Sabtu, 19 Maret 2011

TINJAUAN TERHADAP AL-QUR’AN EDISI KRITIS


SEBUAH KAJIAN KRITIS


I. Pendahuluan

Al-Qur’an Edisi Kritis merupakan sebuah istilah yang sudah baku di kalangan orientalis, khususnya bagi mereka yang mengkaji al-Qur’an. Istilah ini merupakan sebuah ide yang digagas oleh Arthur Jeffery, untuk meruntuhkan otoritas al-Qur’an. Walaupun gagasan al-Qur’an edisi kritis ini berasal dari seorang orientalis, tapi pengaruh gagasan ini sudah menyebar kepada sebagian pemikir umat Islam. Para pemikir Islam liberal sudah memakai istilah ini untuk menggugat otentisitas al-Qur’an.[1] Mereka mencoba meyakinkan bahwa Mushaf Utsmani masih bermasalah sehingga tidak perlu disucikan. Ironisnya, ide ini justru didukung oleh para tokoh cendekiawan muslim yang seharusnya menjadi panutan. Dalam buku yang ditulis Taufik Adnan Amal,[2] Prof. Dr. Quraish Shihab, tanpa memberikan kritik yang berarti dalam pengantarnya, ia menulis, “Kasarnya, ada sejarah yang hilang untuk menjelaskan beberapa ayat atau susunan ayat al-Quran dari surat al-Fatihah sampai surat al-Nas.” Dan masih banyak tokoh lainnya yang mendukung gagasan itu.[3]

Fenomena ini tidak bisa dibiarkan begitu saja karena akan menyebabkan kaum muslimin ragu-ragu dengan al-Qur’an. Oleh karena itu, makalah ini akan mencoba membahas secara kritis gagasan al-Qur’an edisi kritis ini dari sisi penggagasnya dan kritik-kritiknya terhadap al-Qur’an. Di samping itu, makalah ini juga akan dilengkapi dengan tanggapan para ulama terhadap gagasan dan kritik dari penggagas al-Qur’an edisi kritis ini.
 
II. Arthur Jeffery: Biografi Singkat
 
Arthur Jeffery lahir menjadi dewasa di kota Melbourne pada tanggal 18 Oktober 1892 dalam keluarga Kristen Metodis. Ia menyelesaikan pendidikan S1 (1918) dan S2 (1920) di kota kelahirannya, yaitu Universitas Melbourne, kemudian berangkat ke Madras untuk mengajar di Akademi Kristen Madras (Madras Christian College). Di akademi inilah ia bertemu Pendeta Edward Sell (1839-1932), seorang missionaries yang jauh lebih senior sekaligus menjabat sebagai dosen. Dialah yang pada pertemuan selanjutnya menjadi pemicu Jeffery untuk mengkaji historisitas al-Qur’an.[4]

Pendeta Edward Sell seorang tokoh missionaries terkemuka di India. Ia pembicara penting pada “Konferensi Umum Kedua Tentang Misi Untuk Kaum Muslimin” (The Second General Conference on Mission to Moslems) yang diadakan di Lucknow pada tahun 1911. Konferensi Lucknow tersebut menghasilkan agenda-agenda diantaranya mendirikan berbagai proyek pendidikan seperti Newman School of Mission di Yerussalem, The Henry Martyn School di India dan The School of Oriental Studies di Universitas Amerika, Kairo.[5] Pendekatan Sell memiliki hasrat supaya para missionaries mulai mengkaji historisitas al-Qur’an. Menurutnya, metode studi kritis Bibel juga perlu diterapkan dalam studi kritis al-Qur’an. Ia sendiri telah memberi contoh bagaimana hal tersebut bisa diterapkan, sebagaiman tertulis dalam bukunya Historical Development of the Qur’an, yang diterbitkan pada tahun 1909 di Madras, India.

Jeffery mengakui, bahwa Pendeta Sell adalah yang pertama kali memberikan inspirasi untuk mengkaji historisitas al-Qur’an. Sekalipun begitu, Jeffery berpendapat bahwa gagasan Sell bukanlah orisinil. Karya Sell merupakan ringkasan dan penyederhanaan dari karya Theodor Noldeke (1836-1930), Geschichte de Qorans (Sejarah al-Qur’an).[6]

Setelah sekitar setahun mengajar di Madras, Jeffery mendapat tawaran dari Dr. Charles R. Watson, Presiden pertama American University, Kairo, untuk menjabat sebagai staf di fakultas School of Oriental Studies (S.O.S). Pada tahun 1921, Jeffery berangkat ke Kairo dan menjadi staf junior di Fakultas School of Oriental Studies. Staf-staf lain terdiri dari dedengkot misionaris bertaraf internasional seperti Earl E. Elder, William Henry Temple Graidner dan Samuel Marinus Zwemer, pendiri Konferensi Umum Misionaris Kristen sekaligus pendiri jurnal The Muslim World. Tidak lama setelah berada di Kairo, Zwemer mengangkat Jeffery sebagai Pembantu Editor (Associate Editor) untuk jurnal The Muslim World. Sekalipun pada saat itu, Jeffery baru bergelar M.A.[7]

Berada bersama para misionaris dan orientalis termuka dunia, fikiran Jeffery pun tidak jauh dengan mereka. Mengenai sirah Rasulullah SAW, Jeffery misalnya berpendapat bahwa “Mohammed” adalah seorang kepala perampok (a robber chief), politikus (a politician) dan opportunis (an opportunist). Menurut Jeffery, untuk mengatakan bahwa “Mohammed” adalah utusan Allah masih perlu pembuktian. Pendapat seperti ini, lanjut Jeffery, sudah disimpulkan sebelumnya oleh Leone Caetani (m. 1935), Christiaan Snouck Hurgronje (m.1936), Henri Lammens (m. 1937), dan D.S. Margoliouth (m. 1940).

Jeffery banyak sekali menuangkan gagasannya dalam Jurnal The Muslim World. Hampir sebagian besar artikelnya diterbitkan dalam jurnal tersebut. Ia menulis untuk pertama kalinya dalam jurnal tersebut mengenai Eclecticism in Islam (1922). Pada tahun 1923, Jeffery menyelesaikan masa bujangannya dengan mengawini Elsie Gordon Walker, sekretaris bosnya, Dr. Charles R. Watson. Pada tahun 1929, Jeffery mendapat gelar Doktor dari Universitas Edinburgh dengan anugerah yang sangat istimewa (with special honors). Tahun 1929, tulisan Jeffery mengenai Christian at Mecca dipublikasikan dalam Jurnal The Muslim World. Menurut Jeffery, orang-orang Kristen memiliki nilai positif jika dapat mengunjungi Mekkah dan mengamati ibadah haji. 

Jeffery menyatakan:
 
“Hasil positif adalah kita memiliki periwayatan yang sangat sempurna dan sangat akurat mengenai kota-kota dan tata cara haji, sebelum (tahun-tahun) belakangan ini adalah mustahil untuk mendapatkan dari sumber-sumber Timur. Dan yang lebih penting dari ini adalah, para pengunjung dari kalangan Kristiani, yang tidak terhipnotis dengan glamour kota-kota suci tersebut, bisa mengungkapkan secara penuh kepada kita tentang pentingnya haji secara psikologis kepada massa yang mengunjungi tempat-tempat ibadah setiap tahun, dan juga marilah kita melihat reaksi dari psikologi haji kepada penduduk yang mendiami kota-kota itu sendiri yang tak dapat dihindari.”[8]

Pada tahun 1938, Jeffery mendapat anugerah gelar Doktor dalam kesusastraan (D.Litt) dengan prestasi summa cum laude dari Edinburg University. Pada tahun yang sama, Jeffery meninggalkan Universitas Amerika di Kairo menuju Universitas Columbia di Amerika Serikat. Dalam pandangan John S. Badeau, salah seorang koleganya, kepergian Jeffery dari School of Oriental Studies merupakan kehilangan besar.

Dalam penghormatan tertulisnya atas kematian Jeffery, Badeau menyatakan:

“Kepakarannya memang layak untuk mendapatkan setting yang lebih luas dan secara alami melebarkan lingkaran pengaruh, pengajaran dan penelitiannya. Namun dengan kepergiannya, Univeristas Amerika di Kairo dan komunitas sarjana di Mesir –baik kalangan Mesir maupun Asing- kehilangan sebuah pengaruh yang tidak akan pernah dapat tergantikan.”

Memang Jeffery memiliki beberapa kelebihan dibanding koleganya. Salah satunya, misalnya, adalah penguasaan terhadap ragam bahasa. Selain bahasa ibunya, ia menguasai 19 bahasa. Disebabkan kemampuannya, semasa di Universita Columbia, Jeffery menjabat sebagai Guru Besar di Fakultas Near Eastern and Middle East Language. Ia juga mengetuai bidang Sejarah Agama-agama untuk program doctor di Fakultas agama. Bidang tersebut merupakan program kerjasama Komite Persatuan Seminari Teologis (Union Theological Seninary) New York dan Universitas Columbia.

Dalam pengamatan Frederick C. Grant, Jeffery adalah seorang yang kharismatik. Khutbah, ceramah, dan cara mengajarnya sangat mengesankan. Grant, yang juga salah seorang sahabatnya, menyatakan:

“Khutbahnya dengan jelas menyampaikan kebenaran melalui kepribadian. Pesannya penuh dengan makna kepada para pendengarnya karena khutbah tersebut penuh dengan makna bagi dirinya.”

Pada tahun 1953-1954, Jeffery menjabat sebagai Direktur Tahunan Pusat Penelitian Amerika (Annual Director of the American Research Centre), Mesir. Ketika menjabat posisi tersebut, Jeffery mengedit Muqaddimataani fi Uluumi al-Qur’an wa humaa Muqoddimah Kitab al-Mabaani wa Muqoddimah Ibnu Atiyyah (Dua Muqoddimah Ulumul Qur’an: Muqoddimah Kitab al-Mabaani dan Muqoddimah Ibnu Atiyyah) yang diterbitkan di Kairo pada tahun 1954.

Keseriusan Jeffery mengkaji al-Qur’an terus dilakukan dengan konsisten sampai akhir hayatnya. Pada tahun 1957, terbitlah buku Jeffery berjudul The Koran, Selected Suras: Translated from the Arabic. Dalam buku ini Jeffery menerjemahkan 64 surah al-Qur’an dan memberi catatan-catatan. Dalam terjemahannya, Jeffery menyusun sendiri urutan-urutan surah-surah yang menggambarkan keyakinannya tentang susunan surah al-Qur’an yang sebenarnya. Jeffery tidak menganggap al-Fatihah sebagai bagian dari al-Qur’an. Bagi Jeffery, surah kedua bukan al-Baqarah, tetapi al-Alaq, Surah ketiga bukan Ali Imron, tetapi al-Mudaththir. Susunan surat yang mirip itu sudah dilakukan sebelumnya oleh para orientalislain seperti Theodor Noldeke, Friederich Schwally, Edward Sell, Richard Bell dan Regis Blachere.[9]

Jeffery meninggal di Milford Selatan (South Milford), Kanada pada tanggal 2 Agustus 1959. Ia dimakamkan di Perkuburan Woodlawn, pinggiran Annapolis Royal di Lequille, Kanada. Kepergiannya meninggalkan perasaan duka yang sangat mendalam bagi kawan-kawan dan murid-muridnya. Awal Januari tahun 1960, Jurnal The Muslim World memuat tulisan ringkas dari para sahabatnya yang memuji kepribadian dan intelektualnya. John S. Badeau menggambarkan Jeffery, sebagai seorang pendeta Gereja Metodis yang sangat kuat keagamaannya. Bahkan kajiannya pada Islam sangat diwarnai dengan ke-kristenan-nya.[10] Tidak heran jika ia dengan ringan menghina Rasulullah saw. dan memutar-balikkan serta memanipulasi fakta tentang sejarah al-Qur’an, sebagaimana yang akan terlihat dalam uraian selanjutnya.

III. Arthur Jeffery dan Usahanya

Jeffery mulai menggeluti gagasan kritis-historis al-Qur’an sejak tahun 1926. Ia menghimpun segala jenis berbagai varian tekstual yang bisa didapatkan dari berbagai sumber seperti buku-buku tafsir, hadits, kamus, qiro’ah, karya-karya filologis dan manuskrip. Semua ini dilakukannya untuk merealisasikan gagasan ambisiusnya yaitu, membuat al-Qur’an Edisi Kritis (a critical edition of the Koran). Dalam fikiran Jeffery, gagasan ambisius ini bisa direalisasikan dengan dua hal; pertama, menampilkan hadits-hadits mengenai teks al-Qur’an; kedua, menghimpun dan menyusun segala informasi yang tersebar di dalam seluruh kesusastraan Arab, yang berkaitan dengan varian bacaan (varratio lection) yang resmi dan tidak resmi tentang kritis-historis al-Qur’an.

Untuk mewujud gagasan ambisius itu, Jeffery menggalang kerjasama dengan Professor Gotthelf Bergstrasser. Mereka berangan-angan dapat memuat terobosan baru dalam studi sejarah teks al-Qur’an. Caranya dengan bekerja keras menghimpun segala informasi dan sumber yang ada mengenai al-Qur’an. Akan tetapi, usaha mereka buyar karena segala bahan yang telah mereka kumpulkan di Munich sehingga mencapai 40.000 naskah, musnah terkena bom tentara sekutu pada Perang Dunia II. Meratapi peristiwa yang sangat kelam ini, Jeffery mengatakan : 

Seluruh tugas kolosal harus dimulai lagi dari awal. Jadi, amat sangat diragukan jika generasi kita akan melihat kesempurnaan teks al-Qur’an edisi kritis yang sebenarnya.”[11]

Sekalipun proyeknya hancur, Arthur Jeffery tetap gigih mengkaji sejarah al-Qur’an hingga akhir hayatnya. Ia tetap pada prinsip awal untuk membuat al-Qur’an edisi kritis. Hal ini bisa terlihat dari beberapa karyanya yang mengkritik al-Qur’an dari beberapa aspek untuk memuluskan gagasan al-Qur’an edisi kritisnya. Sehingga dari sinilah ia akan masuk pada tujuan utamanya yaitu bahwa al-Qur’an yang ada pada umat Islam sekarang tidak sempurna dan tidak suci seperti anggapan mereka. Menurutnya, ditinjau dari sejarah, al-Qur’an penuh dengan campur tangan manusia dan budaya di masa pengkodikfikasiannya.

IV. Kritik Jeffery Terhadap Beberapa Aspek Dalam Al-Qur’an dan Tanggapan Atasnya
 
1. Kritik Terhadap Bahasa Arab Al-Qur’an

Jeffery mengklaim bahwa tafsir Al-Qur’an yang sudah ada tidak kritis dan belum memuaskan karena tidak memuat pengaruh bahasa asing. Dalam pandangan Jeffery, Al-Qur’an terpengaruh berbagai bahasa asing seperti Ethiopia, Aramaik, Ibrani, Syriak, Yunani kono, Persia, dan bahasa lainnya. Jadi, kosa kata yang ada di dalam Al- Qur’an mengambil istilah-istilah dari Yahudi, Kristen dan budaya lain. Jika pengaruh kosa kata asing di dalam Al-Qur’an bisa dieksplorasi, Jeffery berharap maka kamus Al-Qur’an yang memuat sumber-sumber filologis, epigrafi, dan analisa teks akan bisa diwujudkan. Kamus tersebut akan digunakan untuk meneliti secara menyeluruh kosa kata Al-Qur’an. Dalam benak Jeffery, kamus Al-qu’an tersebut bisa dibandingkan dengan kamus (Worterbuch) ynag sudah digunakan untuk Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Kajian Jeffery mengenai pengaruh kosa kata asing di dalam Al-Quran diterbikan pada tahun 1938, dengan judul The ForeignVocabulary of the Qur’an (kosa kata asing Al-Qur’an). Di dalam karya tersebut, Jeffery membahas sekitar 275 kata di dalam Al-Qur’an yang dia anggap berasal dari kosa kata asing.

Pendekatan filologis dan histories yang dilakukan Jeffery bukan baru. Ini sudah dilakukan sebelumnya oleh para orientalis lain seperti Rabbi Abraham Geiger (1810-1874), Theodor Noldeke, F.Schwally, S. Fraenkel dan Hartwig Hirschfeld. Geiger berpendapat bahwa Al-Qur’an memuat kosa kata Ibrani, hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin, peraturan-peraturan hukum dan moral, pandangan tentang kehidupan, kisah-kisah yang ada di dalam Al-Qur’an diambil dari agama Yahudi. Mengenai ayat-ayat di dalam AlQur’an yang mengecam Yahudi, Geiger dengan seenaknya menafsirkan bahwa Muhammad yang menyimpang dan salah satu paham tentang doktri-doktrin agam Yahudi. Usaha Geiger, dipuji, dipuja, dan diamini oleh Noldeke. Orientalis lain seperti S.Fraenkel menulis sebuah buku tipis dalam bahasa latin dengan berjudul De Vocabulis in antiques Arabum carminibus et in Corano peregrines (mengenai kosa kata asing dalam puisi arab kuno dan di dalam Al- Qur’ an)(1880). Fraenkel juga menulis sebuah buku yang berjudul Die Aramaischen Fremworter im ArAbischen (kosa kata Aramaik di dalam Bahasa Arab, terbit tahun 1886). Hartwig Hirschfeld juga memfokuskan betapa pentingnya melacak kosa kata asing (Fremdworter) Al-Qur’ an. Menurut Hirshfeld, kajian filologis akam membuka wawasan tentang orisinalitas Islam.

Salah satu tujuan yang ingin ditonjolkan oleh Jeffery dan orientalis tersebut dengan menggunakan pendekatan filologis terhadap Al-Qur’an adalah untuk menyimpulkan bahwa kosa kata dan isi ajaran Al-Qur’an diambil dari tradisi kitab suci yahudi, Kristen, dan budaya lain. Muhammad meminjam, mengubah, dan menggunakan istilah-istilah asing tersebut untuk disesuaikan dengan kepentingannya.

Analisa filologis Jeffery membuka jalan bagi Ephraem Malki, seorang fanatic Kristen Ortodoks Syiria, berasalo dari Lebanon, namun berwarganegara Jerman, yang menggunkan nama samaran Christoph Luxenberg. Luxenberg menggunakan kajian filologis mendekonstruksi olentisitas Mushaf ‘Uthman. Ia berpendapat bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Syiria-Aramik. Bukan bahasa Arab. Ia mengklaim bahwa Al-Qur’an hanya bisa dimengerti lebih baik dan lebih akurat kalau dibaca sesuai dengan bahasa asalnya, yaitu Syiria-Aramik, sebagaimana terungkap dalam bukunya yang berjudul “Cara membaca Al-Qur’an dengan bahasa Syria-Aramik: Sebuah sumbangsih upaya pemecahan kesulitan memahami bahasa Al- Qur’an (Die syro-aramaeische lesart desw Koran:Ein Beitrag zur Entschbluesselung der Koranprache).

Asumsi Jeffery dan para orientalis itu keliru karena menganggap tidak ada yang baru did alma Al- Qur’an. Persamaan kosa kata Al- Qur’an dengan bahasa lain tidak mengharuskan bahwa Al-Qur’an terpengaruh dengan bahasa-bahasa lain. Walhal, kaosa kata bisa saja sama, namun konsepnya berbeda. Islam membawa makna baru karena justru mengkritik ajaran Yahudi dan Kristen yang telah terdistrosi. Islam menyempurnakan kekurangan dan kesalahan yang ada di dalam agama tersebut. Jadi, sejumlah kosa kata asing beserta ajaran mengenai agama Yahudi dan Kristen telah di-Islam-kan, dalam artian telah diisi dengan makna dan ajaran baru dari Islam. Nampaknya, para orientalis ingin mengembalikan makna di dalam Al-Qur’an kepada ajaran Yahudi-Kristen. Disini jelas bahwa asumsi mereka salah atau mereka mempunyai kepentingan disebalik asumsi mereka itu.[12]

Bahasa Arab Al-Qur’an adalah bahasa Arab dalam bentuk baru. Sekalipun kata-kata yang sama di dalam Al-Qur’an telah digunakan pada zaman sebelum Islam, kata-kata tersebut tidak berarti memiliki peran dan konsep yang sama. Al-Qur’an telah mengislamkan struktur-struktur konseptual, bidang-bidang semantic dan kosa kata – khususnya istilah-istilah dan konsep-konsep kunci yang digunakan untuk memproyeksikan pandangan hidup islam. kata penghormatan (muruwwah) dan kemuliaan (karamah) sudah ada sebelum islam kata-kata tersebut sangat terkait dengan memiliki banyak anak, harta, dan karakter yang merefleksikan kelakian Al-Qur’an merubah semua ini dengan sangat mendasar dengan memperkenalkan faktor kunci, ketakwaan (taqwq). Al-Qur’an menyebutkan; “Sesungguhnya ynag paling Mulia di sisi Tuhan-mu adalah orang yang paling bertakwa”. Selain itu, orang-orang arab sebelum islam tidak pernah menghubungkan kemuliaan dengan buku-buku, kata-kata (words or speech), sekalipun mereka sangat menghargai kemampuan mengarang dan membaca puisi. Al- Qur’an menghasilkan perubahan semantic yang dasar ketika kemuliaan diasosiasikan dengan kitab suci Al-Qur’an; kitab karim, atau dengan perkataan yang baik kepada orang tua (qawl karim). Contoh lain terjadi juga pada kata persaudaraan (ikhwah), yang berkonotasi kekuatan dan kesombongan kesukuan, yang terkait dengan darah, dan tidak merujuk kepada makna lain. Al- Qur’an lagi-lagi mengubah ini dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun atas dasar keimanan, yang lebih tinggi dari pada pesaudaraan darah.[13]

Sebagai contoh lain, kata Allah sudah ada sebelum Islam datang. Ayahanda Rasulullah saw bernama’Abdullah. Namun ketika Islam mengenalkan Allah, makna kata tersebut bertentangan dengan makna kata Allah sebelum Islam datang. kata Allah, setelah datangnya Islam, telah mengalami perubahan makna yang sangat fundamental. Mengembalikan makna kata Allah kepada zaman sebelum Islam, bisa berarti kemusyrikan.

2. Kritik Terhadap Sejarah al-Qur’an

Jeffery mengkaji sejarah al-Qur’an “secara kritis”. Ia dengan sembrono menyamakan al-Qur’an dengan kitab-kitab suci yang lain. Menurut Jeffery, sejarah al-Qur’an itu sama saja dengan sejarah kitab-kitab suci lainnya. Al-Qur’an berkembang melalui tahap-tahap sejarah teks sehingga muncul menjadi teks standar yang selajutnya dianggap suci.

Jeffery menolak pendapat kaum muslimin yang menyatakan ketika Rasulullah saw. wafat, teks al-Qur’am sudah tetap, sekalipun belum dihimpun dalam sebuah Mushaf. Jeffery juga menolak pendapat kaum muslimin yang mengatakan bahwa teks yang dikumpulkan Zayd pada zaman Khalifa Abu Bakr adalah teks revisi resmi (an official recension of the text). Dalam pandangan Jeffery, teks tersebut merupakan koleksi pribadi dibuat untuk Khalifah Abu Bakar.

Jeffery berpendapat selain Zayd, para Qurra’ yang lain mengumpulkan qiro’ah dalam beragam Mushaf. Diantaranya, Salim Ibn Mu’qib, Ali Ibn Abi Thalib, Anas Ibn Malik, Abu Musa al-Asy’ari, Ubay Ibn Ka’ab, dan Abdullah Ibn Mas’ud. Beragam Mushaf sudah beredar di berbagai wilayah, Mushaf Miqdad ibn al-Aswad, yang berdasarkan kepada Mushaf ibn Mas’ud, beredar di Damaskus. Mushaf ibn Mas’ud digunakan di Kufah. Mushaf Abu Musa al-Asy’ari di Basra dan Mushaf Ubay ibn Ka’ab di Syria. Mushaf-Mushaf tersebut berbeda dengan Mushaf Utsmani. Jadi, ketika Mushaf Utsmani dijadikan satu teks standart yang resmi dan digunakan di seluruh wilayah kekuasaan Islam, maka kanosisasi tersebut tidak terlepas dari alasan-alasan politis (political reason).[14]

Keuntungan politis apa yang diraih oleh Khalifah Utsman dengan menjadikan Mushaf Utsmani sebagai teks standart sama sekali tidak diungkap oleh Jeffery. Dari sisi politis, tindakan standarisasi justru bisa menimbulkan masalah politis bagi Khalifah Utsman. Jadi, tindakan Khalifah Utsman melakukan standarisasi lebih tepat dimaknai sebagai langkah untuk menghindari berbagai kesalahan yang akan terjadi pada al-Qur’an, di dalam Mushaf-Mushaf tersebut. Jika pendapat Jeffery diikuti, maka berbagai Mushaf tersebut dibiarkan beredar, sekalipun Mushaf yang satu berbeda dan bertentangan dengan Mushaf yang lain. Pengalaman Jeffery dalam melihat Bibel yang berbeda versi antara satu dengan yang lainnya ingin disuntikkan ke dalam tubuh sejarah al-Qur’an. Pandangan Jeffery tentu salah, sebab tindakan yang diambil oleh Khalifah Utsman termotivasi untuk mempertahankan kebenaran otentisitas al-Qur’an, bukan karena alasan-alasan politis. Selain itu, justru Mushaf-Mushaf yang beredar belum melalui proses ilmiah. Sebab itu juga, antara satu Mushaf dengan Mushaf lainnya terjadi banyak perbedaan. Anggapan Jeffery, bahwa para Qurra’ sangat menentang kebijakan standarisasi Mushaf Utsmani, adalah anggapan yang tidak berdasar. Fakta sejarahnya sangat jelas bahwa para sahabat saat itu menerima dengan senang hati keputusan Utsman untuk melakukan standarisasi. Menurut Mus’ab ibn Sa’ad, tak seorangpun dari Muhajirin, Anshor, dan orang-orang berilmu mengingkari keputusan Khalifah Utsman.[15]

3. Kritik Terhadap Rasm Utsmani

Jeffery juga berpendapat bahwa Mushaf Utsman merupakan teks konsonan yang gundul. Titik yang membedakan konsonan, vocal serta tanda-tanda ortografis yang lain tidak ada. Dalam pandangan Jeffery, gundulnya aksara di dalam Mushaf Utsmani menjadi penyebab perbedaan qiro’ah. Pendapat Jeffery menggemakan kembali pendapat yang sudah dikemukakan sebelumnya oleh Noldeke, Schwally, Goldzhier dan yang lainnya.[16]

Pendapat para orientalis bahwa scriptio defectiva, sebagai penyebab perbedaan qiro’ah tidak tepat. Ilmu qira’ah yang benar (ilmu seni baca AI-Qur’an secara tepat) diper­kenalkan oleh Nabi Muhammad saw. sendiri, suatu praktik (sunnah) yang me­nunjukkan tata cara bacaan setiap ayat. Aspek ini juga berkaitan erat dengan kewahyuan AI-Qur’an: Teks Al-Qur’an telah diturunkan dalam bentuk ucapan lisan dan dengan mengumumkannya secara lisan pula berarti Nabi Muhammad saw. secara otomatis menyediakan teks dan cara pengucapannya pada umatnya. Kedua-duanya haram untuk bercerai.

`Um.ar ibn al-Khattab dan Hisham ibn Hakim suatu saat berbeda di dalam qira’ah sebuah ayat dari al-Furqan. `Umar yang telah mempelajari ayat tersebut langsung dari Rasulullah saw, bertanya kepada Hisham siapa yang mengajarkannya. Hisham menjawab: “Rasulullah saw.” Kemudian mereka pergi bertemu Rasulullah saw dan melaporkan permasalahan yang dihadapi. Ketika kedua-duanya menyampaikan bacaan masing-masing, Rasulullah saw mengatakan bahwa kedua­ duanya tersebut adalah benar.[17] Tidak ada seorang sahabat yang berani mengada-ada membuat bacaan sendiri, semua bacaan sekecil apa pun merupakan warisan Nabi Muhammad.

Kesatuan dialek yang sudah dibawa Nabi saw. sewaktu masih di Mekah mulai sirna setibanya di Madinah. Dengan meluasnya ekspansi Islam melintasi belahan wilayah Arab lain dengan suku bangsa dan dialek baru, berarti berakhirnya dialek kaum Quraish yang dirasa sulit untuk dipertahankan. Dalam kitab sahihnya, Muslim mengutip hadith berikut ini:

Ubayy bin Ka’b melaporkan bahwa ketika Nabi sawberada dekat lokasi banu Ghifar Malaikat Jibril datang dan berkata, “Allah telah menyuruh kamu untuk membaca Al-Qur’an kepada kaummu dalam satu dialek,” lalu Nabi bersabda, “Saya mohon Ampunan Allah. Kaumku tidak mampu untuk itu” lalu Jibril datang lagi untuk kedua kalinya dan berkata, “Allah telah menyuruhmu agar membacakan Al-Qur’an pada kaummu dalam dua dialek,” Nabi Muhammad lalu menjawab, “Saya mohon ampunan Allah. Kaumku tidak akan mampu melakukannya,” Jibril datang ketiga kalinya dan berkata, “Allah telah menyuruhmu untuk membacakan Al-Qur’an pada kaummu dalam tiga dialek,” dan lagi-lagi Nabi Muhammad saw berkata, “Saya mohon arnpunan Allah, Kaumku tidak akan mampu melakukannya,” Lalu Jibril datang kepadanya keempat kalinya dan menyatakan, “Allah telah mengizinkanmu membacakan Al-Qur”an kepada kaummu dalam tujuh dialek, dan dalam dialek apa saja mereka gunakan, sah-sah saja.”

Ubayy (bin Ka’b) juga melaporkan. Rasulullah bertemu Malaikat jibril di Batu Mira’ (di pinggiran Madinah, dekat Quba) dan berkata kepadanya, ” Saya telah diutus kepada suatu bangsa buta huruf, di antaranya, orang tua miskin, nenek-nenek, dan juga anak-anak,” Jibril menjawab, “Jadi suruh saja mereka membaca Al-Qur’an dalam tujuh dialek (ahruf).”

Lebih dari dua puluh sahabat telah meriwayatkan hadith yang mengukuhkan bahwa Al-Qur’an telah diturunkan dalam tujuh dialek. Di sini kita tambahkan bahwa ada empat puluh pendapat ilmuwan tentang makna ahruf (secara literal: huruf-huruf). Beberapa dari kalangan mereka mengartikannya begitu jauh, tetapi kebanyakan sepakat bahwa tujuan utama adalah memberi kemudahan membaca Al-Qur’an bagi mereka yang tidak terbiasa dengan dialek orang Quraish. Konsesi diberikan melalui anugerah Allah

Sebelumnya telah kita lihat bagaimana dialek yang berlainan telah memicu perselisihan pada dasawarsa berikutnya, di mana mempercepat langkah ‘Uthman menyiapkan sebuah Mushaf dalam dialek orang Quraish. Akhirnya, jumlah semua ragam bacaan yang terdapat dalam kerangka lima Mushaf resmi tidak lebih dari empat.puluh karakter, dan seluruh pembaca yang ditugaskan mengajar Al-Qur an wajib mengikuti teks Mushaf tersebut dan agar meneliti sumber otoritas dari mana mereka mempelajari bacaan sebelumnya. Zaid bin Thabit, orang yang begitu penting dalam pengumpulan Al-Qur’an, menyatakan bahwa (“Seni bacaan (qira’at) Al-Qur’an merupakan sunnah yang mesti dipatuhi dengan sungguh-sungguh”).

Variasi adalah suatu istilah yang saya sebenarnya kurang begitu sreg memakainya. Dalam masalah tertentu, istilah itu secara definitif dapat memberi nuansa akan ketidakpastian. Jika pengarang asli menulis satu kalimat dengan caranya sendiri, kemudian rusak akibat kesalahan dalam menulis lalu kita perkenalkan prinsip ketidakpastian, akhirnya penyunting yang tak dapat mem­bedakan mana yang betul dan mana yang salah, akan meletakkan apa yang ia sangka sesuka hatinya ke dalam teks, sedangkan lainnya dimasukkan ke dalam catatan pinggir. Demikian halnya dengan masalah variasi (ragam bacaan). Akan tetapi masalah Al-Qur’an jelas berlainan karena Nabi Muhammad saw. satu-satunya khalifah Allah sebagai penerima wahyu dan transmisinya, secara pribadi mengajarkan ayat-ayat dalam banyak cara. Di sini tak ada dasar keragu­-raguan, tak terdapat istilah kabut hitam maupun kebimbangan, asal kata `varian’ tampak gagal dalam memberi arti yang masuk akal. Kata multiple jauh lebih dapat memberi penjelasan akurat, oleh karena itu, di sini saya hendak meng­giring mereka pada pemakaian “multiple reading’ (banyak bacaan). Salah satu alasan yang melatarbelakangi fenomena ini adalah adanya perbedaan dialek dalam bahasa Arab yang perlu diberi tempat selekas mungkin, seperti telah kita bicarakan di atas. Alasan kedua dapat jadi merupakan sebuah upaya mem­perjelas masalah dengan cara yang lebih baik, beberapa makna yang tersirat dalam ayat tertentu dengan menggunakan dua kata, yang semuanya muncul resmi dari perintah Allah swt. Contoh yang sangat jelas dalam hal ini adalah Surah al-Fatihah, di mana ayat ke empat dibaca malik (Pemilik) atau malik (Raja) di hari pembalasan. Kedua-dua kata tadi diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. dan oleh karena itu menjadikannya bacaan yang banyak (multiple), bukan beragam (variant).[18]

Sekiranya pendapat Jeffery dan orientalis yang lain benar bahwa disebabkan tidak ada titik dan harokat menjadi penyebab utama perbedaan qiroa’ah, maka Mushaf Utsman akan memuat mungkin jutaan masalah qiro’ah, namun ini tidak terjadi. Selain itu, argumentasi mereka juga salah karena para Qurra’ banyak sekali yang sepakat dengan qiro’ah dalam ortografi yang sama.[19]

4. Mereka-reka al-Qur’an Versi Baru

Melanjutkan kritikan kepada Mushaf `Uthmani yang diya­kini kaum Muslimin sebagai teks orisinal (urtext), Arthur Jeffery dan orientlis lainnya menganggap al-Hajjaj ibn Yusuf al-Thaqafi ketika menjadi Gubernur di Iraq (75/694-95/ 714) telah merubah Al-Qur’an yang telah dikanonisasikan `Uthman ra. Mingana, misalnya, berpendapat bahwa al-Hajjaj telah menghilangkan berbagai ayat yang seharusnya ada di dalam Al-Qur’an. Sumber yang dijadikan panduan oleh Mingana adalah pendapat Casanova.

Melanjutkan kritikan para orientalis sebelumnya, Jeffery berpendapat al-Hajjaj telah membuat Qur’an edisi baru. Me­nurut Jeffery, teks yang diterima kaum Muslimin saat ini ada­lah bukan berdasarkan versi `Uthman, tapi versi al-Hajjaj ibn Yusuf. (… textus receptus is not based on the Recension of `Uthman, but on that of al-Hajjaj ibn Yusuf). Kritikan Jeffery berdasarkan informasi yang didapatkannya dari Kitab al-Masahif, surat-menyurat antara Khalifah Umayyah, `Umar Kedua dengan Kaisar Bizantium Leo III dan risalah `Abd al­Masih al-Kindi.

Memang ada dua athar di dalam Kitab al-Masahif yang menyebutkan bahwa al-Hajjaj telah merubah sebelas huruf dari Mushaf `Uthman. Athar Pertama, `Abdullah → Abu Hatim al-Sijistani → `Abbad ibn Suhayb → `Awf ibn Abi Jamilah bah­wa al-Hajjaj ibn Yusuf telah merubah sebelas huruf di dalam Mushaf `Uthmani.
 
Athar Kedua, Abu Bakr berkata: telah ada di dalam buku ayahku, seorang lelaki berkata kepada kami; maka aku ber­tanya kepada ayahku siapa dia, maka ayahku berkata: “`Abbad ibn Suhayb mengatakan kepada kami dari `Awf ibn Abi Jamilah bahwa al-Hajjaj ibn Yusuf telah mengubah sebe­las huruf di dalam Mushaf `Uthmani.”
Mengomentari lebih lanjut tindakan al-Hajjaj, Jeffery me­nyatakan:

“Perbuatan al-Hajjaj menghasilkan edisi Al-Qur’an yang sama sekali baru dan al-Hajjaj memerintahkan supaya sajinan-salinan teksnya yang baru dikirim ke pusat metropolitan. Bagaimanapun, ketika kami memeriksa periwa­yatan aktivitas al-Hajjaj dalam masalah ini, kami terkesima menemukan bukti fakta yang kukuh menunjukkan bahwa karyanya tidak terbatas kepada menetapkan teks AI-Qur’an secara lugas dengan himpunan titik yang me­nunjukkan bagaimana teks tersebut dibaca, namun tampaknya ia telah membuat edisi AI-Qur’an yang sama se­kali baru, dan selanjutnya mengirimkan salinan-salinan teks baru tersebut ke pusat-pusat metropolitan dan memerintahkan untuk menghancurkan salinan-salinan terdahulu yang ada disana, sebagaimana yang telah dilakukan ‘Uth­man sebelumnya. Lagi puia, teks baru yang disebarkan oleh al-Hajjaj kelihatannya telah mengalami kurang lebih perubahan-perubahan yang ekstensif. “

Sangat disayangkan, Jeffery sama sekali tidak memeriksa informasi yang ada di dalam Kitab al-Masahif. Padahal ‘Abbad ibn Suhayb di kalangan para ahli hadith termasuk se­orang yang ditinggalkan (ahad min al-matrukin). Menurut Ibn Hibban, `Abbad adalah pendakwah Qadariyah, dan ia masih meriwayatkan banyak hal apabila seorang pemula da­lam bidang ini (hadith) mendengar riwayat tersebut, Ia akan menyaksikan riwayat tersebut sebagai palsu (kana qadariyyan da ‘iyan ila al-qadar wa ma ‘a dzalika yarwi al-manakir ‘an al­mashahir allati idza sami ‘aha al-mubtadi’ fi hadhihi al-sina ‘ah shahida laha bi al-wad ‘). Ibn Hibban memberi contoh dua hadith yang diriwayatkan oleh ‘Abbad ibn Suhayb. Salah satu­nya adalah Rasulullah saw. pernah bersabda: “Warna biru di dalam mata adalah tanda keberuntungan.” (al-zurqah fi al-‘ain yumn).

Ibn ‘Adiyy menyatakan: ” ’Abbad Ibn Suhayb punya ba­nyak tulisan dan hadith banyak mengenai orang-orang yang dikenal dan yang lemah dan jelas hadithnya lemah, sekalipun begitu ia menulis hadithnya.”(wa li’abbad tasanifkathirah wa hadith kathir ‘an al-ma ‘rufin wa ‘an al-du ‘afa’ wa yatabayyan ‘ala hadithihi al-du ‘f wa ma ‘a du ‘fihi yaktub hadithahu).

Al-Dhahabi, mengikuti pendapat al-Bukhari, al-Nasai dan yang lain menyatakan hadith dari `Abbad Ibn Suhayb diting­galkan (matruk).Lisan al-Mizan memuat berbagai pendapat para muhaddithun yang menyatakan bahwa ‘Abbad ibn Suhayb adalah ahad min al-matrukin. Selain `Abbad, sanad lain yang juga bermasalah adalah `Auf ibn Abi Jamilah. Sekalipun ia thiqah (terpercaya), namun punya kecenderungan Syiah dan anti Umayyah. Al-Hajjaj, sebagai salah seorang tokoh Umayyah, wajar saja menjadi tar­get `Auf ibn Abi Jamilah. Ibn Hajar di dalam

Selain itu, isu mengenai perubahan yang dilakukan oleh al-Hajjaj terhadap Mushaf `Uthmani menunjukkan perbedaan qira’ah. Bagaimanapun, disebabkan ada diantara qira’ah tersebut yang satu orangpun tidak ada yang membacanya, maka tuduhan yang dilemparkan kepada al-Hajjaj tidaklah benar. Masih banyak lagi argumentasi lain yang menunjukkan, anggapan al-Hajjaj telah mengubah mushaf `Uthmani adalah tidak berdasar sama sekali.

Pertama, al-Hajjaj setia kepada `Uthman. Ia tidak akan memaafkan orang yang membunuh `Uthman. Ia akan mem­bela Mushaf `Uthmani dari segala bentuk perubahan. Kedua, pada zaman al-Hajjaj, Mushaf `Uthmani sudah tersebar diberbagai daerah dan al-Hajjaj adalah salah seorang dari Gubernur di Kufah di zaman kekhalifahan ‘Abdul Malik ibn Marwan (684-704 M), yang menguasai daerah yang lebih luas. Seandainyapun, al-Hajjaj sanggup mengubah berbagai salinan di daerah kekuasannya, Kufah, ia tidak akan sanggup mengubah semua salinan yang ada di daerah lain seperti Mekkah, Medinah dan Syam. Ini belum termasuk yang dihafal kaum Muslimin. Al-Hajjaj tidak bisa mengubah apa yang sudah dihafal oleh kaum Muslimin. Ketiga, seandainya al­Hajjaj mengubah Mushaf `Uthman, maka tentu umat akan akan bangkit untuk melawan. Keempat, dinasti Abbasiah, yang didirikan di atas reruntuhan dinasti Umayyah, telah banyak mengubah kebijakan yang sudah dibuat sebelumnya oleh dinasti Umayyah. Seandainya al-Hajjaj dari Bani Umayyah mengubah Al-Qur’an, dinasti Abbasiah akan mengeksp­loitasi isu tersebut untuk menghantam al-Hajjaj secara khusus atau Bani Umayyah, secara umum. Namun, isu seperti itu tidak pernah muncul.

Sejarawan Muslim seperti Ibn Khallikan (608-681 H), memang menyebutkan peran al-Hajjaj dalam memberikan tanda-tanda diaktritis kepada ortografi Mushaf `Uthmani. Namun, tidak seorangpun baik Ibn Khallikan atau sejarawan Muslim yang lain menuduh al-Hajjaj telah mengubah sebelas tempat dari Mushaf `Uthmani.[20]

5. Mengecam Standarisasi Teks

Meneruskan kritikannya terhadap standarisasi teks Mus­haf `Uthman, Jeffery berpendapat bahwa keragaman qira’ah lambat laun mengalami pembatasan karena tekanan politis. Jeffery mengecam pembatasan ikhtiyar (the limitation of ikhitiyar) yang dilakukan oleh sultan Ibn Muqla (m. 940 M) dan sultan Ibn `Isa (m. 946 M) pada tahun 322 H. Menurut Jeffery, para penguasa tersebut bertindak atas desakan dan rekayasa Ibn Mujahid (m. 324/936 M). Padahal, dalam pan­dangan Jeffery, pada periode awal Islam, keragaman qira’ah itu beragam dan tumbuh subur sebagaimana terungkap dalam berbagai mushaf.

Melanjutkan kritikannya terhadap pembatasan ikhitiyar, yang menandai babak baru dalam sejarah teks Al-Qur’an, Jeffery berpendapat sebenarnya Ibn Shannabudh di Baghdad (m. 328/939) dan ibn Miqsam (m. 362 H) menentang pem­batasan tersebut. Namun, akhirnya nasib mereka ditindas dan dipaksa untuk bertobat karena qira’ahnya berbeda dengan Mushaf `Uthmani. Jeffery mengkritik pilihan Ibn Mujahid terhadap tujuh sistem qira’ah, yaitu; Nafi’ (m. 169) dari Medinah; Ibn Kathir (m. 120) dari Mekkah; Ibn `Amir (m. 118) dari Syiria; Abu Amr (m. 154) dari Basrah; `Asim (m. 128); Hamzah (m. 158) dan al-Kisa’i (m. 182) dari Kufah. Menurut Jeffery, pilihan Ibn Mujahid terhadap tujuh sistem tersebut mengalami peno­lakan dan penentangan. Tanpa mengidentifikasi siapa yang menolak, Jeffery selanjutnya mengatakan bahwa sebagian menolak karena tiga sistem berasal dari Kufah, dan ingin supaya salah seorang dari mereka diganti oleh Qurra’ dari tempat lain. Khususnya, posisi al-Kisa’i perlu diganti. Da­lam pandangan Jeffery, Ibn Mujahid sepertinya memilih al­Kisa’i karena secara pribadi lebih suka kepadanya (personal predilection). Padahal, secara umum qira’ahnya mengikuti Hamzah. Kalaupun qira’ahnya berbeda dari Hamzah, maka perbedaan qira’ah tersebut hampir tidak ada yang penting. Jeffery juga menyebutkan pendapat bahwa al-Kisa’i sepatut­nya diganti dengan Ya’qub (m. 205 H) dari Basrah. Selain itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa Khalaf (m. 229 H) dari Kufah atau Abu Ja`far dari Medinah (m. 130 H) lebih se­suai untuk menggantikan posisi al-Kisa’i.

Selain itu, Jeffery berpendapat Ibn Mujahid telah mene­kan qira’ah yang lain seperti tiga qira’ah sebagaimana qira’ah sepuluh. Bahkan, tegas Jeffery, masih terdapat empat qira’­ah lain sehingga semuanya menjadi 14 sistem. Keempat qira’ah yang terakhir adalah Ibn Muhaisin (m. 123) dari Mekkah, al-Hasan (m. 110) dari Basra, al-Yazidi (m. 202) dari Basra dan al-A`mash (m. 148) dari Kufah. Dalam pandangan Jeffery, keempat qira’ah yang terakhir tersebut lebih tepat untuk dimasukkan ke dalam ‘tujuh qira’ah’ dibanding dengan pilihan Ibn Mujahid.

Melanjutkan analisanya terhadap tindakan Ibn Mujahid, Jeffery menyimpulkan terdapat dua kelompok varian bacaan Al-Qur’an. Pertama, varian kanonik, yaitu tujuh varian bacaan yang dikanonisasi oleh Ibn Mujahid, dan kedua, varian qira’ah yang otoritasnya lebih rendah yaitu sepuluh qira’ah dan yang bukan kanonik, meliputi semua varian yang lain (shawadhdh). Dalam pandangan Ibn Mujahid, empat qira’ah yang menjadikan empat belas sangat dekat untuk diakui sebagai kanonik. Selain itu, Jeffery juga menunjukkan sebenarnya terdapat sejumlah perbedaan mengenai varian bacaan di dalam masing-masing sistem dari yang tujuh itu. Bagaimanapun, pada abad berikutnya, setiap qira’ah dari tujuh qira’ah hanya dua jalur yang dipilih sebagai tradisi ortodoks. Ketika dibukukan, sistem tersebut menjadi:
Nafi` menurut Warsh (m. 197 H) dan Qalun (m. 220 H).
Ibn Kathir menurut al-Bazzi (m. 270 H) dan Qunbul (m. 280 H).
Ibn `Amir menurut Hisham (m. 245 H) dan Ibn Dhakwan (m. 242 H).
Abu `Amr menurut al-Duri (m. 250 H) dan al-Susi (m. 261).
‘Asim menurut Hafs (m. 190 H) dan Abu Bakr (m. 194 H).
Hamzah menurut Khalaf (m. 229 H) dan Khallad (m. 220 H).
Al-Kisa’i menurut al-Duri (m. 246 H) dan Abu al-Harith (m. 261).

Melanjutkan komentarnya, Jeffery berpendapat dari se­mua sistem tersebut, hanya sistem Warsh dari Nafi`, Hafs dari ‘Asim dan al-Duri dari Abu ‘Amr yang mendapat sambutan yang luas, dan karena alasan-alasan yang tidak jelas, sistem Hafs dengan cepat mengatasi semua sistem yang lain untuk menjadi textus receptus bagi kaum Muslimin. Sistem Hafs digunakan di mana-mana kecuali di Afrika Utara dari Tripoli ke Moroko.

Pendapat Jeffery mengenai Ibn Mujahid perlu dicermati dengan serius.

Pertama, pendapat Jeffery yang menyalahkan tindakan Ibn Mujahid karena membatasi periode ikhtiyar tidaklah tepat. Qira’ah bukanlah berarti membaca AI-Qur’an dengan bebas. Keragaman qira’ah bukanlah hasil dari ikhtiyar, namun adalah berasal dari Rasulullah saw.

Syarat paling utama qira’ah harus memiliki sanad yang bersambung kepada Rasulullah saw. Qira’ah itu harus mengikuti qira’ah yang telah ditentukan oleh Rasulullah saw yang dan diajarkan kepada para sahabat. Al­’Abbas ibn Muhammad ibn Hatim al-Duri mengatakan bahwa Abu Yahya al-Himmani mengatakan kepada kami: al-A’mash dari Habib dari ‘Abdurrahman al-Sulami dari ‘Abdullah ibn Mas’ud menyatakan: “Ikutilah dan jangan kamu mengada-ada maka cukup bagimu.” (Ittabi ‘u wa la tabtadi ‘u faqad kufitum). Hudhaifah berkata: “Bertakwalah wahai para qari, dan ambil­lah jalan yang telah ditempuh sebelummu, demi Allah jika kamu benar-benar istiqamah maka kamu telah melakukan perbuatan yang dampaknya jauh, dan jika kamu meninggalkannya, kamu telah sesat dengan kesesatan yang jauh.” (Ittaqu ya ma ‘ashara al-qurra’, wa khudhu tariq man kana qablakum fa wallah lain istaqamtum laqad subiqtum sabqan ba ‘idan, walain taraktumuhum yaminan wa shimalan laqad dalaltum dalalan ba `idan). `Ali ibn Abi Talib menyatakan: “Sesung­guhnya Rasulullah saw menyuruhmu supaya membaca Al­Qur’an sebagaimana kamu diajarkan.” (Inna Rasu] a]lah salla allah `alayhi wa sallam ya’murukum an taqrau’ AI-Qur’an kama `ullimtum). Abu `Amru ibn al-`Ala menyatakan: “Se­andainya bukan karenanya aku tidak akan membaca selain dengan apa yang telah dibaca aku membaca huruf seperti ini dan itu dan begini dan begitu.”(Law la annahu laysa li an aqra’a illa bima qad quri’a bihi laqaraqtu harfkadha kadha wa harf kadha kadha). Zayd ibn Thabit dari ayahnya berkata: “al-Qira’ah sunnah.” Zayd ibn Thabit dari ayahnya menyatakan: “Qira’ah adalah sunnah, maka bacalah sebagaimana kamu menemukannya.” (al-Qira’ah sunnah, faq­ra’uhu kama tajidunahu). Muhammad ibn al-Munkadir ber­kata: “Qira’ah adalah sunnah yang orang lain mempelajarinya dari orang-orang yang awal. “(al-Qira’ah sunnah ya’khudhuha al-akhar ‘an al-awwal).adalah sunnah, maka bacalah sebagaimana orang-orang terdahu]u telah membacanya. ” (al-Qira’ah sunnah, faqra’u kama qara’a awwalukum). ‘Urwah ibn al-Zubayr berkata: “Sesung­guhnya Qira’ah AI-Qur’an termasuk dari sunnah, maka bacalah sebagaimana kamu diajarkan.” ‘Amir al-Sha`bi menyatakan: “Qira’ah (Innama qira’at AI-Qur’an sunnah min al-sunan, faqra’u kama ‘ulimtumuh).

Jadi, konsep ikhtiyar dalam qira’ah bukanlah sebagai­mana yang dipahami Jeffery, yaitu membaca sesuai keinginan pembaca. Menurut al-Baqillani (m. 403 H), perbedaan diantara para Qurra’, bukan berarti mereka berijtihad dan bebas memilih cara baca apa saja sesuai dengan fikiran, sebagaimana para fuqaha’ yang berijtihad di dalam masalah hukum. Dalam pandangan al-Baqillani, pendapat seperti ini salah karena Al-Qur’an berdasarkan kepada riwayah.

Kedua, pendapat Jeffery membela qira’ah Ibn Shanna­budh dan Ibn Miqsam juga tidak tepat. Ibn Shannabudh mem­baca Al-Qur’an dengan tidak mengikut ortografi Mushaf ‘Uthmani. Ibn Shannabudh mengatakan: “Aku telah membaca huruf-huruf yang bertentangan dengan Mushaf `Uthmani yang telah dihimpun, dan yang qira’ahnya telah disepakati oleh para sahabat Rasulullah saw, kemudian menjadi jelas bagiku bahwasanya itu adalah salah, dan aku bertaubat dari­padanya, dan aku menarik balik, dan aku lepas daripada Allah yang nama-Nya agung, karena Mushaf  ‘Uthmani adalah yang benar yang tidak dibolehkan bertentangan dengannya serta tidak boleh dibaca selain dengannya, dan diantara kitab-kitab­nya, ada sebuah kitab yang Ibn Kathir bertentangan dengan Abu ‘Amru di dalamnya.”[21]

Ibn Shannabudh juga membawa qira’ahnya yang janggal (shadhdh) itu ke dalam shalat dan mengajarkannya kepada orang lain. Sekalipun ia mendasarkan riwayat qira’ahnya ke­pada ‘Abdullah ibn Mas’ud dan Ubayy ibn Ka’b, namun riwayat tersebut bertentangan dengan Mushaf `Uthmani.

Ibn Mujahid (m. 324/935) bukan orang yang pertama mengharuskan qira’ah supaya mengikut ortografi Mushaf ‘Uthmani. Sebelumnya, Malik ibn Anas (m. 179/796) telah menegaskan umat harus mengikuti Mushaf `Uthmani. Menu­rut Imam Malik, siapa saja yang membaca menurut mushaf­ mushaf pribadi, tidak merujuk kepada Mushaf ‘Uthmani, maka orang tersebut tidak boleh menjadi imam ketika sholat. Hal yang sama juga dikemukakan oleh al-Tabari (m. 310/923). Menurut al-Tabari, semua qira’ah harus sesuai dengan ortografi Mushaf `Uthmani dan diriwayatkan dari Rasulullah saw. melalui sanad yang sah.

Setelah Ibn Mujahid, Ibn al-Baqillani (m. 403/1013), Makki ibn Abi Talib (m. 437/1045), al-Dani (m. 444/1052), al-Mahdawi, al-Kawashi, al-Bag-hawi, al-Sakhawi (m. 902/ 1497), Abu Shamah (m. 665/1268), Ibn al-‘Arabi (m. 543/ 1148), Ibn al-Jazari (m. 833/1429), al-Qastalani, al-Zurqani, al-Nuwayri (m. 897/1492), al-Safaqisi (1118/1706), dan lain­lainnya mengharuskan isnad yang sah dan sesuai dengan ortografi Mushaf `Uthmani.

Disebabkan Ibn Shannabudh tidak mengikut ortografi Mushaf `Uthmani, maka Ibn Mujahid membawa masalah tersebut kepada Ibn Muqlah, penguasa di Baghdad pada tahun 323 H. Setelah dibawa ke pengadilan, Ibn Shannabudh mengakui apa yang telah dilakukannya. Para hakim yang hadir pada saat itu memutuskan untuk menghukumnya. Dan selanjutnya, Ibn Shannabudh bertaubat dengan apa yang telah dilakukannya.

Ibn Shannabudh wajar disalahkan karena melanggar ortografi Mushaf ‘Uthmani. Pendapat Ibn Mujahid mengenai masalah ini sama sekali bukan hal yang baru. Ibn Mujahid mengikuti apa yang telah dilakukan oleh para sahabat yang sepakat dengan tindakan ‘Uthman membakar mushaf-mushaf lain. Jadi, menyesuaikan sebuah qira’ah dengan ortografi Mushaf `Uthmani memang merupakan suatu keharusan.lbn Nadim (m. 388/998) memberikan beberapa contoh qira’ah Ibn Shannabudh.

Ibn Mujahid juga menyalahkan qira’ah Ibn Miqsam karena membolehkan sebuah qira’ah boleh dibaca termasuk ketika shalat, asalkan sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan ortografi Mushaf `Uthmani, sekalipun tanpa isnad. Jadi, Ibn Miqsam tidak menjadikan isnad sebagai syarat sah sebuah qira’ah. Padahal isnad adalah syarat utama yang disepakati oleh para ulama (consensus doctorum). Oleh sebab itu, qira’ah Ibn Miqsam dilarang untuk disebarkan. Tapi kemudian, Ibn Miqsam bertobat dan kemudian mengikuti kese­pakatan para ulama.
Selain itu, sikap Ibn Mujahid terhadap Ibn Shannabudh dan Ibn Miqsam didukung oleh para ulama lain. Membiarkan berkembangnya bacaannya Ibn Shannabudh dan Ibn Miqsam akan mengacaukan Al-Qur’an. Jadi, Ibn Mujahid menolak qira’ah Ibn Shannabudh dan Ibn Miqsam karena Ibn Shanna­budh menyepelekan ortografi Mushaf ‘Uthmani dan lbn Miq­sam menyepelekan sanad. Dalam pandangan Ibn Mujahid, sebuah qira’ah itu memiliki syarat-syarat. Tanpa memenuhi syarat-syarat tersebut, maka qira’ah tersebut adalah salah dan tidak dapat diterima.[22]

6. Meruntuhkan Dengan Mushaf-Mushaf Tandingan

Jeffery memperkenalkan istilah baru, yaitu mushaf­ mushaf tandingan (rival codices). Menurut Jeffery, terdapat 15 mushaf primer dan 13 mushaf sekunder. Jeffery berusaha mengeksplorasi kandungan berbagai mushaf tandingan terse­but. Ia mengedit manuskrip Kitab al-Masahif dan meneliti berbagai literatur lainnya untuk melengkapi isi berbagai mus­haf tersebut. Setelah itu, ia menyusun muatan atau isi mushaf tandingan. Menurut Jeffery, banyaknya Mushaf pra-`Uthmani menunjukkan bahwa pilihan `Uthman terhadap tradisi teks Medinah tidak berarti pilihan terbaik. Jeffery menyatakan:  

“Mungkin, sebagaimana telah kita lihat, dengan memilih tradisi teks Medinah untuk kanonisasi, `Uthman telah memilih teks terbaik yang tersedia. Kita tidak pernah mengetahui dengan yakin yang mana kecuali sesuatu yang tidak diduga terjadi dan kita menemukan bagian dari teks­teks tandingan yang dapat dipertimbangkan. Koleksi ber­bagai varian yang masih bertahan dari Mushaf-Mushaf lama adalah satu-satunya cara yang membentuk penilaian lagi mengenai jenis teks yang mereka (Mushaf-Mushaf lama) presentasikan.

Disebabkan berbagai mushaf pra-`Uthmani menjadi sa­ngat penting, maka Jeffery mengedit manuskrip Kitab al­ Masahif, karya Ibn Abi Da’ud Sulaiman al-Sijistani (m. 316/ 928) yang ada di perpustakaan Zahiriyah, Damaskus. Manus­krip ini selesai ditulis tanggal 17 Jumadal al-Akhira pada tahun 682 H, atau bertepatan tahun 1283 M. Menurut Jeffery, Kitab al­ Masahif al-Sijistani sangat penting sekali karena kitab ini satu-satunya kitab yang masih survive dan memuat berbagai mushaf pra-`Uthmani.

Selain Kitab al­ Masahif, Jeffery juga menggunakan ber­bagai buku tafsir, bahasa, adab dan qira’ah untuk merekon­struksi mushaf-mushaf tandingan. Bagaimanapun, ketika menghimpun berbagai varian bacaan, Jeffery tidak mencan­tumkan sanad sama sekali. Sehingga qira’ah yang disebutkan di dalam karyanya sukar untuk menentukan sumbernya. Al-Sijistani sendiri menyatakan qira’ah yang ada tidaklah berarti itu adalah mushaf, apalagi qira’ah tersebut sebagai mushaf tandingan.

Seandainyapun, mushaf-mushaf tersebut dianggap menan­dingi Mushaf `Uthmani, maka sebenarnya mushaf-mushaf tandingan tersebut memiliki berbagai masalah. Oleh sebab itu, mushaf-mushaf tersebut tidak sederajat dengan Mushaf `Uthmani.
 
a. Mushaf `Abdullah ibn Mas`ud

Jeffery mengutip pendapat yang menyebutkan Ibn Mas`ud menolak menyerahkan mushafnya ketika `Uthman mengirim teks standart ke Kufah dan memerintahkan supaya teks-teks yang lain dibakar. Ibnu Mas`ud marah karena teks standart tersebut diprioritaskan. Padahal teks tersebut disusun oleh Zayd ibn Thabit yang jauh lebih muda. Ketika Ibn Mas`ud sudah menjadi Muslim, Zayd masih berada dalam pelukan orang-orang kafir.

Bagaimanapun, Jeffery tidak mengungkap sikap menyelu­ruh dari `Abdullah ibn Mas`ud. Padahal dari kedua buku yang diedit oleh Jeffery, disebutkan bahwa Ibn Mas`ud menimbang kembali pendapatnya yang awal dan akhirnya kembali lagi kepada pendapat `Uthman dan para Sahabat lainnya. Ibn Mas`ud menyesali dan malu dengan apa yang telah dikatakannya.

Mengomentari tidak dimasukkannya Ibn Mas`ud sebagai tim kodifikasi, Ibn Hajar al-`Asqalani berpendapat saat pem­bentukan tim kodifikasi, Ibn Mas`ud tidak berada di Kufah. Padahal, ketika itu `Uthman sangat terdesak untuk memben­tuk tim koditikasi di Medinah.
 
a.1. Mengeluarkan al-Fatihah dari Al-Qur’an

Kritikan Jeffery yang lain adalah mengeluarkan al-Fatihah dari Al-Qur’an. Al-Fatihah baginya bukanlah bagian daripada Al-Qur’an, ia adalah do`a yang diletakkan di depan dan dibaca sebelum membaca Al-Qur’an, sebagaimana kitab-kitab suci yang lain. Jeffery mengatakan: 

“Tentu saja terdapat kemung­kinan al-Fatihah sebagai sebuah doa dikonstruksi oleh Nabi sendiri, tetapi penggunaannya dan posisinya di dalam AI­-Qur’an kita saat ini dikarenakan para penyusunnya, yang menempatkannya, mungkin di halaman awal Mushaf Stan­dar. ” (It is possible, of course, that as a prayer it was con­structed by the Prophet himself, but its use and its position in our present Qur’an are due to the compilers, who place it there, perhaps on the fly-Ieaf of the standart Codex).

Untuk menguatkan argumentasinya, Jeffery berpendapat bukan hanya dari kalangan para sarjana Barat saja yang menyatakan al-Fatihah bukan bagian dari Al-Qur’an. Dari kalangan Muslim  juga ada yang berpendapat demikian, se­perti Abu Bakr al-Asamm (m. 313), sebagaimana yang di­sebutkan oleh Fakhr al-Din al-Razi.

Jeffery mengutip pendapat yang sangat marginal untuk menjustifikasi pendapatnya. Padahal al-Razi sendiri menga­kui bahwa al-Fatihah adalah bagian dari Al-Qur’an. Nama lain dari_al-Fatihah, sebut al-Razi adalah al-Asas karena salah satu alasannya, ia merupakan surat pertama dari Al-Qur’an (annaha awwal surah min Al-Qur’an). Bahkan al-Razi sendiri menolak pendapat yang mengatakan bahwa `Abdullah ibn Mas`ud mengingkari al-Fatihah sebagai bagian dari Al­-Qur’an.

Selain itu, Jeffery mengutip pendapat dari kelompok Syiah, sebagaimana yang disebutkan dalam Tadhkirat al­ A’immah, karya Muhammad Baqir Majlisi. Jeffery melan­jutkan pendapatnya tentang varian bacaan al-Fatihah dengan mengutip berbagai Qurra’.

Pendapat Jeffery sangat lemah. Al-Fatihah adalah surah di dalam Al-Qur’an yang paling sering dibaca dan bagian yang integral dari setiap rakaah. Di dalam sholat yang dapat di­idengar, al-Fatihah dibaca 6 kali dalam satu hari dan 8 kali pada hari Jum’at. Oleh sebab itu, al-Baqillani menyimpulkan Ibn Mas`ud tidak pernah menyangkal bahwa al-Fatihah dan juga surah al-mu `aw-widhatayn adalah bagian dari Al-Qur’an atau orang lain yang salah dengan mengatasnamakan pen­dapat `Abdullah ibn Mas`ud.
 
a.2. Mengeluarkan al-Nas dan al-Falaq dari Al-Qur’an

Jeffery berpendapat `Abdullah ibn Mas`ud menganggap surah al-Nas dan al-Falaq tidak termasuk di dalam Al-Qur’an. Pendapat Jeffery salah karena yang dari murid-murid Ibn Mas`ud seperti `Alqama, al-Aswad. Masruq, al-Sulami, Abu Wa’il, al-Shaibani, al-Hamadani dan Zirr meriwayatkan Al­-Qur’an dari Ibn Mas`ud secara keseluruhan 114 surat. Hanya seorang murid `Asim, yang meriwayatkannya berbeda.

Selain itu juga, Jeffery sendiri mengakui terdapat dua versi yang berbeda mengenai Mushaf Ibn Mas`ud. Versi yang dikemukakan Ibn Nadim di dalam Fihrist berbeda dengan versi al-Suyuti di dalam Itqan. Menurut Jeffery, versi Ibn Nadim tidak lengkap disebabkan daftar tersebut ditulis dengan rusak. Fihrist menyebutkan secara eksplisit ada 110 surah se­mentara di dalam daftar hanya 105 surah. Begitu juga versi yang ada di Itqan. Bukan saja surah 1, 113 dan 114 yang tidak ada, surah 50, 57 dan 69 juga tidak ada. Jadi, simpul Jeffery, versi surah-surah yang ada di Itqan tersebut mungkin terbuang karena kesalahan tulisan (scribal error).

Argumentasi Jeffery sendiri sudah mengungkapkan masih terdapat banyak masalah untuk membuktikan otentisitas Mushaf Ibn Mas`ud itu sendiri. Karena itu, tidaklah tepat un­tuk menganggap bahwa Mushaf Ibn Mas`ud rival apalagi sederajat dengan Mushaf ‘Uthmani. Susunan surah Mushaf Ibn Mas`ud dalam Fihrist dan Itqan juga berbeda. Fihrist misalnya menyebutkan surah 68, setelah surah 56, sedangkan dalam Itqan, setelah surah 56, surah 79. Di dalam Fihrist, sete­lah surah 75, surah 77, sementara di Itqan, surah 75, setelah surah 77. Begitu juga, setelah surah 93, surah 94 di dalam Fihrist, sementara di Itqan, setelah surah 93, surah 86. Selain itu, Ibn Nadim juga menyebutkan bahwa dia sendiri telah melihat al-Fatihah di dalam Mushaf lama Ibn Mas`ud.

Selain itu, seandainya Surah al-Nas dan al-Falaq bukan bagian dari Al-Qur’an, niscaya banyak riwayat akan muncul yang membenarkan fakta tersebut. Namun riwayat tersebut ti­dak ada. Oleh sebab itu, maka Mushaf Ibn Mas`ud tidak bisa di­jadikan tolak ukur untuk menolak kesahihan Mushaf `Uthmani.
 
B. Mushaf Ubayy ibn Ka`ab

Mengenai Mushaf Ubayy ibn Ka`ab, Jeffery berpendapat Mushaf Ubayy memiliki banyak persamaan dengan Mushaf Ibn Mas`ud dan mengandungi dua ekstra surah: al-Hafd dan al-khala ‘.

Sebenarnya, Mushaf Ubayy ibn Ka`ab banyak juga yang berbeda dengan Mushaf Ibn Mas`ud. Surah al-Fatihah, al-Nas dan al-Falaq tercantum dalam Mushaf Ubayy dan tidak ter­cantum dalam Mushaf Ibn Mas`ud. Susunan surah dan ragam bacaan Ubayy juga banyak berbeda dengan Ibn Mas`ud. Selain itu, terdapat paling tidak dua versi yang berbeda mengenai susunan surah Mushaf Ubayy. Bergstrasser sendiri berpendapat Mushaf Ubayy kurang berpengaruh dibanding dengan Mushaf Ibn Mas`ud. Selain itu, murid-murid Ubayy dari generasi sahabat seperti Ibn Abbas, Abu Hurayrah, dan ‘Abdullah ibn al-Sa’ib menerima Mushaf ‘Uthmani.

Selain itu, riwayat yang menyebutkan bahwa Mushaf Ubayy mengandung dua surah ekstra; al-Hafd dan al-khala ‘, adalah riwayat palsu karena bersumber dari Hammad ibn Salama. Hammad meninggal pada, tahun 167 H dan Ubayy meninggal pada tahun 30 H. Jadi, paling tidak ada gap, dua sampai tiga generasi antara meninggalnya Ubayy dan Ham­mad. Jadi, Hammad tidak mungkin bisa meriwayatkan lang­sung dari Ubayy.

Selain itu, catatan di dalam mushaf tidak seharusnya ber­makna itu adalah Mushaf Al-Qur’an. Masahif `Uthmani dise­barkan ke berbagai kota sekaligus diiringi dengan para Qurra’. Mereka mengajarkan qira’ah berdasarkan kepada otoritas yang relevan. Ini yang menetapkan apakah teks tersebut adalah Al-Qur’an atau bukan, bukan berdasarkan kepada manuskrip yang illegal dan tidak dapat disahkan.


C. Mushaf `Ali ibn Abi Talib

Mengenai Mushaf `Ali ibn `Abi Talib, Jeffery sendiri me­ngakui wujudnya perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa Mushaf `Ali disusun menurut kronologis, ada pula yang berpendapat bahwa surah-surah di dalam Mushaf `Ali disusun menjadi tujuh kelompok.

Selain itu, ketika `Ali menjadi khalifah keempat, tentunya `Ali akan merubah Mushaf `Uthmani karena tidak sesuai dengan Al-Qur’an yang sebenarnya. Namun, hal ini tidak ter­jadi sama sekali. Sama halnya ketika terjadi perang Siffin. Saat itu, pengikut Mu`awiyyah yang dalam keadaan terdesak, mengangkat Mushaf `Uthmani sebagai tanda genjatan senjata. Pada saat itu, tidak ada seorangpun dari pengikut `Ali yang meragui mushaf yang diangkat Mu`awiyyah. Bahkan Jeffery sendiripun menyatakan, bahwa `Ali juga menyetujui kano­nisasi yang dilakukan `Uthman. `Ali mengatakan ketika `Uthman membakar mushaf-mushaf: “Seandainya Ia belum melakukannya, maka aku yang membakarnya. ” (law lam yasna `hu huwa lasana `tuhu).[23]

V. Al-Qur’an Edisi Kritis

Setelah mengungkapkan problema sejarah Al-Qur’an, Jeffery ingin mengedit Al-Qur’an. Dalam pandangannya, Al­Qur’an memiliki banyak kelemahan. Ia ingin menyusun se­buah Al-Qur’an dengan bentuk yang baru. Al-Qur’an dengan bentuk yang baru inilah Al-Qur’an edisi kritis (a critical edition of the Qur’an).

Dalam pikiran Jeffery, format Al-Qur’an edisi kritis ter­sebut memiliki empat jilid. Jilid pertama, mencetak teks Hafs yang diklaim sebagai textus receptus. Teks tersebut akan dire­konstruksi menurut sumber-sumber terlama, yang berkaitan dengan tradisi Hafs. Teks tersebut akan dicetak menurut nomor ayat Flugel. Referensi yang relevan akan dicantumkan di pinggir halaman tersebut beserta apparatus criticus pada catatan kaki setiap halaman. Segala varian bacaan dari buku­-buku tafsir, kamus, hadith, teologis, filologis, dan bahkan dari buku-buku Adab, akan dihimpun. Setelah itu, diberi berbagai simbol, yang menunjukkan nama para Qurra’ yang dikutip untuk setiap varian. Ini akan menunjukkan apakah para Qurra’ yang dikutip lebih dahulu atau lebih belakangan dibanding dengan qira’ah sab’ah. Sekalipun, apparatus criticus tidak dapat diharapkan akan sempurna karena terlalu berseraknya varian bacaan, namun semua sumber-sumber yang lebih pen­ting yang tersedia akan dimanfaatkan. Jilid kedua akan diisi dengan pengenalan (introduction), untuk para pembaca ba­hasa Inggris. Edisi ini dalam bahasa Jerman sudah tersedia dalam edisi kedua karya Noldeke Geschichte des Qorans. Jilid ketiga akan dilengkapi dengan anotasi-anotasi, yang pada dasarnya merupakan komentar terhadap apparatus criticus. Berbagai varian bacaan tersebut perlu dijelaskan lebih men­dalam. Penjelasan tersebut mencakup asal-mula, derivasi dan pentingnya qira’ah. Ini akan bermanfaat jika terjadi perdebat­an mengenai sebuah bacaan. Para sarjana akan mendapat informasi tambahan sehingga mereka bisa menilai. Jilid keempat, berisi kamus Al-Qur’an. Jeffery membayangkan Kamus Al-Qur’an tersebut seperti Kamus Grimm-Thayer atau Kamus Perjanjian Baru Milligan-Moulton. Kamus yang be­lum pernah dibuat oleh para mufasir Muslim, Kamus Al­Qur’an tersebut akan memuat makna asal dari kosa-kata di dalam Al-Qur’an.

Selain dari empat jilid tersebut, Jeffery juga mendambakan untuk mengeluarkan serial Studi Sejarah Teks Al-Qur’an (Studien zur Geschicte des Koran-texts), sebagaimana yang telah digagas oleh Bergstrasser. Berbagai karya, termasuk karya yang sudah diedit oleh Bergstrasser sendiri, yaitu karya Ibn Jinni; karya Ibn Khawalayh; manuskrip-manuskrip Ibn Abi Da’ud; al-’Ukbari; al-Mabani; lbn al-Anbari tentang Waqf wa Ibtida’ dan yang lain, harus diterbitkan. Pencarian intensif juga perlu giat dilaksanakan untuk mencari qira’ah yang hilang, di samping menerbitkan mushaf-mushaf Kufi.[24]

Taufik Adnan Amal, seorang dosen ‘Ulum AI-Qur’an di IAIN Alaudin Ujung Pandang ingin mengedit Mushaf ‘Uthmani sehingga menjadi al-Qur’an edisi kritis. Ia menyatakan: “Uraian dalam paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan AI-Qur’an sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortograti teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini. Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan permasalahan itu lewat suatu upaya penyuntingan edisi kritis AI-Qur’an.”[25] Jadi, si dosen itu ingin meyakinkan kepada kita, bahwa al-Quran kita saat ini masih bermasalah, tidak kritis, sehingga perlu diedit lagi. Dosen itu pun menulis sebuah buku serius berjudul “Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an” yang juga meragukan keabsahan dan kesempurnaan Mushaf Utsmani. Dia tulis dalam bukunya (2005:379-381): “Terdapat berbagai laporan tentang eksistensi bagian-bagian tertentu al-Quran yang tidak direkam secara tertulis ke dalam mushaf oleh komisi Zayd, dan karena itu menggoyahkan otentisitas serta integritas kodifikasi Utsman…Dengan demikian, pandangan dunia tradisional telah melakukan sakralisasi terhadap suatu bentuk tulisan yang lazimnya dipandang sebagai produk budaya manusia.”

Jadi, akhir dari usaha para orientalis dalam mengkaji AI-Qur’an adalah mengkritisi dan mengedit Mushaf ‘Uth­mani. Mereka mau menyamakan nasib al-Qur’an dengan Bibel, padahal status teks Bibel dan Al-Qur’an tidaklah sama. Menggunakan metodologi Bibel yang sekular ke dalam studi Al-Qur’an akan mengabaikan sakralitas Al-Qur’an. Kalangan Kristen mengakui Bibel sebagai karangan manusia, sedangkan Al-Qur’an diturunkan dari Allah dan bukan karangan Muhammad. Allah swt. berfirman yang artinya: “Yang tidak datang kepadanya (AI-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijak­sana lagi Maha Terpuji.” Metodologi Bibel sarat dengan se­jumlah permasalahan mendasar di dalam Bibel yang memang mustahil untuk diselesaikan. Oleh sebab itu, metodologi Bibel akan berakhir dengan kesimpulan mengedit Bibel secara kri­tis. Bagaimanapun, pengalaman tersebut tidak sepatutnya di­terapkan oleh sarjana Muslim.

Selain itu, sejak zaman para Sahabat hingga kini menye­pakati Al-Qur’an Mushaf `Uthmani. Abu `Ubayd (m. 224 H), seorang yang termasuk paling awal menulis mengenai qira’ah menyatakan: “Kita menilai seseorang itu kafir bagi siapa saja yang menolak apa yang ada diantara dua sampul khususnya, dan itu telah tetap di dalam (mushaf) Imam, yang ditulis oleh `Uthman dengan persetujuan Muhajirin dan Ansar, dan menggugurkan apa selainnya, kemudian ummat menyepakatinya, tidak ada perbedaannya di dalamnya, yang bodoh di kalangan ummat mengetahuinya sebagaimana yang pintar di kalangan mereka, berabad-abad mewariskannya, anak-anak mempelajarinya di sekolah, dan ini merupakan salah satu tindakan ‘Uthman yang mulia, dan sebagian di kalangan yang menyimpang (ahl zaygb) mencelanya, kemudian bagi manusia ke­sesatan mereka menjadi jelas mengenai hal tersebut.”

VI. Kesimpulan

Dari uraian di atas, kita mengetahui bahwa ada usaha-usaha para orientalis untuk menjatuhkan otoritas al-Qur’an dari segala aspeknya. Mereka mengkaji sedetail mungkin dan mencari titik kelemahan al-Qur’an untuk disusupi dengan syubhat-syubhat yang akan membingungkan dan menyesatkan umat Islam. Termasuk gagasan al-Qur’an edisi kritis ini, tidak lain adalah perangkap orientalis untuk membingungkan umat Islam, khususnya kalangan awam. Tidak ada hal yang baru dalam kritik-kritik penggagas al-Qur’an edisi kritis ini, semua kritik-kritiknya adalah mengulang permasalahan yang sudah tuntas dibahas oleh ulama-ulama kita terdahulu.

DAFTAR PUSTAKA

  • al-A’zami, Muhammad Mustafa. 2005. The History of The Qur’anic Text From evelation to Compilation: A Comparative Study With The Old and New Testaments, Terj. (Jakarta: Gema Insani Press)

  • Amal, Taufik Adnan. 2002. “Al-Qur’an edisi kritis,” dalam Wajah Liberal lslam di Indonesia (Jakarta: TUK)

  • Amal, Taufik Adnan. 2001. Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an.(Yogya­karta: FkBA)

  • Armas, Adnin. 2005. Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an. (Jakarta: Gema Insani Press)

  • Armas, Adnin. 2003. Pengaruh Kristen – Orientalis terhadap Islam Liberal. (Jakarta: Gema Insani Press)

  • Husaini, Adian. 2005. Wajah Peradaban Barat. (Jakarta: Gema Insani Press)

  • Husaini, Adian, 2005. “Beramai-ramai Menghujat Al-Qur’an.” (CAP ke-97: Hidayatullah.com)

  • Majalah Pemikiran dan Peradaban, ISLAMIA, tahun I, no. 2, Juni-Agustus 2004, Artikel Adnin Armas.

  • Majalah Pemikiran dan Peradaban, ISLAMIA, Volume III, no. 1, 2006, Artikel Adnin Armas.

  • Shalahuddin, Henry. 2007. Al-Qur’an Dihujat. (Jakarta: Al-Qolam)

  • Wan Daud, Wan Mohd Nor. 1998. The Educationa Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC)


[1] Artikel Taufik Adnan Amal, “Al-Qur’an Edisi Kritis” dalam kolom website Jaringan Islam Liberal.
[2] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Yogya­karta: FkBA, 2001).
[3] Untuk dukungan tokoh-tokoh yang lain silahkan lihat artikel, Adhian Husaini, “Ramai-Ramai Menghujat al-Qur’an”, www.hidayatullah.com: CAP ke-97
[4] Adnin Armas, “Arthur Jeffery: Orientalis Penyusun al-Qur’an Edisi Kritis”, Majalah Islamia, Vol III No.1, 2006, hlm 73.
[5] Ibid, hlm. 74; J. Christy Wilson, “The Epic of Samuel Zwemer, The Muslim World, 57 (1967), No.2, hlm. 87
[6] Ibid. hlm. 74; Arthur Jeffery, “The Quest of The Historical Mohammed”, The Muslim World 16 (1926), hlm 330.
[7] Ibid. hlm. 75
[8] Arthur Jeffery, “Christian at Mecca, The Muslim World 19 (1929), hlm. 235
[9] Ibid., hlm. 76
[10] Ibid., hlm. 77; John S. Badeau, “Arthur Jeffery – A Tribute,” The Muslim World 50 (1960), hlm. 96
[11] Adnin Armas, “Kritik Arthur Jeffery Terhadap al-Qur’an,” Majalah Islamia, tahun I No.2/Juni-Agustus 2004, hlm 8
[12] Ibid., hlm. 10
[13] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of The Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), hlm. 318
[14] Arthur Jeffery, Material for the History of the Text of the Koran: The Old Codices (Leiden: E. J. Brill, 1937), hlm. 4-8
[15] Adnin Armas, 2004, op.cit., hlm. 11; Abu Ubayd al-Qasim Ibn Sallam, “Fada’il al-Qur’an”, Editor Wahbi Sulayman Ghawaji (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991), Cet. Pertama, hlm. 194.
[16] Arthur Jeffery, op.cit., hlm. 9
[17] Lihat Ibn Hajar al-`Asqalani, Fath al-Bari, 9: 30-31.
[18] Muhammad Mustafa al-Azami, The History of The Qur’anic Text From Revelation to Compilation: A Comparative Study With The Old and New Testaments, Terj. (Jakarta: GIP, 2005), hlm. 152-153
[19] Ibid., hlm. 153
[20] Adnin Armas, 2004, op.cit., hlm. 14; Adnin Armas, Metodologi Bibel Dalam Studi Al-Qur’an (Jakarta: GIP, 2005), hlm.
[21] Adnin Armas, 2004, op.cit., hlm. 14; Ibn Shannabudh mengatakan: “Qad kuntu aqra’u hurufan tukhalifmushaf ‘Uthman al-majma’ ‘alayhi, walladhi ittafaqa ashab Rasulillah sallallahu ‘alayhi wa sallam ‘ala qira’atihi, thununa bana li anna dhalika khata’, wa ana miuhu ta’ib, wa ‘anhu nnrqli’, wa ila allah jalla isnurhu minhu bari’, idh kana mushaf `Uthman huwa al-hayy alladhi la yajuzu khilafuhu wa la yaqra’uhu ghayruhu, wa lahu min al-kutub kitab ma khalafa fihi ibn Kathir aba ‘Amru. Dikutip dari Ibn Nadim, al­ Fihrist, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, edisi kedua, 1997), hlm. 51
[22] Adnin Armas, 2004, op.cit., hlm. 15
[23] Adnin Armas, Metodologi Bibel Dalam Studi Al-Qur’an (Jakarta: GIP, 2005), hlm. ; Muhammad Mustafa al-Azami, The History of The Qur’anic Text From Revelation to Compilation: A Comparative Study With The Old and New Testaments, Terj. (Jakarta: GIP, 2005), hlm. 199-203
[24] Adnin Armas, Metodologi Bibel Dalam Studi Al-Qur’an (Jakarta: GIP, 2005), hlm.
[25] Lihat Taufik Adnan Amal, “AI-Qur’an Edisi Kritis,” 78, dalam Wajah Liberal Islam di Indonesia (Jakarta: TUK, 2002).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar