Jika dicermati secara seksama, semua agama lahir dan hadir
lengkap dengan “klaim kebenaran” (truth claim)nya, baik secara explisit ataupun
implisit. Masalah apakah klaim-klaim kebenaran ini valid atau tidak, rasional
atau irasional, that’s another issue. Dengan kata lain, tidak ada agama yang
tidak membuat klaim kebenaran. Hanya saja terdapat perbedaan di antara
agama-agama dalam memandang klaim kebenaran ini, antara lain:
Eksklusivisme, yaitu bahwa kebenaran absolut hanya dimiliki
suatu agama tertentu secara eksklusif. Klaim ini tidak memberikan alternatif
lain apapun. Ia tidak memberikan konsesi sedikitpun dan tidak mengenal
kompromi. Ia memandang kebenaran (truth) secara hitam-putih. Klaim kebenaran
absolut ini secara umum terdapat di setiap agama. Namun ia terrepresentasikan
secara demonstratif oleh agama-agama semitik: Yudaisme, Kristen dan Islam, yang
mana masing-masing saling mengklaim diri yang paling benar.
Dan klaim eksklusivitas dan absolutisme kebenaran ini kemudian
ditopang dengan konsep juridis tentang “keselamatan” (juridical concept of
salvation), di mana masing-masing agama tersebut mengklaim diri sebagai
satu-satunya “ruang” soteriologis (soteriological space) yang hanya di
dalamnya, atau “jalan” soteriologis (soteriological way) yang hanya melaluinya,
manusia dapat mendapatkan keselamatan (salvation) atau kebebasan (liberation)
atau pencerahan (enlightenment) – suatu hal yang semakin menambah mantap dan
kuatnya klaim kebenaran absolut dan eksklusif tersebut.
Yudaisme, dengan doktrin “the chosen people”-nya, hanya
mengakui kebenaran, kesalehan, dan keselamatan atas dasar etnisitas yang sangat
sempit, yaitu bangsa Yahudi saja; Katolik dengan doktrin “extra ecclesiam nulla
salus”-nya dan Protestan dengan doktrin “outside Christianity, no salvation”-nya
menentukan status kesalehan dan keselamatan seseorang hanya dengan iman pada
pengorbanan Yesus Kristus di atas tiang salib sebagai tebusan dosa warisan
(original sin); sementara Islam dengan statemen Allah SWT dalam al-Qur’an:
“Innad-dina ‘indallahi al-islam” (Ali Imran 19) dan hanya dengan meniscayakan
kepasrahan dan ketundukan total (berislam) kepada Allah SWT sajalah seseorang
bisa mendapatkan keselamatan: “wa man yabtaghi ghairal-islami dinan fa lan
yuqbala minhu wa huwa fil-akhirati minal-khasirin” (Ali Imran 85).
Inklusivisme, merupakan bentuk klaim kebenaran absolut yang
lebih longgar. Di satu fihak, inklusivisme masih tetap meyakini bahwa hanya
salah satu agama saja yang benar (the truth) secara absolut, tapi, di pihak
lain ia mencoba mengakomodasi konsep yuridis keselamatan dan transformasinya
untuk mencakup seluruh pengikut agama lain. Inklusivisme ini mendapatkan
ekspresinya yang begitu artikulatif dalam pemikiran-pemikiran teologis yang
dicoba kembangkan oleh para teolog semisal Karl Rahner dengan teori “Anonymous
Christian” (Kristen anonim)-nya, yang kemudian diikuti oleh Gavin D’Costa, dan
Raimundo Panikkar dengan ‘the unknown Christ of Hinduism’.
Sejauh yang bisa dilacak, teologi inklusif ini secara
artikulatif hanya muncul di lingkungan Kristen dan dalam waktu yang relatif
belakangan, sebagai respon, di satu fihak, terhadap teologi pluralis yang mulai
merebak pada pertengahan kedua dari abad ke-20 yang lalu, dan di lain pihak,
terhadap klaim eksklusif yang menurut mereka sudah ketinggalan zaman.
Dengan kata lain inklusivisme ingin mengambil sikap
tengah-tengah, antara eksklusivisme dan pluralisme. Ia ingin tetap memelihara
dan mempertahankan doktrin utama Kristen tentang Penebusan Dosa (Atonement)
yang dilakukan Yesus Kristus namun dengan interpretasi baru yang lebih segar
dan seirama dengan nilai-nilai humanisme modern. Yakni, selama atonement
tersebut adalah dimaksudkan untuk menebus seluruh dosa warisan Adam, maka
dengan demikian semua umat manusia sekarang setatusnya terbuka untuk ampunan
Tuhan, meskipun mereka mungkin tak pernah mendengar tentang Yesus dan kenapa ia
mati disalib, dan meskipun mereka pengikut resmi agama-agama yang lain. Teologi
inilah yang kemudian diadopsi secara resmi oleh Vatikan dan dideklarasikan
dalam Konsili Vatikan II tahun 1962-1965.
Di lingkungan Islam, sebetulnya juga ada upaya serupa. Paling
tidak dalam konteks Islam Indonesia pada awal tahun sembilan puluhan dari abad
yang lalu, beberapa intelektual muslim kita mulai gemar mengusung jargon “Islam
inklusif” dalam berbagai kesempatan. Namun setelah diteliti secara seksama,
kandungan pemikiran yang mereka maksudkan ternyata lebih dekat, kalau tidak
malah serupa, dengan model pluralisme yang akan dibentangkan berikut ini.
Pluralisme. Wacana ini muncul dan berkembang dalam konfigurasi
dan setting sosial-politik tertentu, yakni humanisme sekular Barat yang
bermuara pada lahirnya tatanan demokrasi liberal yang mana salah satu
konstituen dan struktur utamanya adalah pluralisme agama (yang oleh sementara
sosiolog diidentifikasi sebagai civil religion).
Klaim kebenaran pluralis ini ingin menegaskan bahwa semua
agama, yang teistik maupun non-teistik, dapat dianggap sebagai “ruang-ruang”
soteriologis (soteriological spaces) yang di dalamnya, atau “jalan-jalan” soteriologis
(soteriological ways) yang melaluinya, manusia bisa mendapatkan
keselamatan/kebebasan/pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semuanya
sama-sama merupakan bentuk-bentuk respon otentik yang berbeda dan beragam
terhadap Hakikat ketuhanan (the Real) yang sama dan transenden.
Klaim pluralisme ini sangat “problematik” dan membawa
implikasi yang luar biasa berbahaya bagi manusia dan kehidupan relijius dan
spiritualnya. Kenyataan ini pada akhirnya telah mengantarkan gagasan pluralisme
agama pada sebuah posisi yang sangat sulit untuk bisa menjawab pertanyaan yang
sangat krusial, yaitu apakah gagasan ini benar-benar mampu memberikan solusi
yang ramah terhadap konflik-konflik antar agama, sebagaimana yang diklaim oleh
para penggagas dan penganjurnya, atau malah sejatinya lebih merupakan problem
baru dalam fenomena pluralitas keagamaan?
Maka tidaklah terlalu mengherankan jika kemudian pemahaman
ini, di satu pihak, menggiring pada sebuah kesimpulan akan persamaan semua
agama secara penuh tanpa ada yang lebih superior dan benar daripada yang lain.
Sebuah kesimpulan yang justru mengantarkan para penggagas dan penganjur paham
ini, khususnya yang beragama Kristen, pada posisi yang amat dilematis ketika
dihadapkan pada sebuah pertanyaan: apakah Kristen sama persis dengan
agama-agama primitif dan pagan yang kanibalistik?
Dan di pihak lain, klaim ini telah melakukan pereduksian yang
demikian dahsyat sehingga mengkerangkeng agama hanya boleh beroperasi di
wilayah spiritual manusia yang sangat sempit dan private – hubungan manusia
dengan tuhannya atau the ultimate. Namun sebuah pertanyaan krusial yang segera
menyusul adalah apakah hubungan pribadi dengan sesuatu yang sakral dan
metafisikal ini mempengaruhi dan membentuk perilaku manusia baik dalam
kehidupan individual maupun sosialnya atau tidak? Pertanyaan yang tentu saja
tak mungkin bisa dijawab mereka kecuali mengiyakan atau mengukuhkannya.
Di samping itu, terminologi “pluralisme” di Barat dewasa ini,
artinya telah mengalami perkembangan, atau tepatnya: perubahan, yang sangat
fundamental sehingga hampir sama persis, atau sama dan sebangun dengan
“demokrasi”, yakni penegasan tentang kebebasan, toleransi persamaan (equality)
dan koeksistensi. Namun, konsep Barat modern yang secara teoretis sangat aggun
dan toleran ini, pada dataran praktis cenderung menunjukkan perilaku
sebaliknya, yakni intoleran, menyatroni dan memberangus karakter dan HAM
orang/kelompok lain. Sebab realitasnya, kata Prof Muhammad Imarah, “Barat telah
memaksa yang lain untuk mengikutinya secara kultur maupun pemikiran… dan untuk
melepaskan sejarah, kultur dan referensi keagamaan dan intelektual mereka
masing-masing.”3 Dengan kata lain, Barat tidak ingin “to let the others to be
really other” (membiarkan yang lain menjadi dirinya sendiri).
Islam dan
Klaim Kebenaran Agama
Masalah hubungan Islam dengan agama-agama lain beserta
klaim-klaim kebenarannya secara teologis sudah selesai, settled, dan final.
Allah sendiri yang telah menuntaskan masalah ini sejak awal lewat wahyu-Nya,
Al-Qur’an. Oleh karenanya, tak selayaknya seorang Muslim mengingkari hal ini,
sebab Al-Qur’an adalah merupakan otoritas keagamaan yang tertinggi, di mana
teks-teksnya tak pernah berubah (dan berkat jaminan Allah SWT, tak akan pernah
berubah sampai Hari Kiamat), begitu juga gramatika bahasa Arabnya.
Oleh karena masalah hubungan antar agama ini secara teologis
sudah tuntas dan final, maka inilah agaknya yang menjadi alasan kenapa
perbincangan para ulama klasik kita mengenai masalah ini lebih banyak terdapat
di dalam pembahasan-pembahasan fiqhiyyah daripada ilmu kalam atau teologi
Islam.
Dengan demikian, terdapat perbedaan mendasar antara Islam dan
teori-teori pluralisme agama dalam hal pendekatan metodologis terhadap isu dan
fenomena pluralitas agama. Islam memandangnya sebagai hakikat ontologis yang
genuine yang tidak mungkin dinafikan atau dinihilkan, sementara teori-teori
pluralis melihatnya sebagai keragaman yang hanya terjadi pada level manifestasi
eksternal yang superfisial –dan oleh karenanya tidak hakiki atau tidak genuine.
Perbedaan metodologis ini pada gilirannya menggiring pada perbedaan dalam
menetukan solusinya. Islam menawarkan solusi praktis sosiologis – oleh
karenanya lebih bersifat fiqhiyyah, sementara teori-teori pluralis memberikan
solusi teologis epistemologis.
Sebagaimana yang ditegaskan di atas, Islam memandang perbedaan
dan keragaman agama ini sebagai suatu hakikat ontologis (haqiqah
wujudiyah/kauniyah) dan sunnatullah, dan oleh karenanya genuine. Termasuk di
dalamnya adalah truth claim (klaim kebenaran) yang absolut dan eksklusif yang
mana tanpanya jati diri dan identitas sebuah agama menjadi kabur, tak jelas,
atau hilang sama sekali.
Dengan kata lain, Islam memperlakukan agama-agama lain
sebagaimana adanya (as the way they are) dan membiarkan mereka untuk menjadi
diri mereka sendiri, tanpa reduksi dan manipulasi. Apapun kondisinya, klaim
kebenaran agama harus diapresiasi, tidak boleh disimplifikasikan, atau
direlatifkan, apalagi dinafikan atau dinegasikan.
Kesimpulannya, klaim kebenaran (truth claim) bagi agama adalah
sesuatu yang alami atau natural. Lebih dari itu, ia merupakan esensi jati diri
sebuah agama.
Sejak
muda Bung Karno sudah jadi pengagum Marxisme. Dalam usia dua puluh lima tahun,
dengan tujuan mempersatukan kekuatan bangsa melawan kolonialisme, Bung Karno
sudah mengemukakan arti penting Marxisme dan menilai pentingnya kekuatan kaum
Marxis di Indonesia. Dalam karyanya, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme,
yang diterbitkan tahun 1926, Bung Karno menulis: Partai Boedi Oetomo,
‘marhum’ Nationaal Indische Partij yang kini masih ‘hidup’, Partai Sarekat
Islam, Perserikatan Minahasa, Partai Komunis Indonesia, dan masih banyak
partai-partai lain ... itu masing-masing mempunyai rokh Nasionalisme, rokh
Islamisme, atau rokh Marxisme adanya. Dapatkah roch-roch ini dalam politik
jajahan bekerja bersama-sama menjadi satu Rokh yang Besar, Roch Persatuan? Rokh
Persatuan yang akan membawa kita ke-lapang ke-Besaran?[1]
Bung
Karno dengan tegas menjawab bahwa ketiga aliran itu dapat bersatu. Terhadap
kaum nasionalis Bung Karno menyatakan:
Bukannya
kita mengharap, yang Nasionalis itu supaya berobah faham jadi Islamis atau
Marxis, bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi
Nasionalis, akan tetapi impian kita yalah kerukunan, persatuan antara tiga
golongan itu.[2]
Terhadap
kalangan Islam Bung Karno menulis:
Islam
yang sejati tidaklah mengandung azas anti-nasionalis; Islam yang sejati
tidaklah bertabiat anti-sosialistis. Selama kaum Islamis memusuhi faham-faham
Nasionalisme yang luas-budi dan Marxisme yang benar, selama itu kaum Islamis
tidak berdiri diatas Sirothol Mustaqim; selama itu tidaklah ia bisa mengangkat
Islam dari kenistaan dan kerusakan tahadi ! Kita sama sekali tidak mengatakan
yang Islam itu setuju pada Materialisme atau perbendaan; sama sekali tidak
melupakan yang Islam itu melebihi bangsa, super-nasional. Kita hanya
mengatakan, bahwa Islam yang sejati itu mengandung tabiat-tabiat yang
sosialistis dan menetapkan kewajiban-kewajibannya nasionalis pula! [3]
Kekagumannya
terhadap ajaran-ajaran Marx dituangkannya dalam kalimat berikut ini:
Kaum
buruh dari semua negeri, kumpullah menjadi satu!. Riwayat dunia belumlah pernah
menceriterakan pendapat dari seorang manusia, yang begitu cepat masuknya dalam
keyakinan satu golongan pergaulan hidup, sebagai pendapatnya kampiun kaum buruh
ini. Dari puluhan menjadi ratusan, dari ratusan menjadi ribuan, dari ribuan
menjadi laksaan, jutaan ... begitulah jumlah pengikutnya bertambah-tambah.
Sebab, walaupun teori-teorinya ada sangat sukar dan berat untuk kaum yang
pandai dan terang-fikiran, tetapi amatlah ia gampang dimengerti oleh kaum yang
tertindas dan sengsara: kaum melarat yang berkeluh kesah itu.... Berlainan
dengan Ferdinand Lassale yang teriaknya itu ada suatu teriak perdamaian, maka
Karl Marx, yang dalam tulisan-tulisannya tidak satu kali mempersoalkan kata
asih atau kata cinta, membeberkan pula faham pertentangan golongan; faham
klassenstrijd, dan mengajarkan pula, bahwa lepasnya kaum buruh dari nasibnya
itu, yalah oleh perlawanan-zonder-damai terhadap pada kaum ‘bursuasi’, satu
perlawanan yang tidak boleh tidak, musti terjadi oleh karena peraturan yang
kapitalistis itu adanya.... Jasanya ahli-fikir ini yalah: -- ia mengadakan
suatu pelajaran gerakan fikiran yang bersandar pada perbendaan
(Materialistische Dialectiek); -- ia membentangkan teori, bahwa harganya
barang-barang itu ditentukan oleh banyaknya ‘kerja’ untuk membikin
barang-barang itu, sehingga ‘kerja’ ini yalah ‘wert-bildende Substanz’, dari
barang-barang itu (arbeids-waarde-leer); -- ia membeberkan teori, bahwa hasil
pekerjaan kaum buruh dalam pembikinan barang itu adalah lebih besar harganya
daripada yang ia terima sebagai upah (meerwaarde); -- ia mengadakan suatu
pelajaran riwayat yang berdasar peri-kebendaan, yang mengajarkan, bahwa ‘bukan
budi-akal manusialah yang menentukan keadaannya, tetapi sebaliknya keadaannya
berhubungan dengan pergaulan-hiduplah yang menentukan budi-akalnya’
(materialistische geschiedenisopvatting); -- ia mengadakan teori, bahwa oleh
karena ‘meerwaarde’ itu dijadikan kapital pula, maka kapital itu makin lama
makin menjadi besar (kapitaals-accumulatie), sedang kapital-kapital yang kecil
sama mempersatukan diri jadi modal yang besar (kapitaals-centralisatie), dan
bahwa, oleh karena persaingan, perusahaan yang kecil sama mati terdesak oleh perusahaan-perusahaan
yang besar, sehingga oleh desak-desakan ini akhirnya cuma tinggal beberapa
perusahaan sahaja yang amat besarnya (kapitaals-concentratie); -- dan ia
mendirikan teori, yang dalam aturan kemodalan ini nasibnya kaum buruh makin
lama makin tak menyenangkan dan menimbulkan dendam-hati yang makin lama makin
sangat (Verelendungstheorie)... [4]
Bung
Karno memperingatkan bahwa kaum Marxis harus ingat bahwa pergerakannya itu,
tak boleh tidak, pastilah menumbuhkan rasa Nasionalisme dihati-sanubari kaum
buruh Indonesia, oleh karena modal di Indonesia itu kebanyakannya yalah modal
asing , dan oleh karena budi perlawanan itu menumbuhkan suatu rasa tak senang
dalam sanubari kaum-buruhnya rakyat di-‘bawah’ terhadap pada rakyat yang
di-‘atas’-nya, dan menumbuhkan suatu keinginan pada nationale machtspolitiek
dari rakyat sendiri . ... Niscaya mereka ingat pula akan teladan-teladan
pemimpin-pemimpin Marxis di lain-lain negeri, yang sama bekerja bersama-sama
dengan kaum-kaum nasionalis atau kebangsaan. Niscaya mereka ingat pula akan
teladan pemimpin-pemimpin Marxis di negeri Tiongkok, yang dengan ridla hati
sama menyokong usaha kaum Nasionalis, oleh sebab mereka insyaf bahwa negeri
Tiongkok itu pertama-tama butuh persatuan nasional dan kemerdekaan nasional adanya.
Demikian pula, tak pantaslah kaum Marxis itu bermusuhan dan berbentusan dengan
pergerakan Islam yang sungguh-sungguh).[5] Memperhatikan perkembangan teori
Marxisme, Bung Karno menulis: adapun teori Marxisme sudah berobah pula.
Memang seharusnyalah begitu! Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi, yang bisa
mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala zaman. Teori-teorinya
haruslah diobah, kalau zaman berobah; teori-teorinya harus diikutkan pada
perobahannya dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut. Marx dan Engels
sendiripun mengerti akan hal ini; mereka sendiripun dalam tulisan-tulisannya
sering menunjukkan perobahan faham atau perobahan tentang kejadian-kejadian
pada zaman mereka masih hidup.[6]
Sejak
awal Bung Karno sudah bersikap memihak Marxisme. Dalam membela kaum Marxis dari
serangan kaum agama, Bung Karno menyatakan, agar bisa memahami Marxisme kita
harus membedakan Historis-Materialisme dan materialisme-filsafat.
Historis-Materialisme—materialisme historis—adalah penerapan materialisme dialektik
dalam ilmu sosial—penerapan filsafat materialisme dalam ilmu sosial; dalam
memandang perkembangan sejarah. Bung Karno menulis, kita harus membedakan
Historis- Materialisme itu dari pada Wijsgerig– Materialisme, kita harus
memperingatkan, bahwa maksudnya Historis-Materialisme itu berlainan dari pada
maksudnya Wijsgerig-Materialisme tahadi. Wijsgerig-Materialisme memberi jawaban
atas pertanyaan: bagaimanakah hubungannya antara fikiran (denken) dengan benda
(materie), bagaimana fikiran itu terjadi, Sedang Historis-Materialisme memberi
jawaban atas soal: sebab apakah fikiran itu dalam suatu zaman ada begitu atau
begini; wijsgerig-materialisme menanyakan ada (wezen) fikiran itu;
historis-materialisme menanyakan sebab-sebabnya fikiran itu berobah; wijsgerig-materialisme
mencari asal nya fikiran, historis-materialisme mempelajari tumbuhnya fikiran;
wijsgerig-materialisme adalah wijsgerig, historis-materialisme adalah historis.
Dua faham ini oleh musuh-musuhnya Marxisme di Eropah, terutama kaum gereja,
senantiasa ditukar-tukarkan, dan senantiasa dikelirukan satu sama lain. Dalam
propagandanya anti-Marxisme mereka tak berhenti-henti mengusahakan kekeliruan
faham itu; tak berhenti-henti mereka menuduh-nuduh, bahwa kaum Marxisme itu
yalah kaum yang mempelajarkan, bahwa fikiran itu hanyalah suatu pengeluaran
sahaja dari otak, sebagai ludah dari mulut dan sebagai empedu dari limpa; tak
berhenti-henti mereka menamakan kaum Marxis suatu kaum yang menyembah benda,
suatu kaum yang bertuhankan materi [7].
Menghadapi
Ir. Baars yang membelot dari Marxisme, Bung Karno dengan tangguh membela
Marxisme. Baars menyatakan, bahwa ia kini oleh pengalaman-pengalamannya di
negeri Russia, sudah ‘bertobat’ dari faham, yang bertahun-tahun menyerapi
budi-akalnya: komunisme. Berkali-kali Baars dalam tulisannya memperingatkan,
janganlah mendekati komunisme itu; berkali-kali ia mengatakan, bahwa apa yang
ia alami di Russia itu hanyalah kekalutan dan kesengsaraan sahaja. Bung Karno
tidak percaya terhadp tulisan Baars itu. Bung Karno menilai Baars sebagai
seorang bekas–komunis yang sekarang bukan saja anti-komunisme, tetapi juga
anti-sosialisme, dan juga anti-marxisme dalam umumnya. Bung Karno menulis, untuk
adilnya kita punya hukuman terhadap pada ‘prakteknya’ faham Marxisme itu, maka
haruslah kita ingat, bahwa ‘failliet’ dan ‘kalang-kabut’nya negeri Russia itu
adalah dipercepat pula oleh penutupan atau blokade oleh semua negeri-negeri
musuhnya; dipercepat pula oleh hantaman dan serangan pada empatbelas tempat
oleh musuh-musuhnya sebagai Inggeris, Perancis dan jenderal-jenderal Koltchak,
Denikin, Yudenitch dan Wrangel; dipercepat pula oleh anti-propaganda yang
dilakukan oleh hampir semua surat-kabar di seluruh dunia.....
Bagaimanakah
sikap kita, kaum nasionalis, terhadap pada sosialisme atau komunisme itu dalam
umumnya? Sosialisme, sosial-demokrasi, komunisme adalah suatu reaksi, suatu
faham perlawanan terhadap pada kapitalisme, suatu faham-perlawanan yang
dilahirkan oleh kapitalisme itu juga. Ia adalah anaknya kapitalisme, tetapi ia
adalah pula suatu kekuatan yang mencoba menghancurkan kapitalisme itu juga. Ia
tidak bisa berada dalam suatu negeri, dimana kapitalisme belum berdiri, dan ia
tentu ada suatu negeri, jikalau negeri itu mempunyai aturan kemodalan, ia tentu
ada suatu negeri, jikalau negeri itu susunan-pergaulan hidupnya ada
kapitalistis ...Dan begitulah, maka walaupun sosialisme itu atau komunisme itu
diperangi sehaibat-haibatnya atau ditindas sekeras-kerasnya, walaupun
pengikut-pengikutnya dibui, dibuang, digantung, didrel atau dibagaimanakan
juga; walaupun oleh penindasan yang keras dan pemerangan yang haibat ia
kadang-kadang seolah-olah bisa binasa dan tersapu sama sekali, maka tiada
henti-hentinya ia muncul lagi dinegeri yang kapitalistis, tiada
henti-hentinyalah ia membikin gemparnya kaum yang dimusuhinya, menyatakan diri
didalam riwayat dunia, sebagai ditahun 1848, ditahun 1871, ditahun 1905 dan
ditahun 1917, -- tiada henti-hentinya ia memperingatkan juru-riwayat yang
menulis tambonya negeri-negeri Perancis, Jerman, Inggeris, Rusia, Amerika...
Dan di Indonesia? Dinegeri tumpah-darah kita? Indonesia-pun tak akan hindar
dari pada jurusan-jurusan atau tendenz-tendenz yang dilalui oleh negeri-negeri
lain. Indonesia pun tak akan hindar dari pada sociaal–economische
praedestinatie , yang juga sudah menjadi nasibnya negeri-negeri Asia yang lain,
tak akan bisa hindar dari pada keharusan-keharusan yang sudah pula menetapkan
jalan-jalannya susunan pergaulan hidup negeri-negeri lain, yakni
keharusan-keharusannya hukum evolusi , artinya: Indonesia juga akan menaiki
semua tingkat-tingkat susunan pergaulan hidup yang sudah dinaiki oleh
negeri-negeri itu, -- Indonesia juga akan meninggalkan tingkat
susunan-pergaulan hidup yang sekarang ini, dan akan naik keatas tingkat susunan
pergaulan-hidup yang kemudian, masuk kealam zaman kepabrikan, masuk kedalam
zaman kapitalisme yang sebenar-benarnya, sebagaimana yang sekarang memang sudah
kentara adanya, Indonesia oleh karena itu juga tak luput mengenali
‘pengikutnya’ kapitalisme itu, suatu pergerakan yang berazaskan sosialisme atau
komunisme, sebagaimana yang memang sudah kita alamkan permulaannya pula.[8]
Pada kesempatan ulang tahun ke-50 wafatnya Karl Marx, Bung Karno menyatakan
pujian yang tinggi pada Marx. Soekarno menulis sebagai berikut:
Dari
muda sampai wafatnya, manusia yang haibat ini tiada berhenti-hentinya membela
dan memberikan penerangan pada simiskin, bagaimana mereka itu sudah menjadi
sengsara, dan bagaimana jalannya mereka itu akan mendapat kemenangan: tiada
kesal dan capainya ia bekerja dan berusaha untuk pembelaan itu: selagi duduk
diatas kursinya, dimuka meja-tulisnya, begitulah ia pada 14 Maret 1883, --
limapuluh tahun yang lalu --, melepaskan nafasnya yang penghabisan.
.....Berlainan dengan sosialis-sosialis lain, yang mengira bahwa cita-cita sosialisme
itu dapat tercapai dengan cara pekerjaan-bersama antara buruh dan majikan,
berlainan dengan umpamanya; Ferdinand Lassale, yang teriaknya ada suatu
teriak-perdamaian, maka Karl Marx, yang dalam tulisan-tulisannya tidak satu
kali memakai kata kasih atau kata cinta, membeberkanlah faham
pertentangan-kelas; faham klassenstrijd, faham perlawanan-zonder-damai sampai
habis-habisan. Dan bukan itu sahaja! Ilmu dialektik materialisme, ilmu
nilai-kerja, ilmu harga lebih, ilmu historis materialisme, ilmu statika dan
dinamikanya kapitalisme, ilmu Verelendung, ---- semua itu adalah ‘jasanya’
Marx. Bung Karno menulis, bahwa Kaum melarat-kepandaian yang berkeluh kesah itu
dengan gampang segera mengertinya.... Mereka dengan gampang mengerti
seluk-beluknya dialektika: bahwa perlawanan kelas adalah suatu keharusan
riwayat, dan bahwa oleh karenanya, kapitalisme adalah ‘menggali liang
kuburnya’. Begitulah teori-teori yang dalam dan berat itu dengan gampang sahaja
masuk didalam keyakinan kaum yang merasakan stelsel yang ‘diteorikan’ itu,
yakni didalam keyakinannya kaum yang perutnya senantiasa keroncongan. Sebagai
tebaran benih yang ditebarkan oleh angin kemana-mana dan tumbuh pula dimana ia
jatuh, maka benih Marxisme ini berakar dan subur bersulur dimana-mana. Benih yang
ditebar-tebarkan di Eropah itu sebagian telah diterbangkan pula oleh
tofan-zaman ke arah khatulistiwa, terus ke Timur, jatuh dikanan kirinya sungai
Sindu dan Gangga dan Yang Tse dan Hoang Ho, dan dikepulauan yang bernama
kepulauan Indonesia. Nasionalisme di dunia Timur itu lantas ‘berkawinlah’
dengan Marxisme itu, menjadi satu nasionalisme baru, satu ilmu baru, satu
iktikad baru, satu senjata-perjuangan yang baru, satu sikap-hidup yang baru.
Nasionalisme-baru inilah yang kini hidup dikalangan rakyat Marhaen Indonesia.[9].
Bung Karno memahami ajaran Marx mengenai kepeloporan klas buruh dalam revolusi.
Sesudah Konferensi Partindo di Mataram tahun 1933 mengambil 9 butir kesimpulan
mengenai Marhaen dan Proletar, Bung Karno menjelaskan hubungan Marhaenisme dengan
pandangan Marx tentang kepeloporan klas buruh dalam revolusi sosial sebagai
berikut:
Kaum proletar sebagai kelas adalah hasil-langsung daripada kapitalisme dan
imperialisme. Mereka adalah kenal akan paberik, kenal akan mesin, kenal akan
listrik, kenal akan cara produksi kapitalisme, kenal akan segala kemoderenannya
abad keduapuluh. Mereka ada pula lebih langsung menggenggam mati-hidupnya
kapitalisme didalam mereka punya tangan, lebih direct mempunyai gevechtswaarde
anti-kapitalisme. Oleh karena itu, adalah rasionil jika mereka yang didalam
perjoangan anti-kapitalisme dan imperialisme itu berjalan dimuka, jika mereka
yang menjadi pandu, jika mereka yang menjadi ‘voorlooper’ – jika mereka yang
menjadi ‘plopor’. Memang ! Sejak adanya soal ‘Agrarfrage’ alias ‘soal kaum
tani’, sejak adanya soal ikutnya sitani didalam perjoangan melawan stelsel
kapitalisme yang juga tak sedikit menyengsarakan sitani itu, maka Marx sudah
berkata bahwa didalam perjoangan tani & buruh ini, kaum buruhlah yang harus
menjadi ‘revolutionaire voorhoede’ alias ‘barisan-muka yang revolusioner’, kaum
tani harus dijadikan kawannya kaum buruh, dipersatukan dan dirukunkan dengan
kaum buruh, dihela dalam perjoangan anti-kapitalisme agar jangan nanti menjadi
begundalnya kaum kapitalisme itu – tetapi didalam perjoangan bersama ini kaum
buruhlah ‘menjadi pemanggul panji-panji revolusi sosial’. Sebab, memang
merekalah yang, menurut Marx, sebagai klasse ada suatu ’sociale
noodwendigheid’, dan memang kemenangan ideologi merekalah yang nanti ada suatu
‘historische noodwendigheid’, suatu keharusan riwayat, suatu kemustian didalam
riwayat.[10].
Mengenai sikap suatu klas terhadap kekuasaannya, Bung Karno bepegang pada
ajaran Marx yang menyatakan:
Tak
pernahlah suatu kelas suka melepaskan hak-haknya dengan ridlanya kemauan
sendiri, --- 'nooit heeft een klasse vrijwillig van haar bevoorrechte positie
afstand gedaan’, begitulah Karl Marx berkata. ---- Selama Rakyat Indonesia
belum mengadakan suatu macht yang maha sentausa, selama Rakyat itu masih sahaja
tercerai berai dengan tiada kerukunan satu sama lain, selama Rakyat itu belum
bisa mendorongkan semua kemauannya dengan suatu k e k u asaan yang teratur dan
tersusun, -- selama itu maka kaum imperialisme yang mencahari untung sendiri
itu akan tetaplah memandang kepadanya sebagai seekor kambing yang menurut, dan
akan terus mengabaikan segala tuntutan-tuntutannya. Sebab, tiap-tiap tuntutan
Rakyat Indonesia adalah merugikan kepada imperialisme, tiap-tiap tuntutan
Rakyat Indonesia tidaklah akan diturutinya, kalau kaum imperialisme tidak
terpaksa menurutinya. Tiap-tiap kemenangan Rakyat Indonesia adalah buahnya
desakan yang Rakyat itu jalankan, -- tiap-tiap kemenangan Rakyat Indonesia itu
adalah suatu afgedwongen concessie.[11].
Mengenai dirinya sendiri Bung Karno menulis:
Ada
orang yang mengatakan Sukarno itu nasionalis, ada orang mengatakan Sukarno
bukan lagi nasionalis, tetapi Islam, ada lagi yang mengatakan dia bukan
nasionalis, bukan Islam, tapi Marxis, dan ada lagi yang mengatakan dia bukan
nasionalis, bukan Islam, bukan Marxis, tetapi seorang yang berfaham sendiri.
Golongan yang tersebut belakangan ini berkata: mau disebut dia nasionalis, dia
tidak setuju dengan apa yang biasanya nasionalisme; mau disebut dia Islam, dia
mengeluarkan faham-faham yang tidak sesuai dengan fahamnya banyak orang Islam;
mau disebut Marxis, dia .... sembahyang; mau disebut bukan Marxis, dia ‘gila’
kepada Marxisme itu! Kini saya menjadi pembantu tetap dari ‘Pemandangan’, dan
oleh karena artikel-artikel saya nanti tentu akan membawa corak jiwa Sukarno,
maka baiklah saya tuturkan kepada Tuan, betapakah ... Sukarno itu. Apakah
Sukarno itu ? Nasionaliskah ? Islam-kah ? Marxis-kah ? Pembaca-pembaca, Sukarno
adalah ...campuran dari semua isme itu![12]
Selanjutnya
Bung Karno menulis,
Dr
Tjiptomangunkusumo dua bulan yang lalu telah menulis didalam surat-khabar ‘Hong
Po’, bahwa Marxisme adalah ‘membakar Sukarno punya jiwa‘ Saya mengucap terima
kasih atas kehormatan yang Dr Tjiptomangunkusumo limpahkan atas diriku itu.
Memang ! sejak saya sebagai ‘anak plonco’ buat pertama kali belajar kenal
dengan teori Marxisme dari mulutnya seorang guru H.B.S. yang berhaluan
sosial-demokrat (C.Hartogh namanya), sampai memahamkan sendiri teori itu dengan
membaca banyak-banyak buku Marxisme dari semua corak, sampai bekerja didalam
actieve politiek, sampai sekarang, maka teori Marxisme begitu adalah
satu-satunya teori yang saya anggap competent buat memecahkan soal-soal
sejarah, soal-soal politik, soal-soal kemasyarakatan. Marxisme itulah yang
membuat saya punya nasionalisme berlainan dengan nasionalismenya nasionalis
Indonesia yang lain, dan Marxisme itulah yang membuat saya dari dulu mula benci
kepada fasisme.....Dulu saya cinta kepada Marxisme; kini menjadilah ia sebagian
dari sayapunya kepuasan jiwa. Tetapi bagaimanakah akurnya Marxisme itu dengan
Islam yang juga mengisi sayapunya jiwa? Tidakkah orang berkata, bahwa agama dan
Marxisme itu seteru-bebuyutan satu sama lain, mengingkari satu sama lain dan
membantah satu sama lain? Buat orang lain, barangkali begitu! Tetap buat saya,
maka Marxisme dan Islam dapatlah berjabatan tangan satu sama lain didalam satu
sintese yang lebih tinggi. Buat saya Islam satu agama yang rasionil , satu
agama yang bersandar kepada kemerdekaan akal , yang berbeda setinggi langit
dengan agama-agama yang lain. .... Saya punya faham tentang Islam itu adalah
satu faham yang merdeka, -- begitu merdeka, sehingga sering tabrakan dengan
fahamnya orang-orang Islam yang lain !! (Cetak tebal dari penulis).[13]
Apakah Marxisme itu? Orang mengatakan Marxisme adalah seolah-olah ‘satu
agama sendiri’, orang mengatakan dia satu star systeem pula, orang malah
mengatakan dia semacam satu hocus-pocus yang dikira bisa dipakai buat menyelami
semua dalam-dalamnya rokh dan jiwa, -- pada hal dia hanyalah satu metode sahaja
untuk memecahkan soal-soal ekonomi, sejarah, politik, dan kemasyarakatan, atau
ilmu–perjoangan didalam hal ekonomi, politik, kemasyarakatan. Suatu metode
berfikir dan sesuatu ilmu – perjoangan tidak musti harus bertentangan dengan
sesuatu agama, apalagi kalau agama itu adalah agama rasionil seperti yang saya
visikan itu.[14]
Bung Karno sangat memperhatikan perkembangan peristiwa di Uni Sovyet, termasuk
perbedaan dan pertikaian antara Stalin dan Trotski. Bung Karno menulis:
Apakah fatsal pertikaian ini? Marilah saya terangkan kepada Tuan
garis-garis-besarnya seperti pertikaian Stalin-Trotzky seluruhnya lebih dulu.
....Stalin beranggapan bahwa dapat dan mungkin didirikan sosialisme didalam
satu negeri sahaja (yakni di Rusia saja), tetapi Trotzky menamakan anggapannya
Stalin itu anggapan orang gila: Sosialisme tak dapat didirikan tegak, tak
mungkin, tak bisa, manakala internationaal kapitalisme tidak diruntuhkan lebih
dulu sama sekali. ..... Sebab internationaal kapitalisme itu adalah berhubungan
satu dengan yang lain, ‘organisch verbonden’ satu dengan yang lain. ...Bukankah
gila pula mau mendirikan sosialisme di satu negeri pertanian seperti Rusia,
dimana kaum buruhnya kalau tidak mendapat bantuan kaum buruh negeri luaran,
mungkin bisa dikalahkan oleh kaum-kaum tani yang masih kolot dan besar
jumlahnya itu ? Tidak ! kata Trotzky revolusi yang telah menyala di negeri
Rusia itu tidak boleh berhenti dimuka pagar-pagarnya negeri-negeri yang
mengelilinginya, revolusi itu harus menjalar terus menjadi satu internationale
wereldrevolutie, dan dinegeri Rusia serta masing-masing negeri lain itu,
revolusi ini tidak boleh bersifat satu kejadian yang ‘sekali jadi, sudah’ ,
tetapi haruslah bersifat satu revolusi terus menerus yang mengerjakan semua
etappe–etappenya, dari a sampai z. Maka faham internationale wereldrevolutie
yang melalui semua etappe-etappenya terus menerus dari a sampai z ini oleh
Trotzky dinamakanlah faham ‘permanente revolutie’.
Stalin pada hakekatnya tidak anti perjoangan melawan kapitalisme internationaal
itu. Ia pada hakekatnya tidak anti wereldrevolutie, ia pro aksi kaum proletar
di mana-mana. Dapatkah orang menunjukkan seorang komunis yang anti
wereldrevolutie itu ? Tetapi Stalin katanya tidak mau melupakan satu kenyataan
yang sudah ada -- satu realiteit. Apakah realiteit ini ? Realiteit ini ialah,
kata Stalin,.bahwa pada dewasa ini perlu dijaga keselamatan ‘benteng Rusia’.
Pada dewasa ini kaum proletar seluruh dunia hanyalah mempunyai satu benteng
sahaja, satu citadel, ‘satu pusat-kekuasaan’, yakni Sovyet Rusia. Perkuatlah
pusat-kekuasaan ini, jagalah keselamatannya. Perkuatlah negara Sovyet Rusia,
haibatkanlah ia punya industrialisasi, haibatkanlah ia punya tenaga militer,
haibatkanlah ia punya barisan dalam, haibatkanlah ia punya barisan luar.
Seluruh dunia kapitalisme dari Barat dan Timur, dari dekat dan dari jauh, mau
menjatuhkan satu-satunya citadel kaum proletar ini, -- jagalah jangan ia jatuh.
Haibatkanlah negara Soyet Rusia ini menjadi satu negara yang kerasnya seperti
baja, supaya tiap-tiap musuh yang menyerangnya akan hancur menjadi debu dimuka
pintu-pintu-gerbangnya dan dimuka meriam-meriamnya ...Nah, kata Stalin, satu
negeri yang demikian luasnya, satu benua, yang penduduknya ratusan milyun, yang
tradisi pergerakan kaum buruh telah langsung berpuluh-puluh tahun, dapatlah
mendirikan sosialisme didalam pagarnya sendiri! ... Asal sahaja negara Rusia
itu tidak dirusakkan orang dari luar , asal saja dia mampu menangkis tiap-tiap
serangan musuh dari luar, maka pekerjaan mendirikan sosialisme itu bisa
langsung dan berhasil.” ...... “Kini, kini datanglah ujiannya sejarah.
Pelor-pelornya Hitler dan dinamit-dinamitnya Hitler menghantam kepada
tembok-temboknya benteng Russia itu. Bumi bergoncang, udara laksana akan
terbelah, karena haibatnya hantaman ini. Kini malaekatnya sejarah mengkilatkan
pedangnya dan menggunturkan suaranya. Kini Stalin dibawa oleh malaekat sejarah
itu kehadapan Mahkamatnya, diuji kebenarannya ia punya ‘teori benteng’. Akan
kuatkah benteng Stalin menahan serangan musuh?... Stalin kini berdiri dimuka
Mahkamat itu. Dengan tandas ia akan mengulangi apa yang berkali-kali ia telah
katakan: Ini , serangan dari luar inilah , yang ia khawatirkan dan jagakan dari
dulu![15]. Stalin benar atau Stalin salah, Trotzky benar atau Trotzky salah,
-- pada saat ini soal itu menjadikanlah satu soal akademis, yang terdorong ke
belakang oleh soal mati-hidup yang baru timbul, yakni soal: akan mampukan
Stalin menghantam Hitler ini terjungkel patah sehingga tidak bisa berdiri lagi?[16]
Tulisan Bung Karno ini dimuat dalam Pemandangan pada tahun 1941, pada saat
berkecamuknya serangan militer Nazi Jerman terhadap Uni Sovyet.. Sejarah
menunjukkan, bekerjasama dengan pasukan Sekutu dalam Perang Dunia kedua,
Tentara Merah Uni Sovyet dibawah pimpinan Stalin berhasil memukul mundur
serangan Hitler, sampai Nazi bertekuk lutut.
Sebagai penganut Marxisme, Bung Karno tegas sejak semula sudah bercita-cita
membangun sosialisme di Indonesia. Tapi, Bung Karno menyatakan:
Sekarang memang belum tiba saatnya buat kita untuk mengadakan sosialisme, --
belum tiba kemungkinanya buat kita untuk mengadakan sosialisme --, sekarang
Revolusi kita masih Revolusi Nasional, tetapi itu tidak berarti bahwa Negara
Nasional yang hendak kita dirikan dus satu negara yang burgerlijk. .... Negara
Nasional Indonesia yang hendak kita dirikan itupun tidak bersifat burgerlijk
dan juga belum bersifat sosialis, melainkan bolehlah diibaratkan satu
‘fase-peralihan’ antara fase burgerlijk dan fase sosialis ... Negara kita
adalah satu ‘negara peralihan’ , satu negara yang dengan sedar memperjuangkan
peralihan, -- satu negara yang revolusioner. Untuk itu Bung Karno sadar bahwa
musuh yang dihadapi adalah imperialisme internasional.
Selanjutnya
Bung Karno menyatakan:
Perjoangan kita adalah satu bagian dari perjoangan besar di seluruh dunia
menentang imperialisme; saru perjoangan yang hasil-akibatnya ialah melemahkan
imperialisme; satu perjoangan yang revulusioner. Perjoangan-kemerdekaan sesuatu
rakyat-jajahan atau setengah-jajahan janganlah ditinjau dalam ‘keadaannya
sendiri’, tetapi haruslah ditinjau dalam hubungan-sedunia. Jangan ditinjau
terlepas dari hubungan itu, tetapi harus ditinjau dalam hubungan itu: Harus
ditinjau di atas gelanggang perjoangan anti-imperialisme sedunia... Perjoangan
kemerdekaan rakyat-jajahan atau setengah-jajahan melemahkan
imperialisme-internasional, lemahnya imperialisme-internasional melemahkan
kapitalisme-internasional; tiap-tiap perjoangan-kemerdekaan rakyat-jajahan atau
setengah jajahan adalah dus revolusioner dan pantas dibantu, wajib dibantu oleh
semua tenaga anti-kapitalis di seluruh dunia. Golongan-golongan yang
membenarkan dan membantu perjoangan-kemerdekaan rakyat-rakyat jajahan atau
setengah jajahan, mereka adalah pula golongan-golongan yang revolusioner.
Sebaliknya, golongan-golongan apapun, yang tidak membantu, tidak membenarkan
perjoangan-kemerdekaan sesuatu bangsa jajahan atau setengah-jajahan, -- meski
dengan memakai alasan-alasan demokrasi formil, meski ia menamakan diri
‘progresif’, atau ‘demokrat’, atau ‘sosialis --, ia adalah reaksioner. Ia
hakekatnya mempertahankan imperialisme, ia dus mempertahankan kapitalisme. Ia
terang reaksioner, dan kalau ia ‘sosialis’, maka ia ‘sosialis’ yang
terang-terang mendurhakai sosialisme! ..... – ya, dinegeri Belanda sendiripun
ada golongan-golongan sosialis (bukan dari Partij van den Arbeid !) yang
membela kita. Apa sebab golongan-golongan ini membela kita ? Mereka yakin akan
kebenaran ajaran Marx yang berbunyi: ‘ Een volk dat een ander volk onderdrukt,
kan niet vrij zijn ‘. -- Satu rakyat yang menindas rakyat lain, tak mungkin
merdek.[17]
Mengenai masalah membangun sosialisme, Bung Karno menulis:
Karl Marx sendiri didalam salah satu tulisannya menyatakan dengan tegas,
bahwa runtuhnya kapitalisme itu tidak automatis berarti berdirinya sosialisme.
Sosialisme hanyakah berdiri jikalau didirikan. Ji kalau tidak ada tenaga-tenaga
yang mendirikan sosialisme itu, maka runtuhnya kapitalisme yang tidak boleh
tidak pasti akan terjadi itu, (historisch noodwendig), niscayalah akan diikuti
oleh khaos yang tiada hingganya dan tiada taranya berpuluh-puluh tahun ! Memang
banyak orang yang mengira bahwa perkataan ‘keharusan sosial-historis’
mengandung arti, bahwa (pada suatu tingkatan evolusi) kapitalisme pasti dengan
sendirinya diganti oleh sosialisme. Pada hal sebagai dinyatakan oleh Marx tadi
tidak demikian ! Kapitalisme (pada suatu tingkatan evolusi) pasti diganti oleh
sosialisme, bilamana rakyat-jelata bertindak untuk menggantinya dengan
sosialisme. Yang ‘pasti’ itu hanyalah adanya anasir-anasir objektif pada suatu
tingkatan evolusi: anasir-anasir objektif guna runtuhnya kapitalisme,
anasir-anasir objektif guna berdirinya sosialisme.[18]
Bung Karno memahami adanya dua tingkat revolusi, yaitu revolusi nasional dan
revolusi sosialis. Disamping itu, juga memahami bahwa sosialisme adalah teori,
adalah ilmu. Bung Karno sangat menilai tinggi arti penting ‘teori sosialisme’.
Dia menuls:
Saya
bercita-cita sosialis, maka saya menulis buku ini. Justru oleh karena saya
mengidam-idamkan masyarakat sosialis, maka kita harus mengetahui bagaimana
caranya kita dapat sampai dimasyarakat sosialis itu. Justru oleh karena kita
ingin menuju kepada masyarakat sosialis, maka kita harus dari sekarang berfikir
dan bertindak dengan tuntutan teori sosialis itu. Sosialisme bukan saja satu
sistim masyarakat, sosialisme adalah pula satu teori, satu ilmu, satu
tuntunan-perjoangan, satu cara-berfikir, satu denkmethode. Teori sosialisme lah
yang membawa kita kepada pengertian tentang keadaan-keadaan objektif didalam
masyarakat Indonesia sekarang dan masyarakat-dunia Teori sosialisme lah
yang memberi pengetahuan kepada kita bahwa tingkatan Revolusi kita sekarang tak
mungkin lain daripada tingkatan Nasional. Teori sosialisme lah dan bukan
teori burjuis, yang menunjukkan, bahwa bagi kita sekarang belum datang
kemungkinan untuk melaksanakan sosialisme .... Itulah ‘jasa’ teori
sosialisme kepada kita. Apa sebab kita sekarang nasionalis? Justru karena
sosialisme itulah, maka kita sekarang nasionalis, dan nasionalisme kita terangkat
naik ketingkatan yang bernama sosio-nasionalisme. Justru karena sosialisme
itulah, maka kita menjalankan perjoangan kita itu secara yang sekarang ini;
memusatkan, membulatkan, mengkonsentrasikan segenap tenaga rakyat kepada
perjoangan Nasional, menghantamkan segenap tenaga-perjoangan daripada segenap
rakyat itu kepada benteng kolonialisme asing untuk memerdekakan Indonesia dari
penjajahan -- mempraktekkan satu Persatuan Nasional-Revolusioner untuk
mendirikan satu Negara Nasional, yang didalamnya bukan saja berkembang
sesegar-segarnya satu Demokrasi yang Sosio-Demokrasi, tetapi pula terbangun
syarat-syarat-tehnis minimum untuk nanti menelorkan satu pergaulan-hidup yang
sosialis. Semua itu berkat ‘jasa’ teori sosialisme, sesuai dengan
kebenaran bahwa ‘tiada gerakan revolusioner dengan tiada teori revolusioner.[19]
Oleh karena itu, janganlah kita sekedar berangan-angan sosialisme, -- meski
sosialisme yang ‘okjektif’ sekalipun! – tetapi kita harus memfahami teori
sosialisme, memfahami cara berfikir sosialisme, berilmu sosialisme. Berilmu
sosialisme, agar supaya tahu caranya berjoang mencapai sosialisme! (Cetak
tebal, penulis).[20]
Dalam perjuangan membangun sosialisme itu, Bung Karno mengakui bahwa Indonesia
terlambat dalam perkembangan ideologi dan Konsepsi Nasional. Beliau
menganalisis bahwa sebab musabab keterlambatan itu adalah:
Di
dalam negeri disebabkan oleh dualisme dan kompromisme, di luar negeri
disebabkan oleh apa? Beberapa tahun sesudah proklamasi Kemerdekaan kita, maka
terjadilah diluar negeri—kemudian juga meniup diangkasa kita—apa yang dinamakan
‘perang dingin’. Perang dingin ini sangat memuncak pada kira-kira tahun 1950,
malah hampir-hampir saja memanas menjadi perang panas. Ia amat menghambat
pertumbuhan-pertumbuhan kekuatan progressif diberbagai negara. Tadinya, segera
sesudah selesainya Perang Dunia yang ke-II, aliran-aliran progressif
dimana-mana mulailah berjalan pesat. Tetapi pada kira-kira tahun 1950, sebagai
salah satu penjelmaan daripada perang dingin yang menghebat itu, aliran-aliran
progressif mudah sekali dicap ‘Komunis’. Anti kolonialisme – Komunis. Anti
exploitation d l’homme par l’homme – Komunis. Anti feodalisme – Komunis. Anti
kompromis – Komunis. Konseken revolusioner – Komunis. Ini banyak sekali
mempengaruhi orang-orang, terutama sekali fikirannya orang-orang yang memang
jiwanya kintel. Dan inipun terus dipergunakan (diambil manfaatnya) oleh
orang-orang Indonesia yang memang jiwanya jiwa kapitalis, feodalis, federalis,
kompromis, blandis, dan lain-lain sebagainya. Dus: Orang-orang yang jiwanya
negatif menjadilah menderita penyakit ‘takut kalau-kalau disebut kiri’, ‘takut
kalau-kalau disebut Komunis’. Kiri-phobi dan komunisto-phobi membuat mereka
menjadi konservatif dan reaksioner dalam soal-soal politik dan soal-soal
pembangunan sosial-ekonomis..[21]
Bung Karno yang tak henti-hentinya menggalakkan penggalangan persatuan
nasional, mengobarkan semangat Gotong Royong. Bung Karno menyatakan:
Telah
masyhur dimana-mana, sampai diluar negeri sekalipun, bahwa jiwa Gotong Royong
adalah salah satu corak dari pada Kepribadian Indonesia. Tidak ada satu negeri
dikolong langit ini yang disitu Gotong Royong adalah satu kenyatan hidup
didesa-desa, satu living reality, seperti di Indonesia ini. Tidak ada satu
bangsa yang didalam hidup-keigamaannya begitu toleran seperti bangsa Indonesia
ini. Tetapi juga tidak ada satu bangsa yang didalam kehidupan politiknya
kadang-kadang mendurhakai prinsip Gotong Royong itu, seperti bangsa Indonesia!”
... di lapangan perjoangan bangsa kita harus menggembleng dan menggempurkan
persatuan daripada segala kekuatan-kekuatan revolusioner, -- menggembleng dan
menggempurkan ‘de samenbundeling van alle revolutionnaire krachten in de
natie’. ....Gotong Royong adalah juga satu keharusan dalam perjoangan melawan
imperialisme dan kapitalisme, baik dizaman dulu maupun dizaman sekarang. Tanpa
mempraktekkan samenbundeling van alle revolutionnaire krachten untuk
digempurkan kepada imperialisme dan kapitalisme itu, janganlah ada harapan
perjoangan bisa menang! Dan kita toh ingin menang? Dan kita toh harus menang ?
Karena itu maka saya selalu menganjurkan Gotong Royong juga dilapangan politik.
Karena itu Manifesto Politik-USDEK bersemangat ke Gotong Royongan – bulat
dilapangan politik. Karena itu di Solo beberapa pekan yang lalu saya tegaskan
perlunya persatuan dan ke Gotong Royongan antara golongan Islam, Nasional dan
Komunis. Ini adalah konsekwensi-politik yang terpenting bagi semua pendukung
Manifesto Politik dan USDEK, satu konsekwensi-politik yang tidak
plintat-plintut atau plungkar-plungker bagi semua orang yang setia kepada
Revolusi Agustus 1945.[22]
Selanjutnya
Bung Karno menegaskan: bBukalah tulisan-tulisan saya dari zaman penjajahan.
Bacalah tulisan saya panjang-lebar dalam majalah ‘Suluh Indonesia Muda’ tahun
1926, tahun gawat-gawatnya perjoangan menentang Belanda. Didalam tulisan itupun
saya telah menganjurkan, dan membuktikan dapatnya, persatuan antara Islam,
Nasionalisme, dan Marxisme. Saya membuka topi kepada Saudara Kiyai Haji
Muslich, tokoh alim-ulama Islam yang terkemuka, yang menyatakan beberapa pekan
yang lalu persetujuannya kepada persatuan Islam-Nasional-Komunis itu, oleh
karena persatuan itu memang perlu, memang mungkin, memang dapat.[23]
Persatuan tiga aliran itulah yang dinamakan Nasakom. Menghadapi kekuatan yang menentang
gagasan Nasakom, Bung Karno menyatakan: sebetulnya, yang menjadi sumber
anti-Nasakom itu ialah .... Komunisto-phobi, takut momok komunis! Sumber-sebab
yang sebenarnya itu disembunyikan dibelakang macam-macam omongan tetapi
sumbernya yang sebenarnya ialah .... takut momok komunis.[24]
Dengan menjadikan Manipol/USDEK sebagai Konsep Sosialisme Indonesia,
mengenai pembangunan sosialisme Indonesia, Bung Karno menyatakan: Saya ulangi
lagi: resapkanlah sosialisme Indonesia sampai kemana-mana. Camkanlah, bahwa
tulang-punggung, darah daging sosialisme Indonesia ialah pelaksanaan didaerah.
Disanalah harus bertumbuh percobaan sosialisme Indonesia, disanalah harus
berkembang pengalaman sosialisme Indonesia. Disanalah kita akan melihat secara
pragmatis prakteknya pelaksanaan sosialisme Indonesia, dan dari cara pemimpin
didaerah-daerah, didesa-desa, diploksok-ploksok diminta segala kemampuan
(vindingsrijkheid) untuk menemukan cara-cara yang baik dalam pelaksanaan
Manipol/USDEK. Karena itu maka tiap kegiatan kita harus kita dasarkan atas
Konsep Sosial kita yang jelas, yaitu Konsep Manipol/USDEK, Konsep Sosialisme
Indonesia.[25]
Mengenai
hubungan antara Angkatan Bersenjata dan Konsepsi Nasional Manipol/USDEK, Bung
Karno
Mereka
adalah alat Revolusi, mereka adalah Angkatan Bersenjataya Revolusi. Mereka
harus mengabdi kepada Rakyat, mendahulukan kepentingan Rakyat daripada
kepentingan lain-lain. Mereka tak boleh melukai perasaan dan hati Rakyat,
mereka harus menjadi Angkatan Bersenjata yang disukai dan dicintai Rakyat.
Sebagai dimuka sudah saya katakan, Rakyat sudah menerima Manipol sebagai
pimpinan politiknya, maka Angkatan Bersenjatapun harus menerima Manipol juga,
dan menerimanya dengan sepenuh-penuh hati. Rakyat sudah dipimpin oleh Manipol,
maka Angkatan Bersenjatapun harus dipimpin oleh Manipol. Sekali lagi saya
ulangi disini: bukan Angkatan Bersenjata atau bedil yang memimpin Manipol,
tetapi Manipol yang memimpin Angkatan Bersenjata dan bedil!.... Ingat sekali
lagi, kita semua dipimpin oleh Manipol, kita semua harus menuju kepada
sosialisme ! Tentang pengertian sosialisme dan pelaksanaan sosialisme tak boleh
ada antagonisme dan Konradiksi dikalangan pemimpin-pemimpin kita, baik pemimpin
preman maupun pemimpin militer.[26].
Berkali-kali Bung Karno menyerukan penyatuan semua kekuatan revolusioner untuk
kemenangan revolusi. Bung Karno menyatakan:
’Alle
revolutionnaire krachten’ – ‘semua, sekali lagi semua, tenaga revolusioner
didalam Bangsa’! Dus: segala penggolongan termasuk swasta (asal revolusioneer)
dalam masyarakat kita persatukan. Dus: ‘Nasakom’. Sebab Nasakom adalah
kenyataan-kenyataan-hidup yang tak dapat dibantah, living realities – didalam
masyarakat Indonesia kita ini. Mau tidak mau, senang atau tidak senang, kita
harus menerima kenyataan-kenyataan itu .... Janganlah kita masuk terjerumus
dalam peang dingin. Jangan kita ikut-ikut perang-dingin itu ! Hal ini sudah
saya peringatkan dalam salah satu pidato 17 Agustus yang terdahulu Kenapa masih
saja ada golongan Rakyat Indonesia yang sadar atau tidak sadar masuk terjerumus
dalam perang-dingin orang lain?[27
engenai
hubungan antara Panca Sila dan Nasakom Bung Karno menyatakan:
Siapa
yang setuju kepada Panca Sila, harus setuju kepada Nasakom; siapa yang tidak
setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Panca Sila ! Sekarang
saya tambah: Siapa setuju kepada Undang-Undang Dasar ’45 harus setuju kepada
Nasakom; siapa tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setujui kepada
Undang-Undang Dasar ’45![28]
Tentang
Marhaenisme Bung Karno menulis:
Saya sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Marxisme. Malahan ajarannya Karl
Marx tentang historis-materialisme saya gemari dan saya setujui sepenuhnya dan
saya gunakan, ya ..... saya ‘toepassen’, saya ‘trap’kan kepada situasi
masyarakat Indonesia. Dan sebagai hasil daripada penggunaan, atau ‘toepassing’
atau pentrapan historis-materialisme Karl Marx dimasyarakat Indonesia dengan ia
punya kondisi sendiri dengan ia punya situasi sendiri, dengan ia punya sejarah
sendiri, dengan ia punya kebudayaan sendiri dan sebagainya lagi itu, maka saya
datang kepada ajaran Marhaenisme. Maka dari itu saya selalu menganjur-anjurkan
kepada seluruh Front Marhaenis, bahwa untuk dapat memahami Marhaenisme ajaran
saya itu, kita minimal, paling sedikit harus menguasai dua pengetahuan: pertama:
pengetahuan tentang situasi dan kondisi Indonesia, dan kedua pengetahuan
tentang Marxisme. Siapa yang secara minimal tidak menguasai dua hal, tak akan
dapat memahami Marhaenisme ajaran saya, apalagi meyakini kebenaran Marhaenisme
ajaran saya.[29].
Menjawab berbagai pertanyaan tentang penggunaan kata ‘Nasakom’, Bung Karno
berkata:
Kenapa
‘Kom’? Kenapa kok tidak seperti tahun duapuluh enam waktu Bung Karno buat
pertama kali mencetuskan ide persatuan dari pada tenaga-tenaga revolusioner
ini? Nasionalis, Islam, Marxisme atau Nasionalis, Agama, Marxis, kenapa Bung
Karno tidak memakai perkataan Nasamarx? Kok pakai perkataan Nasakom? Kenapa
‘Kom’? Kenapa tidak ‘Sos’? Kenapa tidak ‘Marx’? Nasamarx atau Nasasos? Kok Bung
Karno memakai perkataan Nasakom? Jelaslah di sini saudara-saudara, dengarkan,
perkataan yang paling dicatut, dicatut oleh pencoleng-pencoleng politik, oleh
coro-coro politik, perkataan yang paling dicatut pencoleng-pencoleng dan
coro-coro ini yalah perkataan Marxisme saudara-saudara. Saudara-saudara
mengetahui bahwa misalnya PSI, Partai Soslalis Indonesia yang sudah saya
bubarkan itu, PSI itu selalu menepuk-nepuk dada: Kami Marxis, kami Marxis, Kami
Marxis!~ Saya berkata mereka bukan Marxis! Mereka adalah pencoleng dari pada
Marxisme. Karena itu aku tidak mau memakai perkataan Nasamarx. Kalau aku
memakai perkataan Nasamarx, jangan-jangan nanti orang-orang PSI juga ikut-ikut
di dalam Nasamarx itu saudara-saudara. Padahal mereka adalah
kontra-revolusioner, padahal mereka adalah revisionis tulen, pada hal mereka
adalah pencoleng Marxisme![30]
Bung
Karno memeras Pancasila menjadi Trisila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasi.. Kebangsaan disatukan dengan
Peri-kemanusiaan menjadi Sosio-nasionalisme, dan Kedaulatan Rakyat disatukan
dengan Keadilan Sosial menjadi Sosio-demokrasi. Trisila bisa diperas menjadi
Ekasila, eka artinya satu, Ekasila artinya Gotong Royong. Kemudian, Bung Karno
berkata: Nah, Saudara-saudara, belakangan, belakangan aku juga berkata bahwa
Pancasila ini bisa juga diperas lagi secara lain, bukan secara Ketuhanan Yang
Maha Esa, Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi, tetapi bisa diperas pula secara
lain, dan perasan secara lain ini adalah Nasakom. Nasakom adalah pula perasan
dari Pancasila, dan Nasakom adalah sebenarnya juga gotong-royong, adalah de
totale perasan dari pada Pancasila. Jikalau Nasakom adalah perasan dari
Pancasila, maka perasan Nasakom adalah gotong royong pula.[31].
Catatan:
[1]
Ir. Sukarno: NASIONALISME, ISLAMISME DAN MARXISME, dalam buku DIBAWAH BENDERA
REVOLUSI, jilid pertama, hal. 3, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI,
1959.
[2] Ibid, hal, 5
[3] Ibid, hal. 10.
[4] Ibid, hal. 15-16.
[5] Ibid, hal. 20.
[6] Ibid, hal 19.
[7] Ibid, hal 21
[8] Bung Karno: BERHUBUNG DENGAN TULISANNYA Ir. A.BAARS, dalam buku DIBAWAH
BENDERA REVOLUSI, jilid I, hal. 57-61, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA
REVOLUSI, 1959
[9] Bung Karno: MEMPERINGATI 50 TAHUN WAFATNYA KARL MARX, dalam buku DIBAWAH BENDERA
REVOLUSI jilid I, hal, 219-221
[10] Bung Karno: MARHAEN DAN PROLETAR, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI,
jilid I, hal. 255, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI 1959.
[11] Bung Karno: MENCAPAI INDONESIA MERDEKA, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI
, hal. 297-298, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, 1959.
[12] Bung Karno: MENJADI PEMBANTU ‘PEMANDANGAN’ – Sukarno Oleh .... Sukarno
Sendiri --, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, hal. 508, Panitya Penerbit
DIBAWAH BENDERA REVOLUSI 1959.
[13] Ibid, hal. 511-512.
[14] Ibid, hal 512.
[15] Bung Karno: SATU UJIAN SEJARAH, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI JILID
I, hal. 523-525, Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, 1959
[16] Ibid, hal. 530.
[17] Bung Karno: SARINAH—Kewajiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia,
tjetakan ketiga, hal. 279-292, Panitya Penerbit buku-buku Karangan Presiden
Sukarno, 1963.
[18] Ibid, hal. 294.
[19] Ibid, hal. 297-298.
[20] Ibid, hal 300.
[21] Bung Karno: LAKSANA MALAEKAT YANG MENYERBU DARI LANGIT, JALANNYA REVOLUSI
KITA !, dalam Buku DIBAWAH BEDNDERA REVOLUSI, jilid kedua, hal. 406, Panitya
Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, 1964.
[22] Ibid, hal. 413
[23] Ibid, hal. 414.
[24] Bung Karno: RE-SO-PIM, -- REVOLUSI—SOSIALISME INDONESIA—PIMPINAN NASIONAL,
Amanat Presiden Sukarno pada ulang tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17
Agustus 1961, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, jilid kedua, hal. 467,
Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI 1964.
[25] Bung Karno: RE-SO-PIM,-- REVOLUSI—SOSIALISME INDONESIA—PIMPINAN NASIONAL,
Amanat Presiden Sukarno pada ulang tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17
Agustus 1961, dalam buku DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, jilid kedua, hal. 459,
Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI 1964.
[26] Ibid, hal. 466
[27] Ibid, hal. 467.
[28] Ibid, hal.468
[29] Bung Karno: AMALKANLAH MARHAENISME !, Amanat kepada Front Marhaenis 4 Juli
1963, dalam brosur NYALAKAN TERUS API MARHAENISME!, Seri I, hal 40, Departemen
Penerangan – Propaganda DPP Partai Nasional Indonesia.
[30] Bung Karno: SUBUR, SUBUR, SUBURLAH PKI, Pidato Presiden Sukarno pada rapat
raksasa Ulangtahun ke-45 PKI, hal. 11-12, Jajasan PEMBARUAN , Djakarta, 1965.
[31] Bung Karno: PERTJAJALAH PADA BENARNYA NASAKOM !, Amanat-Indoktrinasi
Presiden Sukarno Pada Pembukaan Kursus Kilat Kader Nasakom, tanggal 1 Juni
1965, di Istora Bung Karno, Senajan, Djakarta, hal. 13, Departemen Penerangan
R.I. 1965.
Penghulu
adalah seorang laki-laki yang dituakan pada sebuah suku di Minangkabau,
yang membidangi tentang seluk beluk urusan adat. Penghulu dalam
kehidupan sehari-hari dipanggil “Datuk” Fungsi seorang penghulu di
Minangkabau adalah sebagai pemimpin suku dalam urusan adat.
Salah satu sifat dari seorang penghulu di Minangkabau adalah fathabah
(cerdas dan cendekia) artinya penghulu haruslah cerdas dan cendekia
yaitu kecerdasan yang didukung oleh pengetahuan luas dan mendalam.
Seorang penghulu harus mendalami seluk beluk adat, ajaran Islam (syarak)
serta ilmu pengetahuan lainnya.
Anggota kaum tidak boleh mengangkat penghulu yang tidak cerdas, karena
bisa menghancurkan kemakmuran dan kesejahteraan kaumnya sesuai dengan
kata-kata adat berbunyi: Alang cadiak binaso adaik Alang alim rusak agamo Alang tukang binaso kayu
Artinya bila suatu pekerjaan diberikan bukan kepada ahlinya, maka
kehancuran yang akan datang. Jadi penghulu bukanlah cadiak mambuang
kawan, gapuak mambuang lamak. Tetapi kecerdasannya digunakan untuk
melindungi dan mengayomi anak kemenakan dan masyarakat.
FUNGSI DAN KEDUDUKAN PENGHULU DI MINANGKABAU
Fungsi dan Peranan Penghulu Di Minangkabau
Fungsi penghulu adalah pemimpin dalam urusan adat secara umum
untuk memimpin anak kemenakannya dalam segala bidang dan menyelesaikan
tiap sengketa atau perselisihan dan memelihara harta pusaka. Hal ini
sesuai dengan ungkapan adat Minangkabau:
Kayu rindang di tangah koto
Ureknyo tampek baselo
Batangnyo tampek basanda
Dahannyo tampek bagantuang
Daunnyo perak suaso
Bungonyo ambiak kasuntiang
Buahnyo buliah di makan
Tampek bataduah katiko hujan
Tampek balinduang katiko paneh
Untuk menjalankan fungsinya, maka seorang penghulu pekerjaan sehari-hari adalah sebagai berikut:
Mengendalikan pemerintahan menurut undang-undang adat.
Membimbing anak kemenakan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Mengadakan rapat di balai adat untuk membicarakan kehidupan dan kemakmuran serta keadilan masyarakat.
Menerima tukup bubuang, misalnya menerima hasil bumi, pajak sawah, pajak tanah, dan lain-lain.
Fungsi penghulu tergambar dalam kewajiban
adat disebut “utang”. Utang harus dibayar atau dilunasi, menurut kato
adat ada empat macam yaitu sebagai berikut: 1. Manuruik alua nan luruih. 2. Manampuah jalan nan pasa. 3. Mamloharo anak kamanakan. 4. Mamaliharo harto pusako.
Penghulu wajib manuruik alua nan luruih ialah
alua adat. Alua adat adalah peraturan yang dibuat dengan kata
mufakat oleh para penghulu dalam suatu nagari.
Alua terbagi dua yaitu:
1. Alua adat adalah peraturan yang dibuat dengan kata mufakat, ia berubah sesuai dengan keadaan dan situasi. 2. Alua pusako adalah aturan pokok yang turun
temurun dari Dt Perpatih nan Sabatang dan Dt Katumanggungan. Alua pusako
tidak dirubah indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan, contohnya: a. Hutang babaia, piutang batarimo. b. Salah batimbang, mati bakubua.
Jadi kata nan luruih dilaksanakan menurut kato
pusako, menurut kata mufakat di dalam adat dikatakan kato Dahulu
Batapati Katro Kudian Dicari.
Perangai Buruk dan Larangan Atau Pantangan Penghulu Di Minangkabau
1. Enam Macam Perangai Buruk Penghulu di Minangkabau
a. Penghulu nan diujuang tanjuang. Penghulu yang tidak memiliki prinsip dalam kehidupannya. Dalam ungkapan adat dikatakan: Sapantun sipongang dalam quo
Urang mahariak inyo mahariak
Kalau diimbau bunyi ado Kalau dicaliak indak basuo
b. Penghulu ayam gadang (penghulu ayam jago). Penghulu berperangai seperti ayam jago, kokoknya merdu. Hal ini diungkapkan dalam kato adat:
Bakotek hilia jo mudiak Bakukuak kiri jo kanan Mananggakkan tuah kamanangan Tiok ado kabaikan tumbuah Inyo nan pokok pangkanyo Bakotek indak batama Tinggi lonjak gadang sajo Gadang tungkai indak barisi Elok bungkuih pangabek kurang
c. Penghulu buluah bamboo (penghulu buluh bambu). Adalah penghulu kelihatan bagus dari luar,
tetapi kosong di dalam, kurang ilmu, tetapi berlebih lagaknya. Hal ini
diungkapkan dalam kato adat:
Batareh tampak kalua Di dalam kosong sajo Tampang elok takah balabiah Lagak rancak aka tak ado Ilmu jauah sakali Awak datuak janyo awak
d. Penghulu katuak-katuak (penghulu ketuk-ketuk). Penghulu yang bersifat seperti tong-tong di lading. Ia hanya berbunyi bila diketok. Hal ini diungkapkan dalam kato adat:
Iolah tong-tong urang diladang Kalau diguguah inyo babunyi Disaru baru basuaro Ka mangecek takuik balabiah
e. Penghulu Tupai tuo (penghulu tupai tua). Penghulu yang berperangai seperti tupai tua, ia
tidak mau berusaha karena takut salah ia merasa dirinya tidak berarti. Dalam kato adat:
Elok nan tidak mengalua Gadang nan indak mangatangah Bagai karabang talua itiak Rancaknyo tabuang sajo Indak tatampuah ujuang dahan Alek jamu indak tajalang Alua tak ado nan taturuik Jalan tak ado nan tatampuah Banyak sagan dalam dirinyo
f. Penghulu busuak hariang (penghulu busuk hariang). Penghulu yang sikapnya seperti bau kencing. Ia
selalu membawa keresahan di dalam masyarakat. Hal ini diungkapkan dalam
kato adat:
Itu penghulu nan jahanam Hino bangso randah martabat Hati ariang pahamnyo busuak Budi anyia pikiran ariang Panjang aka handak malilik
2. Enam Pantangan atau Larangan Penghulu Menurut Adat :
a. Memerahkan muka. Bersikap emosional dan tidak mampu mengendalikan diri.
b. Menghardik menghantam tanah. Adalah pemarah, pemaki, penggertak.
c. Menyinsingkan lengan baju. Adalah melakukan pekerjaan kasar seolah-olah tidak mempunyai sumber hidup yang layak.
d. Berlari-lari. Adalah sikap orang yang terlalu terburu-buru, pencemas tidak tabah, dan penakut.
e. Memanjat-manjat. Adalah bertingkah laku seperti anak-anak
f. Menjunjung dengan kepala. Adalah seolah-olah kepalanya tidak digunakan untuk berfikir, tetapi untuk membawa beban.
UNSUR PEMIMPIN ALIM ULAMA DI MINANGKABAU
A. Pengertian Alim Ulama di Minangkabau
Alim ulama adalah pemimpin masyarakat
Minangkabau dalam urusan agama, yaitu orang yang dianggap alim. Seorang
yang alim adalah orang yang memiliki ilmu yang luas dan memiliki
keimanan., keradaannya di masyarakat sangat dibutuhkan. Hal ini
diungkapkan dalam adat Minangkabau adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah. Adanya alim ulama di dalam masyarakat Minangkabau
membidangi agama islam/syarak. Penghulu atau ninik mamak membidangi
adat.
B. Fungsi Aliam Ulama di Minangkabau
Fungsi alim ulama di Minangkabau adalah
sebagai pembina dan pembimbing masyarakat dalam meningkatkan
pengetahuan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Di dalam adat dikatakan ulama adalah ikutan
lahia jo batin,saluah bendang dalam nagari, ka penyuluah anak jo
kamanakan, panarang jalan di dunia, penyuluah jalan ke akhirat, tampek
batanyo halal haram sarato sah dengan batal.
Fungsi alim ulama dalam masyarakat menjadi
ikutan lahia jo batin, alim ulama berfungsi sebagai contoh dan teladan
bagi masyarakat. Ia selalu memperhatikan perbuatan baik, perbuatan yang
berdasarkan kepada ajaran Islam dan ajaran adat. Ia menjadi contoh
dalam berfikir, berbicara, dan bertindak. Jadi fungsi ulama adalah
memberikan contoh kepada masyarakat hingga ia menjadi teladan lahir dan
batin.
C. Kedudukan Alim Ulama dalam masyarakat Minangkabau
Kedudukan alim ulama adalah sebagai
pemimpin, juga membuat keputusan, keputusan yang ia buat berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Ulama juga memberikan pertimbangan-pertimbangan
kepada penghulu untuk mengambil keputusan dalam bidang agama Islam. Pertimbangan itu biasanya diberikan, baik diminta maupun tidak diminta
oleh penghulu. Justru disinilah ulama berfungsi sebagai pemimpin yang
memiliki kedudukan sejajar dengan penghulu dan ninik mamak di dalam
nagari.
Kedudukan alim ulama di Minangkabau sebagai berikut: 1. Sebagai pemimpin dalam urusan ibadah dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. 2. Sebagai suluah dendang dalam nagari. 3. Sebagai pemberi petunjuk kepada masyarakat
dan alim ulama, diharapkan dapat membawa umat Islam ke jalan yang benar
yaitu jalan diridhoi oleh Alah SWT.
UNSUR PEMIMPIN CADIAK PANDAI DI MINANGKABAU
A. Pengertian Cadiak Pandai
Cadiak Pandai adalah pemimpin masyarakat
yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas serta pemikiran yang
dapat mencari jalan keluar dari setiap masalah yang sedang
dihadapi masyarakat Minangkabau. Jadi adalah merupakan kumpulan
orang-orang pandai, tahu, cerdik, cendekiawan, dan orang yang cepat
mengerti, pandai mencari pemecahan masalah dan berfikir yang luas.
B. Fungsi Cadiak Pandai di Minangkabau
Fungsi cadiak pandai di Minangkabau adalah sebagai berikut: 1. Pemberi petunjuk kepada seluruh masyarakat dan anak nagari dalam menjalankan kehidupan sehari-hari 2. Untuk memajukan pemikiran masyarakat supaya tidak ketinggalan zaman 3. Sebagai pemagar nagari di Minangkabau 4. Memberi pertimbangan kepada penghulu di dalam mengambil keputusan dalam hal-hal yang bersifat umum 5. Mampu menerapkan ilmu untuk kehidupan keluarga serta kepentingan masyarakat.
C. Kedudukan Cadiak Pandai di Minangkabau
Kedudukan cadiak pandai di Minangkabau adalah sebagai berikut: 1. Cadiak pandai sebagai pemimpin di bidang undang-undang dan komunikasi serta pengaturan yang bersifat umum. 2. Cadiak pandai sebagai pemimpin adalah karena
mempunyai keindividuannya. yaitu kaya dengan ilmu pengetahuan dan wajib
memberi petunjuk kepada masyarakat nagari di Minangkabau. 3. Cadiak pandai sebagai pemimpin banyak
pengetahuan dan banyak tahu, paham perkembangan dalam nagari atau luar
nagari, karena itu dianggap sebagai pagaran tokoh.
KEPEMIMPINAN TUNGKU TIGO SAJARANGAN DI MINANGKABAU
A. Gabungan Unsur Pemimpin
Setiap nagari di Minangkabau memiliki tiga unsur pemimpin yaitu : 1. Penghulu 2. Alim Ulama 3. Cadiak Pandai
Gabungan ketiga unsur ini saling bahu
membahu dan bekerja sama dalam meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan masyarakat. Tiga unsur ini dikenal dengan Tungku Tigo Sajarangan, artinya ketiga pemimpin itu merupakan satu kesatuan.
Gabungan pemimpin itu terlihat di tingkat
nagari, segala keputusan di nagari dikukuhkan oleh ketiga unsur
tersebut. Suatu keputusan belum dijalankan, belum dianggap sah, kalau
salah satu ketiga unsur itu belum sependapat.
B. Kepemimpinan Tungku Sajarangan di Minangkabau
Kekuasaan tertinggi dalam masyarakat
Minangkabau adalah Tuha Sakato, yaitu hal-hal yang telah terjadi menjadi
kesepakatan bersama, artinya segala sesuatu yang bersifat mengatur di
dalam kehidupan masyarakat harus terlebih dahulu dimusyawarahkan.
Tiga unsur pemimpin inilah yang menyelesaikan
permasalahan sesuai dengan kedudukannya masing-masing dan hasil
musyawarah itu selanjutnya dikukuhkan dalam suatu rapat yang dihadiri
seluruh wakil masyarakat, biasanya bertempat di balai adat.
Pada hakikatnya mereka sama-sama
bertanggung jawab memimpin masyarakat ke arah kesejahteraan dan
kemakmuran, inilah dikenal dengan sebutan Tungku Tigo Sajarangan, karena
kekuatan tungku tigo sajarangan masyarakat tidak akan tersesat, kacau
dan rusak. Jika ketiga tungku itu masih tetap bekerjasama menempatkan
diri di posisinya masing-masing.
Di dalam adat minagkabau diungkapkan
sebagai Adat Basandi Syarak, Syarak Basanndi Kitabulah. Adat dan agama
tidak ada pertentangan, yaitu: 1. Syarak memberikan hukum atau syariat. 2. Adat melaksanakan seperti diungkapkan syarak mangato adat mamakai. 3. Undang-undang sebagai pengaturan.
Dengan demikian ada: 1. Adat. 2. Agama. 3. Undang-undang.
Adanya ketiga unsur pemimpin tersebut
melahirkan Tali Tigo Sapilin. Ketiga-tiganya dibutuhkan oleh masyarakat
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan dilengkapi oleh orang Ampek
Jini yaitu: 1. Penghulu. 2. Malin. 3. Manti. 4. Dubalang.
Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di atas bisa memberi indikasi bahwa daerah-daerah sekitar Kabupaten Lima Puluh Kota
merupakan daerah atau kawasan Minangkabau yang pertama dihuni oleh
nenek moyang orang Sumatera Barat. Penafsiran ini rasanya beralasan,
karena dari luhak Lima Puluh Kota ini mengalir beberapa sungai besar
yang akhirnya bermuara di pantai timur pulau Sumatera. Sungai-sungai
ini dapat dilayari dan memang menjadi sarana transportasi yang penting
dari zaman dahulu hingga akhir abad yang lalu.
Nenek moyang orang Minangkabau diduga datang melalui rute ini. Mereka berlayar dari daratan Asia (Indochina) mengarungi Laut Cina Selatan, menyeberangi Selat Malaka dan kemudian melayari sungai Kampar, Sungai Siak, dan Sungai Inderagiri
(atau Kuantan). Sebagian di antaranya tinggal dan mengembangkan
kebudayaan serta peradaban mereka di sekitar Kabupaten 50 Kota
sekarang.
Percampuran dengan para pendatang pada masa-masa berikutnya
menyebabkan tingkat kebudayaan mereka jadi berubah dan jumlah mereka
jadi
bertambah. Lokasi pemukiman mereka menjadi semakin sempit dan
akhirnya mereka menyebar ke berbagai bagian Sumatera Barat yang
lainnya. Sebagian pergi ke daerah Kabupaten Agam dan sebagian lagi
sampai ke Kabupaten Tanah Datar sekarang. Dari sini penyebaran
dilanjutkan lagi, ada yang sampai ke utara daerah Agam, terutama ke daerah Lubuk Sikaping, Rao, dan Ophir.
Banyak di antara mereka menyebar ke bagian barat terutama ke daerah
pesisir dan tidak sedikit pula yang menyebar ke daerah selatan, ke
daerah Solok, Selayo, sekitar Muara, dan sekitar daerah Sijunjung.
Kerajaan Dharmasraya
Kerajaan Melayu diperkirakan menjadi
kerajaan pertama yang didirikan oleh orang Minangkabau. Beberapa
sejarawan mengatakan bahwa kata Minangkabau sendiri berarti dua sungai,
merujuk pada sebuah kerajaan yang berdiri diantara dua buah sungai,
yakni kerajaan Melayu yang terletak di tepian sungai Batang Hari.
Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit, kerajaan ini dihancurkan oleh
pasukan dari Sriwijaya pada tahun 683. Dari reruntuhan kerajaan ini,
berdirilah kerajaan Dharmasraya yang beribukota di daerah Kabupaten
Dharmasraya saat ini. Ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275 di bawah
pimpinan Kebo Anabrang dari Kerajaan Singasari,
membawa dua putri Minangkabau yaitu Dara Petak dan Dara Jingga. Kedua
putri tersebut dinikahkan dengan pewaris kerajaan Singasari. Dara Petak
dinikahkan dengan Raden Wijaya sedangkan Dara Jingga dengan Adwaya Brahman. Dari kedua pasangan itu lahirlah Jayanagara, yang menjadi raja kedua Majapahit dan Raja Adityawarman yang menjadi raja Pagaruyung.
Kerajaan Pagaruyung
Sejarah propinsi Sumatera Barat menjadi lebih terbuka sejak masa
pemerintahan Adityawarman. Raja ini cukup banyak meninggalkan prasasti
mengenai dirinya, walaupun dia tidak pernah mengatakan dirinya sebagai
Raja Minangkabau. Adityawarman memang pernah memerintah di Pagaruyung,
suatu negeri yang dipercayai warga Minangkabau sebagai pusat
kerajaannya.
Adityawarman adalah tokoh penting dalam sejarah Minangkabau. Di
samping memperkenalkan sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan, dia
juga membawa suatu sumbangan yang besar bagi alam Minangkabau.
Kontribusinya yang cukup penting itu adalah penyebaran agama Buddha.
Agama ini pernah punya pengaruh yang cukup kuat di Minangkabau.
Terbukti dari nama beberapa nagari di Sumatera Barat dewasa ini yang
berbau Budaya atau Jawa seperti Saruaso, Pariangan, Padang Barhalo, Candi, Biaro, Sumpur, dan Selo.
Sejarah Sumatera Barat sepeninggal Adityawarman hingga pertengahan
abad ke-17 terlihat semakin kompleks. Pada masa ini hubungan Sumatera
Barat dengan dunia luar, terutama Aceh semakin intensif. Sumatera
Barat waktu itu berada dalam dominasi politik Aceh yang juga memonopoli
kegiatan perekonomian di daerah ini. Seiring dengan semakin
intensifnya hubungan tersebut, suatu nilai baru mulai dimasukkan ke
Sumatera Barat. Nilai baru itu akhimya menjadi suatu fundamen yang
begitu kukuh melandasi kehidupan sosial-budaya masyarakat Sumatera
Barat. Nilai baru tersebut adalah agama Islam.
Syekh Burhanuddin dianggap sebagai penyebar
pertama Islam di Sumatera Barat. Sebelum mengembangkan agama Islam di
Sumatera Barat, ulama ini pernah menuntut ilmu di Aceh.
Masuknya Bangsa Eropa
Pengaruh politik dan ekonomi Aceh yang demikian dominan membuat
warga Sumatera Barat tidak senang kepada Aceh. Rasa ketidakpuasan ini
akhirnya diungkapkan dengan menerima kedatangan orang Belanda. Namun
kehadiran Belanda ini juga membuka lembaran baru sejarah Sumatera Barat.
Kedatangan Belanda ke daerah ini menjadikan Sumatera Barat memasuki
era kolonialisme dalam arti yang sesungguhnya.
Orang Barat pertama yang datang ke Sumatera Barat adalah seorang pelancong berkebangsaan Perancis yang bernama Jean Parmentier
yang datang sekitar tahun 1529. Namun bangsa Barat yang pertama datang
dengan tujuan ekonomis dan politis adalah bangsa Belanda.
Armada-armada dagang Belanda telah mulai kelihatan di pantai barat
Sumatera Barat sejak tahun 1595-1598, di samping bangsa Belanda, bangsa
Eropa lainnya yang datang ke Sumatera Barat pada waktu itu juga
terdiri dari bangsa Portugis dan Inggris.
Perang Padri
Perang Paderi meletus di Minangkabau antara sejak tahun 1821 hingga
1837. Kaum Paderi dipimpin Tuanku Imam Bonjol melawan penjajah Hindia
Belanda.
Gerakan Paderi menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di
masyarakat Minang, seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat
(opium), minuman keras, tembakau, sirih, juga aspek hukum adat
matriarkat mengenai warisan dan umumnya pelaksanaan longgar kewajiban
ritual formal agama Islam.
Perang ini dipicu oleh perpecahan antara kaum Paderi pimpinan Datuk
Bandaro dan Kaum Adat pimpinan Datuk Sati. Pihak Belanda kemudian
membantu kaum adat menindas kaum Padri. Datuk Bandaro kemudian diganti
Tuanku Imam Bonjol.
Perang melawan Belanda baru berhenti tahun 1838 setelah seluruh bumi
Minang ditawan oleh Belanda dan setahun sebelumnya, 1837, Imam Bonjol
ditangkap.
Meskipun secara resmi Perang Paderi berakhir pada tahun kejatuhan
benteng Bonjol, tetapi benteng terakhir Paderi, Dalu-Dalu, di bawah
pimpinan Tuanku Tambusai, barulah jatuh pada tahun 1838.
Dari Perang Padri sampai Perang Belasting
Berakhirnya perang Padri menandai perubahan besar di Minangkabau.
Kerajaan Pagaruyung runtuh dan di tempatnya berdiri pemerintahan Hindia
Belanda.
Belanda memerintah diatur oleh perjanjian Plakat Panjang
(1833). Di dalamnya Belanda berjanji untuk tidak mencampuri masalah
adat dan agama nagari-nagari di Minangkabau. Belanda juga menyatakan
tidak akan memungut pajak langsung. Hal ini menyebabkan para pemimpin
Minangkabau membayangkan dirinya sebagai mitra bukannya bawahan Belanda.
Sebagaimana di daerah lain di Hindia Belanda pemerintah kolonial memberlakukan Tanam Paksa (cultuurstelsel) di Sumatera Barat. Sistem ini menjadikan para pemimpin adat sebagai agen kolonial Belanda.
Penjajahan Belanda berpengaruh besar pada tatanan tradisional
masyarakat Minangkabau. Di Sumatera Barat Belanda membuat jabatan baru,
seperti penghulu rodi. Kerapatan Nagari dijadikan sebagai lembaga
pemerintahan terendah, dan kepemimpinan kolektif para penghulu ditekan
dengan keharusan memilih salah seorang penghulu menjadi Kepala Nagari.
Serikat nagari-nagari (laras, Bahasa Minang: lareh) yang sebenarnya
merupakan persekutuan longgar atas asas saling menguntungkan, dijadikan
sebagai lembaga pemerintahan yang setara dengan kecamatan.
Belanda juga berusaha mematikan jalur perdagangan tradisional
Minangkabau ke pantai timur Sumatera yang menyusuri sungai-sungai besar
yang bermuara di Selat Malaka, dan mengalihkannya ke pelabuhan di pantai
Barat seperti Pariaman dan Padang. Pada tahun 1908 Belanda menghapus sistem Tanam Paksa dan memberlakukan pajak langsung. Perang Belasting pun meletus.
Gerakan Islam Modernis di Minangkabau
Perlawanan terhadap Belanda di Sumatera Barat pada awal abad ke-20
memiliki warna Islam yang pekat. Dalam hal ini gerakan Islam modernis
atau yang lebih dikenal sebagai Kaum Muda sangat besar peranannya.
Ulama-ulama Kaum Muda mendapat pengaruh besar dari modernis Islam di
Kairo, yaitu Muhammad Abduh dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan juga
senior mereka Jamaluddin Al-Afghani. Para pemikir ini punya kecenderungan berpolitik, namun karena pengaruh Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi
yang menjadi guru ulama Kaum Muda generasi pertama mereka umumnya hanya
memusatkan perhatian pada dakwah dan pendidikan. Abdullah Ahmad
mendirikan majalah Al-Munir (1911-1916), dan beberapa ulama kaum Muda
lain seperti H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Muhammad Thaib ikut menulis di dalamnya.
Dari majalah ini pemikiran kaum muda semakin disebarkan. Ulama Kaum
Muda menantang konsep agama tradisional yang sudah mapan, menentang
taqlid buta, dan merangsang sikap kebebasan berpikir. Tulisan dan pidato
mereka memicu pertentangan dan perdebatan sengit di ranah Minang.
Tahun 1918 sebagai kelanjutan perguruan agama tradisional Surau
Jembatan Besi berdirilah sekolah Sumatera Thawalib. Selain pendirinya H.
Abdul Karim Amrullah guru lain yang berpengaruh di sekolah ini adalah
Zainuddin Labai el-Yunusiah yang juga mendirikan sekolah Diniyah.
Berbeda dengan Sumatera Thawalib yang terutama adalah perguruan agama
sekolah Diniyah menekankan pada pengetahuan umum, seperti matematika,
ilmu falak, ilmu bumi, kesehatan dan pendidikan. Kedua sekolah ini
berhubungan erat.
Banyak tokoh pergerakan atau ulama seperti Ahmad Rasyid Sutan Mansur, Djamaluddin Tamin, H. Dt. Batuah, H.R. Rasuna Said dan Hamka merupakan murid atau pernah mengajar di perguruan di Padang Panjang ini.
Di kedua perguruan ini berkembang berbagai gagasan radikal. Pada
dasawarsa 1920-an sebuah gagasan baru mulai menarik hati para murid
sekolah Padang Panjang: komunisme. Di Padang Panjang pentolan komunis
ini terutama Djamaluddin Tamin dan H. Datuk Batuah. Gagasan baru ini
ditentang habis-habisan Haji Rasul yang saat itu menjadi guru besar
Sumatera Thawalib.
Gerakan Islam Modernis ini tidak didiamkan saja oleh ulama tradisional. Tahun 1930 ulama tradisional mendirikan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) untuk mewadahi sekolah Islam Tradisional.
Gerakan Partai Komunis Indonesia
Djamaluddin Tamin sudah bergabung dengan PKI
pada 1922. Dalam perjalanan singkat ke Aceh dan Jawa pada tahun 1923
Datuk Batuah bertemu dengan Natar Zainuddin dan Haji Misbach. Agaknya ia
terkesan dengan pendapat Haji Misbach yang menyatakan komunisme sesuai
dengan Islam. Bersama Djamaluddin Tamin ia menyebarkan pandangan ini
dalam koran Pemandangan Islam. Natar Zainuddin kemudian kembali dari Aceh dan menerbitkan koran sendiri bernama Djago-djago. Akhir tahun itu juga Djamaluddin Tamin, Natar Zainuddin dan Dt. Batuah ditangkap Belanda.
Setelah penangkapan tersebut pergerakan komunis malah menjadi-jadi.
Tahun 1924 Sekolah Rakyat didirikan di Padang Panjang, meniru model
sekolah Tan Malaka di Semarang. Organisasi pemuda Sarikat Rakyat, Barisan Muda, menyebar ke seluruh Sumatera Barat. Dua pusat gerakan komunis lain adalah Silungkang
dan Padang. Bila di Padang Panjang gerakan berakar dari sekolah-sekolah
di Silungkang pendukung komunis berasal dari kalangan saudagar dan
buruh tambang.
Sulaiman Labai, seorang saudagar, mendirikan cabang Sarekat Islam di
Silungkang, Sawahlunto pada 1915. Pada tahun 1924 cabang ini diubah
menjadi Sarekat Rakyat. Selain itu berdiri juga cabang organisasi pemuda komunis, IPO.
Di Padang basis PKI berasal dari saudagar besar pribumi. Salah satu
pendiri PKI cabang Padang adalah Sutan Said Ali, yang sebelumnya menjadi
pengurus Sarikat Usaha Padang. Di bawah kepemimpinannya mulai tahun
1923 PKI seksi padang meningkat anggotanya dari hanya 20 orang menjadi
200 orang pada akhir 1925.
Pertumbuhan gerakan komunisme terhenti setelah pemberontakan di
Silungkang 1927. Para aktivis komunis ditangkap, baik yang terlibat
pemberontakan ataupun tidak. Banyak di antaranya yang dibuang ke Digul.
Sumatera Barat: 1930-an
Merebaknya partai-partai politik
HR Rasuna Said, aktivis Permi
Meskipun komunisme menjadi sangat populer pada dasawarsa 1920-an kaum
agama yang tak setuju dengan ideologi baru itu pun tetap berkembang.
Awal tahun 1920 berdiri PGAI (Persatuan Guru Agama Islam) dengan tujuan
mengumpulkan ulama-ulama di Sumatera Barat. Atas prakarsa H. Abdullah
Ahmad tahun 1924 berdirilah sekolah Normal Islam di Padang. Sekolah ini
dimaksudkan sebagai sekolah lanjutan, lebih tinggi daripada Sumatera
Thawalib yang merupakan sekolah rendah.
Setelah melawat ke Jawa tahun 1925 dan bertemu pemimpin-pemimpin
Muhammadiyah di sana Haji Rasul turut mendirikan cabang Muhammadiyah.
Pertama di Sungai Batang dan kemudian di Padang Panjang. Organisasi ini dengan cepat menjalar ke seluruh Sumatera Barat.
Muhammadiyah berperan penting dalam menentang pemberlakuan Ordonansi
Guru di Sumatera Barat tahun 1928. Dengan ordonansi ini guru agama
diwajibkan melapor kepada pemerintah sebelum mengajar. Peraturan ini
dipandang mengancam kemerdekaan menyiarkan agama. Sebelumnya
Muhammadiyah di Jawa sudah memutuskan meminta ordonansi ini dicabut.
Pada tanggal 18 Agustus 1928 diadakanlah rapat umum yang kemudian
memutuskan menolak pemberlakuan ordonansi guru.
Meskipun terlibat dalam penolakan Ordonansi Guru, berbeda dengan
organisasi komunis seperti Sarikat Rakyat, pada umumnya Muhammadiyah
menghindari kegiatan politik. Penumpasan gerakan komunis tahun 1927
menyebabkan banyak anggota Sarekat Rakyat atau simpatisannya berpaling
ke Muhammadiyah mencari perlindungan. Para anggota yang lebih radikal
ini tidak puas dan kemudian banyak yang keluar untuk aktif dalam
Persatuan Sumatra Thawalib.
Organisasi ini pada tahun 1930 menjelma
menjadi partai politik bernama Persatuan Muslim Indonesia, disingkat Permi.
Dengan asas Islam dan kebangsaan (nasionalisme) Permi dengan cepat
menjadi partai politik terkuat di Sumatera Barat, dan menyebar ke Aceh,
Tapanuli, Riau, Jambi dan Bengkulu. Partai ini menjadi wadah utama paham
Islam modernis. Tokoh-tokoh Permi yang terkenal antara lain Rasuna
Said, Iljas Jacub, Muchtar Lutfi dan Djalaluddin Thaib.
Partai lain yang juga penting adalah PSII cabang Sumatera Barat yang berdiri tahun 1928, dan PNI Baru.
PSII Sumatera Barat seperti Permi sangat kuat sikap anti-penjajahannya.
Namun tidak seperti Permi yang berakar dari perguruan agama tokoh-tokoh
PSII umumnya berasal dari pemimpin adat.
Cabang PNI Baru di Bukittinggi
diresmikan Hatta tak lama setelah kepulangannya dari Belanda tahun 1932.
Sebelumnya cabang Padang Panjang sudah didirikan oleh Khatib Sulaiman.
PARI pimpinan Tan Malaka (didirikan di
Bangkok 1929) punya pengaruh cukup besar, meskipun anggotanya sendiri
tidak banyak. Pengaruh PARI terutama lewat tulisan Tan Malaka yang
disebarkan sampai tahun 1936.
Penumpasan
Pada pertengahan 1933 pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan larangan berkumpul. Yang menjadi sasaran utama di Sumatera
Barat adalah Permi dan PSII. Sementara itu Rasuna Said sudah ditangkap
oleh Belanda dan dibuang ke Jawa. Tokoh-tokoh Permi dan PSII awalnya
dilarang bepergian, kemudian kedua partai dikenai larangan terbatas
dalam mengadakan rapat umum. Pada akhirnya tokoh-tokoh Permi dan PSII
ditangkap dan dibuang ke Digul. Permi akhirnya bubar pada 18 Oktober 1937.
Pada saat yang sama di Batavia tokoh-tokoh Partindo dan PNI Baru juga ditangkap. Sukarno diasingkan ke Flores, Hatta dan Sjahrir
ke Digul. Pimpinan PNI Baru cabang Sumatera Barat sendiri dibiarkan
bebas karena mereka membatasi kegiatan politik partai. Sementara itu
tokoh-tokoh PARI berhasil ditahan Belanda yang bekerja sama dengan dinas
Intelijen Inggris. Tan Malaka, pimpinannya, lolos.
Pendudukan Jepang
Jepang memasuki Padang pada 17 Maret 1942. Sukarno yang pada saat itu
berada di Padang berhasil meyakinkan sebagian besar tokoh-tokoh
nasionalis di Sumatera Barat agar mau bekerja sama dengan Jepang.
Tahun 1943 Jepang memerintahkan pendirian Gyu Gun
untuk membantu pertahanan. Gyu Gun di Sumatera Barat dipimpin oleh
Chatib Sulaiman yang memilih dan merekrut calon perwira dari Sumatera
Barat, Riau dan Jambi. Gyu Gun merupakan satu-satunya satuan ketentaraan
yang dibentuk Jepang di Sumatera Barat. Tentara Sukarela ini kemudian
menjadi inti Divisi Banteng.
Zaman Kemerdekaan
Pada awal kemerdekaan Indonesia, wilayah Sumatera Barat tergabung dalam provinsi Sumatera yang berpusat di Medan. Provinsi Sumatera kemudian dipecah menjadi tiga, yakni Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Sumatera Barat merupakan residensi didalam provinsi Sumatera Tengah beserta residensi Riau dan Jambi.
Berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1957, Sumatera
Tengah kemudian dipecah lagi menjadi Sumatera Barat, Riau dan Jambi.
Wilayah Kerinci yang sebelumnya tergabung dalam Kabupaten Pesisir
Selatan Kerinci, residensi Sumatera Barat, digabungkan dalam provinsi
Jambi sebagai kabupaten tersendiri. Pada awalnya ibukota provinsi baru
ini adalah Bukittinggi, namun kemudian dipindahkan ke Padang.
Daftar pustaka sejarah Minangkabau:
Buku Alam Takambang jadi Guru, AA.Navis, 1984
Historiografi Minangkabau
Buku Sejarah Minangkabau, MD. Mansoer, Bharata, 1970