Sabtu, 25 Desember 2010

PERSAUDARAAN HATI NURANI

Kerusuhan atau bentrokan yang terjadi di tanah air kita selama beberapa tahun sajak kerusuhan mei 1998, ini sungguh peristiwa yang sungguh menyedihkan. Puluhan, ratusan bahkan ribuan nyawa melayang, dan sebagian -insya Allah- orang-orang yang tidak berdosa. Ngeri. Bahkan pelaku atau perusuh yang menemui ajalnya dalam kerusuhan yang diciptakannya sendiri itu tentu ditangisi juga oleh sanak keluarganya, terutama oleh anak-anaknya yang masih menginginkan belaian kasih sayangnya.

Namun, peristiwa-peristiwa itu sudah terlanjur terjadi. Orang yang melihat langsung atau menyaksikan lewat layar televisi tak mungkin melupakannya untuk kemudian menyatakan hal itu tidak pernah terjadi. Kita tidak mungkin menghapus ingatan pada tubuh-tubuh yang hangus akibat terpanggang api yang melalap plaza-plaza, gedung-gedung atau rumah-rumah, wanita-wanita yang diperkosa bahkan ada yang sampai mengandung anak yang tidak diinginkannya, mayat-mayat yang bergelimpangan di sembarangan tempat dengan tubuh yang tercabik-cabik dan dikerumuni lalat atau belatung. Kita tidak mudah menyetop angan-angan kita sendiri ketika berimajinasi atau membayangkan penderitaan mereka. Betapa panas dan menggelepar tubuh-tubuh malang itu ketika api menyulut kulit dan daging serta kemudian merengut nyawanya. Wanita-wanita yang diperkosa secara beramai-ramai di depan orang tuanya, anaknya, kakak atau adiknya, pacar atau suaminya dengan jeritan atau rintihan mohon ampun yang akhirnya mengalami trauma atau penderitaan seumur hidup. Juga betapa tersiksanya tubuh-tubuh malang itu dihujami senjata tajam atau senjata api.

Bayangkan, bagaimana kalau di antara korban-korban itu kebetulan keluarga atau saudara kita sendiri? Hanya bahasa air mata yang bisa menampung sakitnya nurani. Seorang anak yang pamit untuk pergi bermain dengan ucapan yang renyah lincah kemudian pulang ke rumah dalam keadaan menjadi mayat atau arang. Karena itu, meskipun mereka yang menjadi korban itu bukan sanak famili kita, sebagai manusia yang punya hati nurani, seyogyanya tuduk dan bersedih, karena ada sembilu yang menyayat rasa kemanusiaan kita.

Dengan peristiwa yang sangat tidak kita kehendaki itu, agaknya menjadi pertanda bahwa di negeri ini masih ada orang-orang yang tidak menghargai kemanusiaan. Mereka sebenarnya masih bangsa kita sendiri, bukan orang asing bangsa penjajah, seperti yang diperangi oleh Fatahillah tiga abad yang lalu. Karena itu, peristiwa yang mengharukan itu pantas dan layak untuk direnungkan. Paling tidak, kita merenungkan dengan hati yang dalam, syaraf-syaraf afeksi kita jadi terketuk dan semakin peka untuk menghargai hidup dan kehidupan. Jika manusia menghargai hidupnya sendiri, ia harus menghargai hidup orang lain. Indahnya hidup ini karena adanya rasa saling menghargai. Minusnya penghargaan kepada orang lain, pertanda rendahnya rasa kemanusiaan seseorang. Rendahnya rasa kemanusiaan itulah yang bisa membat manusia berlagak tidak seperti layaknya manusia lagi, dimana kemuliaan, persaudaraan, moral, akal sehat, dan agama sudah tidak diindahkan lagi. Jika banyak orang seperti itu, chaos dan anarki bisa terjadi, yang buntutnya tidak lain adalah kerugian dan penyesalan.

Dengan peristiwa sedih itu, maka sangat terpuji kalau kita intropeksi dengan kembali kepada hati nurani dan akal sehat, di samping mendekatkan diri kepada Tuhan YME. Hanya dengan hati nurani dan akal sehat, kita bisa melihat semua persoalan secara jernih. Untuk kemudian muncul kebersamaan agar segera bisa menyembuhkan situasi yang sakit itu untuk normal dalam arti yang sesungguhnya. Dengan membebaskan masyarakat dari kekhawatiran dan kecemasan, tidak kalah pentingnya dari upaya menyehatkan rupiah kita yang terpuruk. Kita punya tugas memulihkan suasana, agar ibu-ibu merasa aman saat mendekap bayinya yang sedang menyusu dan kemudian bermimpi indah-indah tentang hari esok yang lebih cerah. Anak-anak sekolah yang merasakan damai sambil melompat-lompat di tepi jalan dengan sorot mata yang ceria. Para pedagang -dari yang punya plaza sampai yang berjualan di kaki lima- merasa tak dihantui oleh ulangan peristiwa-peristiwa kerusuhan yang pernah terjadi di tanah air kita tercinta ini.

Ahlak mulia yang diajarkan nenek moyang kita, yang mengatakan “hidup tanpa hati nurani adalah bagai berjalan”, kiranya perlu dikaji ulang, apakah masih relevan dengan jaman yang serba modern ini. Namun, kalau direnungkan dengan jiwa yang dalam, hati nurani itu tak lain adalah mata kehidupan yang paling jernih dalam melihat semua persoalan. Hati nurani adalah yang paling inti dari kemanusiaan. Dalam hati nurani pula, iman kita kepada Tuhan YME menemukan tempat yang hakiki. Tanpa hati nurani, iman mudah goyah diombang-ambingkan keinginan hawa nafsu yang bisa merugikan diri sendiri dan orang lain. Dengan hati nurani, penderitaan dan kesakitan hati orang lain bisa dirasakan secara intens dan menimbulkan kesedihan hakiki, yang kemudian solidaritas yang sublim bisa dikembangkan menjadi suatu persaudaraan sebangsa setanah air.

Maka, untuk segera bisa menangkis bangsa ini dari kemelut, banyak sektor perlu diisi oleh setiap warga negara sesuai dengan keahlian dan profesinya masing-masing. Para birokrat, politikus, tentara, bankir, ulama, pedagang, mahasiswa, dan lain-lain, bisa menyumbangkan pengabdiannya demi atau untuk mengembalikan harkat dan martabat bangsa ini, untuk segera bebas dari hal-hal yang tidak kita sukai, atau aneka krisis yang betul-betul memprihatinkan itu. Bahkan, seorang penganggur yang tak ikut dan tak ingin berbuat kerusuhan bisa dinilai turut menyumbang di bidang keamanan. Sumbangan bisa dinilai sejati apabila ada usaha sehat berdasarkan kejernihan nurani. Sumbangan yang ikhlas itu yang akan membuat wajah tanah air tercinta ini menjadi cerah, karena sumbangan itu akan menjadi simbol saling menghargai sesama bangsa Indonesia. Dari stadium yang nyaman itulah, yang bernama keadilan dan kearifan berbangsa bisa diupayakan sebagai manifestasi dari cita-cita para pahlawan yang tidak diragukan lagi pengabdiaan dan kesetiaan kepada tanah air dan bangsa ini. Kita adalah ahli waris yang sah dari para pahlawan, karena itu Republik Indonesia ini adalah milik kita semua. Kita adalah satu keutuhan. Jika ada perbedaan pandangan di antara kita, kita punya bahasa Indonesia yang telah terbukti bisa mempersatukan bangsa ini. Marilah kita gunakan bahasa persatuan ini untuk berdialog atau temu wicara. Dialog yang dilakukan dengan bertumpu di atas nurani, di samping adanya itikad baik untuk saling mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain, tak pelak lagi pendekatan demi pendekatan semakin menghilangkan jarak. Dari situlah formula persaudaraan yang lebih segar akan muncul.

Dampak dari formula itu, kita semakin mudah untuk mengajak masyarakat awam melihat kedalam dirinya, dan kemudian menampilkan tindakan-tindakan nyata yang lebih menguntungkan. Dan sebenarnya, masyarakat kita mudah ditentramkan bila nuraninya diketuk dengan diperlakukan sebagai saudara. Persaudaraan itu tentunya harus terbit dari hati nurani. Persaudaraan yang tumbuh dari hati nurani itulah yang akan membuat kita senasib seperjuangan, maka pemerataan hasil pembangunan di tanah air ini bisa melahirkan senyum pada bibir lebih 200 juta rakyat indonesia.

Cita-cita Revolusi dari Tanah Haarlem

Tan Malaka pergi ke Belanda untuk sekolah guru. Ia pulang ke Indonesia dengan satu tekad: revolusi.

HAARLEM, 2008. Lautan turis, penuh warna, dan berseri-seri. Para pelancong memenuhi kafe di sekitar Grote Markt yang dikelilingi bangunan bersejarah. Ada Vleeshal, pasar daging yang kini menjadi museum; Grote Kerk atau Sint Bavokerk, gereja terbesar yang menyimpan salah satu organ termegah di dunia dan pernah dimainkan Mozart ketika berumur 10 tahun; dan tentu saja, gedung City Hall, pusat administrasi Kota Haarlem.

Di Haarlem inilah Ibrahim Datuk Tan Malaka menginjakkan kaki pertama kali di Negeri Kincir Angin pada akhir 1913. Tak sulit membayangkan bagaimana Ibrahim menjalani kehidupan sehari-hari sebagai siswa sekolah guru Rijkweekschool di kota kecil bagian utara Belanda ini.

Wajah Haarlem tak banyak berubah. Struktur tata kotanya masih seperti ketika Perang Dunia Pertama dimulai. Gedung-gedung bersejarah masih berdiri, dengan komposisi yang masih sama. Hanya fungsi dari bangunan-bangunan tua yang berbeda.

Tan Malaka tinggal pertama di sebuah rumah pemondokan bersama beberapa murid Rijkweekschool di Jalan Nassaulaan, yang sekarang menjadi jalan utama yang membatasi bagian kota tua dengan bagian baru yang merupakan perluasan Kota Haarlem. Rumah yang dipilih oleh direktur sekolah guru PH Van Der Ley itu masih berdiri hingga sekarang. Lantai dasarnya menjadi semacam studio pembuatan perlengkapan dapur. Dindingnya terdiri dari bata merah. Untuk mencapai sekolah guru, Tan tinggal berjalan kaki saja.

Tapi Tan tak betah di sana. Ia pindah ke Jacobijnestraat, sebuah jalan kecil di belakang Grote Markt ini berlapis batu-batu tua yang lebarnya tak lebih dari lima meter. Jalan ini biasanya hanya dilalui pengendara sepeda.

Rumah-rumah tua dan kecil yang terlihat seperti berdesak-an di pengujung jalan ini adalah tipikal rumah buruh miskin di Haarlem awal abad ke-20. ”Di sebuah rumah kecil, saya mendiami kamar loteng yang sempit dan gelap,” demikian tulis Tan dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara. Rumah ini masih berdiri meski ringkih dimakan usia. Tapi dengan polesan yang cantik, rumah ini kini sedang berhias menjadi toko bunga dan butik nan elegan.

Berdampingan dengan rumah itu adalah Toko Buku De Vries. Toko buku inilah yang menjadi tempat yang disukai Tan selama tinggal di Jacobijnestraat. Toko buku yang dulunya menjual buku bekas itu sekarang menjual buku baru.

Loteng sempit yang diceritakan oleh Tan juga masih ada walaupun tak bisa dikunjungi karena berbeda kepemilikan dengan toko di bawahnya. Dari luar terlihat loteng itu memang sangat kecil dengan ukuran jendela yang sekaligus berfungsi sebagai ventilasi.

Menurut Dian Purnamasari, warga Indonesia yang tinggal di Haarlem, Jacobijnestraat dulunya adalah daerah permukiman buruh. Sekarang tempat itu merupakan daerah mahal yang akan diubah menjadi salah satu daerah chic karena lokasinya yang strategis persis di tengah kota.

Kedatangan Tan Malaka di Belanda disambut aura kemiskinan Haarlem yang sedang jatuh-bangun menghadapi depresi ekonomi. Ratusan pabrik penyulingan bir gulung tikar. Pabrik tekstil yang sempat menjadi tulang punggung kota ini juga bertumbangan. ”Belum lama di Belanda, sudah terasa konflik antara jasmani dan keadaan,” kata Tan dalam tulisannya.

Dalam kondisi seperti itulah, Ibrahim memulai pendidikannya sebagai calon guru. Dia harus cepat menyesuaikan diri dengan masyarakat, iklim, serta kehidupan yang baru. Tapi yang paling sulit adalah mencerna makanan khas Eropa. ”Bahan makanannya memang baik dan berzat, tapi cara pengolahnya tak keruan,” ucapnya.

Dengan uang saku yang cuma 50 gulden setiap bulan, Tan hanya sanggup tinggal bersama keluarga miskin, E.A. Snijder, di Nassaulaan 29-Rood. Baru setelah mendapat pinjaman pendidikan 1.500 gulden dari Dana Pendidikan dan Studi Hindia belanda (NIOS)—atas bantuan pensiunan mayor jenderal A.N.J. Fabius—Ibrahim mendapatkan kamar lebih baik di rumah pasangan Gerrit van Der Mij di Jacobijnestraat 7-Rood. Di sini Tan, yang dipanggil Ipi oleh kawan-kawannya, menghuni sejak 24 April 1915 hingga 11 Juli 1916.

Sayangnya, keturunan keluarga Van Der Mij tak ada lagi. Menurut catatan administrasi Haarlem, Van Der Mij meninggal pada 1916, disusul wafatnya sang istri pada 1937. Adapun anak mereka satu-satunya, Hilbrand Anthonie van Der Mij, meninggal pada 1947 tanpa keturunan.

Hampir setiap hari Tan bersepeda menuju gedung Rijkweekschool di tepi Sungai Spaarne. Jaraknya 10 hingga 15 menit bersepeda. Pada 1915, Rijkweekschool pindah ke gedung baru di Leidsevaart, yang persis berhadapan dengan kanal kecil—yang bermuara di Sungai Spaarne. Tak seperti gedung lama yang diimpit oleh jalan dan tak punya halaman, gedung baru di Leidsevaart lebih besar dengan halaman depan yang luas. Untuk sampai ke sini setidaknya dibutuhkan waktu hingga 20 menit.

Perpindahan gedung ini tampaknya jadi kebanggaan Kota Haarlem kala itu, sehingga beritanya pun terbit dalam salah satu edisi koran Panorama pada 1915. Koran ini memuat foto seluruh siswa Rijkweekschool, termasuk Tan.

Semangat Tan menempuh pendidikan sekolah guru ke Belanda tak lepas dari campur tangan G.H. Horensma. Dia berhasil meyakinkan Direktur van der Ley bahwa Tan pintar dan cerdas. ”Pemuda ini banyak bakat dan energinya, tingkah lakunya baik sekali, rapi dan gairah belajarnya besar,” tutur Van Der Ley kepada schoolopziener di Distrik Haarlem.

Di sekolah, Tan dapat mengatasi masalah pelajaran. Ia berbakat dalam ilmu pasti. Ini mengherankan para gurunya, yang berpikiran bahwa orang Hindia tak pandai ilmu pasti. Dia justru amat membenci ilmu tumbuh-tumbuhan karena harus menghafalnya. ”Bencinya lebih besar ketimbang benci makan roti dan keju,” ujarnya.

Guru dan teman-temannya mudah menerima Tan yang pandai bergaul sekalipun ada kendala bahasa. Dia aktif bermain sepak bola dan main biola bersama orkes sekolah. Terkadang dia memamerkan tari-tarian Minangkabau kepada teman-temannya.

Untuk urusan sepak bola, ia dikenal memiliki tendangan yang kencang. Tan bergabung dengan klub Vlugheid Wint. Kakinya sering terluka lantaran tak bersepatu. Tan juga kerap mengabaikan peringatan teman-temannya agar mengenakan jaket tebal pada saat istirahat pertandingan. Bahkan dalam kondisi sakit pun, nafsu bermain sepak bola Tan tak padam.

Dengan kualitas makan yang buruk, kamar yang tak sehat, dan tak pernah mengenakan jaket tebal, Tan mulai terserang radang paru tepat pada musim panas 1915. Sejak itu, dia tak pernah seratus persen sehat. Pada awal 1916 kesehatannya mundur lagi sehingga sulit mengikuti pelajaran di sekolah. Bahkan ujian pun dilaluinya dalam kondisi ambruk.

Pondokan di Jacobijnestraat adalah tempat berseminya pemahaman politik Tan. Dia kerap terlibat diskusi hangat antara teman satu kos, Herman Wouters, seorang pengungsi Belgia yang melarikan diri dari serbuan Jerman, dan Van der Mij. Dari diskusi itu, Tan tersadar bahwa dunia tengah bergolak. Sekonyong-konyong, sebuah kata baru mulai jadi subyek misterius bagi Tan Malaka: revolusi.

Namun dia tak langsung menjadi partisipan aktif, ”Politik bagi saya adalah terra incognita,” ucapnya. Dia lebih banyak mengamati dan mendengar sambil ikut-ikutan membaca De Telegraf, surat kabar yang anti-Jerman dan Het Volk yang rajin menyerukan pesan antikapitalisme dan antiimperialisme. De Telegraf adalah koran langganan Mij. Het Volk merupakan media yang selalu dibaca Wouters.

Tan Malaka tak bisa menghindar dari perkembangan politik dunia. Perang yang berkecamuk telah mempengaruhi perkembangan pemikirannya. Selain membaca koran-koran ”kiri”, dia mulai lapar informasi politik. De Vries semakin rajin dikunjungi termasuk toko buku lain di ujung Jacobijnestraat. Buku karya para filsuf dan pemikir populer pada zaman itu menjadi santapannya, seperti Thus Spoke Zarathustra dan Wille zur Macht (Will to Power) karya filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche. Begitu pula The French Revolution karya Thomas Carlyle, penulis esai ternama Skotlandia. Dari buku ini Tan Malaka mengenal semboyan liberte, egalite, fraternite (kemerdekaan, persamaan, persaudaraan).

”Tiba-tiba saya berada dalam semangat dan paham yang lazim dinamai revolusioner,” tutur Tan Malaka dalam tulisannya.

Tan meninggalkan Haarlem pada 1916 dan pindah ke Bussum. Jarak Haarlem-Bussum dengan kereta api biasa ditempuh selama satu setengah jam. Di kawasan Korte Singel, Bussum, dia tinggal bersama keluarga Rietze Koopmans. Rumah keluarga Koopmans masih berdiri hingga kini dan tetap sama seperti ketika Tan tinggal di sana hingga Mei 1918.

Rumah bercat putih gading dengan struktur kayu itu dikelilingi pohon rimbun. Penghuninya yang sekarang baru setahun menempati rumah yang sangat asri itu. Mereka pun antusias ketika mengetahui rumahnya dulu ditempati seorang tokoh nasional Indonesia. Sayangnya, pasangan ini menolak menyebut nama. Menurut mereka, setidaknya ada empat keluarga yang menghuni rumah itu sebelumnya.

Kepindahan ke Bussum membuat Tan Malaka lagi-lagi tersadar, hidup tak sekadar penjajah dan terjajah. Di kota ini dia menemukan pola hidup borjuis yang berjurang luas dengan proletar. Dia merasakan perbedaan yang mencolok antara gaya hidup mewah Koopmans dan keluarga Van der Mij yang proletar.

Revolusi Komunis yang meledak di Rusia pada Oktober 1917 juga memberi keyakinan pada Tan bahwa dunia sedang beralih ke sosialisme. Berbagai gagasan baru tentang bagaimana seharusnya bangsa Indonesia dibangun berseliweran dalam benak Tan.

Lalu datanglah tawaran dari Suwardi Surjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara agar dia mewakili Indische Vereeniging dalam kongres pemuda Indonesia dan pelajar Indologie di Deventer, Belanda. Di forum inilah, untuk pertama kali, Tan membeberkan gagasan, yang selama ini bersemayam dalam pikirannya, secara terbuka.

Berikutnya Tan tinggal di Gooilandscheweg, kawasan borjuis yang awet hingga kini. Ketika Tempo berkunjung, rumah itu sepi. Penghuninya sedang tak di tempat. Tetangga kanan-kiri berjauhan. Tan menulis, daerah Gooilandscheweg memang daerah borjuis, dipenuhi rumah peristirahatan nan cantik yang jaraknya berjauhan.

Di rumah ini Tan mulai putus asa karena tak lulus ujian untuk izin mengajar sebagai guru di Belanda. Padahal dia harus mulai bekerja agar bisa membayar utangnya kepada NIOS. Pada saat yang sama, dia semakin aktif mengunjungi rapat-rapat Indie Weerbaar (Pertahanan untuk Hindia), yang sering diadakan Himpunan Hindia.

Sebagai pelajar dari bangsa terjajah, Tan Malaka akhirnya merasa sudah saatnya ada revolusi di Indonesia agar terlepas dari penjajahan dan mulai membangun sistem sosialisme. Setelah gagal mendapatkan izin mengajar namun mendapat banyak pelajaran penting tentang politik selama enam tahun, Tan memutuskan pulang ke Indonesia pada 1919.

Tan pulang hanya dengan satu cita-cita: mengubah nasib bangsa Indonesia. Sayangnya, karena cita-cita ini jugalah Ibrahim harus kembali lagi ke Belanda pada 1922. Kali ini bukan sebagai pelajar, melainkan buangan politik.

DIA YANG MAHIR DALAM REVOLUSI

Hatinya terlalu teguh untuk berkompromi. Maka ia diburu polisi rahasia Belanda, Inggris, Amerika, dan Jepang di 11 negara demi cita-cita utama: kemerdekaan Indonesia.

Ia, Tan Malaka, orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia. Muhammad Yamin menjulukinya ”Bapak Republik Indonesia”. Soekarno menyebutnya ”seorang yang mahir dalam revolusi”. Tapi hidupnya berakhir tragis di ujung senapan tentara republik yang didirikannya.

Ia seorang yang telah melukis revolusi Indonesia dengan bergelora. Namanya Tan Malaka, atau Ibrahim Datuk Tan Malaka, dan kini mungkin dua-tiga generasi melupakan sosoknya yang lengkap ini: kaya gagasan filosofis, tapi juga lincah berorganisasi.


ORDE Baru telah melabur hitam peran sejarahnya. Harus diakui, di mata sebagian anak muda, Tan mempunyai daya tarik yang tak tertahankan. Sewaktu Soeharto berkuasa, menggali pemikiran serta langkah-langkah politik Tan sama seperti membaca tulisan-tulisan hasil karya kaum kiri lainnya. Buku-bukunya disebarluaskan lewat jaringan klandestin. Diskusi yang membahas alam pikirannya dilangsungkan secara berbisik. Meski dalam perjalanan hidupnya Tan akhirnya berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), sosoknya sering kali dihubungkan dengan PKI: musuh abadi Orde Baru.

Perlakuan serupa menimpa Tan di masa Soekarno berkuasa. Soekarno, melalui kabinet Sjahrir, memenjarakan Tan selama dua setengah tahun, tanpa pengadilan. Perseteruannya dengan para pemimpin pucuk PKI membuat ia terlempar dari lingkaran kekuasaan. Ketika PKI akrab dengan kekuasaan, Bung Karno memilih Musso—orang yang telah bersumpah menggantung Tan karena pertikaian internal partai—ketimbang Tan. Sedangkan D.N. Aidit memburu testamen politik Soekarno kepada Tan. Surat wasiat itu berisi penyerahan kekuasaan kepemimpinan kepada empat nama—salah satunya Tan—apabila Soekarno dan Hatta mati atau ditangkap. Akhirnya Soekarno sendiri membakar testamen tersebut. Testamen itu berbunyi: ”...jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka.”

Politik memang kemudian menenggelamkannya. Di Bukittinggi, di kampung halamannya, nama Tan cuma didengar sayup-sayup. Ketika Harry Albert Poeze, sejarawan Belanda yang meneliti Tan sejak 36 tahun lalu, mendatangi Sekolah Menengah Atas 2 Bukittinggi, Februari lalu, guru-guru sekolah itu terkejut. Sebagian guru tak tahu Tan pernah mengenyam pendidikan di sekolah yang dulu bernama Kweekschool (sekolah guru) itu pada 1907-1913. Sebagian lain justru tahu dari murid yang rajin berselancar di Internet. Mereka masih tak yakin, sampai kemudian Poeze datang. Poeze pun menemukan prasasti Engku Nawawi Sutan Makmur, guru Tan, tersembunyi di balik lemari sekolah.

Di sepanjang hidupnya, Tan telah menempuh pelbagai royan: dari masa akhir Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik, hingga Perang Dunia II. Di kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia, lelaki kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 ini merupakan tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).

Buku Naar de Republiek dan Massa Actie (1926) yang ditulis dari tanah pelarian itu telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa Actie. Waktu itu Bung Karno memimpin Klub Debat Bandung. Salah satu tuduhan yang memberatkan Soekarno ketika diadili di Landrat Bandung pada 1931 juga lantaran menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh jika isi buku itu menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya, Indonesia Menggugat.

W.R. Supratman pun telah membaca habis Massa Actie. Ia memasukkan kalimat ”Indonesia tanah tumpah darahku” ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk ”Khayal Seorang Revolusioner”. Di situ Tan antara lain menulis, ”Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri.... Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.”

Di seputar Proklamasi, Tan meno-rehkan perannya yang penting. Ia menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), 19 September 1945. Inilah rapat yang menunjukkan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan ”masih sebatas catatan di atas kertas”. Tan menulis aksi itu ”uji kekuatan untuk memisahkan kawan dan lawan”. Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang kian berani dan gencar.

Kehadiran Tan di Lapangan Ikada menjadi cerita menarik tersendiri. Poeze bertahun-tahun mencari bukti kehadiran Tan itu. Sahabat-sahabat Tan, seperti Sayuti Melik, bekas Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, dan mantan Wakil Presiden Adam Malik, telah memberikan kesaksian. Tapi kesaksian itu harus didukung bukti visual. Dokumen foto peristiwa itu tak banyak. Memang ada rekaman film dari Berita Film Indonesia. Namun mencari seorang Tan di tengah kerumunan sekitar 200 ribu orang dari pelbagai daerah bukan perkara mudah.

Poeze mengambil jalan berputar. Ia menghimpun semua ciri khas Tan dengan mencari dokumen di delapan dari 11 negara yang pernah didatangi Tan. Tan, misalnya, selalu memakai topi perkebunan sejak melarikan diri di Filipina (1925-1927). Ia cuma membawa paling banyak dua setel pakaian. Dan sejak keterlibatannya dalam gerakan buruh di Bayah, Banten, pada 1940-an, ia selalu memakai celana selutut. Ia juga selalu duduk menghadap jendela setiap kali berkunjung ke sebuah rumah. Ini untuk mengantisipasi jika polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris, atau Amerika tiba-tiba datang menggerebek. Ia memiliki 23 nama palsu dan telah menjelajahi dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer—dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin.

Satu lagi bukti yang mesti dicari: berapa tinggi Tan sebenarnya? Di buku Dari Penjara ke Penjara II, Tan bercerita ia dipotret setelah cukur rambut dalam tahanan di Hong Kong. ”Sekonyong-konyong tiga orang memegang kuat tangan saya dan memegang jempol saya buat diambil capnya. Semua dilakukan serobotan,” ucap Tan. Dari buku ini Poeze pun mencari dokumen tinggi Tan dari arsip polisi Inggris yang menahan Tan di Hong Kong. Eureka! Tinggi Tan ternyata 165 sentimeter, lebih pendek daripada Soekarno (172 sentimeter). Dari ciri-ciri itu, Poeze menemukan foto Tan yang berjalan berdampingan dengan Soekarno. Tan terbukti berada di lapangan itu dan menggerakkan pemuda.

Tan tak pernah menyerah. Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa dengan Soekarno-Hatta yang memilih berunding dan kemudian ditangkap Belanda. Menurut Poeze, Tan berkukuh, sebagai pemimpin revolusi Soekarno semestinya mengedepankan perlawanan gerilya ketimbang menyerah. Baginya, perundingan hanya bisa dilakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan Indonesia 100 persen dari Belanda dan Sekutu. Tanpa itu, nonsens.

Sebelum melawan Soekarno, Tan pernah melawan arus dalam kongres Komunisme Internasional di Moskow pada 1922. Ia mengungkapkan gerakan komunis di Indonesia tak akan berhasil mengusir kolonialisme jika tak bekerja sama dengan Pan-Islamisme. Ia juga menolak rencana kelompok Prambanan menggelar pemberontakan PKI 1926/1927. Revolusi, kata Tan, tak dirancang berdasarkan logistik belaka, apalagi dengan bantuan dari luar seperti Rusia, tapi pada kekuatan massa. Saat itu otot revolusi belum terbangun baik. Postur kekuatan komunis masih ringkih. ”Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak,” tulis Tan. Singkat kata, rencana pemberontakan itu tak matang.

Penolakan ini tak urung membuat Tan disingkirkan para pemimpin partai. Tapi, bagi Tan, partai bukanlah segala-galanya. Jauh lebih penting dari itu: kemerdekaan nasional Indonesia. Dari sini kita bisa membaca watak dan orientasi penulis Madilog ini. Ia seorang Marxis, tapi sekaligus nasionalis. Ia seorang komunis, tapi kata Tan, ”Di depan Tuhan saya seorang muslim” (siapa sangka ia hafal Al-Quran sewaktu muda). Perhatian utamanya adalah menutup buku kolonialisme selama-lamanya dari bumi Indonesia.

Berpuluh tahun namanya absen dari buku-buku sejarah; dua-tiga generasi di antara kita mungkin hanya mengenal samar-samar tokoh ini. Dan kini, ketika negeri ini genap 63 tahun, majalah ini mencoba melawan lupa yang lahir dari aneka keputusan politik itu, dan mencoba mengungkai kembali riwayat kemahiran orang revolusioner ini. Sebagaimana kita mengingat bapak-bapak bangsa yang lain: Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Mohammad Natsir, dan lainnya.

Krisis Total dan Keresahan Masyarakat

Mengapa Indonesia terpuruk berat? Akarnya amat jelas, yaitu terjadinya pengkhianatan dan pengingkaran terhadap cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, terhadap cita-cita para pendiri bangsa, terhadap cita-cita Revolusi Indonesia. Mengapa pengingkaran itu bisa terjadi? Tak lain, karena bertemunya kepentingan antara kekuatan eksternal (asing) dengan oknum-oknum dalam negeri yang dimanfaatkan oleh kekuatan eksternal tersebut dalam situasi politik dunia yang kondusif bagi pertemuan itu.

Setelah lengsernya Orde Baru, maka lahirlah “Era Reformasi” (ER) yang semula menjadi harapan akan datangnya suasana baru yang lebih baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sampai saat ini, ER telah berlangsung selama kurang lebih 12 tahun, dengan beberapa kali terjadi pergantian pemimpin nasional. Namun ternyata, yang terjadi tidak seperti yang diharapkan, melainkan justru semakin menambah kesemrawutan di berbagai bidang. Lahirlah istilah “Krisis Multidimensi” (KM). Masyarakat pada umumnya merasakan suasana “ketidakpastian”. Resah dan prihatin.

Menanggapi kondisi yang demikian itu, sekarang ini mulai banyak lingkaran-lingkaran diskusi, kelompok-kelomok sarasehan dan sebagainya yang terdiri baik generasi muda maupun mereka yang lebih tua, yang merasa peduli terhadap kondisi kita dewasa ini. Tentu saja, motif dan warna kelompok-kelompok tersebut berbeda-beda, dan fokus perhatiannya pun berbeda-beda. Namun, pada umumnya mereka membahas tiga pertanyaan pokok yang jawabannya memang belum pernah tuntas, yaitu: pertama, mengapa bangsa Indonesia mengalami keterpurukan seperti sekarang? Kedua, bagaimana solusinya? Ketiga, apakah “reformasi” kita ini gagal atau berhasil?

Sesuai dengan cerminan dari istilah yang dipakai, yaitu “KM”, maka yang diresahkan oleh masyarakat itu mencakup berbagai bidang, berbagai dimensi. Hukum semrawut, garis politik tidak jelas, konflik sosial dimana-mana degan “bungkus” yang bermacam-macam (konflik etnis, konflik agama dan lain-lain), kesenjangan ekonomi makin menganga, budaya “hedonisme” merajalela, pendidikan dikomersialkan dan seterusnya. Daftar kebobrokan itu bisa sangat panjang. Tetapi semua itu tidak berdiri sendiri, melainkan saling terkait. Oleh karena itu, saya tidak menggunakan istilah “KM” (Krisis Multidimensi), melainkan “KT” (Krisis Total)! Bangsa Indonesia sebagai totalitas sedang mengalami bencana alam yang dahsyat (trunami Aceh dan gempa Yogya). Menjadi “total”-lah krisis yang kita alami.

Dengan pengantar ringkas di atas, marilah kita mencoba menjawab tiga pertanyaan pokok yang disebutkan tadi. Pertanyaan yang pertama memang tidak mudah untuk dijawab, dan memerlukan penjelasan panjang lebar. Tidak mudah, karena hal itu juga sangat tergantung dari visi kita masing-masing, yang bisa berbeda-beda. Sedangkan pertanyaan yang kedua, tentu saja tergantung dari jawaban kita terhadap pertanyaan pertama. Pertanyaan ketiga, itu sampingan yang berkaitan erat dengan pertanyaan pertama.


Mengapa Kita Terpuruk Berat?

Akarnya amat jelas, yaitu terjadinya pengkhianatan dan pengingkaran terhadap cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, terhadap cita-cita para pendiri bangsa, terhadap cita-cita Revolusi Indonesia. Mengapa pengingkaran itu bisa terjadi? Tak lain karena bertemunya kepentingan antara kekuatan eksternal (asing) dengan oknum-oknum dalam negeri yang dimanfaatkan oleh kekuatan eksternal tersebut dalam situasi politik dunia yang kondusif bagi pertemuan itu. Oknum-oknum dalam negeri itu terdiri dari tiga kelompok, yakni: pertama, mereka yang, dengan alasan apapun, secara a’priori berpihak kepada kepentingan asing. Kedua, mereka yang, apapun alasannya, dapat disebut sebagai opportunis, karena kerjasamanya dengan kekuatan asing itu dianggap sebagai peluang bagi kepentingan pribadinya, baik secara politis maupun ekonomi. Ketiga, mereka yang secara tidak sadar terkecoh. Karena lemah dalam kesadaran sejarah, dan miskin “cita rasa” politik, mereka terjerumus. Celakanya, mereka inilah yang mayoritas, termasuk profesor-profesor. Sekarang ini, di antara mereka ada yang mengaku salah, tapi banyak juga yang (karena gengsi) tidak merasa bersalah, dan tidak merasa terkecoh.

Sebelum kita masuk lebih dalam membahas bentuk-bentuk konkret pengingkaran terhadap cita-cita Revolusi, dan mengapa kelompok ketiga itu mayoritas, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa “potret” sebuah masyarakat pada hakikatnya merupakan produk dari bekerjanya empat faktor yang saling berinteraksi, yaitu: pertama, budaya dan dinamika internal masyarakat tersebut; kedua, kebijakan pemerintah; ketiga, warisan sejarah; dan keempat, intervensi asing. (Karena keterbatasan waktu, tak semua faktor tersebut sempat ditulis/diuraikan di sini).

Di antara empat aktor itu, satu saja yang ada baiknya dicatat (dan inipun hanya menyentuh satu aspeknya saja), yaitu faktor budaya dan dinamika internal. Masyarakat kita ini mengidap suatu “penyakit” yang oleh Francis Bacon pada pertengahan abad ke-16 disebut “the idol of the market place”, dan “the idol of the theatre”. Dengan bahasa sederhana, yang pertama itu artinya budaya “latah”. Belum memahami benar makna suatu istilah sudah turut lantang berteriak. (Istilah-istilah “good governance”, “civil society”, “social capital”, globalisasi, demokrasi, transparansi, akuntabilitas, “stakeholder”, “rule of the game”, dan banyak lagi lainnya adalah contoh-contohnya). Termasuk istilah “reformasi”. Akibat “latah” itu, maka timbul kerancuan dalam memberikan makna. Perbedaan pemahaman itu pada gilirannya menimbulkan perbedaan harapan. Inilah yang membuat orang mudah terkecoh. “The Idol” yang kedua artinya orang mudah bangga untuk merujuk/mengutip pernyataan orang-orang terkenal, terutama orang asing, dengan bahasa asing. Budaya inilah yang turut berkontribusi dalam membentuk “potret” masyarakat kita dewasa ini.

Kembali pada akar masalah yang dikemukakan di depan. Penggulingan Bung Karno (BK) pada hakikatnya merupakan skenario besar kekuatan asing dalam konteks Perang Dingin. Pada tahun 1965 itu, satuan-satuan inteligent dari 7 (tujuh) negara gentayangan di Jakarta. Mereka saling bertarung. Hanya beberapa minggu setelah BK menyampaikan Pidato TAKARI (Tahun Berdikari) pada 17 agustus 1965, terjadilah tragedi G 30 S. Itulah saat yang dipilih sebagai momentum untuk menjatuhkan BK, karena seolah-olah berbagai kekuatan asing itu tidak rela jika Indonesia yang kaya akan sumberdaya alam itu “berdikari” (non-blok). Salah satu blok (di antara tiga blok pertarungan intel) itu memenangkan pertarungan. BK jatuh, dan lahirlah Orde Baru. Epilog G 30 S, dan dalam masa-masa selanjutnya, nampak jelas terjadinya interaksi empat faktor pembentuk “potret” kita ini, yang menjurus ke arah pengingkaran terhadap cita-cita para pendiri bangsa kita. Kebijakan pemerintah mulai didominasi oleh pikiran-ikiran luar. Secara sistematis, muslihat dan manipulasi politik dilakukan dengan memanfaatkan budaya internal masyarakat. Sejarah bangsa mulai digelapkan dan dibengkokkan. Generasi muda mulai diputus kesadaran sejarahnya.

Wujud konkrit dari adanya pengingkaran terhadap cita-cira revolusi antara lain adalah: pertama, dalam hal semboyan: “Berdaulat dalam politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan” diganti dengan semboyan: “Politik no, ekonomi yes!” Kedua, dilakukan gerakan “de-Soekarnoisasi”. Membicarakan konsep “marhaenisme” saja dilarang secara resmi (apalagi “Marxisme”). Ketiga, pada tahun 1967 lahir tiga Undang-Undang sektoral yang bertentangan dengan UUPA-1960. Keempat, secara diam-diam matakuliah “agraria” dihapus dari kurikulum perguruan tinggi (kecuali di Fakultas Hukum).

Memang tidak begitu sederhana untuk mengungkap akar masalah itu. Dengan selesainya perang dingin, maka satu kekuatan besar secara sepihak menjadi merajalela mendominasi di mana-mana. Siapa yang menjatuhkan Orde Baru? Tidak lain adalah “majikannya” sendiri! Karena “binekanya”nya dianggap tak berguna lagi, atau bahkan dianggap akan mengganggu tujuan utamanya. Setelah dijebak melalui hutang, melalui keterikatan terhadap perjanjian-perjanjian internasional yang menjerat, melalui jebakan korupsi, dan jebakan-jebakan lainnya, maka kemudian melalui isu HAM, isu supremasi hukum, isu demokratisasi, isu kekejaman militer dan sebagainya. Dijatuhkanlah Orde Baru. Namun, tujuan utamanya adalah “mengkerdilkan peran negara” untuk melancarkan jalan menuju “globalisasi ekonomi” versi neo-liberal yang tak lain adalah “imperialisme baru” (Lihat John Perkins, 2004).


Menjernihkan Pengertian beberapa Istilah

Kehidupan masyarakat kita dewasa ini sedang dalam kesemrawutan. Kita sedang kehilangan arah, mengalami “disorientasi”. Secara totalitas, perilaku masyarakat sedang berputar-putar, “lir gabah den interi”. Kelompok-kelompok masyarakat sedang berseliweran. Di satu sisi, kampanye privatisasi, deregulasi, “pasarisasi”, liberalisasi, desentralisasi, demokrasi dan sebagainya menggebu-gebu digalakkan. Tapi di sisi lain, diteriakkan “supremasi hukum”, yang dalam praktiknya berupa meningkatkan produksi Undang-Undang. Ibaratnya, sekaran ini orang mau “kentut” pun (maaf) perlu undang-undang. Jadi, di satu sisi ingin mengkerdilkan peran negar (jangan banyak mengatur!), namun di lain sisi, semua hal harus diatur. Bukankah ini suatu cara berpikir yang simpang-siur? Kelompok-kelompok masyarakat belum secara jelas menampakkan pandangan orientasinya. Masih banyak “bajing loncat”. Belum menyadari siapa kawan siapa lawan. Belum “mengkristal”. Itulah makna “lir gabah den interi”.

Salah satu faktor yang turut membenuk kesemrawutan itu adalah rancunya penggunaan berbagai istilah sebagaimana disinginggung di depan. Istilah-istilah yang salah kaprah itu seharusnya dijernihkan. Tapi di sini dipilih dua saja yang relevan, yaitu istilah “reformasi” dan istilah “krisis”.

Kita semua pasti masih ingat bahwa istilah “reformasi” itu mulai bergulir secara populer di Indonesia stelah Direktur IMF, Michael Camdesseaus—saat itu melakukan perundingan dengan Presiden Soeharto—menuntut adanya “refomasi politik” sebagai syarat diberikannya bantuan IMF untuk mengatasi krisis. Istilah tersebut kemudian diambil oper oleh gerakan mahasiswa dan rakyat untuk menumbangkan Soeharto. Setelah Soeharto lengser, berkembanglah bermacam tafsiran makna dalam masyarakat. Paling tidak ada tiga versi yang dapat dicatat. Pertama, Habibie, yang menyatakan “reformasi adalah proses perubahan yang gradual, bertahap, evolusioner, dan konstitusional”. Kedua, Soebadio yang menyebut “reformasi adalah revolusi!”. Ketiga Roeslan yang menerjermahkan “reformasi bukan revolusi, tetapi mengandung nuansa revolusioner. Yang mana yang tepat? Tidak ada!

Menurut perbendaharaan istilah ilmiah, “reformasi itu upaya perubahan untuk memperbaiki fungsi dari sejumlah lembaga tertentu dalam aspek-aspek tertentu, karena di situ terdapat masalah yang membuat lembaga tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya dalam tata-sosial-ekonomi-politik yang ada”. (Cf. Modern Dictionary of Sociology, karangan Teodorson & Theodorson, 1969). Artinya, reformasi itu tidak mengubah struktur dan tidak mengubah nilai dasar dari tata yang ada. Inilah yang membedakan reformasi dari revolusi. Sekalipun demikian, reformasi tidak harus “evolusioner”. Dalam istilah ilmiah, “reformis” yaitu rekayasa sosial untuk mempertahankan” status quo dengan kedok pembaruan. Tokoh-tokoh pelakunya disebut “reformist”. Jadi, sebenarnya istilah reformist itu konotasinya jelek. Tapi di Indonesia, orang bangga disebut reformis. Salah kaprah!

Dengan penjelasan tersebut di atas itu, kita menjawab pertanyaan yang ketiga. Jika versi Habibie yang dipakai, maka reformasi kita berhasil! Status quo Orde Baru (sekalipun dihujat bertubi-tubi) berhasil dipertahankan. Bukankah kondisi sekarang ini dapat disebut sebagai Orde Baru Jilid II? Jika versi Roeslan Abdul Gani yang dipakai, maka reformasi kita gagal! Atau setengah gagal. Sebab, versi Reoslan itu sebenarnya juga kurang tepat. Suatu pembaruan yang bernuansa revolusioner itu istilah ilmiahnya adalah “reform”, atau “reforma” (tanpa “si”).

Ada yang mengatakan: setelah sekian tahun berjalan, mengapa reformasi belum selesai, karena reformasi itu memerlukan masa transisi! Namun ini menimbulkan pertanyaan: “transisi itu ke arah mana, menuju apa?” Sampai sekarang belum ada yang menjawab dengan tegas. Pada titik inilah terletak relevansinya untuk menjernihkan istilah “krisis”.

Definisi “krisis” itu ada bermacam-macam tergantung dari kubu teori mana yang dianut. Tapi ada satu definisi yang secara umum diterima, yaitu: “krisis adalah suatu gangguan yang abnormal terhadap kehidupan seseorang, atau suatu kelompok, atau masyarakat, sebagai akibat terjadinya situasi yang tak terduga, yang untuk menghadapinya, seseorang, suatu kelompok, atau masyarakat tersebut, tidak siap, sehingga menimbulkan masalah-masalah yang untuk mengatasinya tidak dapat dilakukan atas dasar dalil-dalil konvensional. Solusi krisis memerlukan pengembangan pikiran baru (“terobosan”). (Theodorson & Theodorson, 1969, op.cit).

Yang lebih jelas, tegas, dan mudah dipahami adalah definisi dari kubu “teori kritis”, yaitu bahwa “suatu krisis pada hakikatnya adalah adanya situasi “unresolvable steering problem”. Selama “sang sopir” tidak mampu memecahkan masalah ke mana “mobil” bangsa ini hendak diarahkan, selama itu situasi tersebut “krisis”. Singkatnya, krisis kepemimpinan, karena sang pemimpin belum mampu membuat langkah terobosan.


Faktor Lain Penyebab Keterpurukan

Dari uraian ringkas (tapi agak panjang) tersebut di atas, rasanya jelas bahwa akar masalah yang akhirnya bermuara pada keterpurukan masyarakat kita ini berawal dari pengkhianatan politik dan ekonomi di sekitar tahun 1965. Dalam proses lanjutannya, selama Orde Baru, budaya latah dimanfaatkan untuk mengecoh. Ada semacam “politik bahasa”, membangun “euphemisme imitasi”. Ditangkap disebut “diamankan”. Harga naik disebut “disesuaikan”. Hasil proyek jelek disebut “sudah baik tapi perlu ditingkatkan”. Banyak idiom bahasa Jawa yang sebenarnya “luhur”, diplintir sehingga sering terhadi distorsi makna.

Masa 32 tahun bukanlah sebentar, karena itu setapak demi setapak sepak terjang Orde Baru itu berdampak luas terhadap perilaku masyarakat secara keseluruhan. Akhirnya di dalam masyarakat terbangun sikap dan perilaku yang oleh Mahatma Gandhi disebut sebagai “dosa sosial”. Menurutnya, masyarakat terpuruk hebat karena berlangsungnya 7 (tujuh) macam “dosa sosial”, yaitu: politics without principle; wealth without work; commerce without morality; education without character; pleasure without conscience; science without humanity; dan workship without sacriifice. Apakah dalam masyarakat kita sekarang ini “dosa-dosa” sosial tersebut masih ada? Saya kira masih! Bahkan mungkin lebih merajalela.


Bagaimana Solusinya?

Semua orang bertanya seperti itu, dan semua orang merasa sukar mencari jawabannya. Itu sebabnya resah! Dari uraian di atas tersebut jelas, bahwa kristal itu ujungnya adalah krisis kepemimpinan, Pemimpin harus mampu membuat langkah “terobosan”. Langkah terobosan itu tak bisa diwacanakan, sebab jika diwacanakan akan berubah menjadi bukan terobosan lagi. Jadi, langkah itu bersifat semacam “shock theraphy (BK dan SHT sangat mahir membuat langkah ini. Itu sebabnya beliau-beliau itu bisa bertahan lama. Tetapi pertama-tama harus dilandasi dengan visi, arah, dan “grand policy” yang jelas dan tegas.

Di samping itu, gejala tujuh dosa sosial itu harus dikikis melalui pembangkitan semangat tertentu. Menurut Max Weber, suatu krisis tidak mungkin diatasi dengan semangat “profesionalisme”. Nah, ini juga suatu istilah yang perlu dijernihkan. Citranya sekarang ini (karena juga dipromosikan secara menggebu), seolah-olah seorang profesional itu adalah orang yang serba hebat, sempurna, terampil, bertanggungjawab dan seterusnya. Dalam pendidikan profesionalisme, seorang profesional itu diajarkan dan dilatih untuk tidak emosional, menjaga obyektivitas, rasional, yang pikirannya harus terpusat hanya pada obyek garapannya. Diatas segala-galanya ia dituntut kesetiannya kepada gagasan, etika, dan aturan baku bidang keterampilannya, dan bukan kesetiaan kepada majikan ataupun lembaga tempat dia bekerja. Harus “netral” dan tidak “berpihak”. (Lihat Morse, 1961; Hpult, 1969). Karena itu tidak relevan untuk berbicara tentan keberpihakan. Di balik citra yang serba hebat itu, pada hakikatnya seorang profesional adalah “tenaga bayaran”. Landasan untuk berpikir, berbuat dan bertindak adalah “nilai bayarannya”, atau untung/ruginya, bukan atas dasar sentuhan hati nuraninya.

Bukan semangat seperti itu yang diperlukan untuk mengatasi krisis, kata Max Weber, melainkan semangat “vokasionalisme”. Seorang vokasional berpikir, berbuat, dan bertindak bukan atas dasar “nilai bayaran”, melainkan atas dasar prinsip yang diyakininya. Seorang vokasional adalah orang yang tak mudah tergoda oleh bayaran yang menggiurkan, yang bukan saja mampu membentengi dirinya dengan semangat baja, tapi bahkan mampu membangkitkan mereka yang harapannya hampir runtuh sama sekali. Seorang vokasional tak mungkin “dibeli”, seorang profesional selalu dapat “dibeli”.

Membangkitkan semangat vokasionalisme inilah salah satu jalan menuju solusi, walaupun hal ini merupakan jalan panjang yang memerlukan waktu. Apalagi dalam suasana sekarang ini ketika justru semangat “profesionalisme”-lah yang setiap detik digembar-gemborkan. 


Sumber:  http://www.facebook.com/note.php?note_id=445501179582

Nasionalisme Indonesia belum selesai

Indonesia sebagai sebuah nasion baru ada setelah abad XX. Untuk menjelaskan itu akan dimulai dengan pengertian nasion (nation). Untuk menjelaskan itu saya akan mengajukan beberapa hal menyangkut pembentukan nasion. Pertama-tama yang dimaksud nasion adalah gejala baru dalam sejarah umat manusia. Nasion sebenarnya hanya muncul di atas bumi manusia sejalan dengan berkembangnya kapitalisme. Sebelum ada kapitalisme tidak ada yang namanya bangsa atau nasion. Pada masa sebelum perkembangan kapitalisme yang ada hanyalah kelompok-kelompok etnis, kesukuan, kerajaan dan sebagainya—bukan nasion, bukan negara.

Indonesia sebagai sebuah nasion baru ada setelah abad XX. Untuk menjelaskan itu akan dimulai dengan pengertian nasion (nation). Untuk menjelaskan itu saya akan mengajukan beberapa hal menyangkut pembentukan nasion. Pertama-tama yang dimaksud nasion adalah gejala baru dalam sejarah umat manusia. Nasion sebenarnya hanya muncul di atas bumi manusia sejalan dengan berkembangnya kapitalisme. Sebelum ada kapitalisme tidak ada yang namanya bangsa atau nasion. Pada masa sebelum perkembangan kapitalisme yang ada hanyalah kelompok-kelompok etnis, kesukuan, kerajaan dan sebagainya—bukan nasion, bukan negara. Nasion memiliki beberapa sifat konkret, yang menurut saya—yang jika semua sifat itu tidak ada, kalau tidak lengkap—tidak bisa disebut nasion, atau belum nasion.

Nasion merupakan sebuah komunitas yang terbentuk dalam proses perkembangan sejarah yang stabil. Artinya, ada (eksis), sudah mampu bertahan cukup lama dan cukup stabil. Jadi, sesuatu fenomena yang eksis 10 tahun, 20 tahun, 50 tahun terus hilang, itu belum stabil. Jadi, nasion itu harus yang sudah stabil, sudah eksis cukup lama. Komunitas orang-orang yang terbentuk dalam proses sejarah yang stabil itu, pertama, harus memiliki wilayah yang dihuni bersama (common territory). Kedua, ada bahasa yang dipakai bersama (common language). Ketiga, kehidupan ekonomi bersama—semua orang yang tinggal di suatu wilayah memiliki satu kehidupan ekonomi bersama. Biasanya dalam proses kemunculan kapitalisme terbentuk suatu pasar yang terintegrasi, tersatukan di dalam wilayah itu. Cerminan fenomenanya adalah adanya mata uang yang sama, hukum pajak yang sama, peredaran barang di seluruh wilayah, termasuk tenaga kerja manusia tersatukan dalam satu proses ekonomi di suatu wilayah. Keempat, ada watak psikologis bersama yang tercerminkan dalam satu kebudayaan bersama.

Sifat-sifat di atas tidak mendadak jatuh dari langit. Di setiap negara, kemunculan sifat tersebut berbeda-beda dan dengan pasang surut yang berbeda-beda pula. Ada yang bisa berkembang cepat, sementara yang lainnya lama, dan seterusnya. Keempat sifat di atas—sebagaimana analisis dari kaum kiri—tidak diperoleh dari langit, melainkan merupakan hasil dari pengamatan terhadap proses. Orang yang pertama kali menulis soal untuk pertama kalinya mengamati proses sejarah masyarakat Eropa, dan kemudian Amerika. Di jaman Eropa feodal misalnya, kerajaan-kerajaan yang ada adalah kerajaan-kerajaan kecil. Kalaupun ada raja besar, itu adalah kerajaan yang memperoleh upeti dari berbagai raja-raja kecil. Di masing-masing kerjaan Eropa itu bahasanya berbeda-beda—itu yang sering dilupakan orang. Misalnya di Prancis ketika terjadi Revolusi Prancis, jumlah orang yang saat ini disebut sebagai orang Prancis dan berbahasa Prancis hanya 30%, sedangkan 70% lainnya sebelum Revolusi Prancis berbicara dalam bahasa-bahasa suku. Demikian pula di Jerman dan Itali. Sebelumnya tidak ada bahasa Italia yang menyatukan seluruh Italia. Di Inggris, bahasa Skotlandia yang asli, bahasa Wales yang asli tidak dimiliki oleh orang Inggris. Di Eropa pada awalnya batas-batas geografis kerajaan itu sangat cair. Tetapi dalam proses penyatuan, misalnya Napoleon menyatukan Prancis, Bismark menyatukan Jerman dan sebagainya, setelah melalui berbagai peperangan, lama kelamaan wilayahnya menjadi jelas.

Salah satu faktor yang menggerakan kaum borjuasi di Prancis untuk menjatuhkan feodalisme adalah karena adanya “kemumetan” dalam mengatur perekonomian. Itu karena masing-masing wilayah di Prancis, pertama-tama bahasanya, isi perjanjian ekonomi, pajak dan lain-lain di setiap daerah memiliki bahasa yang berbeda-beda. Berdasarkan kenyataan itu kaum borujuasi menginginkan satu pengaturan ekonomi yang meliputi seluruh wilayah dengan mata uang yang sama, aturan pajak dan pungutan yang sama. Mereka menginginkan satu ekonomi nasional, pasar nasional dengan aturan nasional yang bersatu, yang terintegrasi, di mana semua orang bisa terlibat. Itu merupakan salah satu sebab—bukan satu-satunya—mengapa kaum borjuasi Prancis menggulingkan kekuasaan feodal. Mereka menginginkan sebuah bentuk republik untuk seluruh Prancis. Jadi orang-orang bukan lagi abdi raja, tapi menjadi warga suatu republik, suatu nasion. Termasuk tenaga kerja masuk ke pasar nasional, di mana harga tenaga kerja dalam bentuk gaji itu menjadi relatif merata di semua sektor ekonomi. Membeli buruh di suatu daerah dan daerah lainnya kurang lebih sama. Kalaupun tidak sama, ada aturan nasional yang bisa memastikannya (memberi kepastian), sehingga terbentuklah pasar nasional.

Apakah memang bangsa-bangsa itu memiliki watak psikologis yang berbeda-beda? Watak psikologis ini datang dari mana? Kebudayaan yang dialami, dijalankan bersama-sama dalam wilayah tersebut (nasion) berasal dari mana? Faktor itu penting, apalagi di negara-negara pasca kolonial seperti Indonesia.

Munculnya nasion dengan sifat di atas merupakan proses sejarah. Artinya, ada awalnya, ada proses berkembangnya, dan ada proses selesainya. Jadi kalau ada pertanyaan apakah bisa selesai, menurut saya proses menyelesaikan atau mewujudkan keempat sifat nasion di atas seharusnya bisa. Hal yang perlu dicatat dan penting adalah bahwa terbangunnya nasion tidak menjamin apa-apa bagi masyarakat yang menjadi warganya. Adanya nasion tidak menjamin kemakmuran masyarakat. Adanya nasion hanya menjamin kemampuan untuk satu nasion berhubungan/berususan dengan nasion-nasion lain. Suka tidak suka, dunia sekarang terdiri dari nasion-nasion. Dalam kerangka itu, jika proses pembentukkan nasion belum mantap, maka dalam berurusan dengan nasion lain nasion yang bersangkutan akan berada dalam posisi lemah. Sebaliknya, jika sudah berkembang posisinya bisa tidak lemah lagi atau tidak selemah seperti sebelum berkembang. Faktor lain yang dapat menjadi imbangan kekuatan adalah potensi. Tinggal persoalannya apakah potensi yang ada itu bisa direalisasikan atau tidak.

Batasan wilayah Indonesia berasal dari batasan yang dibuat pada jaman Hindia Belanda. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa batas wilayah Indonesia merupakan hasil dari proses kolonialisme—tetapi bukan bentukan Hindia Belanda. Oleh sebab itu, keliru jika mengatakan bahwa Indonesia merupakan ciptaan Belanda, sebagaimana pendapat beberapa kalangan sejarawan Barat. Secara kewilayahan, Indonesia merupakan hasil pertempuran pihak-pihak kolonial (Belanda, Portugis, Spanyol, Inggris).

Pandangan yang mengatakan bahwa Indonesia dipersatukan oleh Belanda adalah tidak benar. Kaum kolonial justru memecah belah setiap usaha membentuk nasion Indonesia. Wilayah Indonesia menjadi jelas terjadi dalam proses sejarah kolonialisme. Sedangkan aspek-aspek lain yang menjadi ciri nasion Indonesia dibangun oleh orang Indonesia sendiri—hasil dari proses perjuangan orang Indonesia sendiri. Bahasa Indonesia menjadi bahasa bersama diresmikan oleh gerakan Indonesia: Sumpah Pemuda. Hal itu merupakan hasil dari sebuah proses. Dalam hal itu, Pramoedya Ananta Toer memiliki jasa besar dalam menunjukkan bahwa orang Indo dan orang Tionghoalah yang sebenarnya membangun landasan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional.

Sebuah bahasa hanya bisa berkembang menjadi sebuah bahasa nasional jika sudah mampu dipakai untuk sastra. Sebelum muncul sastra bahasa Melayu, bahasa Melayu hanya dipakai untuk sastra kraton—dengan bahasa yang sangat sempit—dan bahasa perdagangan. Sebagai lingua franca, bahasa yang dipakai di seluruh kepulauan Nusantara hanya untuk kepentingan perdagangan, seperti isi kontrak, harga, tawar-menawar di pasar dan pelabuhan. Kalangan yang mulai membangun bahasa Melayu sebagai bahasa yang bisa dipakai untuk membicarakan atau membahas masalah kehidupan modern adalah orang-orang Indo yang menulis novel-novel tentang kehidupan Hindia Belanda waktu itu, kemudian orang Tionghoa yang menulis cerpen dan novel-novel dalam bahasa Melayu. Dengan begitu bahasa Melayu pun berkembang. Kalangan yang mengambil langkah berikutnya—yang membawa bahasa Melayu benar-benar menjadi bahasa nasional—adalah aktivis-aktivis gerakan nasionalis. Mereka menggunakan bahasa Indonesia untuk menjelaskan visi dan perjuangannya ke masa depan. Sebaliknya, Belanda sendiri menggunakan bahasa Melayu hanya sebagai bahasa administrasi—bahasa larangan dan alat pengaturan terhadap masyarakat jajahannya—bukan bahasa yang akan mampu menjadi bahasa untuk membentuk suatu—bahasa yang mampu membahas segala aspek kehidupan, terutama politik. Di jaman penjajahan Belanda bahasa Melayu selalu disempitkan menjadi bahasa yang sangat kaku. Bahasa Melayu menjadi bahasa yang hidup diwujudkan melalui gerakan nasionalisme, yang pada tahun 1928 diresmikan sebagai bahasa nasional. Dari situlah bahasa Melayu berkembang menjadi bahasa Indonesia yang aktif dipakai untuk membahas masa depan Indonesia: bagaimana mencapainya dan apa yang harus dilakukan untuk mencapainya.

Jika membaca karya tulis pengamat Belanda di jaman kolonial, ciri yang paling berlaku tentang kehidupan ekonomi di Hindia Belanda adalah dual economy: di satu sisi ada ekonomi yang dijalankan oleh orang-orang Eropa, sebagian kecil orang Tionghoa; dan di sisi lain ekonomi yang dijalankan oleh orang Hindia Belanda—dari semua etnis. Orang-orang Eropa berada di sektor ekonomi yang sangat produktif dan menghasilkan kekayaan besar, sedangkan di luar masyarakat Eropa produktivitas ekonominya sangat rendah, serta disertai kemiskinan dan kemelaratan. Pada jaman Hindia Belanda kehidupan ekonomi bersama tidak ada. Orang-orang yang tinggal di pedesaan dunia ekonominya berbeda dengan orang-orang di perkotaan. Pada waktu itu menuju pada kehidupan bersama sebenarnya mulai ada—mata uang yang sama, dan mulai ada undang-undang ekonomi yang berlaku di seluruh Hindia Belanda. Dual economy melahirkan jurang (ketimpangan) yang besar. Bukan saja jurang kaya dan miskin, tetapi juga jurang bahasa, kehidupan sehari-hari, kebudayaan sehari-hari, dan terutama produktivitas.

Apakah ada yang disebut kebudayaan Indonesia? Itu merupakan persoalan besar. Kebudayaan sebuah nasion datang dari mana? Ali Murtopo tahun 1970-an mengemukakan tentang “kebudayaan nusantara”, “kebudayaan kepulauan”. Menurutnya kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan kepulauan. Apa yang dimaksud dengan kebudayaan kepulauan? Maksudnya adalah: berbagai kebudayaan yang ada di pulau nusantara, dan kebudayaan Indonesia adalah penggabungan dari semua kebudayaan etnis-etnis yang ada. Itu adalah ide baru. Sebelum Orde Baru tidak ada ide itu. Memang ada slogan “bhineka tunggal ika”, tetapi asumsi—pada tahun 1930-an, 1940-an, 1950-an, 1960-an, semua pikiran tentang bhineka tunggal ika dan lain-lain—yang hidup di masyarakat yaitu ada kebudayaan yang sama sekali baru yang sedang berkembang. Kalau kita melihat sejarah Prancis, Jerman, Inggris, Amerika, Australia, dan Jepang, ketika mereka berkembang menjadi nasion memang tampak sekali ada suatu kebudayaan yang sama sekali baru yang lain dari kebudayaan sebelumnya. Kebudayaan Prancis setelah Revolusi Prancis tidak ada hubungannya dengan kebudayaan Prancis yang sebenarnya juga tidak ada—karena yang ada adalah kebudayaan berbagai bahasa yang ada di Prancis di jaman feodal. Demikian pula dengan Jepang, apakah ada hubungan kebudayaan Jepang sekarang dengan kebudayaan Jepang pada abad 18 dan 19. Sedikit sekali sisa-sisanya.

Lantas pertanyaannya, datang dari mana kebudayaan baru itu? Sebenarnya sumber utama dari kebudayaan baru adalah perjuangan yang dilakukan dangan sadar untuk mencapai perubahan. Di Eropa, pembangunan nasion dilakukan melalui perjuangan menghancurkan feodalisme. Di Amerika, perjuangan membangun nasion dilakukan dengan menghancurkan pengaruh kolonialisme Inggris dan perbudakan—karena tidak akan bisa mewujudkan suatu kehidupan ekonomi bersama jika masih ada masyarakat budak. Perjuangan untuk mencapai perubahan—penghancuran feodalisme dan kolonialisme—di kebanyakan negara-negara bekas kolonial bukan hanya menghancurkan feodalisme—karena kolonialisme sendiri yang sebenarnya sudah menghancurkan feodalisme sebagai kekuatan—tetapi juga feodalisme sebagai pengaruh mental. Sultan-sultan, raja-raja di nusantara sudah kalah tiga ratus tahun sebelumnya oleh Belanda, dan yang tersisa tinggal simbol—dalam mental dan kebudayaan masih ada—tetapi sebagai kekuatan sudah hilang. Jadi, perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah perjuangan mengalahkan kolonialisme. Perjuangan itulah yang kemudian melahirkan kebudayaan baru, dan semua perjuangan itu berbuntut revolusi.

Revolusi itu pertama-tama adalah memutarbalikkan susunan kekuasaan yang ada—yang dominan sebelumnya, yang tadinya berkuasa menjadi tidak berkuasa lagi, dan yang tadinya dikuasai menjadi berkuasa. Aspek kedua—merupakan syarat mutlak—dari revolusi adalah bahwa dalam proses memutarbalikkan kekuasaan tersebut terjadi proses menciptakan sesuatu yang sama sekali 100% baru atau yang sama sekali 100% tidak ada sebelumnya. Revolusi itu merupakan proses yang sangat kreatif, sekaligus juga destruktif. Dikatakan destruktif karena revolusi menghancurkan kekuasaan yang ada sebelumnya; dan dikatakan kreatif karena melahirkan sesuatu yang sama sekali baru. Dalam kasus-kasus revolusi anti-fedodal maupun kasus-kasus revolusi anti-kolonial yang terjadi di Asia seperti di Indonesia—yang dihancurkan oleh nasionalisme—adalah penghancuran struktur kekuasaan kolonial, yang dikreasikan sebagai gejala yang 100% sama sekali baru di atas muka bumi. Itu adalah sebuah nasion yang tidak ada sebelumnya, yaitu Indonesia. Kita bisa melihat itu dalam keempat buku Pramoedya Ananta Toer—dari Bumi Manusia hingga Rumah Kaca—yang diakui oleh hampir semua orang sebagai buku kebangkitan Indonesia, walaupun dalam keempat buku tersebut kata Indonesia sama sekali tidak dipakai. Mengapa, sebab waktu itu kata Indonesia belum ada di benak siapapun, kecuali seorang sosiolog Inggris. Mengapa tidak ada sama sekali, karena waktu itu baru dimulai, belum bisa dibayangkan. Orang-orang Indonesia waktu baru mulai membayangkan Indonesia seperti tercermin dalam gerakan nasionalisme tahun 1920-an. PKI adalah yang pertama kali menggunakan kata Indonesia, kemudian diikuti gerakan nasionalisme lainnya. Mengapa dibayangkan, karena waktu itu mulai eksis, sudah mulai berkembang: wilayahnya sudah ada, bahasanya—berkat orang Indo dan Tionghoa mulai menyebar sebagai bahasa yang berguna. Terwujud di mana? Pertama-tama dalam sastra Indonesia. Jangan meremehkan sastra. Banyak pengamat dan akademisi menulis bahwa dalam pembangunan nasion yang penting adalah bahasa. Memang, ada bahasa bersama itu betul. Tetapi bahasa bersama itu tidak berkembang sebagai national language. Bahasa nasional baru bisa berkembang jika sastranya berkembang. Apa yang menjadi basis kebudayaan Prancis? Sastranya. Apa yang menjadi basis kebudayaan Inggris? Sastranya. Kalau tidak ada Shakesphere, tidak ada Charles Dickens. Atau jika di Amerika tidak ada Jack London, kebudayaan Amerika dan Inggris datang dari mana? Nilai-nilai budayanya datang dari mana? Apakah datang dari gereja? Sudah tidak. Dari agama? Sudah tidak. Hanya sebagian kecil saja yang masih kuat agamanya, sementara orang-orang yang beragama dengan yang sudah lemah agamanya pun nilai-nilainya sering sama. Nilai-nilainya datang dari mana? Sastra, karena lama kelamaan sastra menjadi sesuatu yang dinikmati seluruh masyarakat, dan sastra diajarkan di sekolah mulai dari SMP secara serius. Sampai sekarang Indonesia adalah satu-satunya negeri di seluruh dunia yang tidak mengajarkan sastra Indonesia di SMP dan SMA—yang memiliki kewajiban membaca sekian banyak novel, sekian drama, sekian syair, ramai-ramai membedahnya di kelas, pekerjaan rumahnya menuli essay. Hal itu di Indonesia tidak ada, satu-satunya negeri di seluruh dunia.

Di Indonesia sastra hanya diselipkan dalam pelajaran bahasa, padahal nilai-nilai budaya sastra Indonesia kaya. Melalui sastra, drama, syair, lagu muncul kebudayaan baru. Tetapi, harus dicatat bahwa kelahiran kebudayaan baru tidak hanya lewat sastra, tetapi juga lewat politik. Dalam kebudayaan Prancis ada slogan liberty, fraternity, equality atau di Amerika ada slogan by the people, of the people, for the people. Pidato-pidato politik besar dan pemikiran politik yang berkembang dalam proses pembentukkan meraih nasionnya (kemerdekaan) itulah yang menjadi nilai-nilai budaya. Mengapa di Amerika pidato-pidato George Washington dan Thomas Jefferson menjadi bacaan wajib? Apakah tulisan-tulisan Soekarno, seperti Indonesia Menggugat menjadi bacaan wajib di sekolah Indonesia? Tidak. Padahal pada awal gerakan kemerdekaan—tahun 1920-an, 1930-an, 1940-an, 1950-an hingga 1965—sastra dan pemikiran politik menjadi sesuatu yang sangat hidup di masyarakat. Melalui proses pertarungan ini penyebaran sastra, Indonesia melancarkan gerakan kebudayaan seperti melalui Lekra, gerakan nasinoal dan gerakan Islam waktu itu sungguh luar biasa. Jumlah cerpennya, syairnya, kegiatan kebudayaan sampai ke desa-desa secara luar biasa.

Dalam hal berorganisasi sebenarnya Indonesia melampaui banyak negara di Asia. Pada waktu Sarekat Islam sampai puncaknya, sebagai organisasi modern—memiliki AD/ART-nya, cabang-cabang, buletin, pedebayan, dan traning-traning-nya—merupakan organisasi massa modern terbesar di dunia waktu itu. Di Eropa, Amerika dan Asia tidak ada organisasi sebesar Sarekat Islam, apalagi partai-partai yang menyusul setelahnya. Jadi, tidak benar orang Indonesia dianggap tidak suka berorganisasi. Nah, melalui organisasi itu sastra, pidato politik membentuk kehidupan kebudayaan bersama.

Harus diingat, sejarah Indonesia setelah kemerdekaan adalah 65 tahun (sampai 2010). Jadi, kalau para sejarawan membahas sejarah Orde Baru, salah satu hal yang harus dikaji adalah soal perkembangan dan kemunduran—sampai sejauh mana berkembang dan mundur—usaha membangun nasion Indonesia. Wilayah masih sama, tapi Aceh hampir hilang, karena memperlakukan Aceh sebagai bangsa asing. Itu merupakan warisan dari Belanda yang diterima setelah kemerdekaan, karena semua kepulauan di sebelah Utara menerima dengan sukarela masuk Indonesia, tidak ada paksaan. Hampir tidak ada penyatuan suatu nasion di seluruh dunia yang terjadi tanpa satu etnis memaksa etnis lain. Di Inggris Raya, Great Britain, perang orang Inggris melawan Scotlandia dan orang Inggris menjajah Wales berkali-kali perang dan puluhan ribu orang mati. Demikian pula di Jerman dan Amerika. Hanya Indonesia yang bisa bersatu dengan sedikit sekali darah. Itu kesukarelaan. Jadi kalau prinsip kesukarelaan dilanggar, seperti yang terjadi di Aceh pada tahun 1980-an, belum tentu orang mau menerima lagi.

Bagaimana dengan bahasa bersama? Apakah bahasa Indonesia berkembang sebagai bahasa yang dipakai oleh semua lapisan rakyat dan semua daerah untuk membicarakan masa depan Indonesia? Itu berkaitan dengan politik. Sebab, jika membicarakan masa depan dengan politik dilarang, lalu bagaimana bahasa bisa berkembang. Pergilah ke desa, sampai sejauh mana orang desa sekarang mampu membicarakan, menjelaskan pikiran mereka tentang masa depan Indonesia dalam bahasa Indonesia. Jika itu tidak berkembang, maka bahasanya pun terhambat. Di Indonesia hal itu masih menjadi persoalan besar. Memang, sebagian penyatuan kehidupan ekonomi Indonesia ada perubahan, penyatuannya semakin ada, tetapi masih sedikit. Sebagian kehidupan ekonomi Indonesia masih bersifat dual economy. Lebih dari itu, dual economy yang ada di jaman Hindia Belanda sekarang muncul lagi. Jaman Hindia Belanda kehidupan ekonomi di lapisan atas bahasanya adalah bahsa Belanda, sekarang mereka yang dilapisan atas mengirim anaknya ke sekolah berbahasa Inggris—international school. Sehingga di bidang kebudayaan pun ada bahaya, karena kehidupan ekonomi bersama—bukan hanya soal kaya dan miskin—semakin tidak terintegrasi, sehingga nasion pun semakin lemah karena itu.

Pertanyaannya sekarang, apa itu nilai-nilai budaya Indonesia. Pancasila itu menarik. Pancasila selama Orde Baru dikampanyekan besar-besaran. Pelajar harus lulus, setiap kali upacara diucapkan, tetapi setelah Soeharto jatuh hanya dalam waktu singkat Pancasila sudah hilang dari wacana publik—bahkan sudah terjadi sebelum Soeharto jatuh. Demikian pula dengan kata pembangunan. Setelah Soeharto jatuh berapa banyak orang yang berbicara tentang pembangunan. Seperti halnya Pancasila, pembangunan hilang juga sebagai suatu nilai. Di sekolah menengah tidak ada pelajaran sastra, sehingga berjuta-juta lulusannya tidak pernah membaca satu novel serius. Demikian pula dalam kehidupan politik, sehingga bahasanya bisa menjelaskan segala hal tidak ada.

Apakah sekarang ini ada watak psikologis bersama, suatu cara pandang dunia yang sama di Indonesia? Menjawab pertanyaan itu tidak cukup hanya melihat sejauh mana ya dan tidak, karena yang penting sekali adalah kekuatan masyarakat mana yang menggerakkan proses pembentukkan nasion dan kekuatan masyarakat mana yang menghambatnya. Agency-nya apa? Pelakunya siapa, kekuatannya siapa? Siapa yang menggerakkan? Semua itu diciptakan oleh gerakan itu sendiri: gerakan nasioanalisme dan anti-kolonialisme itu sendiri. Siapa penggerak tersebut? Di Indonesia khas, karena tidak ada kelas pengusaha. Penggeraknya adalah segelintir intelektual yang hebat dan rakyat (massa) itu sendiri. Jadi, agency-nya, kekuatan pelaku di dalam sejarah sampai kemerdekaan adalah intelektual-intelektual, aktivis-aktivis muda dengan massa.

Namun demikian, setelah kemerdekaan muncul persoalan. Sebelum 1949 sudah terjadi pertarungan antara mereka yang menganggap bahwa dengan diakuinya kemerdekaan Indonesia oleh dunia internasional berarti revolusi Indonesia sudah selesai. Sementara di pihak lainnya berpikir sebaliknya: revolusi Indonesia belum selesai. Mengapa dianggap belum selesai, karena kehidupan ekonominya belum bersatu dan masih dikuasai perusahaan-perusahaan Belanda. Tiga ratus tahun Belanda merampok Indonesia, mendirikan perkebunan, pertambangan, perkapalan, itu semua hasil perampokan selama kolonialisme. Hal yang tidak masuk akal adalah pemerintah Hatta menyetujui pengembalian hasil rampokan Belanda tersebut. Itu benar-benar tidak masuk akal. Bukan hanya itu, sejumlah uang yang senilai dengan biaya yang dikeluarkan Belanda untuk memerangi Indonesia juga dijanjikan akan dibayar kepada Belanda, meskipun sampai tahun 1956 dihentikan.

Seperti disebutkan tadi, setelah kemerdekaan ada pertarungan antara mereka yang menganggap revolusi sudah selesai dengan mereka yang menganggap belum selesai. Mereka yang menganggap selesai berpandangan stabil saja dan berorientasi pada pembangunan dengan cara menginintegrasikan ekonomi Indonesia dengan Barat. Sebagian intelektual kemudian bergabung dengan penguasaha-pengusaha dalam negeri yang selanjutnya menjadi pengusaha nasional. Saya membedakan dalam negeri dan nasional, karena dalam negeri itu dikuasai tokoh-tokoh yang tersebar di banyak kota, tetapi jaringan usahanya sendiri belum nasional dan baru mulai atau baru sedikit-sedikit saja berwawasan nasional. Pengusaha dalam negeri yang berusaha menjadi pengusaha besar nasional bekerjasama dengan kaum intelektual. Mereka menganggap revolusi sudah selesai, tetapi perusahaan-perusahaan hasil perampokkan kolonial masih di tangan kolonial, hutang di Belanda masih diakui. Terjadi usaha untuk menyelesaikan itu dimana tahun 1956-57 perusahaan kolonial diambilalih oleh rakyat dan langsung diduduki dan orang-orang Belanda diusir secara fisik dari perusahaan-perusahaan tersebut. Setelah itu baru parlemen menasionalisasikan perusahaan-perusahaan Belanda.

Dalam periodisasi sejarah Indonesia di banyak buku kita mengenal ada demokrasi parlementer, demokrasi liberal, demokrasi terpimpin. Semua itu omong kosong, karena yang terjadi pada tahun 1948-49 adalah pertarungan. Tidak ada satu sistem yang berhasil diterapkan dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga semua orang bisa menilai keberhasilan dan kegagalannya. Sepanjang periode itu yang terjadi adalah pertarungan, karena tidak ada satu pun kekuasaan politik yang sempat menjalankan misi dan konsepsnya secara stabil dalam jangka panjang. Apalagi demokrasi terpimpin. Saya menilai demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin tidak sempat dijalankan sama sekali. Itu hanya mungkin dijalankan kalau ada pemerintah yang dikuasai Soekarno, PKI, PNI kiri dan Partindo. Padahal sampai 1965 pun PKI tidak masuk di kabinet secara berarti. Partindo tidak secara berarti, PNI kiri tidak secara berarti. Belum ada kekuatan kiri yang mampu memenangkan demokrasi terpimpin. Justru tahun 1965 (peristiwa G30S-ed) terjadi untuk mencegahnya.

Nah, dalam proses pertarungan sampai 1965 pun harus dilihat siapa yang menggerakkan? Siapa yang meluaskan sastra ke masyarakat? Kekuatan sosial apa? Kekuatan sosial yang beroposisi dan berontak adalah di buruh dan tani. Intelektual dan mahasiswa bersolidaritas dengan buruh dan tani. Kalangan itulah yang terutama menerapkannya. Siapa yangg mau menuju kepada sebuah pasar nasional, dan setelah 1965, siapa yang memimpin proses itu mundur? Kekuatan sosial mana? Di Indonesia kekuatan sosial terdiri dari mereka yang bemodal—kapitalis dan penguasaha—dan masyarakat lainnya—buruh dan tani. Namun, pemodal dalam negeri itu ternyata—sejak awal abad XX sampai sekarang—tidak mampu untuk menggerakkan proses nation building. Sampai sekarang pun tidak mampu. Kekuatan sosial yang mampu menggerakkan perubahan sejak tahun 1930-an sampai 1960-an adalah gerakan rakyat miskin. Ketika itu dihancurkan, maka semua usaha nation bulting pun mengalami kemunduran.

Sumber:  http://www.facebook.com/note.php?note_id=453704484582