Inklusivisme,
Eksklusivisme, dan Pluralisme
Jika dicermati secara seksama, semua agama lahir dan hadir
lengkap dengan “klaim kebenaran” (truth claim)nya, baik secara explisit ataupun
implisit. Masalah apakah klaim-klaim kebenaran ini valid atau tidak, rasional
atau irasional, that’s another issue. Dengan kata lain, tidak ada agama yang
tidak membuat klaim kebenaran. Hanya saja terdapat perbedaan di antara
agama-agama dalam memandang klaim kebenaran ini, antara lain:
Eksklusivisme, yaitu bahwa kebenaran absolut hanya dimiliki
suatu agama tertentu secara eksklusif. Klaim ini tidak memberikan alternatif
lain apapun. Ia tidak memberikan konsesi sedikitpun dan tidak mengenal
kompromi. Ia memandang kebenaran (truth) secara hitam-putih. Klaim kebenaran
absolut ini secara umum terdapat di setiap agama. Namun ia terrepresentasikan
secara demonstratif oleh agama-agama semitik: Yudaisme, Kristen dan Islam, yang
mana masing-masing saling mengklaim diri yang paling benar.
Dan klaim eksklusivitas dan absolutisme kebenaran ini kemudian
ditopang dengan konsep juridis tentang “keselamatan” (juridical concept of
salvation), di mana masing-masing agama tersebut mengklaim diri sebagai
satu-satunya “ruang” soteriologis (soteriological space) yang hanya di
dalamnya, atau “jalan” soteriologis (soteriological way) yang hanya melaluinya,
manusia dapat mendapatkan keselamatan (salvation) atau kebebasan (liberation)
atau pencerahan (enlightenment) – suatu hal yang semakin menambah mantap dan
kuatnya klaim kebenaran absolut dan eksklusif tersebut.
Yudaisme, dengan doktrin “the chosen people”-nya, hanya
mengakui kebenaran, kesalehan, dan keselamatan atas dasar etnisitas yang sangat
sempit, yaitu bangsa Yahudi saja; Katolik dengan doktrin “extra ecclesiam nulla
salus”-nya dan Protestan dengan doktrin “outside Christianity, no salvation”-nya
menentukan status kesalehan dan keselamatan seseorang hanya dengan iman pada
pengorbanan Yesus Kristus di atas tiang salib sebagai tebusan dosa warisan
(original sin); sementara Islam dengan statemen Allah SWT dalam al-Qur’an:
“Innad-dina ‘indallahi al-islam” (Ali Imran 19) dan hanya dengan meniscayakan
kepasrahan dan ketundukan total (berislam) kepada Allah SWT sajalah seseorang
bisa mendapatkan keselamatan: “wa man yabtaghi ghairal-islami dinan fa lan
yuqbala minhu wa huwa fil-akhirati minal-khasirin” (Ali Imran 85).
Inklusivisme, merupakan bentuk klaim kebenaran absolut yang
lebih longgar. Di satu fihak, inklusivisme masih tetap meyakini bahwa hanya
salah satu agama saja yang benar (the truth) secara absolut, tapi, di pihak
lain ia mencoba mengakomodasi konsep yuridis keselamatan dan transformasinya
untuk mencakup seluruh pengikut agama lain. Inklusivisme ini mendapatkan
ekspresinya yang begitu artikulatif dalam pemikiran-pemikiran teologis yang
dicoba kembangkan oleh para teolog semisal Karl Rahner dengan teori “Anonymous
Christian” (Kristen anonim)-nya, yang kemudian diikuti oleh Gavin D’Costa, dan
Raimundo Panikkar dengan ‘the unknown Christ of Hinduism’.
Sejauh yang bisa dilacak, teologi inklusif ini secara
artikulatif hanya muncul di lingkungan Kristen dan dalam waktu yang relatif
belakangan, sebagai respon, di satu fihak, terhadap teologi pluralis yang mulai
merebak pada pertengahan kedua dari abad ke-20 yang lalu, dan di lain pihak,
terhadap klaim eksklusif yang menurut mereka sudah ketinggalan zaman.
Dengan kata lain inklusivisme ingin mengambil sikap
tengah-tengah, antara eksklusivisme dan pluralisme. Ia ingin tetap memelihara
dan mempertahankan doktrin utama Kristen tentang Penebusan Dosa (Atonement)
yang dilakukan Yesus Kristus namun dengan interpretasi baru yang lebih segar
dan seirama dengan nilai-nilai humanisme modern. Yakni, selama atonement
tersebut adalah dimaksudkan untuk menebus seluruh dosa warisan Adam, maka
dengan demikian semua umat manusia sekarang setatusnya terbuka untuk ampunan
Tuhan, meskipun mereka mungkin tak pernah mendengar tentang Yesus dan kenapa ia
mati disalib, dan meskipun mereka pengikut resmi agama-agama yang lain. Teologi
inilah yang kemudian diadopsi secara resmi oleh Vatikan dan dideklarasikan
dalam Konsili Vatikan II tahun 1962-1965.
Di lingkungan Islam, sebetulnya juga ada upaya serupa. Paling
tidak dalam konteks Islam Indonesia pada awal tahun sembilan puluhan dari abad
yang lalu, beberapa intelektual muslim kita mulai gemar mengusung jargon “Islam
inklusif” dalam berbagai kesempatan. Namun setelah diteliti secara seksama,
kandungan pemikiran yang mereka maksudkan ternyata lebih dekat, kalau tidak
malah serupa, dengan model pluralisme yang akan dibentangkan berikut ini.
Pluralisme. Wacana ini muncul dan berkembang dalam konfigurasi
dan setting sosial-politik tertentu, yakni humanisme sekular Barat yang
bermuara pada lahirnya tatanan demokrasi liberal yang mana salah satu
konstituen dan struktur utamanya adalah pluralisme agama (yang oleh sementara
sosiolog diidentifikasi sebagai civil religion).
Klaim kebenaran pluralis ini ingin menegaskan bahwa semua
agama, yang teistik maupun non-teistik, dapat dianggap sebagai “ruang-ruang”
soteriologis (soteriological spaces) yang di dalamnya, atau “jalan-jalan” soteriologis
(soteriological ways) yang melaluinya, manusia bisa mendapatkan
keselamatan/kebebasan/pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semuanya
sama-sama merupakan bentuk-bentuk respon otentik yang berbeda dan beragam
terhadap Hakikat ketuhanan (the Real) yang sama dan transenden.
Klaim pluralisme ini sangat “problematik” dan membawa
implikasi yang luar biasa berbahaya bagi manusia dan kehidupan relijius dan
spiritualnya. Kenyataan ini pada akhirnya telah mengantarkan gagasan pluralisme
agama pada sebuah posisi yang sangat sulit untuk bisa menjawab pertanyaan yang
sangat krusial, yaitu apakah gagasan ini benar-benar mampu memberikan solusi
yang ramah terhadap konflik-konflik antar agama, sebagaimana yang diklaim oleh
para penggagas dan penganjurnya, atau malah sejatinya lebih merupakan problem
baru dalam fenomena pluralitas keagamaan?
Maka tidaklah terlalu mengherankan jika kemudian pemahaman
ini, di satu pihak, menggiring pada sebuah kesimpulan akan persamaan semua
agama secara penuh tanpa ada yang lebih superior dan benar daripada yang lain.
Sebuah kesimpulan yang justru mengantarkan para penggagas dan penganjur paham
ini, khususnya yang beragama Kristen, pada posisi yang amat dilematis ketika
dihadapkan pada sebuah pertanyaan: apakah Kristen sama persis dengan
agama-agama primitif dan pagan yang kanibalistik?
Dan di pihak lain, klaim ini telah melakukan pereduksian yang
demikian dahsyat sehingga mengkerangkeng agama hanya boleh beroperasi di
wilayah spiritual manusia yang sangat sempit dan private – hubungan manusia
dengan tuhannya atau the ultimate. Namun sebuah pertanyaan krusial yang segera
menyusul adalah apakah hubungan pribadi dengan sesuatu yang sakral dan
metafisikal ini mempengaruhi dan membentuk perilaku manusia baik dalam
kehidupan individual maupun sosialnya atau tidak? Pertanyaan yang tentu saja
tak mungkin bisa dijawab mereka kecuali mengiyakan atau mengukuhkannya.
Di samping itu, terminologi “pluralisme” di Barat dewasa ini,
artinya telah mengalami perkembangan, atau tepatnya: perubahan, yang sangat
fundamental sehingga hampir sama persis, atau sama dan sebangun dengan
“demokrasi”, yakni penegasan tentang kebebasan, toleransi persamaan (equality)
dan koeksistensi. Namun, konsep Barat modern yang secara teoretis sangat aggun
dan toleran ini, pada dataran praktis cenderung menunjukkan perilaku
sebaliknya, yakni intoleran, menyatroni dan memberangus karakter dan HAM
orang/kelompok lain. Sebab realitasnya, kata Prof Muhammad Imarah, “Barat telah
memaksa yang lain untuk mengikutinya secara kultur maupun pemikiran… dan untuk
melepaskan sejarah, kultur dan referensi keagamaan dan intelektual mereka
masing-masing.”3 Dengan kata lain, Barat tidak ingin “to let the others to be
really other” (membiarkan yang lain menjadi dirinya sendiri).
Islam dan
Klaim Kebenaran Agama
Masalah hubungan Islam dengan agama-agama lain beserta
klaim-klaim kebenarannya secara teologis sudah selesai, settled, dan final.
Allah sendiri yang telah menuntaskan masalah ini sejak awal lewat wahyu-Nya,
Al-Qur’an. Oleh karenanya, tak selayaknya seorang Muslim mengingkari hal ini,
sebab Al-Qur’an adalah merupakan otoritas keagamaan yang tertinggi, di mana
teks-teksnya tak pernah berubah (dan berkat jaminan Allah SWT, tak akan pernah
berubah sampai Hari Kiamat), begitu juga gramatika bahasa Arabnya.
Oleh karena masalah hubungan antar agama ini secara teologis
sudah tuntas dan final, maka inilah agaknya yang menjadi alasan kenapa
perbincangan para ulama klasik kita mengenai masalah ini lebih banyak terdapat
di dalam pembahasan-pembahasan fiqhiyyah daripada ilmu kalam atau teologi
Islam.
Dengan demikian, terdapat perbedaan mendasar antara Islam dan
teori-teori pluralisme agama dalam hal pendekatan metodologis terhadap isu dan
fenomena pluralitas agama. Islam memandangnya sebagai hakikat ontologis yang
genuine yang tidak mungkin dinafikan atau dinihilkan, sementara teori-teori
pluralis melihatnya sebagai keragaman yang hanya terjadi pada level manifestasi
eksternal yang superfisial –dan oleh karenanya tidak hakiki atau tidak genuine.
Perbedaan metodologis ini pada gilirannya menggiring pada perbedaan dalam
menetukan solusinya. Islam menawarkan solusi praktis sosiologis – oleh
karenanya lebih bersifat fiqhiyyah, sementara teori-teori pluralis memberikan
solusi teologis epistemologis.
Sebagaimana yang ditegaskan di atas, Islam memandang perbedaan
dan keragaman agama ini sebagai suatu hakikat ontologis (haqiqah
wujudiyah/kauniyah) dan sunnatullah, dan oleh karenanya genuine. Termasuk di
dalamnya adalah truth claim (klaim kebenaran) yang absolut dan eksklusif yang
mana tanpanya jati diri dan identitas sebuah agama menjadi kabur, tak jelas,
atau hilang sama sekali.
Dengan kata lain, Islam memperlakukan agama-agama lain
sebagaimana adanya (as the way they are) dan membiarkan mereka untuk menjadi
diri mereka sendiri, tanpa reduksi dan manipulasi. Apapun kondisinya, klaim
kebenaran agama harus diapresiasi, tidak boleh disimplifikasikan, atau
direlatifkan, apalagi dinafikan atau dinegasikan.
Kesimpulannya, klaim kebenaran (truth claim) bagi agama adalah
sesuatu yang alami atau natural. Lebih dari itu, ia merupakan esensi jati diri
sebuah agama.
Sumber: Dr. Anis Malik Toha
Sumber: Dr. Anis Malik Toha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar