Janganlah kamu meminta jabatan dalam pemerintahan. Karena jika
kamu diberi jabatan karena permintaanmu, maka bebanmu sungguh berat. Tetapi
jika kamu diberi jabatan tanpa kamu minta, maka kamu akan dibantu oleh orang
banyak
(HR. Muslim dari Abdurrabman bin Samurah ra)
Keberadaan
pemimpin jelas amat dibutuhkan bagi setiap orang dalam berbagai kelompok dan
bidang. Dalam sepakbola ada kapten kesebelasan, di perusahaan ada direktur
bahkan presiden direktur, dalam shalat berjamaah mesti ada yang namanya imam
dan dalam suatu negara ada presiden atau perdana menteri atau ada juga yang
menyebutnya dengan raja. Dibutuhkannya pemimpin menunjukkan betapa strategis
jabatan kepemimpinan itu.
Jabatan
kepemimpinan yang diemban seseorang bisa membawa kebaikan tapi juga bisa
membawa keburukan, tidak hanya bagi orang yang dipimpinnya tapi juga bagi dirinya
sendiri, bahkan tidak hanya keburukan di dunia ini saja tapi juga bisa sampai
ke akhirat nanti. Kepemimpinan yang akan membawa seseorang pada keburukan
disebabkan banyak faktor.
1. Kekejaman Dalam Memimpin
Kepemimpinan
yang dijalankan dengan berlaku kejam atau zalim kepada orang yang dipimpin
merupakan sesuatu yang membawa malapetaka bagi sang pemimpin dan orang yang
dipimpinnya, tidak hanya kejam dari tindakan fisik tapi juga kebijakan dan
ketentuan yang dikeluarkannya sehingga rakyat tidak berdaya dihadapan sang
pemimpin meskipun pemimpin itu melakukan kesalahan, karenanya pemimpin yang
berlaku kejam kepada rakyat yang dipimpinnya merupakan sejelek-jelek pemimpin.
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya sejelek-jelek pemimpin adalah
pemimpin yang kejam. Karena itu berhati-hatilah agar kamu tidak termasuk
golongan itu” (HR. Muslim dari Ubaidilah bin Ziad)
2. Membodohi Rakyat
Pemimpin
yang baik adalah yang berusaha mencerdaskan rakyatnya karenanya ia memajukan
pendidikan, menjeiaskan secara terbuka segaia kebijakan yang diambil dan
masyarakatpun didorong untuk mempelajari dan mengkritisi segala kebijakan itu.
Gagasan cerdas dari rakyat tidak hanya didengar tapi juga diterapkan seperti
yang dilakukan Rasulullah saw yang melaksanakan pendapat Salman Al Farisi yang mengusulkan
penggalian parit dalam siasat perang yang kemudian perang itu disebut dengan
perang khandak, begitu juga dengan Khalifah Umar bin Khattab yang mencabut
kembali kebijakan dan peraturannya yang diakui salah setelah dikritik oleh
seorang wanija tua tentang mahar yang tidak boleh mahal.
Manakala
pemimpin membodohi rakyatnya dan ia suka bila rakyatnya tidak pintar, maka
jangan harap bisa masuk ke dalam surga karena pemimpin semacam itu termasuk
orang yang diharamkan masuk surga.
Rasulullah
saw bersabda: “Tiada seorang
hambapun yang oleh Allah diserahi memimpin rakyat, mati pada hari ia mati dalam
keadaan membodohi rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga atasnya”
(Bukhari dan Muslim).
3. Berdusta
Dalam
rangka membodohi rakyat dan menyimpan agenda-agenda busuk, tidak sedikit
pemimpm yang melakukan penipuan atau berlaku dusta, bahkan tidak segan-segan
melakukan kezaliman terhadap orang yang tidak sependapat dengannya atau sekadar
mengkritisi.
Terhadap
pemimpin yang demikian kita tidak dibolehkan untuk membantu kezaliman yang
dilakukannya dan membenarkan kedustaan atau kebohongan yang disampaikannya,
bila kita tidak bersikap demikiari terhadap sang pemimpin, maka ancamannya
tidak mendapatkan pengakuan sebagai umat Nabi Muhammad saw. Bila orang yang
membantu pemimpin yang zalim dan membenarkan kebohongannya saja sudah tidak
diakui sebagai umat Nabi Muhammad saw, apalagi pemimpin yang demikian.
Rasulullah
saw bersabda: “Kelak akan muncul
pemimpin-pemimpin yang berselimutkan api neraka. Mereka berdusta dan berbuat
zalim. Barangsiapa membantu mereka terhadap kezalimannya dan membenarkan
kedustaan mereka, maka dia bukan termasuk golonganku dan akupun bukan
golongannya, dan dia tidak akan minum dari telaganya” (HR. Ahmad
dari Said Al Khudri).
Menyikapi Jabatan Kepemimpinan.
Karena
kepemimpinan merupakan amanah dan ada konsekuensi dunia akhirat yang akan
dihadapankan kepada sang pemimpin, maka paling tidak ada dua sikap kita
terhadap jabatan kepemimpinan yang harus kita tunjukkan.
Pertama, tidak ambisius untuk mendapatkan jabatan
kepemimpinan, karena itu seorang musiim jangan sampai meminta jabatan
kepemimpinan, apalagi bila berbagai upaya termasuk upaya yang tidak baik
dilakukan untuk mendapatkan jabatan itu seperti menyogok, menjelek-jelekkan
orang lain dan sebagainya.
Meminta
jabatan seperti itu akan membuat beban kepemimpinan semakin berat dan orang
yang membantupun motivasinya untuk mendapatkan keuntungan duniawi, namun bila
jabatan itu memang diberikan karena kapasitas yang dimiliki, maka akan banyak
orang yang membantu melaksanakan tugas kepemimpinan dengan sebaik-baiknya.
Rasulullah
saw bersabda: “Janganlah kamu
meminta jabatan datam pemerintahan. Karena jika kamu diberi jabatan karena
permintaanmu, maka bebanmu sungguh berat. Tetapi jika kamu diberi jabatan tanpa
kamu minta, maka kamu akan dibantu oleh orang banyak” (HR. Muslim
dari Abdurrahman bin Samurah ra).
Kedua, memperoleh jabatan dengan cara yang baik dan benar sehingga
tidak menghalalkan segala cara untuk memperolehnya dan sesudah memperoleh
jabatan, digunakan jabatan dengan baik dan benar untuk menegakkan kebaikan dan
kebenaran, begitulah yang telah ditunjukkan oleh para khalifah yang cemerlang
seperti Abu Bakar Ash Shiddik, Umar Bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi
Thaiib, Umar bin Abdul Aziz dan sebagainya.
Penggunaan
jabatan untuk kebaikan dan kebenaran membuat seorang pejabat selalu dikenang
dalarn kebaikan dan dijadikan sebagai rujukan untuk menjadi pemimpin yang baik.
Namun bila tidak, maka jabatan membuat seseorang menjadi hina dihadapan manusia
dan menjadi penyesalan yang amat dalam, bahkan kehinaan dan penyesalan itu
sudah dirasakan sejak masih di dunia ini, apalagi dalam kehidupan di akhirat
nanti.
Rasulullah
saw bersabda: “Abu Dzar ra
berkata: Saya bertanya, Ya Rasulullah mengapa engkau tidak memberiku jabatan?
Maka Rasulullah menepukan tangannya pada pundakku, lalu belau bersabda: Hai Abu
Dzar, sungguh kamu ini lemah, sedang-kan jabatan adalah amanah, dan jabatan itu
akan menjadi kehinaan serta penyesalan pada hari kiamat, kecuali bagi orang
yang memperolehnya dengan benar dan melaksanakan kewajibannya dalam jabatannya”
(HR. Muslim).
Oleh
karena itu, dalam suasana masyarakat dan bangsa kita yang sepanjang tahun
mengikuti Pemilu dan Pilkada, menjadi amat penting untuk merenungkan kembali
apa sebenarnya hakikat kepemimpinan baik dalam jabatan eksekutif, legisiatif
maupun yudikatif. Semua itu dimaksudkan agar kita tidak salah memilih pemimpin
dan orang yang terpilih sebagai pemimpinpun mampu menggunakan jabatannya untuk
melayani masyarakat dan menegakkan kebaikan serta kebenaran.
Catatan
sejarah kita belum cukup banyak tentang pemimpin yang cemerlang dan yang semakin
banyak justeru pemimpin yang menjadi hina dan merasakan penyesalan bagi diri
dan keluarganya apalagi bagi masyarakat dan bangsa.
Pemimpin Adalah Amanat
Jabatan
Secara
tradisional amanat hanya dipahami sebagai menunggu barang-barang titipan
(wada’i), lalu menyampaikan dan meneruskan kepada pemilik atau orang yang
berhak menerimanya. Diakui, pengertian ini memang tidak salah. Namun, secara
modern, amanah memiliki cakupan makna yang lebih luas, terutama berkaitan
dengan tugas dan tanggung jawab seseorang yang memangku jabatan publik.
Dalam
buku Khuluq al-Muslim, Muhammad Ghazali mengemukakan tiga makna penting dari
amanah, yaitu:
Pertama, amanah berarti menempatkan segala sesuatu pada
tempatnya yang tepat dan layak (wadh’
kull-i al-syai-i fi al-makan al-jadir lah). Dalam arti ini, orang
yang amanah tak akan pernah memberikan tugas dan jabatan, kecuali kepada orang
yang mampu dan cakap.
Itu
sebabnya, Rasulullah menolak permintaan sahabatnya, Abu Dzar, ketika meminta
kepada Nabi agar diangkat sebagai pejabat. (HR Muslim). Kemampuan intelektual
(al-kifayah al-’ilmiyyah) dan kecakapan praktikal (al-kifayah al-amaliyyah),
kata Muhammad Ghazali, tak selalu berkorelasi positif dengan keshalihan
individual.
Maka
boleh jadi, orang baik, bahkan sangat baik, semacam Abu Dzar, tetapi ia tak
otomatis memiliki keahlian (competence) dan keterampilan praktikal (managerial
skill), yang dipersyaratkan untuk dapat memangku dan melaksanakan suatu jabatan
dengan baik dan sempurna.
Kedua, amanah berarti bekerja dan melaksanakan tugas dengan
sebaik-baiknya. Dalam hal ini, seorang pejabat publik mesti berusaha sebaik
mungkin dalam melaksanakan tugas dan memenuhi kepentingan orang banyak.
Kelalaian dan kealpaan sedikit pun dalam soal ini, dipandang sebagai
pengkhianatan (khiyanat) dan penipuan (ghudzrah), karena akan menimbulkan
dampak buruk bagi agama, bangsa, dan negara.
Ketiga, amanah berarti seorang pejabat tidak
mempergunakan jabatannya untuk memperkaya diri atau untuk mengeruk kekayaan
sebanyak-banyaknya, baik untuk diri, keluarga, maupun kolega-koleganya.
Padahal, penting diketahui bahwa pendapatan (pungutan) apa pun yang dilakukan
oleh seorang pejabat di luar gaji formalnya, hal itu tergolong ghulul, penipuan
alias korupsi. (HR Abu Daud).
Jadi,
amanat jabatan bukanlah barang sepele atau remeh-temeh. Dalam Islam, amanat
merupakan perkara yang amat besar sampai-sampai makhluk Allah yang besar-besar,
seperti langit, bumi, dan gunung tak sanggup memikulnya. Manusia mampu
memikulnya dengan dua syarat, yaitu tak bersifat zalim dan bodoh. (QS. Al-Ahzab
[33]: 72).
Pemimpinan Yang Jatuh Miskin
Mengapa
bangsa ini sulit sekali menjadi akil-balig? Belajar untuk bertanggung jawab
layaknya orang dewasa. Para elite politik terus memperagakan perilaku kekanak-kanakan.
Gemar
meminta banyak hal kepada negara sembari kerja malas-malasan. Petinggi negara
masih juga tampak rileks, bahkan para koruptor pun dapat hadiah grasi. Segala
hal di negeri i...ni seolah berjalan normal.
Kalau
anak balita wajar bersikap kekanak-kanakan karena mereka memang homo ludens,
makhluk bermain. Tapi, manakala para petinggi nasional masih bermain-main
dengan urusan negara dan bangsa, lantas di mana pertanggung-jawabannya? Padahal
saat ini hidup rakyat kian susah, perahu bangsa dalam pertaruhan, dan negeri
ini tengah dilecehkan tetangga.
Sungguh,
betapa sulit memahami nalar kekanak-kanakan elite politik yang menuntut adanya
rumah aspirasi dengan anggaran keuangan negara. Kalau pakai anggaran sendiri
tentu elegan. Bukankah selama ini mereka dibayar negara, yang salah satu
kewajibannya ialah menyerap aspirasi rakyat.
Padahal
mayoritas rakyat yang diwakili justru tengah berjuang mempertaruhkan hidup yang
semakin berat dan dililit banyak kesulitan. Gagal dengan mainan rumah aspirasi,
muncul gagasan dana daerah pemilihan. Apalagi yang masih kurang untuk dikuras
habis dari perut negeri yang kian compang-camping ini?
Panorama
paradoks lain juga terjadi. Di laut bangsa ini dilecehkan bangsa tetangga,
tanpa rasa terhina. Padahal inilah negeri maritim dan kepulauan terbesar di
kawasan Asia Tenggara dengan sejarah masa lampau yang gagah perkasa.
Sedangkan
di daratan ribuan anak bangsa terus mengadu nasib di negeri serumpun sambil
terus dilecehkan, diindonkan, disiksa, dan sebagian tengah menunggu nasib untuk
dihukum mati. Di tengah derita anak bangsa yang serba pilu seperti itu, para
pemimpin bangsa masih juga tebal muka dan saling menyalahkan.
Apa
yang hilang di negeri ini? Soal sensitivitas? Hidup saling peduli dan berbagi?
Visi kebangsaan? Sikap tegas? Tanggungjawab? Moral kenegarawanan? Jangan-jangan
kehilangan semuanya. Segalanya menyatu menjadi penyakit batin dan mental yang
kronis.
Padahal
masalah bangsa kian berat dan krusial. Masa depan penuh pertaruhan. Tantangan
dari luar tak kalah ganasnya. Bencana demi bencana terus menimpa seolah tak
kenal henti. Ada apa dengan perangai para elite bangsa di negeri ini?
Teladan Al-Faruq
Dalam
memimpin negara, belajarlah kepada Ummar Ibn Khattab. Sosok khalifah ternama
yang gagah, pemberani, negarawan, sekaligus sangat cinta rakyat. Dia bahkan
tidak mau disebut khalifah, lebih senang dipanggil Amir al-Mukminun, yakni
orang yang diberi amanat untuk menunaikan urusan rakyat, bukan menjadi
penguasa.
Kepemimpinannya
dikenal adil dan tegas, bahkan untuk sanak keluarganya sendiri. Karena itu,
Umar dijuluki al-Faruq, sosok pemimpin adil, sekaligus menjadi figur pembeda.
Jika dirinya bersalah, tak segan meminta maaf dan dihakimi pengadilan, tak mau
ada perlakuan istimewa. Negara tidak pernah jadi urusan anak-bini.
Bagaimana
Umar al-Faruq mencintai dan membela rakyatnya? Bukan berbasa-basi, beretorika,
dan sekadar berteori. Setiap hari bahkan malam Umar turun langsung ke rakyat
bawah. Dia temukan keluarga yang kelaparan, kemudian dia ambilkan gandum untuk
diberikan.
Dia
ajak istri tercintanya, Ummu Kalsum, untuk berpahala membantu ibu yang sedang
melahirkan. Dia jumpai ibu yang tak menyusui bayinya yang tengah menangis, lalu
dianjurkannya untuk menyusuinya bahkan dibuatkannya edaran ke seluruh pelosok
negeri agar ibu-ibu menyusui bayinya hingga usia dua tahun.
Umar
begitu kasih sayang, empati, peduli, dan membela rakyat kecil dengan tangannya
sendiri. Karena itu, selain sosok Al-Faruq, Umar dikenai pula sebagai “ayah
kaum dhuafa”, karena demikian cintanya terhadap rakyat yang lemah. Sekaligus
tegas kepada siapa pun yang melanggar aturan dan hukum tanpa pandang bulu.
Dalam
pidatonya ketika diangkat khalifah, Umar sebagaimana ditulis Heikal (2001: 656)
berujar lantang: “Di mata saya,
tidak ada orang yang lebih kuat daripada orang yang lemah di antara kalian,
sebelum saya berikan haknya, dan tak ada yang lebih lemah daripada orang yang
kuat sebelum saya cabut haknya“.
Jika
para elite dan pemimpin negeri belajar pada Umar Al-Faruq, lebih-lebih kepada
uswah hasanah Nabi Muhammad, tidak akan ada yang mengabaikan amanat dan
menelantarkan rakyat.
Apalagi
aji mumpung dan haus kuasa, karena kekuasaan dan mandat itu bukan hanya
urusannya dengan rakyat, melainkan juga menyangkut urusan pertanggung-jawaban
dengan Tuhan. Karena itu, tidak akan berani bermain-main dengan kekuasaan yang
ada di tangannya, sekecil apa pun kekuasaan itu, apalagi kekuasaan yang besar.
Soal karakter
Bagaimana
dengan para elite dan petinggi negeri ini? Kecukupan lahir dan reputasi diri
sungguh luar biasa. Fasilitas negara pun tak kurang, bahkan cukup berlebihan.
Mungkin yang kurang ialah soal karakter kepemimpinan. Masalah mental dan
martabat diri.
Muaranya
ialah kemiskinan rohani. Rohani yang menggelorakan jiwa amanah, tanggung jawab,
kerja keras, komitmen, dan pengkhidmatan total untuk bangsa dan negara
melampaui hak-hak yang diperolehnya.
Mentalitas
elite negeri seolah menjadi pemulung berdasi. Kerja tanpa risiko sambil
mengais-ngais barang rongsokan. Gaji, fasilitas, dan hak-hak istimewa tidak
pernah dirasakan cukup karena yang dikejar adalah keberlebihan.
Sebesar
apa pun hak-hak yang diberikan negara tidak akan pernah merasa cukup karena
yang diinginkan ialah ketidak-terbatasan. Hidupnya merasa kurang dan kurang
terus di tengah keberlebihan yang tak dimiliki rakyat banyak.
Mental
pemulung berdasi berkaitan dengan kualitas martabat diri. Nabi Muhammad SAW
menyatakan dalam salah satu hadisnya, tangan di atas lebih baik daripada tangan
di bawah. Nabi dan para sahabat yang dijamin Allah masuk surga, bahkan
bermujahadah untuk mempraktikkan cara hidup yang bermartabat utama itu. Bukan
sekadar bicara.
Seluruh
hidupnya diabdikan untuk mengemban risalah dan memuliakan umat manusia. Muhammad
adalah nabi kaum mustadh’afin. Keperkasaannya mengguncang takhta Kisra, tetapi
hidupnya bersahaja dan pembela kaum jelata. Para khalifah penerusnya pun
mengikuti jejaknya. Banyak memberi, tidak pernah meminta. Apalagi meminta
kepada negara ketika rakyat hidup miskin, susah, dan diimpit derita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar