Sabtu, 19 Maret 2011

TINJAUAN KRITIS TERHADAP KAJIAN AL QURAN OLEH ORIENTALIS






I. Pendahuluan

Al-Qur’an, sejak diturunkan sampai sekarang, diyakini oleh kaum muslimin sebagai kalam Allah Subhanahu wa ta’ala yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Salalhhuhu alaihi wasalam. Umat Islam juga sepakat bahwa kitab tersebut terjaga keotentikannya. Semua isinya diyakini kebenarannya, tanpa reserve. 

Kaum muslimin meyakini sebagai mukjizat abadi Nabi Muhammad SAW, setiap kata di dalam Al-Qur’an adalah perkataan atau kalam Allah yang qadim. Ia tetap terpelihara seperti bentuk aslinya, sebagaimana janji Allah atas kemurniannya yang disebutkan dalam Al-Qur’an:

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya

Ayat ini oleh kaum muslimin diyakini sebagai bentuk jaminan dari Allah yang akan menjaga keaslian Al-Qur’an sampai hari kiamat. Ayat seperti ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab lain. Artinya, kitab selain Al-Qur’an tidak ada yang menjamin dirinya terjaga dari kesalahan dan kekeliruan.

Tentu saja, fakta ini membuat iri pemeluk agama-agama lain, khususnya orientalis-misionaris dari Yahudi dan Nasrani. Maklum, sampai sekarang,  belum ada kesepakatan diantara mereka mengenai keaslian kitabnya. Sebagian bahkan terang-terangan mengatakan bahwa kitab mereka bermasalah dari segi otentisitas. Ini mereka nyatakan setelah melakukan kajian yang medalam terhadap Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Misalkan ditemukan bukti bahwa bahwa pada abad 5 Masehi, Perjanjian Lama (PL) isinya ternyata mengalami perubahan. Demikian juga Perjanjian Baru (PB) juga mengalami hal yang sama.

Hal inilah yang kemudian membuat para orientalis sangat berambisi agar kaum muslimin juga mencontoh mereka,  yaitu mempersoalkan atau bahkan menggugat isinya.

Untuk memberi kesan seolah-olah yang mereka lakukan itu obyektif dan autoritatif, sehingga bisa dicontoh kaum muslimin, biasanya mereka “berkedok” sebagai pakar dalam bahasa, sejarah, agama dan kebudayaan Timur, baik yang ‘jauh’  (Far Eastern, seperti Jepang, Cina dan India) maupun yang ‘dekat’  (Near Estern, seperti Persia, Mesir, dan Arabia).

Disadari atau tidak, dalam lingkup kajian Al-Qur’ân, akar gerakan orientalisme memang benar-benar telah menjalar demikian dalam, kokoh dan tak mudah dicabut. Kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan dari beragam ‘analisa’ yang mereka lakukan, seakan-akan tampak sebagai buah dari kajian objektif dan sistematis. Padahal sejatinya, kajian tersebut penuh dengan kecurangan-kecurangan.

Sayangnya, sebagian sarjana muslim ternyata terpengaruh dengan hasil kajian-kajian orientalis tersebut. Karenanya, tidak heran jika sebagian dari mereka ada yang terhanyut, lalu tenggelam oleh derasnya rasionalisme; metode dasar kajian orientalisme. Bahkan mereka merasa kagum dengan kajian-kajian tersebut dan menganggap pling limiah. Atau setidaknya  mereka menjadi pembela para orientalis dan menganjurkan kaum muslimin agar tidak apriori dan mencontoh kajian yang dilakukan mereka terhadap Al-Qur’an.

Entah karena motif apa, kelompok ini kemudian juga  mencoba ikut-ikutan menggugat, mempersoalkan dan mengutak-atik yang sudah jelas dan mapan dalam Al-Qur’an.              

Sebagai bukti, Luthfi Assyaukanie, Direktur Lembaga Religious Reform Project (RePro) Jakarta, dalam tulisannya ‘Alquran dan Orientalisme’  yang dimuat milis Jaringan Islam Liberal, mengajak kaum muslimin menjadikan karya-karya orientalis sebagai rujukan dalam mengkaji Al-Qur’an.

Menurutnya, karya-karya mereka layak dipakai sebagai penuntun untuk mengetahui sejarah Al-Qur’an secara lebih komprehensif. Ini didasari pemikiran bahwa studi yang dilakukan orientalis sangat padat dan kaya dengan rujukan sumber-sumber Islam klasik. Penguasaan mereka akan bahasa Arab dan peradaban Mediterania dapat membantu mengeksplorasi hal-hal yang selama ini tercecer dalam tumpukan kitab-kitab klasik. Dengan bantuan para orientalis, kaum muslimin dapat melihat secara lebih komprehensif lagi sejarah pembentukan Al-Qur’an.

Bahkan Luthfi dengan bangganya mengatakan, dirinya telah mengecek sebagian sumber-sumber kitab klasik yang dirujuk beberapa orientalis seperti Arthur Jeffrey, Theodor Noldeke, dan John Wansbrough. Menurutnya, dalam melakukan studi Al-Qur’an, sejauh menyangkut data, tak ada satupun kekeliruan yang mereka perbuat. Semuanya tepat dan mengagumkan.

Lebih ironis lagi, Luthfi menuduh para ulama sengaja menyembunyikan data tentang sejarah Al-Qur’an. Atau setidaknya menilai mereka tidak tahu akan wacana yang begitu kompleks dalam literatur sejarah kitab suci kaum muslimin tersebut.

Berdasar pandangan ini, kemudian ia  menolak adanya pemikiran negatif dari kaum muslimin tentang orientalis. Menurutnya, pandangan-pandangan yang kerap dituduh sebagai “ciptaan orientalis” itu sesungguhnya adalah fakta sejarah yang terekam dalam kitab-kitab mu’tabarah (rujukan). Misalkan ia mencontohkan, dalam al-Fihrist karya Ibn Nadiem disebutkan bahwa surah Al-Fatihah bukanlah bagian dari Al-Qur’an; dalam Al-Itqan karya Jalaluddin al-Suyuthi disebutkan bahwa surah al-Ahzab semula berjumlah 200 ayat, tapi kemudian dipotong hingga kini hanya menjadi 73 ayat; dalam al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an karya Imam Zarkasyi disebutkan bahwa ada dua surah yang tidak dimasukkan dalam mushaf Uthmani, yakni surah al-Khul’ dan al-Hafd.

Data-data seperti itu, menurut Luthfi, diungkapkan dan didiskusikan secara obyektif oleh para orientalis, dan kaum muslimin bisa langsung mengecek dan membuktikannya dengan merujuk kitab-kitab yang disebutkan. Akses terhadap kitab-kitab klasik itu pun semakin mudah karena sebagian besar sudah di-tahqiq dan diterbitkan.

Karenanya, Luthfi berksimpulan, manfaat yang diwariskan tradisi keilmiahan orientalisme jauh lebih besar ketimbang mafsadahnya.

Pemikiran seperti ini kini mulai berkembang dan mendapat tempat di kalangan pemikir muda Islam yang memang memiliki pola pikir yang sama dengan Lutfie.         

Paper ini mencoba mengkritisi pemikiran tersebut dengan memulai melakukan kajian terhadap sejarah orientalisme, kemudian usaha mereka menjatuhkan Islam dan kenapa sebagian kaum muslimin bisa terpengaruh dengan pemikiran tersebut. Kemudian juga dipaparkan bantahan-bantahan dari cendekiawan muslim yang bisa membuktikan bahwa kajian para orientalis itu penuh dengan penipuan dan kecurangan-kecurangan. Kajian-kajian mereka didasari oleh rasa kebencian terhadap Islam dan kaum muslimin.


II. Sejarah Orientalisme

Dalam buku Ensiklopedi Islam, orientalisme didefiniskan sebagai pemahaman masalah-masalah ketimuran. Istilah ini berasal dari bahasa Perancis, orient yang berarti timur atau bersifat timur. Isme berarti paham, ajaran, sikap atau cita-cita.
Secara analitis, orientalisme dibedakan atas: (1) keahlian mengenai wilayah timur (2) metodologi dalam mempelajari masalah ketimuran, dan (3) sikap ideologis terhadap masalah ketimuran, khususnya terhadap dunia Islam.

Orang yang mempelajari masalah-masalah ketimuran (termasuk keislaman) disebut orientalis. Para orientalis adalah ilmuwan Barat yang mendalami bahasa-bahasa, kesustraan, agama, sejarah, adat istiadat dan ilmu-ilmu dunia Timur. Dunia Timur yang dimaksud di sini adalah wilayah yang terbentang dari Timur Dekat sampai ke Timur jauh dan negara-negara yang berada di Afrika Utara.

Minat orang Barat terhadap masalah-masalah ketimuran sudah berlangsung sejak Abad Pertengahan. Mereka telah melahirkan sejumlah karya yang menyangkut masalah Dunia Timur.

Dalam rentang waktu antara Abad Pertengahan sampai abad ini, secara garis besar, orientalisme dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu: (1) masa sebelum perang Perang Salib, di saat umat Islam berada dalam zaman keemasannya (650-1250); (2) masa Perang Salib sampai Masa Pencerahan di Eropa; dan (3) munculnya Masa Pencerahan di Eropa sampai sekarang.

a. Masa Sebelum Perang Salib

Di saat umat Islam berada dalam zaman kekemasan, negeri-negeri Islam, khususnya Baghdad dan Andalusia (Spanyol Islam) menjadi pusat peradaban dan ilmu pengetahuan. Bangsa Eropa yang menjadi penduduk asli Andalusia yang memakai bahasa Arab dan adat-istiadat Arab dalam kehidupan sehari-hari. Mereka bersekolah di perguruan-perguruan Arab.

Diantara raja-raja spanyol yang non-muslim (misalkan, Peter I (w.1104), raja Arogan), ada yang hanya mengenal huruf Arab. Alfonso IV mencetak uang dengan memakai tulisan Arab. Di Sicilia keadaannya juga sama. Raja Normandia, Roger I, menjadikan istananya sebagai tempat pertemuan para filsuf, dokter-dokter, dan ahli islam lainnya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ketika Roger II bahkan lebih banyak dipengaruhi kebudayaan Islam. Pakaian kebesaran yang dipilihnya ialah pakaian Arab. Gerejanya dihiasi dengan ukiran dan tulisan-tulisan Arab. Wanita Kristen Sicilia meniru wanita Islam dalam soal mode pakaian.

Peradaban itu bukan hanya berpengaruh bagi bangsa Eropa yang berada dibawah atau bekas kekuasaan Islam, tetapi juga bagi orang Eropa di luar daerah itu. Penuntut ilmu dari Perancis, Inggris, Jerman, dan Italia, dating belajar ke perguruan dan universitas yang ada di Andalusia dan Sicilia. Di antaranya terdapat pemuka-pemuka agama Kristen, misalnya Gerbert d’Aurillac yang belajar di Andalusia dan Adelard dari Bath (1107-1135) yang belajar di Andalusia dan Sicilia. Gerbert kemudian menjadi Paus di Roma dari tahun 999-1003 dengan nama Sylvester II. Adapun Adelard setelah kembali ke Inggris diangkat menjadi guru Pangeran Hanry yang kelak menjadi Raja. Ia menjadi salah satu penerjemah buku-buku Arab ke dalam bahasa Latin.

Dalam suasana inilah muncul orientalisme di kalangan Barat. Bahasa Arab mulai dipandang sebagai bahasa yang harus dipelajari dalam bidang ilmiah dan filsafat. Pelajaran bahasa Arab dimasukkan dalam kurikulum berbagai perguruan tinggi Eropa, seperti di Bolagna (Italia) pada tahun 1076, Chartres (Perancis) tahun 1117, Oxford (Inggris) tahun 1167, dan Paris tahun 1170. Munculnya penerjemah generasi pertama, yakni Constatinus Africanus (w.1087) dan Gerard Cremonia (w.1187).

Dalam fase pertama ini, tujuan orientalisme ini memindahkan ilmu pengetahuan dan filsafat dari dunia Islam ke Eropa. Ilmu pengetahuan tersebut diambil sebagaimana adanya.

Pada perkembangan berikutnya, perhatian orang Eropa terlihat kian meningkat. Pelajaran bahasa Arab semakin digiatkan di universitas-universitas. Di Italia pengajaran bahasa Arab diadakan di Roma (1303), Florencia (1321), Padua (1361), dan Gregoria (1553), di Perancis diadakan di Toulouse (1217), Montpellier (1221), dan Bourdeaux (1441); dan di Inggris dilaksanakan di Cambridge (1209). Di bagian Eropa lainnya pelajaran bahasa Arab dimulai sesudah ke-15.

b. Dari Perang Salib sampai Masa Pencerahan Eropa

Perang Salib antara Kristen Barat dan Islam Timur yang berlangsung dari tahun 1096-1291 membawa kekalahan bagi golongan Kristen. Tidak lama setelah perang agama ini selesai, Kerajaan Otoman (Usmani) mengadakan serangan-serangan ke Eropa. Adrianopel jatuh pada tahun 1366, Constatinopel (Istanbul) jatuh pada tahun 1453, bahkan Yerusalem dirampat umat Islam dan kemudian disusul wilayah Balkan.

Kekalahan dalam perang Salib dan jatuhnya Constatinopel merupakan pengalaman pahit Kristen Eropa, sehingga raja-raja Eropa bersumpah untuk mengusir kaum “kafir”. Maka muncullah semangat orang-orang Eropa untuk mengkritik, mengecam, dan menyerang Islam dari berbagai kepentingan. Sebagai bias dari kebencian ini, pengarang-pengarang orientalis mulai menulis buku-buku dengan gambaran yang salah terhadap Islam. Hal-hal yang sebenarnya tidak terdapat dalam islam, bahkan yang bertentangan mulai disiarkan ke Eropa.

Dalam periode ini, para orientalis menggambarkan nabi Muhammad SAW sebagai orang yang terserang epilepsy, gila perempuan, penjahat, pendusta, dan sebaganya. Oleh karena itu agama yang dibawanya bukanlah agama yang benar. Yang benar adalah agama Kristen yang dibawa Yesus Kristus.

Agama Islam juga dikatakan mengajarkan Trinitas. Dua dari unsur trinitas itu adalah Muhammad SAW dan Apollo. Disebutkan pula bahwa Nabi Muhammad Saw disembah dalam bentuk patung yang terbuat dari emas dan perak. Dikatakan juga Islam membolehkan poliandri. Selanjutnya disebutkan pula bahwa orang Islam diwajibkan membunuh orang Kristen sebanyak mungkin sebagai suatu jalan masuk surga. Islam menurut mereka disiarkan dengan pedang, dalam arti pedang diletakkan di leher orang agar dia masuk Islam. Jadi kesalahpahaman tentang Islam yang ditimbulkan oleh orientalis ketika itu lebih parah daripada kesalahpahaman tentang Kristen yang ditumbulkan tulisan-tulisan orang Islam.

c. Dari Masa Pencerahan hingga Sekarang

Permusuhan antara Kristen dan Islam yang timbul akibat adanya tulisan-tulisan negatif mulai mereda setelah memasuki Masa Pencerahan (Enlightenment) di Eropa, yang diwarnai oleh keinginan untuk mencari kebenaran. Pada masa ini kekuatan rasio mulai meningkat. Dalam sebuah tulisan yang diperlukan adalah sifat obyektif, bukan mengada-ada. Mulailah muncul tulisan-tulisan mengenai Islam yang mencoba bersifat positif, misalnya tulisan-tulisan Voltaire (1684-1778) dan Thomas Crlyle (1896-1947).

Tidak semua tulisan mengenai Islam mengandung hal-hal yang menjelek-jelekkan, akan tetapi telah mulai berisikan penghargaan terhadap Nabi Muhammad SAW dan Al-Qur’an serta ajaran-ajarannya. Jadi mereka mengadakan studi mengenai Islam untuk mengetahui Islam yang sebenarnya.

Setelah Masa Pencerahan, datanglah Masa Kolonialisme. Orang Barat dating ke negara Islam untuk berdagang dan kemudian untuk mendudukkan bangsa-bangsa Timur. Untuk itu bangsa-bangsa Timur perlu dikenal lebih dekat, termasuk agama dan kultur mereka, karena dengan ini hubungan dagang menjadi lancar dan mereka mudah ditundukkan.

Pada masa ini muncullah karya-karya yang mencoba memberikan gambaran yang sebenarnya tentang Islam. Misalnya tentang agama dan adat istiadat Indonesia. Bahkan ketika Napoleon I mengadakan eksperimen ke Mesir pada tahun 1798, ia membawa sejumlah orientalis untuk mempelajari adat istiadat, ekonomi dan pertanian Mesir. Di antara orientalis itu adalah Langles (ahli bahasa Arab), Villoteau (mempejari musik Arab) dan Marcel (mmpelajari sejarah Mesir).

Pada periode ini tulisan-tulisan para orientalis ditujukan untuk mempelajari Islam seobyektif mungkin, agar dunia Islam diketahui dan dipahami lebih mendalam. Hal ini perlu karena orientalisme tidak bisa begitu saja terlepas dari kolonialisme, bahkan juga usaha Kristenisasi.

Namun begitu, awal abad ke-20 juga ditandai dengan munculnya para orientalis yang berusaha menulis dunia Islam secara ilmiah dan obyektif. Orientalisme dijadikan sebagai usaha pemahaman terhadap dunia Timur secara mendalam. Dalam tradisi ilmiah baru ini, bahasa Arab dan pengenalan teks-teks klasik mendapat kedudukan utama. Diantara mereka adalah Sir Hamilton A.R. Gibb, Louis Massignon, W.C. Smith, dan FrithjofSchoun.

Sir Hamilton dan Gibb sangat menguasai bahasa Arab dan dapat berceramah dengan bahasa ini, sehingga ia diangkat menjadi anggota al-ajma’al al-Ilm al-Arabi (Lembaga Ilmu Pengetahuan Arab) di Damascus dan al-Majma’ al-Lugho al-Arabiyyah (Lembaga bahasa Arab di Cairo), Mesir. Ia memandang Islam sebagai agama yang dinamis dan Nabi Muhammad SAW mempunyai ahlak yang baik dan benar.

Gibb menulis buku tentang Islam dalam berbagai aspeknya hingga mencapai lebih dari 20 buah, sehingga oleh orientalis lain dipandang sebagai iman mereka tentang Islam.

Sama seperti Gibb, Louis Massignon juga mahir berbahasa Arab dan menjadi anggota al-ajma’al al-Ilm al-Arabi dan al-Majma’ al-Lugho al-Arabiyyah. Ia pernah menjadi dosen filsafat Islam di universitas Cairo. Ia mengatakan, berkat adanya tasawuf, Islam menjadi agama internasional yang pengikutnya ada di seluruh dunia.

W.C. Smith mempunyai ilmu yang mendalam tentang Islam. Ia adalah pendiri Institut Pengkajian Islam di Universitas McGill di Montreal, Canada. Ia mengatakan bahwa Tuhan ingin menyampaikan risalah kepada manusia. Untuk itu Tuhan mengirim rasul-rasul dan satu diantara rasul itu ialah Muhammad SAW.

Frithjof Scoun menulis buku dengan judul Understanding Islam yang mendapat sambutan baik dari dunia Islam. Sayid Husein Nasir (ahli ilmu sejarah dan filsafat), misalkan, menyebut buku tersebut sebagai buku terbaik tentang Islam sebagai agama dan tuntunan hidup.

Namun tidak semua pendapat yang dimajukan para orientalis modern tentang Islam bisa diterima kaum Muslimin, karena diantara mereka ada yang salah dalam menginterpretasi terhadap ajaran-ajaran Islam.

Kegiatan yang dilakukan orientalis meliputi: (1) mengadakan kongres-kongres secara teratur yang dimulai di Paris tahun 1870-an dan di kota-kota lain di dunia secara bergantian. Kongres-kongres pada mulanya bernama Orientalist Congress. Sejak tahun 1870-an telah berganti nama menjadi International Congres on Asia and North Africa; (2) mendirikan lembaga-lembaga kajian ketimuran, diantaranya Ecole des Langues Orientalis Vivantes (1795) di Perancis, The School of Oriental and African Studies, Universitas London, (1917) di Inggris, Oosters Institut (1917) di Universitas Leiden, dan dan Institut voor het Moderne Nabije Oosten (1956) di Universitas Amsterdam: (3) mendirikan organisasi-organisasi ketimuran seperti Societe Asiatuque (1822) di Paris, American Oriental Society (1842) di Amerika Serikat, Royal Asiatic Society di Inggris, dan Oosters Genootschap in Nederland (1929) di Leiden; dan (4) menerbitkan majalah-majalah, diantaranya Journal Asiatique (1822) di Paris, Journal of the Royal Asiatic Society (1899) di London, Journal of the American Oriental Soceity (1849) di Amerika Serikat, The Muslim World (1917) di Amerika Serikat. Majalah-majalah ini sebagian besar masih terbit sampai sekarang.

Sebenarnya, objek studi orientalisme tidak melulu Islam dan kebudayaannya. Studi terhadap kebudayaan Cina masih termasuk dalam lingkup orientalisme. Namun, yang paling kental mewarnai gelombang orientalisme adalah studi tentang Islam dan kebudayaannya.

Diantara para oreintalis tersebut, memang kita akui ada yang obyektif menilai Islam. Tapi sebagian besar bersifat subyektif dan memiliki misi tertentu. Nama-nama seperti Arthur Jeffry, Alphonse Mingana, Pretzal, Tisdal, Gadamer dan lain-lain termasuk kelompok orientalis yang selama ini dikenal memusuhi Islam. Banyak karya tulis mereka yang memojokkan Islam dan kaum muslimin.

Sir Willliam Muir (1819-1905) tanpa ragu-ragu membuat pernyataan, “Islam sebagai musuh peradaban, kebebasan, dan kebenaran sebagaimana diakui dunia”

Pernyataan seperti ini bukanlah hal yang baru yang akan terus dilontarkan para orientalis. Sangat wajar jika kemudian kaum muslimin merasa sakit hati dan tidak terima dengan pernyataan-pernyataan seperti itu. Dan juga tidak wajar jika diantara umat Islam merasa tidak sakit hati sebagaimana yang dinyatakan Lutfi.


III. Orientalis dan Al-Qur’an

Salah satu objek kajian dalam Islam yang menarik minat orientalis adalah Al-Qur’an. Mereka sengaja mengkaji kitab suci kaum muslimin ini untuk mencari pembuktian kalau-kalau ada penyimpangan di dalamnya, sebagaimana yang terjadi pada Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Diantara karya mereka yang nampak jelas berkaitan dengan masalah ini antara lain:
1. A. Mingana and A. Smith (ed.) dalam bukunya, “Leaves from Three Ancient Qurans, Possibly Pre-’Othmanic with a List oftheir Variants, Cambridge, 1914;”
2. G. Bergtrasser, dalam bukunya, “Plan eines Apparatus Criticus zum Koran”, Sitrungsberichte Bayer. Akad., Munchen, 1930, Heft 7;
3. O. Pretzl, dalam bukunya “Die Fortfuhrung des Apparatus (‘riticus zum Koran”, Sitzungsberichte Bayer. Akad., Miinchen, 1934, Heft 5;” dan
4. A. Jeffery dalam bukunya, “The Qur’an as Scripture, R.F. Moore Company, Inc., New York, 1952.”

Dari nama-nama tersebut, Jeffery barangkali paling banyak menguras tenaga dalam masalah ini.

Para orientalis ini begitu getol ‘menyerang’ Al-Qur’an, karena tidak rela melihat kenyataan bahwa kaum muslimin masih meyakini keotentikan Al-Qur’an. Sedang kenyataan yang terjadi pada mereka, Injil terbukti bermasalah, yang membuat mereka kecewa. Sehingga dengan segala upaya, mereka juga ingin menjatuhkan Al-Qur’an.

Didasari oleh kecemburuan inilah kemudian mereka mengumumkan perlunya melakukan kritik terhadap Al-Qur’an, sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap Bible.

Pada tahun 1927,  Mingana, pendeta Kristen asal Iraq dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap Al-Qur’an sebagaimana yang telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Koran to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures).”

Tentus saja ajakan ini disambt baik oleh para orientalis lainnya. Mereka sengaja melakukan hal ini karena ingin mencari pembuktian bahwa Al-Qur’an  kemungkinan juga bukan asli, sebagaimana yang terjadi pada Bible yang memang terbukti banyak campur-tangan manusia di dalamnya, sehingga sulit dibedakan mana yang benar-benar wahyu dan bukan.

Sebab, sebagaimana ditegaskan oleh Kurt Aland dan Barbara Aland dalam “The Text of the New Testament” (1995), bahwa sampai abad ke-14 teks Perjanjian Baru berkembang bebas, sehingga banyak yang melakukan koreksi terhadap teks Bible baik dari segi tata bahasa, gaya bahasa dan isinya  (Until the beginning of the fourth century, the text of the New Testament developed freely….Even for later scribes, for example, the parallel passages of the Gospels were so familiar that they would adapt the text of one Gospel to that of another. They also felt themselves free to make corrections in the text, improving it by their own standard of correctness, whether grammatically, stylistically, or more substantively).

Demikian juga St.Jerome, seorang rahib Katolik Roma yang belajar teologi,  juga mengeluh soal banyaknya penulis Bibel yang menuliskan apa yang tidak ditemukan, tapi apa yang mereka pikirkan artinya; selagi mereka mencoba meralat kesalahan orang lain, mereka hanya mengungkapkan dirinya sendiri. (wrote down not what they find but what they think is the meaning; and while they attempt to rectify the errors of others, they merely expose their own).

Kecewa dengan kenyataan semacam itu, R. Bentley, Master of Trinity College pada tahun 1720 menghimbau Umat Kristen agar mencampakkan kitab suci mereka, yakni naskah Perjanjian Baru versi Paus Clement 1592 (”…the ‘textus receptus’ to be abandoned altogether”!).

Seruan tersebut dilanjutkan dengan munculnya “edisi kritis” Perjanjian Baru hasil ‘utak-atik’ Brooke Foss Westcott (1825-1903) and Fenton John Anthony Hort (1828-1892).

Ternyata setelah mereka selesai melakukan kritik terhadap Bible, kemudian dilanjutkan terhadap Al-Qur’an. Dengan memakai metodologi yang sama, yaitu model tafsir hermeneutik, mereka mulai mengkaji Al-Qur’an. Ini mereka lakukan karena berangapan bahwa Al-Qur’an juga bikinan manusia yaitu, Nabi Muhammad sebagaimana Al-Kitab yang memang mereka temukan buatan manusia.

Sebenarnya, anggapan mereka ini sudah dibantah sendiri oleh Allah dalam Al-Qur’an. Allah berfirman

(”Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an itu”, Katakanlah: “(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.”

Ayat ini secara tersirat menjelaskan bahwa Nabi Muhammad bukanlah pembuat Al-Qur’an. Yang membuat Al-Qur’an adalah Dzat Yang Maha Kuasa, yaitu Allah SWT.

Mingana bukanlah yang pertama kali melontarkan himbauan semacam itu, dan ia juga tidak sendirian. Jauh sebelum itu, tepatnya pad 1834 di Leipzig, seorang orientalis Jerman bernama Gustav Fluegel menerbitkan hasil kajian filologinya. Naskah yang ia namakan Corani Textus Arabicus tersebut sempat dipakai “tadarrus” oleh sebagian aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL).

Kemudian datang Theodor Noeldeke yang berusaha merekonstruksi sejarah Al-Qur’an dalam karyanya Geschichte des Qorans (1860), sebuah upaya yang belakangan ditiru oleh Taufik Adnan Amal, juga dari Jaringan Islam Liberal.

Lalu pada tahun 1937 muncul Arthur Jeffery yang ingin mendekonstruksi al-Mushaf al-Uthmani dan membuat mushaf baru. Orientalis asal Australia yang pernah mengajar di American University, Cairo dan menjadi guru besar di Columbia University ini, konon ingin merekonstruksi teks Al-Qur’an berdasarkan Kitab al-Masahif karya Ibn Abi Dawuud as-Sijistaani yang ia anggap mengandung bacaan-bacaan dalam mushaf tandingan (yang ia istilahkan dengan ‘rival codices’). Jeffery bermaksud meneruskan usaha ini.

Gotthelf Bergstraesser dan Otto Pretzl yang pernah bekerja keras mengumpulkan foto lembaran-lembaran (manuskrip) Al-Qur’an dengan tujuan membuat edisi kritis Al-Qur’an (tetapi gagal karena semua arsipnya di Munich musnah saat Perang Dunia ke-II berkecamuk), sebuah ambisi yang belum lama ini di-echo-kan oleh Taufik Amal dari JIL. Saking antusiasnya terhadap qira’aat-qira’aat pinggiran alias ‘nyleneh’ (Nichtkanonische Koranlesarten) Bergstraesser lalu mengedit karya Ibn Jinni dan Ibn Khalaawayh.

Bagi para orientalis ini, ‘isnaad’ tidak penting dan, karena itu, riwayat yang ’shaadh’ bisa saja dianggap ’sahih’, yang ‘aahaad’ dan ‘ghariib’ bisa saja menjadi ‘mutawaatir’ dan ‘mashhuur’, dan yang cacat disamakan dengan yang sempurna. Yang demikian itu merupakan teknik dan strategi utama mereka menjungkir-balikkan kriteria dan nilai, menyepelekan yang fundamental dan menonjolkan yang ‘trivial’. Maka yang digembar-gemborkan adalah isu naasikh-mansuukh, soal adanya surat tambahan versi kaum Shi’ah, isu “Gharaaniq” dan lain sebagainya. Ada pula yang apriori mau merombak susunan ayat dan surah Al-Qur’an secara kronologis, mau “mengoreksi” bahasa Al-Qur’an ataupun ingin merubah redaksi ayat-ayat tertentu.

Kajian orientalis terhadap Al-Qur’an tidak sebatas mempersoalkan oentisitasnya. Isu klasik yang selalu diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan lain sebagainya terhadap Islam & isi kandungan Al-Qur’an (theories of borrowing and influence), baik yang mati-matian berusaha mengungkapkan apa saja yang bisa dijadikan bukti bagi ‘teori pinjaman dan pengaruh’ tersebut-seperti dari literatur & tradisi Yahudi-Kristen (Abraham Geiger, Clair Tisdall, dan lain-lain) -maupun yang membandingkannya dengan adat-istiadat Jaahiliyyah, Romawi dan lain sebagainya. Biasanya mereka akan mengatakan bahwa cerita-cerita dalam Al-Qur’an banyak yang keliru dan tidak sesuai dengan versi Bible yang mereka anggap lebih akurat.

Sikap anti-Islam ini tersimpul dalam pernyataan ‘miring’ seorang orientalis Inggris yang banyak mengkaji karya-karya sufi, Reynold A. Nicholson. Kata Nicholson, “Muhammad picked up all his knowledge of this kind [i.e. Al-Qur’an] by hearsay and makes a brave show with such borrowed trappings-largely consisting of legends from the Haggada and Apocrypha.”

Namun ibarat buih, segala usaha mereka muncul dan hilang begitu saja, tanpa pernah berhasil merubah keyakinan dan penghormatan mayoritas umat Islam terhadap kitab suci Al-Qur’an, apalagi sampai membuat mereka murtad.

Sampai sekarang kaum muslimin tetap yakin bahwa Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab yang terjaga keotentikan dan keasliaannya. Apalagi dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah menantang orang-orang kafir membikin satu ayat yang sepadan dengan Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

”Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain."

Tantangan ini sampai sekarang masih tetap berlaku dan mereka terbukti tidak bisa menjawabnya. Keindahannya, kedudukannya dan keasliannya adalah bukti bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang diwahyukan oleh Allah.


IV. Kekeliruan Para Orientalis

Para orientalis telah mencurahkan seluruh hidupnya guna mencari kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam Al-Qur’an. Pertama kali yang mereka lakukan adalah mencoba menyingkap perubahan teks Al-Qur’an yang menurut mereka tidak terjadi dalam kajian kitab Injil.

Pendapat ini telah dibantah oleh Prof. Dr. M.M al A’zami dalam bukunya berjudul: “The History of The Qur’anic Text – From Revelation to Compilation”. Buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: “Sejarah Teks Al-Quran, Dari Wahyu Sampai Kompilasinya.”

Dalam buku ini Dr. Azami dengan gamblang menjelaskan bahwa telah terjadi perubahan yang mendasar dalam teks-teks Injil. Kitab Injil yang sekarang ini sudah mengalami perubahan beberapa kali. Sebelum muncul keempat Injil yaitu Markus, Matius, Yohanes dan Lukas, para pengikut awal Yesus telah menyusun kitab mereka masing-masing. Dalam kita tersebut tak ada hal yang dramatis tentang kehidupan Yesus. Tak ada riwayat-riwayat mengenai pengorbanan dan penebusan spiritual. Fokusnya hanya terbatas pada ajaran-­ajarannya, pikiran-pikirannya dan tata cara serta perilaku yang ia jelaskan. Begitu juga pada pembaruan-pembaruan sosial yang ia canangkan.

Karangan yang sekarang disebut Injil Yesus, yang kemudian diberi nama Injil Q, bukanlah sebuah teks yang asli. Selama abad pertama orang-orang telah menyisipkan teks-teks yang berbeda dengan isi Injil tersebut. Tulisan yang asli sangat mencolok yaitu penuh dengan kalimat-kalimat yang sederhana tapi padat, tanpa adanya ajakan kepada suatu agama baru dan tidak ada isyarat apa pun tentang Yesus Kristus sebagai Anak Tuhan.

Generasi kedua membawa pergeseran warna, yang secara tersurat mengancam terjadinya kehancuran bagi mereka yang menolak gerakan mereka.

Namun, pergeseran yang ironis terjadi pada generasi ketiga dan terakhir, yang memasukkan tambahan ke Injil Q, pada masa percobaan pemberontakan Yahudi Pertama (66-70 M.), yaitu dibawah bayangan kehancuran Rumah Tuhan yang Kedua oleh serdadu Romawi. Di sinilah Yesus di-upgrade dari seorang nabi yang bijak menjadi Anak Tuhan (Son of God), pewaris Kerajaan Ayah, yang berhasil melawan godaan-godaan di dalam hutan-belantara.

Dengan begitu, kitab ini telah terbukti rentan terhadap perubahan, sebagai korban dari berbagai mitos yang mulai beredar di kalangan Kristen tentang siapa sebenarnya Yesus. Tapi meski demikian, dalam lapisan ketiga ini pun tidak terdapat ajakan untuk menyembah Kristus, atau menganggapnya sebagai seorang Tuhan yang dibayangkan lewat ritual-ritual dan doa. Tidak terdapat penyaliban, apalagi penebusan untuk seluruh manusia.

Kemudian DR. Azami dengan tegas menulis bahwa Markus, Matius, dan Lukas menggunakan Q saat menulis Injil mereka menjelang akhir abad pertama. Tapi mereka dengan sengaja memelintir teks itu (masing-masing dengan caranya sendiri) untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.

Ini artinya, Q sebagai sebuah kitab sebenarnya telah hilang keotentikannya. Teks-teks yang menggantikannya, berupa riwayat-riwayat kehidupan Kristus yang dramatis, telah mengantarkan kepada suatu perubahan serta membantu menghidupkan mitos-mitos dan spekulasi yang sejak itu telah menutupi figur Yesus yang sebenarnya.

Selain masalah perubahan teks, para orientalis juga menyerang Al-Qur’an dari segi kompilasi. Mereka mempertanyakan kekhawatiran Umar akan lenyapnya Al-Qur’an setelah banyaknya para huffaz yang meninggal dalam perang Yamamah

Lebih jauh lagi, para orientalis mempertanyakan mengenai bahan­-bahan yang telah ditulis waktu itu tapi tidak disimpan oleh Nabi Muhammad sendiri. Demikian halnya mengenai Zaid bin Tsabit yang tidak berhasil menyusun Suhuf Al-Qur’an yang bisa dipakai rujukan setelah meninggalnya Rasulullah.

Berdasar asumsi tersebut kemudian para orientalis berkesimpulan bahwa berita Al-Qur’an yang didektikan sejak awal penulisannya dianggap palsu.

Terhadap pendapat ini DR. Azami mengatakan bahwa kesimpulan itu sangat keliru dan ngawur. Para orientalis itu berlagak tolol dan mengingkari tradisi keilmuan Islam. Rasulullah memang sengaja tidak menyimpan setiap naskah Al-ur;an dikarenakan waktu itu masih turun wahyu-wahyu baru. Juga adanya perubahan-perubahan urutan ayat-ayat yang akan merubah pula urutan dikemudian hari. Jika ini dilakukan maka Rasulullah khawatir akan membuat informasi yang keliru dan merugikan ummatnya. Ini jelas kerugian lebih besar dari pada manfaatnya.

Adapun Zaid bin Tsabit tidak menyusun dan tidak menjadikannya sebagai rujukan pada masa pemerintahan Abu Bakar, ini terkait dengan legimitasi sebuah dokumentasi. Untuk mendapat sebuah pengesahan, seorang murid harus menjadi saksi mata dan menerima secara langsung dari gurunya. Jika unsur kesaksian tidak ada, buku seorang ilmuwan yang telah meninggal dunia, misalnya, akan menyebabkan hilanganya nilai teks itu. Inilah yang dilakukan Zaid demi menghindari kekuarang-sahnya teks tersebut..

Dalam mendikte ayat-ayat Al-Qur’an kepada para sahabat, Nabi Muhammad SAW, membuat jalur periwayatan yang lebih tepercaya berdasar pada hubungan antara guru dengan murid. Sebaliknya, karena beliau tidak pernah menyerahkan bahan-bahan tertulis, maka tidak ada unsur kesaksian yang terjadi pada naskah yang terdapat pada kulit yang dapat digunakan sebagai sumber utama sebagai perbandingan, baik oleh Zaid maupun orang lain.

Mengenai kekhawatiran Umar terhadap meninggalnya para sahabat yang huffat, ini terkait dengan hukum persaksian. Dengan jumlah yang ribuan, para huffaz memperoleh pengetahuan tentang Al-Qur’an melalui satu-satunya otoritas yang saling beruntun di muka bumi ini, yang akhirnya sampai pada Nabi Muhammad.

Setelah beliau wafat, mereka (para sahabat) menjadi sumber otoritas selanjunya. Meninggalnya mereka hampir-hampir telah mengancam terputusnya kesaksian yang berakhir pada Nabi Muhammad.

Demikian pula jika mereka mencatat ayat-ayatnya menggunakan tulisan tangan, akan kehilangan nilainya jika pemiliknya meninggal karena tidak dapat memberi pengesahan tentang kebenarannya itu. Sebab dikhawatirkan ada beberapa bahan tulisan yang bukan Al-Qur’an. Jadi saksi merupakan legimitasi utama untuk menentukan sah tidaknya naskah tersebut.

Itulah sebabnya dalam membuat kompilasi Suhuf, Abu Bakr bertahan pada pendiriannya bahwa setiap orang bukan saja harus membawa ayat, melainkan juga dua saksi guna membuktikan bahwa penyampaian bacaan itu datang langsung dari Nabi Muhammmad. Hal yang sama juga terjadi pada jaman Usman. Dengan demikian ayat-ayat yang telah ditulis itu tetap terpelihara, apakah para huffat wafat di Yamamah ataupun tidak.

Otoritas saksi merupakan poin paling penting dalam menentukan keutuhan nilai sebuah dokumen, yang paling dijadikan titik sentral kekhawatiran Umar.

Dalam pengumpulan teks tersebut, atas saran Umar, Abu Bakar As-Sidiq menunjuk Zaid bin Tsabit. Penunjukan ini sangat tepat, karena Tsabit adalah mantan sekretaris pribadi Nabi yang tahu persis kapan Rasulullah menerima wahyu.

Zaid sengaja dipilih karena dia orang kepercayaan Nabi Muhammad SAW yang kejujurannya dan intelektualitasnya tidak diragukan.

Meski Rasulullah memiliki banyak sahabat namun tidak sembarangan sahabat dipilih oleh beliau untuk menulis Al-Qur’an. Para penulis yang ditunjuk Rasulullah adalah para sahabat pilihan yang memiliki kemampuan tulis yang indah. Diantaranya Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab; Muadz bin Jabal, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Khulafaur Rasyidin dan sahabat-sahabat lain.

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Anas r.a. bahwasanya ia berkata: “Al-Qur’an dikumpulkan pada masa Rasul SAW oleh 4 (empat) orang yang kesemuanya dari kaum Anshar; Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid. Anas ditanya: “Siapa ayah Zaid?” Ia menjawab: “Salah seorang pamanku”.

Setelah itu Zaid melakukan pengumpulan lembaran-lembaran Al-Qur’an yang terdapat pada lembaran pelepah kurma dan lempengan batu putih, seta memori kaum muslimin.

Selain DR. Azami, muridnya, yaitu DR. Syamsuddin Arif juga memberikan jawaban terhadap kekeliruan-kekeliruan yang sengaja dibuat oleh orientalis. Dalam sebuah makalahnya berjudul Kekeliruan Para Orientalis ia menjelaskan bahwa para orientalis telah membuat asumsi yang keliru mengenai Al-Qur’an, yaitu diantaranya:

Pertama, mereka mengasumsikan bahwa Al-Qur`an adalah dokumen tertulis atau teks, bukan “hafalan yang dibaca”. Padahal, pada prinsipnya Al-Qur`an bukanlah tulisan (rasm atau writing), tetapi bacaan (qira’ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Baik proses turunnya (pewahyuan), penyampaian, pengajaran, sampai periwayatannya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Dari dahulu, yang dimaksud dengan ”membaca Al-Qur`an” adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin atau to recite from memory).

Jadi kekeliruan orientalis bersumber dari sini. Orientalis seperti Jeffery, Wansbrough dan Puin, misalnya, berangkat dari sebuah asumsi keliru, menganggap Al-Quran sebagai ‘dokumen tertulis’ atau teks, bukan sebagai ‘hafalan yang dibaca’ atau recitatio.

Padahal tulisan yang ada hanya berfungsi sebagai penunjang semata-mata. Sebab pada awalnya ayat-ayat Al-Qur`an dicatat di atas tulang, kayu, kertas, daun, berdasarkan hafalan sang qari’/muqri’. Proses transmisi semacam ini–dengan isnad (narasumber) secara mutawatir dari generasi ke generasi–terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian Al-Qur`an hingga hari ini.

Tim yang dipimpin Zaid bin Tsabit yang melakukan transmisi ini juga bukanlah orang sembarangan. Mereka adalah para sahabat yang hafal seluruh kandungan Al-Qur’an dan tidak diragukan kredibilitasnya sebagai orang yang memiliki hafalan yang kuat.

Ini sungguh berbeda dengan kasus Bibel. Tulisannya—fakta manuskrip dalam bentuk papyrus, perkamen, dan sebagainya–memegang peran utama dan berfungsi sebagai acuan dan landasan bagi Testamentum (perjanjian) alias Gospel. Tidak ada satupun sejarah yang menyebutkan bahwa penulis Bible sekalipun yang hafal kitabnya, baik separuhnya, apalagi seluruhnya.

Disengaja atau tidak, mereka masih tetap berpatokan bahwa pengumpulan Al-Qur’an hanya berasal dari tulisan, bukan hafalan. Dengan asumsi keliru ini—menganggap Al-Qur`an semata-mata sebagai teks– mereka lantas mau menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bibel, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism. Akibatnya, mereka menganggap Al-Qur`an sebagai produk sejarah, hasil interaksi orang Arab abad ke-7 Masehi dan 8 dengan masyarakat sekeliling mereka.

Mereka mengatakan bahwa mushaf yang ada sekarang tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (yang mereka sendiri tidak tahu pasti!). Karena itu mereka mau membuat edisi kritis, merestorasi teksnya, dan hendak membuat naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada.

Mereka lupa bahwa pengumpulan Al-Qur’an lebih banyak didapatkan dari hafalan-hafalan para sahabat yang memang diakui memiliki kekuatan hafalan yang sangat bagus. Tradisi menghafal masyarakat Arab ketika itu lebih kuat daripada tradisi tulis-menulis. Apalagi teks-teks Al-Qur’an itu memang mudah dihafal oleh anak kecil sekalipun. Terbukti sampai sekarang banyak anak-anak yang usia muda hafal Al-Qur’an. Hal ini tidak terjadi pada kitab lain seperti Al-Kitab.

Kedua, meskipun pada prinsipnya Al-Qur`an diterima dan diajarkan melalui hafalan, namun juga dicatat melalui berbagai medium tulisan. Sampai Rasulullah wafat, hampir seluruh catatan awal tersebut milik pribadi para sahabat sehingga kualitas dan kuantitasnya berbeda satu sama lain. Ini karena para sahabat menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar (tafsir glosses) di pinggir atau di sela-sela ayat untuk keperluan masing-masing.

Baru setelah menyusutnya jumlah penghafal Al-Qur`an karena gugur di medan perang, usaha kodifikasi (jam’) pun dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk atas inisiatif Khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq Radhiyallahu ’anhu hingga Al-Qur`an terkumpul dalam satu mushaf berdasarkan periwayatan langsung (first-hand) dan mutawatir dari Nabi.

Setelah wafatnya Abu Bakr (13H/634M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah ‘Umar bin Khattab sampai wafat (23H/644M), lalu disimpan oleh Hafshah, sebelum kemudian diserahkan kepada Khalifah ‘Utsman bin Affan.

Pada masa inilah, atas desakan sejumlah sahabat, sebuah tim ahli dibentuk dan diminta mendata kembali semua qira’at yang ada. Mereka juga ditugasi meneliti dan menentukan nilai keshahihan periwayatannya untuk kemudian melakukan standardisasi demi mencegah kekeliruan dan perselisihan.

Saat transmisi, versi petama, yaitu yang dikumpulkan pada jaman Abu Bakar dan Umar, dijadikan patokan. Kitab ini disimpan di Madinah dan tiga salinan dari naskah asli ditulis dan dikirimkan ke tiga kota, yaitu Damaskus, Bashrah dan Kufah, dan salinan-salinan lainnya dimusnahkan.

Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standar yang masing-masing mengandung qira’ah-qira’ah mutawatir yang disepakati keshahihan periwayatannya dari Nabi. Jadi, sangat jelas fakta sejarah dan proses kodifikasinya. Sedang untuk mushaf yang tidak standar disuruh dibakar.

Namun pembakaran mushaf ini oleh Arthur Jeffery dijadikan titik poin untuk mengkritik Al-Qur’an. Menurut Jeffery, ketika Uthman r.a. mengirim teks standar ke Kufah dan memerintahkan supaya teks-teks yang lain dibakar, Ibnu Mas’ud menolak menyerahkan mushafnya. Dia marah karena teks yang dibuat Zaid ibn Thabit yang lebih muda,  lebih diprioritaskan dibandingkan mushafnya. Padahal ketika Ibn Mas’ud sudah menjadi Muslim, Zaid masih berada dalam pelukan orang-orang kafir.

Asumsi Jeffry ini dibantah oleh Adnin Armas, dalam bukunya, “Metode Bibel dalam Studi Al-Quran” yang membuktikan ketidakjujuran orientalis yang satu ini dalam melakukan studi Al-Quran.

Di sini tampak jelas kekeliruan atau ketidakjujuran Jeffery dalam menulis sejarah Al-Quran. Ia  tidak mengkaji secara menyeluruh sikap Abdullah ibn Mas’ud. Padahal,  Kitab al-Mashaahif – yang diedit sendiri oleh Jeffery — menunjukkan bahwa Ibn Mas’ud meridhai kodifikasi yang dilakukan Uthman bin ‘Affan. Ibnu Mas’ud mempertimbangkan kembali pendapatnya yang  awal dan kembali kepada pendapat Uthman dan para Sahabat lainnya.

Ibnu Mas‘ud menyesali dan malu dengan apa yang telah dikatakannya. Jadi, pendapat Jeffery menjadi naïf karena justru dari kedua buku yang diedit oleh Jeffery, Ibnu Mas‘ud pada akhirnya menyetujui kebijakan Utsman, yang disokong oleh para sahabat lainnya.

Meski demikian, para orientalis biasanya akan mulai dengan mempertanyakan fakta ini dan menolak hasilnya. Mereka menganggap sejarah kodifikasi tersebut hanya kisah fiktif dan mengatakan bahwa proses kodifikasi baru dilakukan pada abad ke-9M.

Di sini kelihatan bahwa para orientalis tidak mengerti atau sengaja tidak peduli bahwa Al-Qur`an tidak sama dengan Bibel. Al-Qur`an bukan lahir dari manuskrip, tapi sebaliknya, manuskrip lahir dari Al-Qur`an.

Ketiga, salah faham tentang rasm dan qira’ah-qira’ah. Sebagaimana diketahui, tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal Islam, Al-Qur`an ditulis gundul, tanpa tanda-baca sedikit pun. Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Namun rasm ‘Utsmani sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum Muslimin saat itu belajar Al-Qur`an langsung dari para sahabat dengan cara menghafal, dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan.

Ironisnya, orientalis semacam Arthur Jeffery dan Gerd R Joseph Puin menyimpulkan sendiri bahwa teks gundul inilah sumber variant readings (ragam pembacaan)–sebagaimana terjadi dalam kasus Bibel–serta keliru menyamakan qira’ah dengan readings. Mereka tidak tahu bahwa kaidah yang berlaku pada Al-Qur`an adalah tulisan mengacu pada bacaan yang diriwayatkan dari Nabi (rasmu taab’iun li riwaayah), bukan sebaliknya.

Para orientalis itu juga salah faham mengenai rasm Al-Qur`an. Dalam bayangan mereka, munculnya bermacam-macam qira’ah disebabkan oleh rasm yang sangat sederhana itu, sehingga setiap pembaca bisa saja berimprovisasi dan membaca sesuka hatinya. Padahal ragam qira’ah telah ada lebih dahulu sebelum adanya rasm.

Mereka juga tidak mengerti bahwa rasm Al-Qur`an telah disepakati dan didesain sedemikian rupa sehingga dapat mewakili dan menampung pelbagai qira’ah yang diterima. Misalnya, dengan menyembunyikan (hadzf) ”alif” pada kata ”m-l-k” (Al-Fatihah: 4) demi mengakomodasi qira’ah ‘Ashim, al-Kisa’i, Ya’qub, dan Khalaf—yang menggunakan “maaliki”atau panjang–sekaligus qira’ah Abu ‘Amr, Ibnu Katsir, Nafi’, Abu Ja’far, dan Ibnu ‘Amir–”maliki” atau pendek.

Mungkin ada yang bertanya: Apakah semua qira’ah telah tertampung oleh rasm Utsmani? Adakah qira’ah mutawatir yang tidak terwakili oleh rasm Utsmani? Atau, apakah naskah-naskah yang dikirim oleh Khalifah ‘Utsman ke berbagai kota (Makkah, Basrah, Kufah, Damaskus) seragam rasm-nya dan sama dengan yang ada di Madinah atau berbeda-beda, yakni sesuai dengan harf atau qira’ah yang dominan di kota tersebut?

Yang masuk katagori ketiga cukup banyak. Menurut Prof Dr Sya’ban Muhammad Ismail dari Universitas Al-Azhar, Kairo (Mesir), jumlah qira`ah yang ditulis dengan rasm berbeda-beda dalam mashahi ‘Utsman, tanpa pengulangan, mencapai 58 kata.

Dari sini jelas, mushaf-mushaf yang dikirim oleh Khalifah ‘Utsman ke berbagai kota itu beragam rasm-nya, sesuai dengan bacaan sahabat yang diutus untuk mengajarkannya. Namun demikian tetap saja bacaan tidak bergantung pada teks. Dan memang, qira’ah sahabat (yang dikirim ke sebuah kota) atau perawinya tidak otomatis sama dengan mushaf yang beredar di kota itu, tetapi pada umumnya sama.

Boleh saja seorang imam atau perawi membacanya sesuai dengan riwayat dan rasm yang ada di mushaf kota lain. Contohnya, Imam Hafsh di Kufah membaca Surat Az-Zukhruf: 71 dengan bacaan ”tasytahiihi al-anfus” (dengan dua ha), seperti tertera dalam mushaf Madinah dan Syam. Padahal dalam mushaf Kufah tertulis ”tasytahi” (dengan satu ha). Ini dibolehkan mengingat salah satu syarat diterimanya sebuah qira’ah adalah sesuai dengan salah satu rasm mushaf ‘Utsmani.

Sebaliknya, jika suatu qira’ah tidak tercatat dalam salah satu mushaf Utsmani, qira’ah tersebut dianggap syadz’ (janggal) dan tidak dapat diterima. Itu karena bertentangan dengan rasm yang disepakati atau rasm yang telah menampung dan mewakili semua qira’ah mutawatir.

Jika demikian halnya, maka improvisasi liar atau bacaan liberal seperti yang direka-reka oleh para orientalis sudah pasti ditolak.


V. Tuduhan Terhadap Rasulullah

Ternyata orientalis tidak hanya cukup menyerang Al-Qur’an, tapi juga menyerang Rasulullah sebagai orang yang dianggap membuat wahyu. Menurut DR. Azami, mereka menuduh Rasulullah telah melakukan kecurangan-kecurangan dengan melakukan pemalsuan terhadap agama Yahudi dan Kristen. Mereka menuduh Rasulullah mengadopsi ajaran-ajaran Bibel, kemudian menggantikannya dengan ajaran yang sesuai dengan selerah beliau. Wanshrough, adalah salah seorang penggagas ide ini. Ia mengatakan, “Doktrin ajaran Islam secara umum, bahkan ketokohan Muhammad, dibangun di atas prototype kependetaan agama Yahudi.”

Bahkan dalam sebuah artikel yang dimuat di Encyclopedia Britannica (1891) Noldeke, tokoh Orientalis, menyebutkan bahwa banyaknya kekeliruan di dalam Al-Qur’an disebabkan “kejahilan Muhammad” tentang sejarah awal agama Yahudi. Rasulullah dituduh ceroboh dalam melakukan identifikasi nama-nama yang beliau ambil dari sumber Yahudi. Ia mengatakan: “[Bahkan] orang Yahudi yang paling tolol sekalipun tidak akan pernah salah menyebut Haman (menteri Ahasuerus) untuk menteri Fir’aun, ataupun menyebut Miriam saudara perempuan Musa dengan Maryam (Miriam) ibunya al-Masih…. [Dan] dalam kebodohannya tentang sesuatu di luar tanah Arab, ia menyebutkan suburnya negeri Mesir-di mana hujan hampir-hampir tidak pernah kelihatan dan tidak pernah hilang-karena hujan, dan bukan karena kebanjiran yang disebabkan oleh sungai Nil (xii. 49).”

Bahkan mereka yakin bahwa Al-Quran adalah buatan Muhammad. Gibb dalam bukunya, Al-Wahyu Al-Muhammadi, berkata bahwa Al-Quran hanya buatan orang tertentu, yaitu Muhammad yang hidup di lingkungan khusus, yaitu di kalangan Makkah sehingga kehidupan beliau terwarnai oleh apa yang beliau ungkapkan.

Tuduhan ini dibantah oleh DR. Azami dengan menyebutkan bahwa Noldeke dan kawan-kawan telah melakukan kebohongan. Hanya karena tidak disebutkan dalam kitab Yahudi, nama Hamam dianggap tidak ada pada masa Fir’aun. Atau Noldeke tidak malu menunjuk bahwa Al-Qur’an menyebut Maryam (Ibu al­Masih) sebagai “saudara perempuan Harun”, bukan Musa. Harun ada di jajaran terdepan dalam kependetaan orang-orang Bani Israel; yang menurut Perjanjian Baru, Elizabeth, saudara sepupu Maryam dan juga ibunya Yunus, semua lahir dari keluarga pendeta, yang berarti itu merupakan “anak-anak perempuan Harun.”

Dengan keterangan itu, DR. Azami menjelaskan bahwa secara meyakinkan diketahui baik Maryam atau Elizabeth merupakan “saudara-saudara perempuan Harun” atau “anak-anak perempuan `Imran” (ayah Harun).

Sedang mengenai tuduhan Noldeke mengenai kesuburan negeri Mesir, DR. Azami menjawab bahwa membanjirnya Sungai Nil pada sebagian daerah, disebabkan adanya perbedaan curah hujan, seperti telah dibuktikan para pakar lingkungan.

Berkaitan dengan sumber penulisan Al-Quran, kaum orientalis menuduh bahwa isi Al-Quran berasal dari ajaran Nasrani, seperti tuduhan Brockelmann. Sedangkan Goldziher menuduhnya berasal dari ajaran Yahudi.

Dalam banyak penelitan, para orientalis menyebarkan berbagai tuduhan negatif seputar Al-Quran. Misalkan seorang orientalis bernama Noeldeke dalam bukunya, Tarikh Al-Quran, menolak keabsahan huruf-huruf pembuka dalam banyak surat Al-Quran dengan klaim bahwa itu hanyalah simbol-simbol dalam beberapa teks mushhaf yang ada pada kaum muslimin generasi awal dulu, seperti yang ada pada teks mushhaf Utsmani. Ia berkata bahwa huruf mim adalah simbol untuk mushhaf al-Mughirah, huruf Ha adalah simbol untuk mushhaf Abu Hurairah. Nun untuk mushhaf Utsman. Menurutnya, simbol-simbol itu secara tidak sengaja dibiarkan pada mushhaf-mushhaf tersebut sehngga akhirnya terus melekat pada mushhaf Al-Quran dan menjadi bagian dari Al-Quran hingga kini.


VI. Usaha Orientalis Merusak Al-Qur’an

Meski semua tuduhan orientalis sudah dijawab oleh sarjana-sarjan Islam, namun usaha untuk menghancurkan Al-Qur’an tetap mereka lakukan. Tanpa malu-malu mereka berusaha merubah Al-Qur’an.

DR. Azamai menjelaskan bahwa pada tahun 1847 Flugel mencetak indeks Al-Qur’an. Bukan cuma sampai di situ, ia juga ingin mengubah teks-teks Al-Qur’an berbahasa Arab. Sayangnya usaha tersebut gagal total karena karya Flugel tidak diterima oleh umat Islam di manapun.

Adalah sudah menjadi kesepakatan di kalangan kaum Muslimin untuk membaca Al-Qur’an menurut gaya bacaan salah satu dari tujuh pakar bacaan yang terkenal, yang semuanya mengikuti kerangka tulisan `Uthmani dan sunnah dalam bacaannya (qira’ah). Perbedaan-perbedaan yang ada, kebanyakan berkisar pada beberapa tanda bacaan diakritikal yang tidak berpengaruh sama sekali terhadap isi kandungan ayat-ayat itu. Setiap mushaf yang dicetak berpijak pada salah satu dari Tujuh Qira’at, yang diikuti secara seragam sejak awal hingga akhir. Tetapi Flugel menggunakan semua tujuh sistem bacaan dan memilih satu qira’ah di sana sini dengan tidak menentu (tanpa alasan yang benar) yang hanya menghasilkan sebuah bacaan yang tidak karuan.

Bahkan Jeffery, yang dikenal sangat memusuhi Islam, bersikap sinis terhadap karya Flugel itu. Ia mengatakan, “Edisi Flugel yang penggunaannya begitu meluas dan berulang kali dicetak, tak ubahnya sebuah teks yang sangat amburadul, karena tidak mewakili baik tradisi teks ketimuran yang murni mau pun teks dari berbagai sumber yang ia cetak, serta tidak memiliki dasar ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan.”

Selain ingin merusak dari segi bacaan, para orientalis juga merusak isi Al-Qur’an. Adalah Regis Blachere yang membuat terjemahan dalam bahasa Prancis (Le Coran, 1949, ) bukan saja mengubah urutan surat, tapi juga menambahkan dua ayat fiktif ke dalam Al-Qur’an. Dia berpijak pada cerita palsu di mana, katanya, Setan yang memberi “wahyu” kepada Nabi Muhammad yang tampaknya tidak dapat membedakan antara Kalam Allah dan ucapan mantra-mantra orang kafir sebagaimana tercatat dalam cerita itu.

Terhadap hal ini Dr. Azami menjawab bahwa tak satu pun periwayatan transmisi bacaan dan 250,000 manuskrip Al-Qur’an yang sampai sekarang masih ada, terdapat dua ayat yang isinya bertentangan dengan Al-Qur’an. Kaum muslim pun akan mudah mengetahui jika ada ayat-ayat yang disisipkan dalam Al-Qur’an.

Selain kedua orientalis tersebuut, Prof. Rev. Mingana, yang dianggap sebagai ilmu­wan dalam bahasa Arab, juga melakukan hal yang sama terhadap Al-Qur’an. Ia sengaja menghapus sebuah manuskrip kemudian menuliskannya kembali.


VII. Kesimpulan

Bisa jadi motivasi awal orang Barat(orientalis) mempelajari Islam bukan untuk menyerang Islam. Awalnya, mungkin mereka benar-benar mempelajari Islam sebagai suatu ilmu. Namun dalam perjalanannya, mereka tetap saja membawa bau sentimen Barat (Kristen) terhadap Islam yang mereka anggap musuh bebuyutan.

Akibatnya, jadilah kajian-kajian orientalisme sebagai kajian yang syubhat sehingga menimbulkan keragu-raguan di kalangan kaum muslimin terhadap ajaran Islam. Diantara yang menjadi sasaran serangan mereka adalah Al-Qur’an.

Al-Qur’an dijadikan target utama serangan missionaris dan orientalis Yahudi-Kristen setelah gagal menjatuhkan pribadi Rasulullah. Meski mereka berkali-kali mencemooh dan memberi gambaran yang negative tentang Rasulullah, seperti homosex, orang gila, tetap saja kaum muslimin tak tergoyahkan keimannya kepada beliau.

Karenanya, kemudian dengan sekuat tenaga mereka mencoba menjatuhkan dan mengkorupsi Al-Qur’an dengan cara-cara yang tidak elegan. Mereka melakukan kebohongan-kebohongan yang kemudian dibongkar oleh para sarjana muslim seperti Prof. MM. Azami, DR. Mustofa As-Siba’i dan DR. Syamsuddin Arif, maupun oleh kalangan orietalis sendiri.

Sebut saja orientalis bernama Juynboll yang secara mendasar telah mengkritik Wansbrough karena terlalu selektif dalam memilih sumber-sumber rujukan yang sesuai dengan pra-anggapan penelitiannya. Wansbrough berpendapat, bahwa tidak ada teks Al-Quran yang fixed sebelum akhir abad ke-2 Hijriah atau awal abad ke-3 Hijriah.

Tetapi, Juynboll membuktikan, bahwa Wansbrough berlaku curang karena tidak memasukkan literatur Islam sebelum abad ke-2 yang dapat menggoyahkan teorinya, seperti Kitab Al- ’Alim wa al-Muta’allim and Risala ila Utsman al-Baitti yang   keduanya ditulis oleh Abu Hanifah (150 H.).

Estelle Whellan juga telah meruntuhkan kesimpulan Wansbrough, dengan membuktikan  bahwa teks Al Quran telah menjadi teks yang tetap pada abad pertama Hijrah.

Para orientalis berhati busuk itu tidak menyadari bahwa usaha-usaha tersebut sebenarnya hanya menunjukkan hatred (kebusukan-hati) dan kebencian mereka terhadap tokoh dan agama yang mereka kaji, sebagaimana disitir oleh seorang pengamat; “The studies carried out in the West … have demonstrated only one thing : the anti-Muslim prejudice of their authors.”

Para orientalis yang bersemangat ingin “mengkorupsi” keotentikan Al-Quran, tidak mengerti atau sengaja tidak peduli bahwa Al-Quran tidak sama dengan Bibel;. Mereka seakan tidak mau tahu dengan kajian yang dilakukan oleh para ulama Islam yang tentunya lebih mengetahui Islam daripada mereka. Mereka seakan sengaja ingin menyakiti kaum muslimin dengan mengotak-atik keimanan yang sudah mendarah daging dalam diri setiap muslimin.

Sikap tidak peduli terhadap orang lain ini memang pada dasarnya sudah menjadi karakter para orientalis dalam melakukan berbagai studi tentang Islam. Misalkan, beberapa tahun yang silam Profesor C.E Bosworth, salah seorang editor ensiklopedi Islam yang diterbitkan oleh J. Brill, menyampaikan kuliah di Universitas Colorado. Ketika ditanya mengapa para intelektual Muslim yang mendapat pendidikan di Barat tidak pernah diikutsertakan kontribusinya pada ensiklopedi yang menyangkut berbagai masalah mendasar (seperti Al-Qur’an, hadith, jihad, dll.), dia menjawab bahwa karya ini ditulis oleh para penulis Barat untuk orang Barat.

Jawaban ini kendati ada benarnya, dalam prakteknya karya tersebut tidak semata-mata untuk kalangan masyarakat Eropa. Ia juga diterjemahkan ke dalam bahasa dunia Islam. Bahkan proyek ini sengaja meraka lakukan dengan biaya yang tidak sedikit. Biaya tersebut sengaja mereka persiapkan agar karya-karya mereka juga dibaca oleh kaum muslimin. Akibatnya, umat Islam yang tidak memahami misi dibalik itu semua ikut terpengaruh. Ironisnya lagi, ada yang sengaja mengambil proyek tersebut demi kepentingan ekonomi. Sebuah sikap yang tak pantas dilakukan oleh seorang muslim.

Untuk itu patut dicatat apa yang ditulis oleh Edward Said dalam karya ilmiahnya yang berjudul Orientalism. Edward Said mengutip perkataan Karl Max yang berbunyi: “Mereka tidak dapat mewakili diri sendiri melainkan mereka harus diwakili.”

Begitulah cara orientalis melakukan serangan terhadap Islam. Sayangnya, beberapa sarjana muslim ternyata juga mengikuti langkah-langkah mereka. Entah mereka sadar atau tidak, kajian-kajian yang mereka adopsi dari para orientalis itu sejatinya merugikan Islam dan kaum muslimin. Tidak sepantasnya, orang yang mengaku beriman kepada Al-Qur’an tapi masih ragu dengan isinya, sebagaimana keraguan para orientalis.

Al-Qur’an merupakan kitab yang paling lengkap dan sempurna. Tidak diperlukan lagi bagi manusia untuk mencari sesuatu selainnya. Ia memuat segala bentuk aspek kehidupan. Berisi banyak nubuatan (ramalan) mengenai masa depan manusia dan juga merupakan suatu peraturan yang lengkap bagi tingkah laku manusia.

Ia merupakan kitab unik yang diturunkan oleh Pencipta Alam, yang berisi pesan yang abadi dan universal. Muatannya tidak terbatas pada tema atau kajian tertentu, tetapi berisi keseluruhan sistem hidup. Mencakup spektrum permasalahan yang utuh, yang dimulai dari perintah dan larangan, hak dan kewajiban, kejahatan dan hukuman, ajaran tentang masalah pribadi dan sosial dan lain-lain. Cara Al-Qur’an mengungkapkan isinya juga bervariasi, seperti melalui sindirian, peringatan, teguran secara langsung dan tegas, atau melalui kisah umat masa lampau agar menjadi pelajaran bagi umat berikutnya.

Petunjuk di dalamnya pun tidak hanya terbatas untuk umat Islam semata, namun orang-orang non Islam pun juga menjadi obyek seruan ajarannya. Sehingga, bukanlah sesuatu yang mengherankan jika dari awal mula turunnya hingga kini, ghiroh manusia tidak pernah surut untuk mengkaji isi kandungan Al-Qur’an, baik dari kalangan umat Islam sendiri maupun dari orang-orang orientalis.

Selain sebagai kitab wahyu dan manifestasi kekuatan mukjizat Nabi SAW, Al-Qur’an juga berperan lebih besar dan lebih penting ketimbang peran tongkat Nabi Musa as dan nafas Nabi Isa as.

Rasulullah SAW senang dan suka membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepada orang-orang. Kekuatan magnetis ayatnya, dalam banyak kesempatan, mendorong banyak orang masuk Islam. Dalam sejarah Islam, peristiwa-peristiwa seperti ini tak terhitung jumlahnya.

Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang memiliki karakteristik bahasa yang sangat bermutu. Sejak diturunkannya sampai sekarang, tidak ada perubahan dalam bahasa tersebut. Ini berbeda dengan bahasa kitab suci lainnya. Bahasa Aramiah misalnya, sebagai bahasa asli Injil, sudah mengalami perubahan, bahkan sulit ditemukan.

Sebagai orang beriman, kita mestinya yakin bahwa Al-Qur’an diperuntukkan untuk seluruh makhluk melata yang bernama manusia, yang isisnya sudah pasti dijaga oleh Sang Pembuatnya.

Al-Qur’an sudah sempurna dan tidak perlu diotak-atik lagi. Dalam sebuah ayat Allah berfirman:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”

Ayat ini menjelaskan bahwa Al-Qur’an sudah sempurna sehingga bisa dijadikan pedoman hidup terakhir bagi manusia. Ini bisa diterima karena isi Al-Qur’an diantaranya memberikan bimbingan bagi pengembangan kepribadian manusia. Juga memberi bimbingan terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan agar hidup damai sebagaimana yang terjadi pada 1400 tahun yang lalu. Kehidupan seperti itu akan didapatkan selama berpegang teguh pada Al-Qur’an. Keyakinan seperti ini yang seharusnya kita miliki.

Kita tidak selayaknya mudah terperanjat dan terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran orientalis. Seorang muslim yang membaca buku-buku karya orientalis hendaknya mempunyai pengetahuan yang benar dan cukup tentang Islam yang sebenarnya sehingga tidak terjebak pada ide-ide kaum kuffar yang menipu. Bagaimana pun juga, Allah akan terus membangkitkan ulama untuk membantah pemikiran-pemikiran mereka.

Kita juga sudah diajarkan oleh Rasulullah SAW untuk bersikap kritis terhadap sumber-sumber dari kaum Yahudi dan Kristen. Kita tidak  boleh menolak atau menerima begitu saja. Perlu ada cek dan ricek agar tidak keliru.

Bukti-bukti kekeliruan orientalis dalam melakukan studi Islam sudah banyak ditunjukkan oleh para cendekiawan Muslim atau oleh para orientalis sendiri. Kaum Muslim juga maklum, bahwa tidak semua hasil studi mereka ditolak begitu saja. Ada yang bermanfaat untuk kaum Muslim. Tetapi, memuji dan mengikuti mereka tanpa ilmu pengetahuan yang memadai adalah sikap naif yang tidak perlu dilakukan.

Kita hendaknya tetap kritis terhadap mereka. Jangan hanya kritis terhadap para ulama, tapi tidak kritis terhadap mereka. Jangan hanya karena ingin sesuatu yang sifatnya dunia, kemudian sampai menggadaikan sesuatu yang berharga dari Islam ini.


Daftar Pustaka

1. Adian Husaini, “Tamsil Anjing untuk Penjual Kebenaran”, Catataan Akhir Pekan (CAP) yang dimuat www. Hidayatullah.com
2. Adnin Armas, MA, Metode Bibel dalam Studi Al-Quran, GIP, Jakarta
3. Al-Qur’anul Karim, Departeman Agama RI
3. A’zami, M.M, Prof DR. The History of The Qur’anic Text – From Revelation to Compilation –(Sejarah Teks Al-Quran, Dari Wahyu Sampai Kompilasinya), GIP, 2005, Jakarta
4. Edward Said, Orientalism, Vintage Book, New York,
5. Ensiklopedi Islam 4, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta
6. Lutfie Assaukanie, Alquran dan Orientalisme.
7. Muhammad Hamid An-Nashir, Darul Haq, Menjawab Modernisasi Islam
8. Philip k. Hitti, History of the Arabs, PT Serambi Ilmu Semesta 2006
9. Syamsuddin Arif, Al-Qur’an dan Orientalisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar