Kamis, 24 Maret 2011

Jabatan Kepemimpinan



Janganlah kamu meminta jabatan dalam pemerintahan. Karena jika kamu diberi jabatan karena permintaanmu, maka bebanmu sungguh berat. Tetapi jika kamu diberi jabatan tanpa kamu minta, maka kamu akan dibantu oleh orang banyak (HR. Muslim dari Abdurrabman bin Samurah ra)

Keberadaan pemimpin jelas amat dibutuhkan bagi setiap orang dalam berbagai kelompok dan bidang. Dalam sepakbola ada kapten kesebelasan, di perusahaan ada direktur bahkan presiden direktur, dalam shalat berjamaah mesti ada yang namanya imam dan dalam suatu negara ada presiden atau perdana menteri atau ada juga yang menyebutnya dengan raja. Dibutuhkannya pemimpin menunjukkan betapa strategis jabatan kepemimpinan itu.

Jabatan kepemimpinan yang diemban seseorang bisa membawa kebaikan tapi juga bisa membawa keburukan, tidak hanya bagi orang yang dipimpinnya tapi juga bagi dirinya sendiri, bahkan tidak hanya keburukan di dunia ini saja tapi juga bisa sampai ke akhirat nanti. Kepemimpinan yang akan membawa seseorang pada keburukan disebabkan banyak faktor.

1.  Kekejaman Dalam Memimpin

Kepemimpinan yang dijalankan dengan berlaku kejam atau zalim kepada orang yang dipimpin merupakan sesuatu yang membawa malapetaka bagi sang pemimpin dan orang yang dipimpinnya, tidak hanya kejam dari tindakan fisik tapi juga kebijakan dan ketentuan yang dikeluarkannya sehingga rakyat tidak berdaya dihadapan sang pemimpin meskipun pemimpin itu melakukan kesalahan, karenanya pemimpin yang berlaku kejam kepada rakyat yang dipimpinnya merupakan sejelek-jelek pemimpin.

Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya sejelek-jelek pemimpin adalah pemimpin yang kejam. Karena itu berhati-hatilah agar kamu tidak termasuk golongan itu” (HR. Muslim dari Ubaidilah bin Ziad)

2. Membodohi Rakyat

Pemimpin yang baik adalah yang berusaha mencerdaskan rakyatnya karenanya ia memajukan pendidikan, menjeiaskan secara terbuka segaia kebijakan yang diambil dan masyarakatpun didorong untuk mempelajari dan mengkritisi segala kebijakan itu. Gagasan cerdas dari rakyat tidak hanya didengar tapi juga diterapkan seperti yang dilakukan Rasulullah saw yang melaksanakan pendapat Salman Al Farisi yang mengusulkan penggalian parit dalam siasat perang yang kemudian perang itu disebut dengan perang khandak, begitu juga dengan Khalifah Umar bin Khattab yang mencabut kembali kebijakan dan peraturannya yang diakui salah setelah dikritik oleh seorang wanija tua tentang mahar yang tidak boleh mahal.

Manakala pemimpin membodohi rakyatnya dan ia suka bila rakyatnya tidak pintar, maka jangan harap bisa masuk ke dalam surga karena pemimpin semacam itu termasuk orang yang diharamkan masuk surga.

Rasulullah saw bersabda: “Tiada seorang hambapun yang oleh Allah diserahi memimpin rakyat, mati pada hari ia mati dalam keadaan membodohi rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga atasnya” (Bukhari dan Muslim).

3. Berdusta

Dalam rangka membodohi rakyat dan menyimpan agenda-agenda busuk, tidak sedikit pemimpm yang melakukan penipuan atau berlaku dusta, bahkan tidak segan-segan melakukan kezaliman terhadap orang yang tidak sependapat dengannya atau sekadar mengkritisi.

Terhadap pemimpin yang demikian kita tidak dibolehkan untuk membantu kezaliman yang dilakukannya dan membenarkan kedustaan atau kebohongan yang disampaikannya, bila kita tidak bersikap demikiari terhadap sang pemimpin, maka ancamannya tidak mendapatkan pengakuan sebagai umat Nabi Muhammad saw. Bila orang yang membantu pemimpin yang zalim dan membenarkan kebohongannya saja sudah tidak diakui sebagai umat Nabi Muhammad saw, apalagi pemimpin yang demikian.

Rasulullah saw bersabda: “Kelak akan muncul pemimpin-pemimpin yang berselimutkan api neraka. Mereka berdusta dan berbuat zalim. Barangsiapa membantu mereka terhadap kezalimannya dan membenarkan kedustaan mereka, maka dia bukan termasuk golonganku dan akupun bukan golongannya, dan dia tidak akan minum dari telaganya” (HR. Ahmad dari Said Al Khudri).

Menyikapi Jabatan Kepemimpinan.

Karena kepemimpinan merupakan amanah dan ada konsekuensi dunia akhirat yang akan dihadapankan kepada sang pemimpin, maka paling tidak ada dua sikap kita terhadap jabatan kepemimpinan yang harus kita tunjukkan.

Pertama, tidak ambisius untuk mendapatkan jabatan kepemimpinan, karena itu seorang musiim jangan sampai meminta jabatan kepemimpinan, apalagi bila berbagai upaya termasuk upaya yang tidak baik dilakukan untuk mendapatkan jabatan itu seperti menyogok, menjelek-jelekkan orang lain dan sebagainya.

Meminta jabatan seperti itu akan membuat beban kepemimpinan semakin berat dan orang yang membantupun motivasinya untuk mendapatkan keuntungan duniawi, namun bila jabatan itu memang diberikan karena kapasitas yang dimiliki, maka akan banyak orang yang membantu melaksanakan tugas kepemimpinan dengan sebaik-baiknya.

Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kamu meminta jabatan datam pemerintahan. Karena jika kamu diberi jabatan karena permintaanmu, maka bebanmu sungguh berat. Tetapi jika kamu diberi jabatan tanpa kamu minta, maka kamu akan dibantu oleh orang banyak” (HR. Muslim dari Abdurrahman bin Samurah ra).

Kedua, memperoleh jabatan dengan cara yang baik dan benar sehingga tidak menghalalkan segala cara untuk memperolehnya dan sesudah memperoleh jabatan, digunakan jabatan dengan baik dan benar untuk menegakkan kebaikan dan kebenaran, begitulah yang telah ditunjukkan oleh para khalifah yang cemerlang seperti Abu Bakar Ash Shiddik, Umar Bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thaiib, Umar bin Abdul Aziz dan sebagainya.

Penggunaan jabatan untuk kebaikan dan kebenaran membuat seorang pejabat selalu dikenang dalarn kebaikan dan dijadikan sebagai rujukan untuk menjadi pemimpin yang baik. Namun bila tidak, maka jabatan membuat seseorang menjadi hina dihadapan manusia dan menjadi penyesalan yang amat dalam, bahkan kehinaan dan penyesalan itu sudah dirasakan sejak masih di dunia ini, apalagi dalam kehidupan di akhirat nanti.

Rasulullah saw bersabda: “Abu Dzar ra berkata: Saya bertanya, Ya Rasulullah mengapa engkau tidak memberiku jabatan? Maka Rasulullah menepukan tangannya pada pundakku, lalu belau bersabda: Hai Abu Dzar, sungguh kamu ini lemah, sedang-kan jabatan adalah amanah, dan jabatan itu akan menjadi kehinaan serta penyesalan pada hari kiamat, kecuali bagi orang yang memperolehnya dengan benar dan melaksanakan kewajibannya dalam jabatannya” (HR. Muslim).

Oleh karena itu, dalam suasana masyarakat dan bangsa kita yang sepanjang tahun mengikuti Pemilu dan Pilkada, menjadi amat penting untuk merenungkan kembali apa sebenarnya hakikat kepemimpinan baik dalam jabatan eksekutif, legisiatif maupun yudikatif. Semua itu dimaksudkan agar kita tidak salah memilih pemimpin dan orang yang terpilih sebagai pemimpinpun mampu menggunakan jabatannya untuk melayani masyarakat dan menegakkan kebaikan serta kebenaran.

Catatan sejarah kita belum cukup banyak tentang pemimpin yang cemerlang dan yang semakin banyak justeru pemimpin yang menjadi hina dan merasakan penyesalan bagi diri dan keluarganya apalagi bagi masyarakat dan bangsa.

Pemimpin Adalah Amanat Jabatan

Secara tradisional amanat hanya dipahami sebagai menunggu barang-barang titipan (wada’i), lalu menyampaikan dan meneruskan kepada pemilik atau orang yang berhak menerimanya. Diakui, pengertian ini memang tidak salah. Namun, secara modern, amanah memiliki cakupan makna yang lebih luas, terutama berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab seseorang yang memangku jabatan publik.

Dalam buku Khuluq al-Muslim, Muhammad Ghazali mengemukakan tiga makna penting dari amanah, yaitu:

Pertama, amanah berarti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang tepat dan layak (wadh’ kull-i al-syai-i fi al-makan al-jadir lah). Dalam arti ini, orang yang amanah tak akan pernah memberikan tugas dan jabatan, kecuali kepada orang yang mampu dan cakap.

Itu sebabnya, Rasulullah menolak permintaan sahabatnya, Abu Dzar, ketika meminta kepada Nabi agar diangkat sebagai pejabat. (HR Muslim). Kemampuan intelektual (al-kifayah al-’ilmiyyah) dan kecakapan praktikal (al-kifayah al-amaliyyah), kata Muhammad Ghazali, tak selalu berkorelasi positif dengan keshalihan individual.

Maka boleh jadi, orang baik, bahkan sangat baik, semacam Abu Dzar, tetapi ia tak otomatis memiliki keahlian (competence) dan keterampilan praktikal (managerial skill), yang dipersyaratkan untuk dapat memangku dan melaksanakan suatu jabatan dengan baik dan sempurna.

Kedua, amanah berarti bekerja dan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini, seorang pejabat publik mesti berusaha sebaik mungkin dalam melaksanakan tugas dan memenuhi kepentingan orang banyak. Kelalaian dan kealpaan sedikit pun dalam soal ini, dipandang sebagai pengkhianatan (khiyanat) dan penipuan (ghudzrah), karena akan menimbulkan dampak buruk bagi agama, bangsa, dan negara.

Ketiga, amanah berarti seorang pejabat tidak mempergunakan jabatannya untuk memperkaya diri atau untuk mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya, baik untuk diri, keluarga, maupun kolega-koleganya. Padahal, penting diketahui bahwa pendapatan (pungutan) apa pun yang dilakukan oleh seorang pejabat di luar gaji formalnya, hal itu tergolong ghulul, penipuan alias korupsi. (HR Abu Daud).

Jadi, amanat jabatan bukanlah barang sepele atau remeh-temeh. Dalam Islam, amanat merupakan perkara yang amat besar sampai-sampai makhluk Allah yang besar-besar, seperti langit, bumi, dan gunung tak sanggup memikulnya. Manusia mampu memikulnya dengan dua syarat, yaitu tak bersifat zalim dan bodoh. (QS. Al-Ahzab [33]: 72).

Pemimpinan Yang Jatuh Miskin


Mengapa bangsa ini sulit sekali menjadi akil-balig? Belajar untuk bertanggung jawab layaknya orang dewasa. Para elite politik terus memperagakan perilaku kekanak-kanakan.

Gemar meminta banyak hal kepada negara sembari kerja malas-malasan. Petinggi negara masih juga tampak rileks, bahkan para koruptor pun dapat hadiah grasi. Segala hal di negeri i...ni seolah berjalan normal.

Kalau anak balita wajar bersikap kekanak-kanakan karena mereka memang homo ludens, makhluk bermain. Tapi, manakala para petinggi nasional masih bermain-main dengan urusan negara dan bangsa, lantas di mana pertanggung-jawabannya? Padahal saat ini hidup rakyat kian susah, perahu bangsa dalam pertaruhan, dan negeri ini tengah dilecehkan tetangga.

Sungguh, betapa sulit memahami nalar kekanak-kanakan elite politik yang menuntut adanya rumah aspirasi dengan anggaran keuangan negara. Kalau pakai anggaran sendiri tentu elegan. Bukankah selama ini mereka dibayar negara, yang salah satu kewajibannya ialah menyerap aspirasi rakyat.

Padahal mayoritas rakyat yang diwakili justru tengah berjuang mempertaruhkan hidup yang semakin berat dan dililit banyak kesulitan. Gagal dengan mainan rumah aspirasi, muncul gagasan dana daerah pemilihan. Apalagi yang masih kurang untuk dikuras habis dari perut negeri yang kian compang-camping ini?

Panorama paradoks lain juga terjadi. Di laut bangsa ini dilecehkan bangsa tetangga, tanpa rasa terhina. Padahal inilah negeri maritim dan kepulauan terbesar di kawasan Asia Tenggara dengan sejarah masa lampau yang gagah perkasa.

Sedangkan di daratan ribuan anak bangsa terus mengadu nasib di negeri serumpun sambil terus dilecehkan, diindonkan, disiksa, dan sebagian tengah menunggu nasib untuk dihukum mati. Di tengah derita anak bangsa yang serba pilu seperti itu, para pemimpin bangsa masih juga tebal muka dan saling menyalahkan.

Apa yang hilang di negeri ini? Soal sensitivitas? Hidup saling peduli dan berbagi? Visi kebangsaan? Sikap tegas? Tanggungjawab? Moral kenegarawanan? Jangan-jangan kehilangan semuanya. Segalanya menyatu menjadi penyakit batin dan mental yang kronis.

Padahal masalah bangsa kian berat dan krusial. Masa depan penuh pertaruhan. Tantangan dari luar tak kalah ganasnya. Bencana demi bencana terus menimpa seolah tak kenal henti. Ada apa dengan perangai para elite bangsa di negeri ini?

Teladan Al-Faruq

Dalam memimpin negara, belajarlah kepada Ummar Ibn Khattab. Sosok khalifah ternama yang gagah, pemberani, negarawan, sekaligus sangat cinta rakyat. Dia bahkan tidak mau disebut khalifah, lebih senang dipanggil Amir al-Mukminun, yakni orang yang diberi amanat untuk menunaikan urusan rakyat, bukan menjadi penguasa.

Kepemimpinannya dikenal adil dan tegas, bahkan untuk sanak keluarganya sendiri. Karena itu, Umar dijuluki al-Faruq, sosok pemimpin adil, sekaligus menjadi figur pembeda. Jika dirinya bersalah, tak segan meminta maaf dan dihakimi pengadilan, tak mau ada perlakuan istimewa. Negara tidak pernah jadi urusan anak-bini.

Bagaimana Umar al-Faruq mencintai dan membela rakyatnya? Bukan berbasa-basi, beretorika, dan sekadar berteori. Setiap hari bahkan malam Umar turun langsung ke rakyat bawah. Dia temukan keluarga yang kelaparan, kemudian dia ambilkan gandum untuk diberikan.

Dia ajak istri tercintanya, Ummu Kalsum, untuk berpahala membantu ibu yang sedang melahirkan. Dia jumpai ibu yang tak menyusui bayinya yang tengah menangis, lalu dianjurkannya untuk menyusuinya bahkan dibuatkannya edaran ke seluruh pelosok negeri agar ibu-ibu menyusui bayinya hingga usia dua tahun.

Umar begitu kasih sayang, empati, peduli, dan membela rakyat kecil dengan tangannya sendiri. Karena itu, selain sosok Al-Faruq, Umar dikenai pula sebagai “ayah kaum dhuafa”, karena demikian cintanya terhadap rakyat yang lemah. Sekaligus tegas kepada siapa pun yang melanggar aturan dan hukum tanpa pandang bulu.

Dalam pidatonya ketika diangkat khalifah, Umar sebagaimana ditulis Heikal (2001: 656) berujar lantang: “Di mata saya, tidak ada orang yang lebih kuat daripada orang yang lemah di antara kalian, sebelum saya berikan haknya, dan tak ada yang lebih lemah daripada orang yang kuat sebelum saya cabut haknya“.

Jika para elite dan pemimpin negeri belajar pada Umar Al-Faruq, lebih-lebih kepada uswah hasanah Nabi Muhammad, tidak akan ada yang mengabaikan amanat dan menelantarkan rakyat.

Apalagi aji mumpung dan haus kuasa, karena kekuasaan dan mandat itu bukan hanya urusannya dengan rakyat, melainkan juga menyangkut urusan pertanggung-jawaban dengan Tuhan. Karena itu, tidak akan berani bermain-main dengan kekuasaan yang ada di tangannya, sekecil apa pun kekuasaan itu, apalagi kekuasaan yang besar.

Soal karakter

Bagaimana dengan para elite dan petinggi negeri ini? Kecukupan lahir dan reputasi diri sungguh luar biasa. Fasilitas negara pun tak kurang, bahkan cukup berlebihan. Mungkin yang kurang ialah soal karakter kepemimpinan. Masalah mental dan martabat diri.

Muaranya ialah kemiskinan rohani. Rohani yang menggelorakan jiwa amanah, tanggung jawab, kerja keras, komitmen, dan pengkhidmatan total untuk bangsa dan negara melampaui hak-hak yang diperolehnya.

Mentalitas elite negeri seolah menjadi pemulung berdasi. Kerja tanpa risiko sambil mengais-ngais barang rongsokan. Gaji, fasilitas, dan hak-hak istimewa tidak pernah dirasakan cukup karena yang dikejar adalah keberlebihan.

Sebesar apa pun hak-hak yang diberikan negara tidak akan pernah merasa cukup karena yang diinginkan ialah ketidak-terbatasan. Hidupnya merasa kurang dan kurang terus di tengah keberlebihan yang tak dimiliki rakyat banyak.

Mental pemulung berdasi berkaitan dengan kualitas martabat diri. Nabi Muhammad SAW menyatakan dalam salah satu hadisnya, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Nabi dan para sahabat yang dijamin Allah masuk surga, bahkan bermujahadah untuk mempraktikkan cara hidup yang bermartabat utama itu. Bukan sekadar bicara.

Seluruh hidupnya diabdikan untuk mengemban risalah dan memuliakan umat manusia. Muhammad adalah nabi kaum mustadh’afin. Keperkasaannya mengguncang takhta Kisra, tetapi hidupnya bersahaja dan pembela kaum jelata. Para khalifah penerusnya pun mengikuti jejaknya. Banyak memberi, tidak pernah meminta. Apalagi meminta kepada negara ketika rakyat hidup miskin, susah, dan diimpit derita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar