Rabu, 24 Agustus 2011

Komunitas Dayak Indramayu



Di photo album akun FB seorang kawan saya temukan photo yang menarik, sekumpulan orang yg bergaya seperti orang pedalaman. Dan jauh sebelumnya saya juga pernah menonton berita di salah satu stasiun tv swasta nasional tentang Suku Dayak di  Indramayu Jawa Barat. Di photo kawan saya itu, dia dan kawan-kawannya berpose dengan sekelompok orang yang cukup nyentrik. Sekelompok orang itu bertelanjang dada, memakai banyak aksesoris, memakai celana pendek dan bertelanjang kaki. Beberapa orang lengannya penuh tattoo. Penampilan mereka agak sangar dan nyentrik. Mereka memperkenalkan diri sebagai Dayak Indramayu.


Berhubung penasaran saya googling mengenai ‘dayak indramayu’ dan mendapatkan cukup banyak informasi dari situs Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.

 
Lengkapnya komunitas ini menamakan diri mereka Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu, Indramayu. Komunitas ini berpusat tidak jauh dari Pantai Eretan Wetan, di sepanjang lajur sebelah kanan jalan by pass dari arah Jakarta ke Cirebon (jalur Pantura), di Kampung Segandu, Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu.


Mereka tidak ada hubungannya dengan suku Dayak di Kalimantan. Jadi penyebutan kata “suku” pada komunitas ini bukan dalam konteks terminologi suku bangsa /etnik dalam pengertian antropologis, melainkan penyebutan istilah yang diambil dari makna kata-kata dalam bahasa daerah. Suku disini artinya ‘suku’ dalam bahasa sunda yang artinya ‘kaki’. Demikian pula dengan kata “dayak”, bukan dalam pengertian sukubangsa Dayak yang berada di daerah Kalimantan, kendati pun dari sisi penampilan mungkin ada kesamaan, yakni para prianya sama-sama tidak mengenakan baju, serta mengenakan asesoris berupa kalung dan gelang (tangan dan kaki). Dayak disini dari asal kata “ayak” atau “ngayak” yang artinya memilih atau menyaring. Makna kata “dayak” di sini adalah menyaring, memilah dan memilih mana yang benar dan mana yang salah. Selanjutnya mengenai penjelasan kata Hindu Budha Bumi Segandu bisa dibaca disitus budpar tersebut.


Asal mula kelompok Suku Dayak Indramayu ini terkait erat dengan perjalanan hidup pendirinya, yaitu Takmad Diningrat, yang oleh para pengikutnya disebut dengan panggilan Pak Tua. Ia adalah asli orang Indramayu yang berasal dari sebuah desa yang bernama Desa Segandu. Dia buta huruf dan hanya bisa berbahasa Jawa Indramayu. Tamad ini belajar silat dan pernah bekerja sebagai kuli pelabuhan. Ia pun kemudian mengembangkan ilmu yang dimilikinya, baik ilmu kebathinan maupun ilmu kanuragan. Semula hanya istri dan anak-anaknya saja yang menjadi pengikutnya, akan tetapi kemudian ada juga beberapa warga masyarakat terdekat yang menjadi anggota perguruannya. Takmad, memperdalam ilmunya, khususnya ilmu kebathinannya dengan berguru pada alam, Setelah sekian lama memperdalam ilmu kebathinannya, ia pun merasa mendapat pemurnian diri. Dari hasil pengkajian ilmu kebathinannya ini, akhirnya ia menemukan falsafah hidup tentang ‘kebenaran’ yang ia yakini bersumber dari ‘nur alam’ atau cahaya alam yaitu bumi dan langit.


Ajarannya Takmad tampaknya banyak dipengaruhi konsep kejawen (Hindu-Jawa). Sebagaimana kita tahu, pada pemahaman masyarakat kejawen Pulau Jawa itu dikuasai oleh Dewi-dewi, itu pula kenapa semua penguasa alam di Jawa selalu disimbolkan dengan wanita seperti Nyi Roro Kidul (Penguasa Laut Kidul), Nyi Blorong (Penguasa Gunung Bromo), Dewi Sri (Dewi Padi) dan lain-lain. Akibatnya Komunitas ini sangat menghargai perempuan. Bagi para pengikut yang telah menikah, suami harus sepenuhnya mengabdikan diri pada keluarga. Suami tidak boleh menghardik, memarahi, atau berlaku kasar terhadap anak dan isterinya. Oleh karena itu, perceraian merupakan sesuatu yang dianggap pantang terjadi. Demikian juga, hubungan di luar pernikahan sangat ditentang. “Jangan coba-coba berzinah apabila tidak ingin terkena kutuk sang guru,” demikian salah seorang pengikut Pak Takmad mengungkapkan.


Ada suara kontra mengenai keberadaan komunitas ini. Ada fatwa mengenai kesesatan komunitas ini dari MUI Indramayu. Tetapi Keluarnya fatwa dan keputusan sesat oleh MUI dan Bakor Pakem Indramayu ini tidak berpengaruh terhadap kehidupan komunitas Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu. Mereka tetap menjalankan aktivitas sehari-hari seperti berkebun dan bertani di perkampungan Desa Krimun Losarang. Sebagian lagi membuat kerajinan ukiran kayu untuk dijual. Beberapa warga desa yang bukan anggota komunitas dayak juga terlihat berbaur. Warga mengaku tidak terganggu meski berbeda kepercayaan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar