Suatu ketika di tahun 399 SM ada seorang yang
sangat terkenal dengan kepandaiannya
tentang filsafat dan ilmu politik yang dijebloskan ke penjara dan akan dijatuhi hukuman mati oleh
pengadilan Heliast (Court of Heliast). Dia
adalah Socrates, yang merupakan Bapak Filsafat Yunani Kuno. Tuduhan yang dikenakan kepada Socrates ada dua. Pertama.
Socrates menolak menyembah dewa resmi yunani, dan Kedua, Dia dianggap meracuni
pikiran anak muda
Menariknya Socrates diadili oleh seluruh warga Athena
yang terdiri dari 501 orang. Angka
ganjil tersebut harus selalu ada untuk memastikan bahwa terdapat kepastian hukum yang jelas. Selanjutnya orang
yang merasa mempunyai bukti bahwa orang
lain melakukan kesalahan dapat dituntut maka dia dapat menjadi jaksa. Pendek kata Setiap warga dimungkinkan
untuk menjadi hakim dan jaksa. Hal ini
sangatlah wajar mengingat jumlah penduduk suatu
negara pada waktu itu hanya berjumlah ratusan.
Dari awal Socrates sudah tahu bahwa dia tidak
mempunyai peluang untuk lolos dari
pengadilan Heliast artinya dia pasti akan mati karena sebagian besar hakim dan jaksa adalah musuh Socrates.
Jika para jaksa menuntut atas tuduhan “tidak
beragama”, Socrates dengan mudah menangkisnya
karena hal ini tidak berhubungan dengan pribadi mereka. Mereka
kemudian menuduh Socrates dengan “merusak
pikiran anak muda” karena anak-anak mereka suka membantah bila diberi nasehat.
Kemudian ditambah lagi fakta dari ramalan kuil apollo
yang menyatakan bahwa Socrates adalah
orang terpandai di Athena yang menjelaskan bahwa Socrates adalah hadiah dari Dewa untuk penduduk Athena.
Kontan saja orang-orang yang menjadi
hakim sudah tidak bisa menilai lagi secara obyektif. Asas Presumption of
innocences dihilangkan dan etika hukum dan politik diabaikan. Keadaan di Yunani
pada waktu itu sama seperti di Indonesia dewasa ini.
Mungkin karena adanya persamaan inilah seorang Gayus Halomoan
bisa dengan leluasa keluar masuk penjara
tanpa izin sama sekali padahal seperti kita ketahui rumah tahanan yang ditempati Gayus Halomoan adalah
salah satu tempat tersulit yang dapat
ditembus oleh wartawan. Rumah tahanan tersebut difungsikan biasanya menyangkut perkara yang sifatnya
massive dalam konsumsi publik sehingga
tidak aneh jika penjagaanya diperketat dan kehadiran wartawan di rutan tersebut sebisa mungkin
diminimalisir.
Akan tetapi, karena etika politik yang tidak ada
dan moral yang tergadaikan dengan uang
senilai 300 juta maka sah-sah saja Rutan itu sebagi tempat formalitas bagi seorang Gayus. Heran saya
malah sejak awal! ketika ditangkap
oleh aparat penegak hukum (sebelum kasus kabur tanpa izin dari rutan) mengapa dia begitu tenang dan
selalu tersenyum ketika akan dijebloskan
penjara. Idealnya menurut Feurbach bahwa orang akan merasa terintimidasi dengan yang namanya teks hukum
(dalam hal ini KUHP). Jadi logika yang
seharusnya berjalan adalah Gayus setidak-tidaknya memperlihatkan wajah sedih atau suram ketika
akan dibawa ke sidang pengadilan
Gayus bisa melawan aparat penegak hukum dengan
uangnya akan tetapi bagaimana dengan
Socrates?. Apakah Socrates akan menggunakan uangnya dengan menyuap 50%+1 hakim yang berada di Heliast?
ternyata tidak, bahkan dia membiarkan
dirinya mati. Bukan karena dia tidak memiliki uang akan tetapi dia ingin mempertahankan ajaran
tentang kebenaran yang selalu
diajarkannya. Pertanyaan yang menggelitik adalah benarkah Socrates mati
konyol?
Untuk menjawabnya kita
perlu menafsirkan beberapa sudut pandang yang berada dalam persidangan.
Tafsiran Pertama, Etika
Socrates yang tidak takut mati, bahkan kata Socrates kepada jaksa yang secara
ngawur menuduhnya… ”A man should take
courage when about to die, and be of good hope, after leaving this life, he will attain to the
greatest good younder“ (Orang harus tabah ketika menghadapi kematian, dan patut
mempunyai harapan baik, bahwa setelah
meninggalkan dunia ini dia akan memperoleh
kebaikan terbesar di dunia lain).
Tafsiran Kedua, yang menurut saya sangat bermanfaat dijadikan
contoh adalah ketika Socrates sedang
dipenjara dan salah seorang anak muridnya bermaksud membantu agar socrates bisa kabur dari
penjara dengan menyuap para penjaga.
Akan tetapi, niat itu diketahui Socrates kemudian dia menolak untuk kabur meski dia tahu bahwa tuduhan yang
dilancarkan kepadanya palsu.
Socrates menolak untuk
menggunakan uang hanya untuk “survive”, padahal lawan-lawan Socrates
juga telah menggunakan uang di pengadilan
tapi dia lebih memilih mempertahankan moral yang dianggapnya benar. Socrates rela mati untuk mendidik elite politik
dan para penegak hukum bahwa dalam
melaksanakan proses politik di alam demokrasi perlu ditekankan keterbukaan yang jujur bukan
keterbukaan yang sarat kepentingan
golongan. Etika politik itu dipegang teguh oleh Socrates meskipun dengan mengorbankan nyawanya.
Mungkin ramalan yang menyatakan Socrates adalah orang
terpintar di Athena adalah benar.
Socrates mengajukan pledoi (pembelaan) yang mengagetkan semua pihak “Saya tidak akan mengemis agar saya
diberi pengampunan, tetapi saya akan
memberikan pencerahan kepada anda tentang tugas hakim sesungguhnya dan berusaha meyakinkan anda
untuk tugas ini”.
Dari uraian diatas sudah jelas bahwa Socrates
adalah salah satu peletak dasar etika
politik di negara yang sangat demokratis dimana semua orang dapat menjadi aparat penegak hukum. Negara
demokrasi yang dipelopori Yunani ini
membutuhkan proses yang panjang dan tanggung jawab yang seutuhnya. Bahkan Obama dalam pidatonya di
Indonesia menyatakan demokrasi merupakan
mekanisme yang paling tepat untuk memperjuangkan Hak Asasi Manusia. Dan Tanggung jawab yang
dimaksud adalah peraturan yang dibuat
untuk diaati bersama, yang mengutamakan “equality before the law”.
Sebagai penutup saya akan kutipkan kata-kata Satjipto
Rahardjo (Pakar Hukum Progresif) dengan
nada geram karena sudah kebingungan menghadapi hukum indonesia “Apakah kita harus mengganti
legislatif dengan cara rakyat membuat
sendiri undang-undang yang diperlukan? Apakah kita akan mengganti jaksa, advokat, dan hakim dengan
semua rakyat untuk dijadikan hakim,
jaksa, dan lainnya?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar