[1]. Perlu sama-sama dipahami, bahwa urusan ibadah memiliki
aturan berbeda dengan muamalah. Ibadah memiliki khashaish (kekhususan-kekhususan) yang merupakan
hak prerogatif Allah dan Rasul-Nya. Dalam soal ibadah shaum, Haji, dan hari
raya, Nabi Saw memerintahkan metode RUKYATUL HILAL (melihat awal bulan). Tidak
masalah kita menjalankan ibadah berbeda dengan kalender, asalkan syarat-syarat
ketentuan ibadah itu terpenuhi. Dalam urusan ibadah memakai Rukyatul Hilal,
sedangkan dalam urusan muamalah memakai kalender (hasil hisab). Tidak mengapa
semua ini.
[2]. Sudah ada pernyataan yang datang SEBELUM pengumuman Sidang
Itsbat Depag RI, bahwa ada di antara kaum Muslimin di Jepara dan Cakung Jakarta
sudah melihat hilal. Maka pengumuman ini harus diterima, selama yang
bersangkutan mau bersumpah. Demikian kaidah aslinya. Apapun teori ilmu falaq,
nasehat MUI, perhitungan ahli hisab ormas Islam, pantauan astronomi, dll. semua
itu menjadi tidak berlaku, jika sudah ada kaum Muslimin yang mengaku telah
melihat hilal. Inilah dasar aplikasi Syariat Islam aslinya, sebelum kaum ahli
hisab/pakar astronomi menguasai
wilayah ibadah ini. Hal itu sesuai sabda Nabi Saw.: “Shumuu li ru’yatihi wa ufthiruu li
ru’yatihi” (shaumlah kalian dengan melihat hilal, dan
berbukalah -saat awal Syawal- dengan melhatnya juga). [HR. Bukhari Muslim].
Untuk memastikan baca artikel voa-islam.com ini: Hilal Sudah Telrihat Senin Sore,
Tapi Pemerintah Tetapkan 1 Syawal Hari Rabu.
[3]. Depag RI dan ormas-ormas Islam tertentu jelas TELAH MENOLAK
KESAKSIAN beberapa Muslim yang telah melihat hilal. Padahal dalam riwayat
diceritakan, ada seorang Shahabat datang kepada Nabi Saw dan mengaku telah
melihat hilal. Lalu Nabi Saw meminta dia bersumpah, dia pun bersumpah. Maka
kemudian Nabi Saw memerintahkan Bilal Ra mengumumkan, bahwa besok kaum Muslimin
berpuasa. Lihatlah, cara ini sangat mudah, sangat mudah, sangat simple; sebelum
akhirnya DIBUAT KERUH oleh para ahli hisab, para ahli falaqiyyah, para pakar
astronomi, dan sebagainya. Padahal Nabi Saw bersabda: “Yassiruu wa laa tu’assiruu”
(permudahlah, jangan dibuat susah).
[4]. Perlu diketahui bahwa metode penetapan melalui Sidang Itsbat
Depag RI itu ternyata merupakan bentuk dari memaksakan metode hisab/falaqiyyah
secara EKSTREM. Ini adalah bentuk kesesatan baru yang tidak sesuai Sunnah Nabi
Saw. Mengapa dikatakan demikian? Sebab mereka jelas-jelas MENOLAK kesaksian
beberapa orang Muslim di Cakung dan Jepara yang telah mengaku melihat hilal.
Kata mereka, “Tidak mungkin hilal sudah terlihat! Menurut perhitungan kami dan
pengamatan astronomi, seharusnya hilal belum terlihat.” Nah itu dia, mereka
menolak kesaksian melihat hilal karena alasan perhitungan ilmu falaq dan
pantauan astronomi. Padahal Nabi Saw tidak mempersyaratkan hal itu. Cukuplah
kesaksian seorang Muslim yang mau disumpah, itu sudah cukup.
[5]. Kita harus memahami, bahwa Allah Ta’ala berkuasa atas segala
kejadian di alam ini. Bisa jadi, sesuatu yang tidak mungkin secara ilmu
falaq/astronomi, bisa menjadi mungkin menurut Allah Ta’ala. Apakah kita
meragukan Kekuasaan Allah? Percayakah Anda, bahwa bisa saja Allah menampakkan
hilal kepada sebagian hamba-Nya dan menutup hilal bagi sebagian yang lain? Hal
itu sangat bisa terjadi dan sering terjadi. Tampaknya hilal adalah karunia
Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Dan prediksi sains tidak selalu sesuai
kenyataan. Banyak bukti-bukti di lapangan bahwa prediksi sains berbeda dengan
kenyataan, misalnya prediksi cuaca, prediksi badai, prediksi gunung meletus,
prediksi tsunami, prediksi janin dalam kandungan, prediksi usia harapan hidup pasien,
prediksi penyakit dalam tubuh, prediksi hasil panen, prediksi pertumbuhan
tanaman, prediksi kecepatan kendaraan, dll. Apakah di semua keadaan itu sains
bisa memberikan hasil prediksi sempurna? Contoh kekeliruan informasi sains.
BMKG pernah memprediksi ancaman tsunami di Sumatera telah berlalu, tetapi
kemudian tsunami melanda Mentawai dan sekitarnya, ratusan orang meninggal
disana. Sebaiknya Ummat Islam jangan memutlakkan hasil analisis sains, meskipun
jangan pula menolaknya mentah-mentah.
[6]. Para ahli falaqiyyah/ahli hisab/pakar astronomi sering marah
kalau mendengar ada seorang Muslim mengaku sudah melihat hilal. Mereka
beralasan, “Tidak mungkin terlihat. Itu bohong semata! Berdasarkan perhitungan
kami, hilal belum terlihat!” Orang-orang ini bersikap IRONIS, seolah hak dalam
penentuan urusan din ini ada di tangan mereka sepenuhnya. Seolah, mereka berada
dalam maqam ma’shum,
yang tak tersentuh kesalahan. Masya Allah, laa haula wa laa quwwata illa
billah. Disini kita bisa buktikan, bahwa orang-orang itu bersikap TIDAK
KONSISTEN dengan sikapnya. Pertama,
kita bertanya ke mereka, “Mengapa Anda menolak kesaksian Muslim yang sudah
melihat hilal?” Mereka jawab, “Berdasarkan perhitungan kami, dan diperkuat
hasil pantauan astronomi, hilal tak mungkin terlihat. Bohong besar kalau ada
yang mengaku sudah melihat.” Kedua,
kita bertanya lagi, “Kalau hilal tak mungkin terlihat, lalu bagaimana
solusinya?” Mereka jawab, “Ya, bulan Ramadhan kita istikmal-kan menjadi 30
hari. Mudah bukan!” Nah, disana itu bukti sikap TIDAK KONSISTEN mereka. Kalau
mereka konsisten dengan metode Rukyatul Hilal dengan syarat-syarat seperti yang
mereka tetapkan, belum tentu bisa melihat hilal pada tanggal 30 Ramadhan,
tanggal 31, dan sebagainya. Bagaimana kalau langit tertutup mendung terus,
darimana mereka akan bisa melihat hilal? Perlu diketahui, Observatorium Boscha
itu berkali-kali gagal mengamati gerhana, komet, atau meteor gara-gara langit
terhalang oleh mendung/awan. Metode istikmal (menggenapkan bulan menjadi 30
hari) adalah metode Sunnah, bukan berdasarkan teori-teori falaqiyyah/astronomi.
Kalau mereka mau mengambil
Sunnah dalam soal ISTIKMAL, mengapa mereka menolak Sunnah dalam kesaksian
seorang Muslim bahwa dia sudah melihat hilal? Dimana sikap
konsisten mereka?
[7]. Para pakar falaqiyyah/ahli hisab/astronomi menuduh bahwa
kesaksian beberapa Muslim yang telah melihat hilal pada saat senja hari, 29
Agustus 2011, sebagai bentuk kebohongan. Masya Allah, padahal Nabi Saw hanya
mempersyaratkan SUMPAH saja untuk memverifikasi kesaksian itu. Hal tersebut
adalah bentuk kemudahan dalam Syariat. Lalu pertanyaannya, “Bagaimana kalau
kesaksian beberapa orang yang mengaku melihat hilal itu benar-benar bohong?”
Jawabnya sebagai berikut: (a).
Kalau mereka dusta, dosanya ditanggung mereka sendiri di hadapan Allah; (b). Selama kita sudah
berpuasa 29 hari, itu sudah mencukupi ketentuan puasa Ramadhan. Kecuali kalau
puasa kita baru 28 hari, jelas harus disempurnakan. Jadi, hal semacam ini
dibuat ringan saja: sejauh
kita sudah puasa 29 hari dan ada kesaksian Muslim bahwa dirinya telah melihat
hilal dan mau disumpah, itu sudah mencukupi. Anda tidak
akan disebut maksiyat kepada Allah dan Rasul-Nya karena telah puasa 29 hari.
Bahkan menurut riwayat Ibnu Mas’ud Ra, puasa Nabi Saw lebih banyak 29 hari,
bukan 30 hari.
[8]. Sangat berbahaya kita berpuasa saat 1 Syawal atau saat jatuh
hari raya Idul Fithri. Ini berbahaya, haram menurut Syariat Islam. Siapapun
puasa di hari Idul Fithri, hal itu merupakan maksiyat serius kepada Allah dan
Rasul-Nya. Dalam kaidah Sunnah, kalau ada dua pilihan yang sama-sama halalnya,
kita dianjurkan memilih yang paling ringan. Misalnya, saat dalam safar, kita
boleh Shalat secara sempurna, tapi boleh juga Shalat Qashar. Maka memilih yang
lebih ringan (shalat qashar) itu lebih utama dan lebih sesuai Sunnah. Dalam hal
ini, memilih shaum 29 hari lebih mudah dan lebih sesuai Sunnah Nabi Saw,
daripada berpuasa 30 hari.
[9]. Andaikan perhitungan ilmu falaq/ilmu hisab/astronomi dalam
soal Rukyatul Hilal harus diterima sebagai KEPASTIAN, maka itu sama saja dengan
membuang Sunnah Rukyatul Hilal itu sendiri. Kalau begitu caranya, ya sudah Anda
tetapkan saja jadwal Ramadhan/Syawal secara abadi seperti “jadwal shalat
abadi”. Jadi, tidak usah bertele-tele bicara Rukyatul Hilal. Karena percuma
juga kaum Muslimin melakukan Rukyatul Hilal, kalau nanti tidak sesuai
perhitungan ilmu falaq/ilmu hisab/astronomi, maka Rukyatul Hilal itu tetap akan
ditolak juga (seperti Sidang Itsbat Depag RI tanggal 29 Agustus 2011 itu).
Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa AROGANSI para pakar ilmu falaq/ilmu hisab/astronomi berhasil
membuang Sunnah Rukyatul Hilal dari kehidupan kaum Muslimin.
Nah, inilah yang saya sebut sebagai sikap EKSTREM orang-orang itu.
[10]. Lalu bagaimana dengan nasehat agar kaum Muslimin lebih mengutamakan
PERSATUAN daripada kesaksian Rukyatul Hilal? Bantahannya sebagai berikut: (a).
Dalam Surat Ali Imran dikatakan, “Wa’tashimu
bi hablillahi jami’an, wa laa tafarraquu.” Dalam ayat ini
berpegang teguh kepada kebenaran DIDAHULUKAN dari persatuan. Hikmahnya, apa
artinya bersatu kalau ingkar terhadap Syariat Islam?; (b). Ibnu Mas’ud
menjelaskan pengertian Al Jamaah, “Ittifaqu
bil haqqi walau kunta wahid” (sepakat dengan kebenaran walau
engkau hanya seorang diri). Kita harus berpegang dengan kebenaran, meskipun
seorang diri; (c). Dalam Sunnah disebutkan sabda Nabi Saw, “Innamat tha’atu fil ma’ruf”
(bahwa ketaatan itu hanya dalam hal yang ma’ruf saja). Mengingkari kesaksian
melihat hilal adalah maksiyat serius, harus ditolak, kita tak boleh
mematuhinya; (d). Persatuan yang dikehendaki oleh Islam adalah persatuan yang
Syar’i, bukan persatuan yang membuang kaidah Sunnah Rasululullah Saw; (e).
Bersatu di atas kebathilan justru sangat dilarang dalam Islam, seperti disebut
dalam Surat Al Maa’idah, “Wa
laa ta’awanuu ‘alal itsmi wal ‘udwan” (jangan kalian
bekerjasama di atas dosa dan permusuhan); (f). Para ulama, salah satunya Ibnu
Utsaimin rahimahullah, mengatakan bahwa kalau ada Muslim yang melihat hilal,
sementara Ulil Amri sudah menyatakan bahwa hari itu hari berpuasa, maka dia
dipersilakan berbuka untuk dirinya sendiri dan tak mengumumkan hasil pantauan
hilalnya. Mengapa orang itu tidak dilarang berbuka, malah disuruh berbuka di
hari itu? Sebab HARAM berpuasa saat hilal sudah terlihat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar