai “yel politik” yang dipakai oleh partai-partai atau golongan-golongan Islam tertentu melawan golongan dan partai lain, semata-mata untuk mencapai pengaruh politik dengan cara yang murah, ketimbang merupakan doktrin teologis[10]. Dalam Qur’an ada ajaran-ajaran yang sifatnya permanen, dan ada yang sifatnya temporer dan kontekstual.

Menyuguhkan pandangan yang seolah-olah Islami bahwa seluruh hal dalam Qur’an adalah bersifat permanen, atas dasar yang sangat sederhana bahwa ketentuan yang secara harafiah terdapat dalam Qur’an adalah bersifat mengikat dan universal, jelas keliru besar. Itulah bentuk “bibliolatri” yang harus ditentang. Kita harus melampaui bibliolatrisme, menyeberangi teks, dan menangkap visi etis Qur’an kembali, meletakkannya dalam “perjumpaan yang dialogis” dengan kenyataan-kenyataan hidup umat Islam di zaman modern ini, zaman yang dari segi manapun sudah tidak bisa lagi diukur secara sederhana dengan “paradigma” Madinah. Kita perlu mengangkat kembali posisi manusia kedalam martabat yang diberikan Qur’an sendiri kepadanya, dengan memperhitungkan kemaslahatan manusia sebagai “partner” dari wahyu.

Harap jangan lupa: wahyu verbal dalam Qur’an hanyalah separo wahyu yang harus dilengkap dengan wahyu non-verbal. Dengan cara itulah kita bisa menghindari sikap bibliolatristik.*****


————————————————————————————————————————
[1] Teks ceramah di Paramadina, tanggal 8 Februari 2003. Kata “bibliolatry” di sini secara harafiah berarti “penyembahan Bibel”. Secara umum, kata itu berarti “pengagungan” Kitab Suci apapun secara berlebihan sehingga menyerupai penyembahan. Dalam makalah ini, kata itu saya pakai sebagai padanan (dengan pengertian yang jauh lebih mendalam) dari “skripturalisme” yang berlebihan. Kata itu saya kutip dari buku T.H. Huxely, Science and Hebrew Tradition. Kutipan lain saya ambil dari Imam Al Ghazali dalam bukunya Jawahirul Qur’an. Terjemahannya:  Rahasia Qur’an,dan intinya yang paling cemerlang, serta tujuannya yang pokok adalah “undangan” untuk para hamba menuju kepada Tuhan.

[2] Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhumun Nash: Dirasat fi ‘Ulumil Qur’an (Kairo: Al Hai’ah al Mishriyyah al ‘Ammah lil Kitab, 1993), hal. 11.

[3] Ibid, hal.  12.

[4] Roxanne L. Euben, Enemy in the Mirror: Islamic Fundamentalism and the Limits of Modern Rationalism (Princeton: Princeton University Press, 1999).

[5] Badruddin Muhammad bin Abdullah Az Zarkasyi, Al Burhan fi ‘Ulumil Qur’an (Bairut: Darul Ma’rifah, 1972), jilid I, hal. 17.

[6] Dalam kasus tawanan perang Badar, Umar berpendapat bahwa mereka harus dibunuh, sementara Abu Bakar berpendapat lain: mereka dibebaskan saja dengan tebusan. Nabi mengikuti pendapat Abu Bakar, kemudian turun ayat dalam surah Al Anfal yang menyalahkan keputusan Nabi, dan membenarkan keputusan Umar (QS 8:67-68).

[7] Ibrahim Hosen, “Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam,” dalam Reaktualisasi Ajaran Islam: 70 tahun Prof. Dr. H. Munawir Syadzali, MA (Jakarta: IPHI&Paramadina, 1995), hal. 251-284.

[8] Ulil Abshar-Abdalla, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, Kompas, 18 November 2002.

[9] Untuk survei kritis mengenai kesulitan-kesulitan penerapan syari’at Islam dalam konteks modern, terutama berkaitan dengan hokum keluarga, dapat dibaca observasi yang sangat bagus dari Abdullahi A. An Na’im. Baca. Abdullahi A. An Na’im, “Shari’a and Islamic Family Law: Transition and Transformation” dalam Abdullahi A. An Na’im, Islamic Family Law In a Changing World: A Global Resource Book ( London: Z Book, 2002), hal. 1-36.

[10] Asghar Ali Engeneer baru-baru ini menulis artikel pendek dalam seri Newsletter Secular Perspective berjudul “Islam and Secularism”.  Artikel tidak dipublikasi, hanya disebarkan via internet kepada sejumlah pelangga. Dalam artikel itu, dia menekankan pentingnya pembedaan antara “yang politis” dan “yang teologis”. Mencampuradukkan antara kedua hal itu hanya akan menguntungkan kaum demagog dan politisi yang berwawasan pendek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar