Masa Prasejarah
Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di atas bisa memberi indikasi bahwa daerah-daerah sekitar Kabupaten Lima Puluh Kota
merupakan daerah atau kawasan Minangkabau yang pertama dihuni oleh
nenek moyang orang Sumatera Barat. Penafsiran ini rasanya beralasan,
karena dari luhak Lima Puluh Kota ini mengalir beberapa sungai besar
yang akhirnya bermuara di pantai timur pulau Sumatera. Sungai-sungai
ini dapat dilayari dan memang menjadi sarana transportasi yang penting
dari zaman dahulu hingga akhir abad yang lalu.
Nenek moyang orang Minangkabau diduga datang melalui rute ini. Mereka berlayar dari daratan Asia (Indochina) mengarungi Laut Cina Selatan, menyeberangi Selat Malaka dan kemudian melayari sungai Kampar, Sungai Siak, dan Sungai Inderagiri
(atau Kuantan). Sebagian di antaranya tinggal dan mengembangkan
kebudayaan serta peradaban mereka di sekitar Kabupaten 50 Kota
sekarang.
Percampuran dengan para pendatang pada masa-masa berikutnya
menyebabkan tingkat kebudayaan mereka jadi berubah dan jumlah mereka
jadi
bertambah. Lokasi pemukiman mereka menjadi semakin sempit dan
akhirnya mereka menyebar ke berbagai bagian Sumatera Barat yang
lainnya. Sebagian pergi ke daerah Kabupaten Agam dan sebagian lagi
sampai ke Kabupaten Tanah Datar sekarang. Dari sini penyebaran
dilanjutkan lagi, ada yang sampai ke utara daerah Agam, terutama ke daerah Lubuk Sikaping, Rao, dan Ophir.
Banyak di antara mereka menyebar ke bagian barat terutama ke daerah
pesisir dan tidak sedikit pula yang menyebar ke daerah selatan, ke
daerah Solok, Selayo, sekitar Muara, dan sekitar daerah Sijunjung.
Kerajaan Dharmasraya
Kerajaan Melayu diperkirakan menjadi
kerajaan pertama yang didirikan oleh orang Minangkabau. Beberapa
sejarawan mengatakan bahwa kata Minangkabau sendiri berarti dua sungai,
merujuk pada sebuah kerajaan yang berdiri diantara dua buah sungai,
yakni kerajaan Melayu yang terletak di tepian sungai Batang Hari.
Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit, kerajaan ini dihancurkan oleh
pasukan dari Sriwijaya pada tahun 683. Dari reruntuhan kerajaan ini,
berdirilah kerajaan Dharmasraya yang beribukota di daerah Kabupaten
Dharmasraya saat ini. Ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275 di bawah
pimpinan Kebo Anabrang dari Kerajaan Singasari,
membawa dua putri Minangkabau yaitu Dara Petak dan Dara Jingga. Kedua
putri tersebut dinikahkan dengan pewaris kerajaan Singasari. Dara Petak
dinikahkan dengan Raden Wijaya sedangkan Dara Jingga dengan Adwaya Brahman. Dari kedua pasangan itu lahirlah Jayanagara, yang menjadi raja kedua Majapahit dan Raja Adityawarman yang menjadi raja Pagaruyung.
Kerajaan Pagaruyung
Sejarah propinsi Sumatera Barat menjadi lebih terbuka sejak masa
pemerintahan Adityawarman. Raja ini cukup banyak meninggalkan prasasti
mengenai dirinya, walaupun dia tidak pernah mengatakan dirinya sebagai
Raja Minangkabau. Adityawarman memang pernah memerintah di Pagaruyung,
suatu negeri yang dipercayai warga Minangkabau sebagai pusat
kerajaannya.
Adityawarman adalah tokoh penting dalam sejarah Minangkabau. Di
samping memperkenalkan sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan, dia
juga membawa suatu sumbangan yang besar bagi alam Minangkabau.
Kontribusinya yang cukup penting itu adalah penyebaran agama Buddha.
Agama ini pernah punya pengaruh yang cukup kuat di Minangkabau.
Terbukti dari nama beberapa nagari di Sumatera Barat dewasa ini yang
berbau Budaya atau Jawa seperti Saruaso, Pariangan, Padang Barhalo, Candi, Biaro, Sumpur, dan Selo.
Sejarah Sumatera Barat sepeninggal Adityawarman hingga pertengahan
abad ke-17 terlihat semakin kompleks. Pada masa ini hubungan Sumatera
Barat dengan dunia luar, terutama Aceh semakin intensif. Sumatera
Barat waktu itu berada dalam dominasi politik Aceh yang juga memonopoli
kegiatan perekonomian di daerah ini. Seiring dengan semakin
intensifnya hubungan tersebut, suatu nilai baru mulai dimasukkan ke
Sumatera Barat. Nilai baru itu akhimya menjadi suatu fundamen yang
begitu kukuh melandasi kehidupan sosial-budaya masyarakat Sumatera
Barat. Nilai baru tersebut adalah agama Islam.
Syekh Burhanuddin dianggap sebagai penyebar
pertama Islam di Sumatera Barat. Sebelum mengembangkan agama Islam di
Sumatera Barat, ulama ini pernah menuntut ilmu di Aceh.
Masuknya Bangsa Eropa
Pengaruh politik dan ekonomi Aceh yang demikian dominan membuat
warga Sumatera Barat tidak senang kepada Aceh. Rasa ketidakpuasan ini
akhirnya diungkapkan dengan menerima kedatangan orang Belanda. Namun
kehadiran Belanda ini juga membuka lembaran baru sejarah Sumatera Barat.
Kedatangan Belanda ke daerah ini menjadikan Sumatera Barat memasuki
era kolonialisme dalam arti yang sesungguhnya.
Orang Barat pertama yang datang ke Sumatera Barat adalah seorang pelancong berkebangsaan Perancis yang bernama Jean Parmentier
yang datang sekitar tahun 1529. Namun bangsa Barat yang pertama datang
dengan tujuan ekonomis dan politis adalah bangsa Belanda.
Armada-armada dagang Belanda telah mulai kelihatan di pantai barat
Sumatera Barat sejak tahun 1595-1598, di samping bangsa Belanda, bangsa
Eropa lainnya yang datang ke Sumatera Barat pada waktu itu juga
terdiri dari bangsa Portugis dan Inggris.
Perang Padri
Perang Paderi meletus di Minangkabau antara sejak tahun 1821 hingga
1837. Kaum Paderi dipimpin Tuanku Imam Bonjol melawan penjajah Hindia
Belanda.
Gerakan Paderi menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di
masyarakat Minang, seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat
(opium), minuman keras, tembakau, sirih, juga aspek hukum adat
matriarkat mengenai warisan dan umumnya pelaksanaan longgar kewajiban
ritual formal agama Islam.
Perang ini dipicu oleh perpecahan antara kaum Paderi pimpinan Datuk
Bandaro dan Kaum Adat pimpinan Datuk Sati. Pihak Belanda kemudian
membantu kaum adat menindas kaum Padri. Datuk Bandaro kemudian diganti
Tuanku Imam Bonjol.
Perang melawan Belanda baru berhenti tahun 1838 setelah seluruh bumi
Minang ditawan oleh Belanda dan setahun sebelumnya, 1837, Imam Bonjol
ditangkap.
Meskipun secara resmi Perang Paderi berakhir pada tahun kejatuhan
benteng Bonjol, tetapi benteng terakhir Paderi, Dalu-Dalu, di bawah
pimpinan Tuanku Tambusai, barulah jatuh pada tahun 1838.
Dari Perang Padri sampai Perang Belasting
Berakhirnya perang Padri menandai perubahan besar di Minangkabau.
Kerajaan Pagaruyung runtuh dan di tempatnya berdiri pemerintahan Hindia
Belanda.
Belanda memerintah diatur oleh perjanjian Plakat Panjang
(1833). Di dalamnya Belanda berjanji untuk tidak mencampuri masalah
adat dan agama nagari-nagari di Minangkabau. Belanda juga menyatakan
tidak akan memungut pajak langsung. Hal ini menyebabkan para pemimpin
Minangkabau membayangkan dirinya sebagai mitra bukannya bawahan Belanda.
Sebagaimana di daerah lain di Hindia Belanda pemerintah kolonial memberlakukan Tanam Paksa (cultuurstelsel) di Sumatera Barat. Sistem ini menjadikan para pemimpin adat sebagai agen kolonial Belanda.
Penjajahan Belanda berpengaruh besar pada tatanan tradisional
masyarakat Minangkabau. Di Sumatera Barat Belanda membuat jabatan baru,
seperti penghulu rodi. Kerapatan Nagari dijadikan sebagai lembaga
pemerintahan terendah, dan kepemimpinan kolektif para penghulu ditekan
dengan keharusan memilih salah seorang penghulu menjadi Kepala Nagari.
Serikat nagari-nagari (laras, Bahasa Minang: lareh) yang sebenarnya
merupakan persekutuan longgar atas asas saling menguntungkan, dijadikan
sebagai lembaga pemerintahan yang setara dengan kecamatan.
Belanda juga berusaha mematikan jalur perdagangan tradisional
Minangkabau ke pantai timur Sumatera yang menyusuri sungai-sungai besar
yang bermuara di Selat Malaka, dan mengalihkannya ke pelabuhan di pantai
Barat seperti Pariaman dan Padang. Pada tahun 1908 Belanda menghapus sistem Tanam Paksa dan memberlakukan pajak langsung. Perang Belasting pun meletus.
Gerakan Islam Modernis di Minangkabau
Perlawanan terhadap Belanda di Sumatera Barat pada awal abad ke-20
memiliki warna Islam yang pekat. Dalam hal ini gerakan Islam modernis
atau yang lebih dikenal sebagai Kaum Muda sangat besar peranannya.
Ulama-ulama Kaum Muda mendapat pengaruh besar dari modernis Islam di
Kairo, yaitu Muhammad Abduh dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan juga
senior mereka Jamaluddin Al-Afghani. Para pemikir ini punya kecenderungan berpolitik, namun karena pengaruh Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi
yang menjadi guru ulama Kaum Muda generasi pertama mereka umumnya hanya
memusatkan perhatian pada dakwah dan pendidikan. Abdullah Ahmad
mendirikan majalah Al-Munir (1911-1916), dan beberapa ulama kaum Muda
lain seperti H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Muhammad Thaib ikut menulis di dalamnya.
Dari majalah ini pemikiran kaum muda semakin disebarkan. Ulama Kaum
Muda menantang konsep agama tradisional yang sudah mapan, menentang
taqlid buta, dan merangsang sikap kebebasan berpikir. Tulisan dan pidato
mereka memicu pertentangan dan perdebatan sengit di ranah Minang.
Tahun 1918 sebagai kelanjutan perguruan agama tradisional Surau
Jembatan Besi berdirilah sekolah Sumatera Thawalib. Selain pendirinya H.
Abdul Karim Amrullah guru lain yang berpengaruh di sekolah ini adalah
Zainuddin Labai el-Yunusiah yang juga mendirikan sekolah Diniyah.
Berbeda dengan Sumatera Thawalib yang terutama adalah perguruan agama
sekolah Diniyah menekankan pada pengetahuan umum, seperti matematika,
ilmu falak, ilmu bumi, kesehatan dan pendidikan. Kedua sekolah ini
berhubungan erat.
Banyak tokoh pergerakan atau ulama seperti Ahmad Rasyid Sutan Mansur, Djamaluddin Tamin, H. Dt. Batuah, H.R. Rasuna Said dan Hamka merupakan murid atau pernah mengajar di perguruan di Padang Panjang ini.
Di kedua perguruan ini berkembang berbagai gagasan radikal. Pada
dasawarsa 1920-an sebuah gagasan baru mulai menarik hati para murid
sekolah Padang Panjang: komunisme. Di Padang Panjang pentolan komunis
ini terutama Djamaluddin Tamin dan H. Datuk Batuah. Gagasan baru ini
ditentang habis-habisan Haji Rasul yang saat itu menjadi guru besar
Sumatera Thawalib.
Gerakan Islam Modernis ini tidak didiamkan saja oleh ulama tradisional. Tahun 1930 ulama tradisional mendirikan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) untuk mewadahi sekolah Islam Tradisional.
Gerakan Partai Komunis Indonesia
Djamaluddin Tamin sudah bergabung dengan PKI
pada 1922. Dalam perjalanan singkat ke Aceh dan Jawa pada tahun 1923
Datuk Batuah bertemu dengan Natar Zainuddin dan Haji Misbach. Agaknya ia
terkesan dengan pendapat Haji Misbach yang menyatakan komunisme sesuai
dengan Islam. Bersama Djamaluddin Tamin ia menyebarkan pandangan ini
dalam koran Pemandangan Islam. Natar Zainuddin kemudian kembali dari Aceh dan menerbitkan koran sendiri bernama Djago-djago. Akhir tahun itu juga Djamaluddin Tamin, Natar Zainuddin dan Dt. Batuah ditangkap Belanda.
Setelah penangkapan tersebut pergerakan komunis malah menjadi-jadi.
Tahun 1924 Sekolah Rakyat didirikan di Padang Panjang, meniru model
sekolah Tan Malaka di Semarang. Organisasi pemuda Sarikat Rakyat, Barisan Muda, menyebar ke seluruh Sumatera Barat. Dua pusat gerakan komunis lain adalah Silungkang
dan Padang. Bila di Padang Panjang gerakan berakar dari sekolah-sekolah
di Silungkang pendukung komunis berasal dari kalangan saudagar dan
buruh tambang.
Sulaiman Labai, seorang saudagar, mendirikan cabang Sarekat Islam di
Silungkang, Sawahlunto pada 1915. Pada tahun 1924 cabang ini diubah
menjadi Sarekat Rakyat. Selain itu berdiri juga cabang organisasi pemuda komunis, IPO.
Di Padang basis PKI berasal dari saudagar besar pribumi. Salah satu
pendiri PKI cabang Padang adalah Sutan Said Ali, yang sebelumnya menjadi
pengurus Sarikat Usaha Padang. Di bawah kepemimpinannya mulai tahun
1923 PKI seksi padang meningkat anggotanya dari hanya 20 orang menjadi
200 orang pada akhir 1925.
Pertumbuhan gerakan komunisme terhenti setelah pemberontakan di
Silungkang 1927. Para aktivis komunis ditangkap, baik yang terlibat
pemberontakan ataupun tidak. Banyak di antaranya yang dibuang ke Digul.
Sumatera Barat: 1930-an
Merebaknya partai-partai politik
HR Rasuna Said, aktivis Permi
Meskipun komunisme menjadi sangat populer pada dasawarsa 1920-an kaum
agama yang tak setuju dengan ideologi baru itu pun tetap berkembang.
Awal tahun 1920 berdiri PGAI (Persatuan Guru Agama Islam) dengan tujuan
mengumpulkan ulama-ulama di Sumatera Barat. Atas prakarsa H. Abdullah
Ahmad tahun 1924 berdirilah sekolah Normal Islam di Padang. Sekolah ini
dimaksudkan sebagai sekolah lanjutan, lebih tinggi daripada Sumatera
Thawalib yang merupakan sekolah rendah.
Setelah melawat ke Jawa tahun 1925 dan bertemu pemimpin-pemimpin
Muhammadiyah di sana Haji Rasul turut mendirikan cabang Muhammadiyah.
Pertama di Sungai Batang dan kemudian di Padang Panjang. Organisasi ini dengan cepat menjalar ke seluruh Sumatera Barat.
Muhammadiyah berperan penting dalam menentang pemberlakuan Ordonansi
Guru di Sumatera Barat tahun 1928. Dengan ordonansi ini guru agama
diwajibkan melapor kepada pemerintah sebelum mengajar. Peraturan ini
dipandang mengancam kemerdekaan menyiarkan agama. Sebelumnya
Muhammadiyah di Jawa sudah memutuskan meminta ordonansi ini dicabut.
Pada tanggal 18 Agustus 1928 diadakanlah rapat umum yang kemudian
memutuskan menolak pemberlakuan ordonansi guru.
Meskipun terlibat dalam penolakan Ordonansi Guru, berbeda dengan
organisasi komunis seperti Sarikat Rakyat, pada umumnya Muhammadiyah
menghindari kegiatan politik. Penumpasan gerakan komunis tahun 1927
menyebabkan banyak anggota Sarekat Rakyat atau simpatisannya berpaling
ke Muhammadiyah mencari perlindungan. Para anggota yang lebih radikal
ini tidak puas dan kemudian banyak yang keluar untuk aktif dalam
Persatuan Sumatra Thawalib.
Organisasi ini pada tahun 1930 menjelma
menjadi partai politik bernama Persatuan Muslim Indonesia, disingkat Permi.
Dengan asas Islam dan kebangsaan (nasionalisme) Permi dengan cepat
menjadi partai politik terkuat di Sumatera Barat, dan menyebar ke Aceh,
Tapanuli, Riau, Jambi dan Bengkulu. Partai ini menjadi wadah utama paham
Islam modernis. Tokoh-tokoh Permi yang terkenal antara lain Rasuna
Said, Iljas Jacub, Muchtar Lutfi dan Djalaluddin Thaib.
Partai lain yang juga penting adalah PSII cabang Sumatera Barat yang berdiri tahun 1928, dan PNI Baru.
PSII Sumatera Barat seperti Permi sangat kuat sikap anti-penjajahannya.
Namun tidak seperti Permi yang berakar dari perguruan agama tokoh-tokoh
PSII umumnya berasal dari pemimpin adat.
Cabang PNI Baru di Bukittinggi
diresmikan Hatta tak lama setelah kepulangannya dari Belanda tahun 1932.
Sebelumnya cabang Padang Panjang sudah didirikan oleh Khatib Sulaiman.
PARI pimpinan Tan Malaka (didirikan di
Bangkok 1929) punya pengaruh cukup besar, meskipun anggotanya sendiri
tidak banyak. Pengaruh PARI terutama lewat tulisan Tan Malaka yang
disebarkan sampai tahun 1936.
Penumpasan
Pada pertengahan 1933 pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan larangan berkumpul. Yang menjadi sasaran utama di Sumatera
Barat adalah Permi dan PSII. Sementara itu Rasuna Said sudah ditangkap
oleh Belanda dan dibuang ke Jawa. Tokoh-tokoh Permi dan PSII awalnya
dilarang bepergian, kemudian kedua partai dikenai larangan terbatas
dalam mengadakan rapat umum. Pada akhirnya tokoh-tokoh Permi dan PSII
ditangkap dan dibuang ke Digul. Permi akhirnya bubar pada 18 Oktober 1937.
Pada saat yang sama di Batavia tokoh-tokoh Partindo dan PNI Baru juga ditangkap. Sukarno diasingkan ke Flores, Hatta dan Sjahrir
ke Digul. Pimpinan PNI Baru cabang Sumatera Barat sendiri dibiarkan
bebas karena mereka membatasi kegiatan politik partai. Sementara itu
tokoh-tokoh PARI berhasil ditahan Belanda yang bekerja sama dengan dinas
Intelijen Inggris. Tan Malaka, pimpinannya, lolos.
Pendudukan Jepang
Jepang memasuki Padang pada 17 Maret 1942. Sukarno yang pada saat itu
berada di Padang berhasil meyakinkan sebagian besar tokoh-tokoh
nasionalis di Sumatera Barat agar mau bekerja sama dengan Jepang.
Tahun 1943 Jepang memerintahkan pendirian Gyu Gun
untuk membantu pertahanan. Gyu Gun di Sumatera Barat dipimpin oleh
Chatib Sulaiman yang memilih dan merekrut calon perwira dari Sumatera
Barat, Riau dan Jambi. Gyu Gun merupakan satu-satunya satuan ketentaraan
yang dibentuk Jepang di Sumatera Barat. Tentara Sukarela ini kemudian
menjadi inti Divisi Banteng.
Zaman Kemerdekaan
Pada awal kemerdekaan Indonesia, wilayah Sumatera Barat tergabung dalam provinsi Sumatera yang berpusat di Medan. Provinsi Sumatera kemudian dipecah menjadi tiga, yakni Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Sumatera Barat merupakan residensi didalam provinsi Sumatera Tengah beserta residensi Riau dan Jambi.
Berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1957, Sumatera
Tengah kemudian dipecah lagi menjadi Sumatera Barat, Riau dan Jambi.
Wilayah Kerinci yang sebelumnya tergabung dalam Kabupaten Pesisir
Selatan Kerinci, residensi Sumatera Barat, digabungkan dalam provinsi
Jambi sebagai kabupaten tersendiri. Pada awalnya ibukota provinsi baru
ini adalah Bukittinggi, namun kemudian dipindahkan ke Padang.
Daftar pustaka sejarah Minangkabau:
- Buku Alam Takambang jadi Guru, AA.Navis, 1984
- Historiografi Minangkabau
- Buku Sejarah Minangkabau, MD. Mansoer, Bharata, 1970
Tidak ada komentar:
Posting Komentar